Entah kemana dia pergi, aku tidak begitu melihat ibu. Aku fokus pada lamunanku di masalalu. Sakit memang saat menjalani hubungan tanpa restu orang tua. Apalagi setelah mengetahui bahwa Pak Devan sebenarnya sudah beristri. Duniaku seakan hancur, masa depanku hancur karenanya.
Drt... Drt... Drt...
Sebuah pesan masuk dari ponselku membuatku segera membacanya.
—Ar, kamu udah sampai rumah kan?—
Pesan dari Riko sudah ku baca, tapi aku enggan membalasnya.
—Balas dong Ar, aku khawatir sama kamu!—
Dia kembali mengirim pesan. Lalu menelpon.
"Hallo,"
"Ar, kamu baik-baik aja kan?" tanya Riko penuh khawatir.
"Iya, aku baik-baik aja!" jawabku meski malas.
"Syukurlah kalau baik, jangan tidur malam-malam ya, besok aku kirim sesuatu ke rumah kamu," katanya yang membuat aku penasaran.
"Sesuatu apa?" tanyaku penasaran.
"Lihat aja besok, see you sayang!" ucapnya sambil menutup telpon.
Balum saja aku balas, dia sudah menutup telpon. Karena itu aku segera membersihkan diri saja. Lalu bersiap istirahat agar besok aku tidak kesiangan.
**********
Pagi harinya aku sudah berdandan rapih hendak pergi kuliah. Tiba-tiba saja seseorang mengetuk pintu.
"Permisi Mbak, ini ada kiriman paket untuk Mbak," kata seorang kurir yang baru saja mengetuk pintu.
"Tapi saya gak pesan paket Pak!" jawabku kebingungan.
"Iya Mbak, tapi ini ada seseorang yang sengaja memberikan paket ini untuk Mbak." Katanya lagi, lalu pergi setelah meminta tanda tanganku.
"Makasih ya Pak!" ucapku sambil berjalan membawa kardus paket ke dalam rumah.
"Paket dari siapa sih ini?" gumamku sambil membuka kardus itu.
Saat ku buka isi kardus itu ada sebuah mini dress berwarna merah maroon beserta sebuah tas cantik bermerk ternama disana.
"Apa jangan-jangan Bapak tadi salah kirim paket ya? Tapi gak mungkin, di alamatnya memang di tunjukkan buat aku, ini dari siapa ya?" aku bertanya-tanya sendiri.
Aku lihat ada sebuah surat yang tertera di dalamnya.
Bajunya jangan lupa di pake nanti malam ya! Begitulah isi dari surat itu yang membuat aku semakin penasaran siapa yang sudah mengirimkan paket ini."Siapa sih ini, bikin penasaran aja!" ujarku tapi kemudian aku tersenyum.
Setelah menaruh tas dan mini dress itu di lemari aku bersiap pergi menuju kampus. Karena ibu tidak ada di rumah, aku berpamitan pada Kak Lita yang masih tertidur.
"Kak, aku berangkat kuliah ya!" kataku.
"Iya-iya, ganggu aja lu ah!" ujarnya sambil kembali menutup wajahnya dengan selimut.
Tidak seperti biasa, Riko tidak menjemputku atau berjalan kaki kembali bersamaku. Sudah beberapa hari dia tidak pernah melakukannya lagi. Itu tidak masalah bagiku, karena dengan begitu aku bisa bebas berjalan kaki sendiri tanpa merasa tidak enak padanya.
Tid...tid!!!
Suara klakson mobil beserta cipratan air kotor yang sengaja di lakukan oleh Erista membuatku hanya bisa menggelengkan kepala.
"Rasain tuh, roknya jadi kotor deh!" teriaknya yang berada di bagian kemudi.
Dia dan teman-temannya memang kerap kali memusuhiku. Tapi aku abaikan begitu saja. Ku anggap sikap buruk mereka itu angin lalu.
"Kotor banget, gimana ini?" gumamku sambil menunduk mencoba membersihkan rokku dengan tangan.
Tanpa aku sadari, ada seseorang yang kini tengah menyodorkan sapu tangannya untukku. Dengan cepat aku mendongak ke arahnya. Lagi-lagi Pak Devan. Dia yang kini berdiri di hadapanku sambil menyodorkan sapu tangannya.
"Bersihkan menggunakan ini," katanya.
Sebelum menerimanya aku menengok kesana kemari karena takut ada yang melihat sikapnya padaku. Bisa-bisa aku kembali menjadi bahan gosip di kampus.
"Tidak usah, saya akan membersihkannya nanti!" jawabku hendak pergi.
