Gelapnya ruangan yang di hiasi lampu kerlap kerlip dengan suara musik Dj yang kencang membuatku merasa tak nyaman berada di tempat seperti itu. Niat hati ingin bersenang-senang, aku malah mendapati kakakku sendiri yang tengah berjalan sempoyongan di rangkul seorang pria menuju sebuah ruangan.
"Kak Lita!" ujarku lalu berlari mengikutinya di susul Riko yang kini berlari bersamaku.
"Kamu mau kemana Ar, ini ruangan khusus, kamu gak boleh masuk kesana!" cegah Riko sambil menahan bahuku.
"Tapi Riko, Kakak aku masuk ke ruangan itu, aku lihat tubuhnya sempoyongan. Aku gak mau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama dia!" ucapku sambil berusaha melepaskan tanganku yang di genggam kuat oleh Riko.
"Jangan Ar, aku mohon kamu jangan kesana!" cegahnya lagi.
"Lepaskan!" aku berlari setelah melepaskan diri dari Riko lalu dengan kuat mendobrak sebuah pintu yang terdapat Kak Lita bersama seorang laki-laki disana.
Setelah pintu terbuka, betapa terkejutnya aku saat melihat Kak Lita yang tengah berada dalam kungkungan seorang laki-laki. Mereka yang melihat kedatanganku sama halnya denganku yang begitu terkejut.
Dengan tergesa Kak Lita menutupi tubuhnya bersama laki-laki setengah telanjang itu dengan selimut. Aku merasa tak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. Semua yang ada di depan mataku bagaikan mimpi buruk.
"Apa-apaan kamu ini Ardila! ngapain kamu kesini?! ganggu orang lagi seneng aja!" ujar Kak Lita, bola matanya yang merah menyalakan sebuah emosi yang begitu kuat padaku. Sekilas dia melirik Riko yang berdiri di sampingku.
"Kakak yang apa-apaan ada di tempat seperti ini bersama seorang laki-laki yang bukan muhrim Kakak!" balasku sambil menangis.
Kak Lita terlihat kesal, dia berjalan mendekat ke arahku. Lalu melayangkan sebuah tamparan pada pipi kananku.
Plak!
"Dasar anak gak tahu di untung! kamu pikir aku kerja kayak gini buat siapa, kalau bukan buat hidupi kamu sama ibu?! makannya mikir, kerja sono, biar kamu gak nyusahin aku! udah pergi sana, ganggu aja!" ujarnya sambil mendorong tubuhku keluar dari pintu.
Aku hanya bisa pasrah saat tubuhku di dorong keluar begitu saja. Sambil memegang pipiku yang sakit akibat tamparannya, air mataku tak hentinya mengalir.
"Ar, kamu gak apa-apa kan?" tanya Riko sambil memegang tanganku.
Sambil menahan rasa sakit, aku menggelengkan kepalaku. Sedih, sakit dan hancur rasanya saat mengetahui pekerjaan Kak Lita yang ternyata tebakan aku selama ini benar. Dia menjadi wanita malam untuk menghidupi kami.
Tanpa mempedulikan Riko aku keluar dari tempat itu. Sedangkan Riko terus saja berjalan mengejarku.
"Tunggu Ar, lebih baik kita masuk ke mobil," dia menarik tanganku membawaku menuju mobilnya yang masih terparkir.
Tanpa sepatah katapun aku hanya diam saja sambil duduk di samping Riko yang kini mengemudikan mobilnya.
"Ar, kamu baik-baik saja kan? kamu mau ikut aku ke apartemen gak?" tanya Riko yang aku anggukkan saja.
Riko tidak banyak bicara saat kami masih dalam perjalanan. Aku rasa mungkin dia mengerti dengan keadaanku yang masih syok melihat perilaku Kak Lita tadi.
Tak butuh waktu lama kami sudah sampai di appartemen Riko. Setelah menaiki lif kami berjalan sebentar menuju sebuah ruangan.
Baru saja Riko membuka pintu, tiba-tiba saja sudah ada seseorang yang berdiri di hadapan kami sambil melipat tangan.
"Pak Devan!" ujarku saat melihat orang itu yang ternyata Pak Devan. Mantan Dosenku di universitas lama.
Aku terkejut saat melihat keberadaan Pak Devan yang kini berdiri tegak di depan pintu apartemen Riko. Antara bingung, kaget dan kesal bercampur jadi satu. Kekesalanku tentu beralasan, selain mantan Dosen di Universitas lamaku, dia adalah mantan kekasihku.