Tapi tiba-tiba saja dia membuka jasnya lalu memasangkannya di bagian pingganngku untuk menutupi rokku yang kotor dan basah.
"Pakailah, nanti bisa kamu kembalikan lain waktu!" ujarnya sambil pergi.
Sambil terdiam membisu aku menatap punggungnya yang baru saja pergi. "Kenapa sih, di saat aku mulai ingin melupakan kamu, kamu malah selalu mendekati aku, di saat aku menjauh, kamu malah mendekat, di saat aku menghindar kamu malah selalu ada untuk aku Pak Devan..." ucap batinku.
"Ehem!" suara deheman yang tidak asing itu membuat aku terkesiap kaget.
Saat aku menoleh ternyata deheman itu berasal dari Lena. Entah sejak kapan dia berdiri di belakangku.
"Emm... ada yang lagi dapat perhatian dari Dosen nih, ehehehe...asik, ada gebetan baru lagi!" godanya sambil menyenggol lenganku.
"Apaan sih Len, ini cuma bentuk perhatian wajar aja dari seorang Dosen ke pada mahasiswinya yang kesusahan. Lagipula dia orang pertama yang lihat rokkku basah dan kotor tadi, mungkin dia kasihan liat aku kayak gini, jadi berinisiatif sendiri menawarkan jas kerjanya buat aku!" jelasku panjang lebar pada Lena yang matanya masih menggodaku.
"Bener apa bener nih cuma sekedar perhatian biasa aja?" godanya lagi.
"Udah ah Len, kita masuk kelas yuk!" ajakku sambil menarik tangannya.
Kita memasuki kelas seni karena hari ini jadwal kelas seni dari Pak Devan. Di sebuah ruangan yang masih sepi itu aku duduk di depan sebuah kertas kosong. Kelas itu bersebrangan dengan kelasku belajar.
Aku sendirian berjalan memandang beberapa lukisan indah yang terpajang di atas dinding ruangan. Saat melihat sebuah lukisan dua pasang merpati, ingatanku kembali berputar pada kejadian di masa lalu.
"Jangan warnai yang itu, warnainya yang ini dulu biar gak nabrak warna!" kata Pak Devan saat masih mengajar di kampus lama.
"Begini?" tanyaku sengaja mewarnai dengan salah agar dia menuntunku.
Pak Devan tersenyum karena sudah hapal dengan sifatku. Dia menuntun tanganku, kamipun tertawa bersama menyadari sikap masing-masing.
Dia sengaja mencoret pipiku dengan cat air lalu ku balas lagi mencoret pipinya sampai kami tertawa bersama. Sungguh indah kisah di masa lalu, yang tidak bisa aku lupakan. Tapi sayang, semua hanya tinggal kenangan.
Lagi aku tersadar, tidak seharusnya itu terjadi. Untuk menyadarkan diriku sendiri aku menggelengkan kepalaku.
"Kenapa geleng-geleng kepala? Kepalanya pusing?" tanya Pak Devan dari belakang.
Mataku melotot mendengarnya. Kenapa dia selalu muncul tiba-tiba di saat aku sendirian. Apa itu sebuah kebetulan? Atau...
"Kalau sakit pergi ke UKS, jangan memaksakan diri." Katanya lagi.
Aku berusaha menoleh ke arahnya lalu duduk di kursiku. Pak Devan mendekatiku, lalu dia membungkuk di hadapanku. Memegang daguku dengan cepat, membuat jantungku berdebar dengan cepat. Setelahnya dia mengernyitkan dahi.
"Wajah kamu gak pucat, itu berarti kamu baik-baik saja!" ucapnya lalu kembali melepas daguku.
Aku bernafas lega saat dia sudah duduk di kursinya. "Kamu sudah terima paketnya kan?" tanya Pak Devan kemudian.
"Apa? Jadi paket mini dress dan tas itu dari Pak Devan? Bukan dari Riko?" tanyaku sedikit berteriak dengan eskspresi terkejut syok dan merasa tak percaya.
"Iya, emang kamu pikir dari Riko? Ya bukanlah!" jawabnya, sembari membereskan peralatan melukis.
Rasanya aku sudah tidak tahan lagi ingin segera mengembalikan barang itu. Kakiku sudah gatal ingin segera pergi melangkah dari kampus.
"Tapi, apa maksud Bapak mengirimkan paket itu untuk saya? Padahal tadi malam Riko yang menjanjikan sesuatu untuk saya, Pak Devan bohong, kan?" tuduhku padanya yang hanya tertawa kecil sambil membuka kacamatanya.
"Memang Riko yang memesan baju dan tas itu untuk kamu, tapi saya yang bayar semuanya. Jadi barang-barang itu bukan dari Riko, tapi dari saya!" tegasnya lalu kembali mengenakan kacamatanya lagi.
Karena merasa kesal dan bingung akhirnya aku menggaruk pundakku yang tak gatal. Sedangkan tanganku sudah sangat gatal ingin segera mengembalikan barang itu kembali.
"Hari ini saya ijin pulang Pak!" ujarku kemudian setelah mempertimbangkan semuanya.
"Gak bisa gitu dong, kamu harus tetap mengikuti kelas saya! Bersikap profesional aja, jangan bawa-bawa masalah pribadi di kelas, oke!" katanya lagi.
Setelah kelas melukis selesai, aku tidak sabar ingin segera menemui Riko. Aku berjalan ke tempat yang biasa di datanginya berniat ingin berbicara empat mata dengannya.
Saat aku membuka pintu, terlihat Riko dan Erista tengah berpelukkan di ruangan itu. Erista tersenyum licik sedangkan Riko terkejut melihat kedatanganku.
"Ardila!" kata Riko yang mengejarku saat aku pergi. "Jangan pergi dulu Ar, dengarkan penjelasan aku dulu, apa yang kamu lihat tadi..." "Yang aku lihat tadi emang kalian sedang berpelukkan, apalagi yang mau di jelaskan, semua emang udah jelas!" balasku kesal, berhenti sejenak lalu berjalan kembali."Gak gitu juga Ar, dengerin aku dulu!" Riko menahan tanganku. Semua orang menatap ke arahku dengan penuh kebencian. "Lihat tuh si plakor, gak ada habisnya ya dia gangguin pacar sama suami orang, dasar gak punya harga diri!" ujar seorang mahasiswi pada temannya. "Mana ada harga diri, kalau udah pacaran sama suami orangkan emang gak ada harga dirinya, ingat ya, karma masih berlaku!" balas temannya lalu mereka pergi. Bukan hanya itu yang membuatku menahan diri untuk pergi. Tapi kejadian itu persis sekali dengan ucapan para tetangga saat mencoba mengusir aku dan ibu waktu lalu. "Ar, kamu baik-baik saja kan?" tanya Riko lagi padaku. Dengan kuat aku melepaskan tangannya yang menggenggam ta
Pak Devan melepaskan pelukkannya setelah aku tenang. Dia menyodorkan sebuah kotak kecil padaku yang baru saja dia rogoh dari saku celananya. "Ini untuk kamu, maaf baru bisa ngasih hari ini," ucapnya, menaruh kotak kecil itu di tanganku, setelahnya pergi meninggalkan aku yang masih terpaku. Hatiku kembali teriris mendapat perlakuan barusan. Bukan karena ucapannya, melainkan karena sikapnya yang semakin membuat aku sulit untuk melupakannya.Segera aku buka kotak kecil yang kini berada di tanganku. Terlihat sebuah cincin putih berlian berbentuk hati yang berkilauan. Ada sebuah surat hasil tulisan tangan di dalamnya. Karena penasaran, aku segera membacanya. ~ Selamat ulang tahun Ardilla, Tolong terima cincin ini dengan baik, dan tolong jangan salah paham. Saya ingin menepati janji saya dahulu saat kita masih menjalin kedekatan. Sekarang janji saya sudah saya tepati. Jadi, jangan mencoba mengembalikan barang ini. Wish you all the best. ~Setelah membaca surat itu hatiku meluluh. Ada ra
Tanpa menoleh aku menjawabnya. "Itu bukan urusan anda!" jawabku ketus. Pak Devan tertawa kecil. Dia berdiri di sampingku. "Kamu harus lebih berhati-hati sama Riko." Peringatnya. "O, ya, soal foto-foto kamu itu, saya sedang berusaha mencari tahu semuanya. Saya harap kamu lebih bersabar." Katanya lagi. Karena tak ingin berlama-lama mendengar ucapan darinya, aku sengaja menerobos hujan yang begitu deras. Tak peduli jika tubuhku harus basah di guyur air hujan. "Ardilla!" Panggilnya yang tidak aku gubris. ***********Saat aku pulang ke rumah, tiba-tiba saja Riko sudah ada di depan rumahku. Sambil menggelengkan kepalanya dia menyilangkan tangannya. "Habis darimana aja? Aku dari tadi nunggu kamu disini," tanya dia mendekat ke arahku. "Eu...itu...aku..." jawabku sambil mencari alasan yang tepat karena tidak mungkin aku memberitahunya kejadian tadi. Saat sengaja menerobos hujan Pak Devan juga sengaja mengikutiku menerobos hujan sampai seluruh badannya basah. Dia menari