Dialah salah satu alasan yang membuatku pindah kampus juga pindah tempat tinggal menumpang hidup di rumah Kak Lita bersama ibuku. Kami sudah sangat lama sekali tidak bertemu. Tak kusangka, orang yang ingin ku lupakan, kini malah berdiri di hadapanku.
"Bang Devan!" ujar Riko bersamaan aku, dia sama halnya denganku yang terkejut saat melihat Pak Devan yang tubuhnya gagah, tegap dan tinggi bak atletis itu berdiri di hadapan kami.
Pak Devan melirik ke arahku. Sorot matanya begitu tajam. Entah apa yang tengah dia pikirkan tentangku dan Riko.
"Masuk!" ujarnya singkat.
Sebelum masuk aku melirik ke arah Riko terlebih dahulu. Dia mengangguk, lalu kami masuk bersama. Langsung duduk di atas sofa bersebelahan.
"Siapa suruh duduk deket-deketan?!" kata Pak Devan, sikapnya memang seperti tengah mengajar di kampus.
"Jaga jarak!" perintahnya lagi.Kami saling berlirikkan, lalu segera menjaga jarak. Hening beberapa saat yang kami rasakan. Aku salah tingkah, begitupun Riko, kami bagaikan dua muda-mudi yang baru saja tertangkap basah. Padahal kami tidak melakukan apapun di klub malam.
"Sejak kapan kalian pacaran?" tanya Pak Devan yang membuatku melotot, tapi kembali menunduk saat melihat sorot matanya yang tajam.
"Kita cuma ke klub aja, seru-seruan aja!" jawab Riko.
"Gue gak tanya itu, jawab sesuai pertanyaan!" tegurnya pada Riko yang juga terlihat ketakutan pada abangnya sendiri.
"Ya ampun, ternyata Pak Devan itu Kakaknya Riko?" ucap batinku bertanya-tanya juga merasa tidak percaya.
Karena gugup, aku memainkan ujung bajuku sambil menunduk. Tiba-tiba saja Riko menggenggam tanganku dengan lembut, dia tahu betul jika aku tengah gugup.
Plak!
Pak Devan memukul lengan Riko dengan ujung sapu. "Jangan pegang-pegang!" ujarnya sambil melotot.
Sungguh adegan yang sangat memalukan. Kenapa juga kita harus merasa takut jika kita tidak berbuat kesalahan. Aku mengangkat wajahku, setelah mengumpulkan keberanianku sejak tadi.
"Kami tidak..."
"Kita baru dua bulan pacaran! terus, masalahnya apa buat Abang?" tanya Riko yang begitu saja menjawab tanpa berpikir panjang.
Entah apa yang di ucapkan Pak Devan di dalam hatinya. Dia menghela nafas, terdiam sejenak sambil melirik ke arahku. Aku bisa membaca sorotan matanya yang mengartikan sesuatu, namun sulit untuk di ungkapkan karena hanya kita yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. ******Tiga puluh menit sudah berlalu, sekarang tinggal aku dan Pak Devan yang berada di dalam mobil. Dia sengaja ingin mengantarku pulang dengan alasan sudah terlalu malam. Dia tidak mengizinkan Riko yang mengantarku pulang berdalih tak ingin sampai kami kembali pergi ke klub malam. "Ternyata kamu juga pindah ke kota ini Ar," ucapnya sambil mengemudikan mobil dengan pandangannya yang lurus ke depan. "Iya," jawabku singkat saja, tanpa menoleh ke arahnya. "Kalian sudah lama pacaran?" tanya dia lagi entah apa motif sebenarnya dia bertanya tentang hubunganku dan Riko. Tak ingin menjawab ucapannya. Aku hanya diam saja. Itu bukanlah hal yang penting bagiku. "Kenapa diam?" tanya dia lagi.
Riko memandang lekat ke arahku. Dia tersenyum setelahnya. "Kamu gak sedang bohong kan? Tapi meski kamu bohong, aku sudah tahu semuanya. Bagaimana jika Mbak Khalisa sampai tahu tentang kedekatan kalian ya? Apa dia masih mau mempertahankan rumah tangganya sama Bang Devan, atau..." Riko tidak melanjutkan ucapannya. Mungkin dia sengaja ingin mempermainkan aku. "Atau apa?" balasku cepat. "Atau dia akan menggugat cerai Bang Devan!" tegas Riko lagi. Mataku melotot mendengarnya. Aku benar-benar sudah di permainkan oleh Riko. Perasaanku berubah seketika. Rasanya gundah gulana. Entah apa yang harus aku lakukan agar Riko bersedia tutup mulut tentang hal itu. Ya, aku dan Pak Devan memang pernah menjalin hubungan asmara sewaktu aku berkuliah di Universitas lamaku. Sampai saat ini memang tidak pernah ada kata 'putus' di antara kami. Tapi, bagiku hubunganku dengannya sudah berakhir apalagi saat aku mengetahui ternyata dia adalah suami orang. "Jangan sampai itu terjadi, aku mohon Riko, kamu jang
"Woi! Ngelamun aja kerjaan lu!" Lena menepuk bahuku yang terasa sakit. Dia duduk di sampingku yang masih merenung. "Len, kamu tahu gak, soal cinta?" tanyaku dengan pandangan lurus ke depan. "Ya gak tahulah, orang belum pernah pacaran, gimana sih lu!" jawabnya. "Aku mau minta pendapat dari kamu, kalau misalkan kita membuat sebuah kesalahan besar sama orang lain, apa dia bisa memaafkan kita kalau secara langsung kita minta maaf sama orang itu?" tanyaku lagi. "Lah, mana ku tahu. Tapi, kayaknya sih dia bakal maafin aja, apalagi kalau lu sambil bawa makanan pas minta maafnya hehehe...." jawabnya setengah bercanda."Ah, kamu ini!" ujarku kesal karena Lena malah menanggapinya dengan bercanda. "Dahlah, mending kita jajan ke kantin dari pada ngelamun, nanti kesambet baru tahu rasa, yuk ah buruan!" ajak Lena sambil menarik tanganku yang pasrah saja mengikutinya. Saat berjalan menuju kantin, aku berpapasan dengan Riko. Dia melirik sekilas ke arahku tanpa sepatah katapun. Biasanya Riko tak
Aku tidak mempedulikan ucapan Kak Lita. Sembari membungkus makanan catering aku membuka pesan yang baru masuk melalui ponselku. — Ar, bisa ke resto sebentar gak? Ada yang mau aku bicarakan. Ini penting. —Begitulah isi pesan darinya. Aku tak langsung menjawab. Karena masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan. Setelah tiga puluh menit berlalu, barulah aku bangkit. Semua pekerjaan sudah selesai. Aku bergegas pergi, sambil berpamitan pada Kak Lita. "Tolong bilang sama ibu, aku pergi ke rumah temen." Kataku pada Kak Lita yang asik memainkan handphonenya. "Sama temen apa sama pacar?" tanyanya. "Temen!" jawabku singkat sambil pergi. **********Sengaja aku memesan taxi online menuju restaurant Riko agar lebih cepat sampai ketimbang berjalan kaki meski jaraknya cukup dekat dengan rumah. Langsung saja aku masuk ke restaurant itu menuju ruangan khusus karena Riko sudah menungguku disana. Baru saja hendak membuka pintu, sebuah suara perempuan terdengar. "Aku
"Saya sudah bilang, saya bisa pulang sendiri!" tegasku sambil melewatinya. "Ar!" panggil Riko yang di cegah pergi oleh Kakaknya. *********Terpaksa aku berjalan kaki karena tidak menemukan angkutan kota. Hari sudah mulai malam, aku berdiri sendiri di pinggir jalan sambil melirik ke arah jalanan. Tidak ada satupun angkot yang lewat ke arah rumahku. "Mana sih ini angkot, kok gak ada satupun yang lewat?" ujarku. Tid... Tid... Tid..Suara klakson mobil terdengar, sebuah mobil berwarna merah berhenti di depanku. Orang itu membuka pintu kaca mobilnya. "Hai cantik, berapa sekali main?" tanya seorang Om-om yang berada di bagian kemudi. Dia memandangku dari atas sampai bawah lalu berusaha menyentuh tanganku. "Jangan kurang ajar ya!" bentakku sambil menepis kasar tangannya. "Baru gitu aja galak, tapi Om lebih suka yang galak loh, yang galak lebih menantang, ehehehe..." katanya, dia keluar dari mobil lalu menarik tanganku untuk memasuki mobilnya. "Ayok masuk can