"Emangnya lu mau kerja apa dengan jurusan lukis? Lu harus kerja yang sesuai dengan bidang lu. Bikin karya yang bagus, terus lu jual deh ke pasaran." Jawabannya malah membuatku semakin badmood. Kalau di ingat memang benar juga, aku harus mengembangkan karyaku. Tapi setidaknya aku juga ingin bekerja supaya bisa membantu ibu. Yang jadi masalahnya hanya satu, aku sulit mencari pekerjaan. — Temui saya sekarang di 'Restaurant Lalita' — Pesan dari Pak Devan muncul kembali. Tapi aku tidak berniat membalasnya. Dia menelponku berkali-kali membuat aku terpaksa harus mengangkatnya. "Hallo?!" ucapku dengan suara tinggi. "Bisa temui saya sekarang, kan?" katanya. "Saya tidak bisa, saya sedang..." "Sepertinya kamu tidak sedang sibuk, saya tunggu kamu disini!" katanya lagi memotong ucapanku. "Ta-tapi..." Tut... Tut... Tut... Panggilan terputus karena dia mematikan telponnya. "Dasar aneh!" ujarku yang membuat Lena menoleh. "Siapa sih?" tanyanya lagi. "Maaf ya Len, aku harus pergi. Ada urusa
"Tapi Ar...kamu ini kan belum tahu betul seluk beluk kota Jakarta. Dan lagi, kamu mau mencari pekerjaan kemana?" tanya Ibu. Mendengar pertanyaan itu membuat aku terdiam. Aku memang sedang kebingungan. Tapi aku harus segera bertindak. Tidak mungkin terus-terusan menumpang hidup di rumah kakakku. "Nanti Ardilla pikirkan lagi." Ucapku, lalu aku berjalan memasuki kamarku. Duduk di depan meja belajar sambil melamun. Aku teringat dengan semua kejadian pahit dalam hidupku. Sekarang aku harus bangkit dan membuktikan pada semua orang bahwa aku akan menjadi lebih baik lagi. Dan aku tidak serendah itu. "Mau kemana Ar?" tanya Ibu padaku yang sudah bersiap pergi. "Ardilla mau mencari pekerjaan bu, do'akan ya, semoga Ardilla segera mendapatkan pekerjaan." Ucapku sambil tersenyum. "Hati-hati ya," ucap Ibu sambil mengusap bahuku. Ku lihat wajahnya yang sudah menua itu sambil tersenyum. Dialah yang membuatku kuat menjalani hidup yang pahit. Aku berjalan kesana kemari, memasuki beberapa toko di
"Ya, kalau begitu kita langsung ke rumah Clara saja sekarang!" kata Pak Devan sambil menarik tanganku. Kemudian kita kembali pergi menuju kediaman Clara di sebuah komplek perumahan elit. Hanya orang tertentu saja yang bisa masuk ke komplek itu karena selain menjaga privasi, itu sudah termasuk aturan di komplek tersebut. "Mohon maaf, anda tidak bisa masuk, lagi pula Mbak Clara juga belum tentu kenal dengan anda." Kata satpam penjaga komplek. "Tapi Pak. Kita perlu bertemu dengan seseorang, dan orang itu temannya Clara. Namaya Riko, bapak pernah bertemu dengan Riko, kan?" jawabku. Dia mengernyitkan dahi sambil mencoba mengingat sesuatu. "Oh, Den Riko ya? Den Riko..." "Riko sudah aku bawa ke rumah sakit!" kata sebuah suara dari arah belakang. Dengan spontan kami menengok ke arahnya bersamaan. "Clara!" ujarku. Di perjalanan menuju rumah sakit dia menceritakan semua kejadian yang di alami Riko. Dengan rasa cemas yang berlebih, tanganku gemetaran, pikiranku sudah kacau entah dimana sa
Setelah membereskan semua barangku dan berpamitan pada ibu, aku pergi dari rumah Kak Lita menuju kontrakan yang sebelumnya sudah di siapkan kemarin oleh Riko. Karena ibu sedang sibuk memasak, dia tidak ikut membantu kepindahanku kesana. Aku naik bis menuju kontrakanku sambil menikmati indahnya jalanan kota. Beberapa panggilan tak terjawab dari Riko tak ku pedulikan lagi. Aku tetap fokus melihat jalanan kota sambil mengenang masa indah bersama Pak Devan. ""Hujan ini akan membuat kita saling mengingat kenangan di hari ini, saya yakin, kamu akan selalu mengingat saya di kala hujan." Ucapnya kala itu. Aku tersadar kembali lalu merutuki diriku sendiri karena tak bisa berhenti memikirkannya. "Dasar bodoh, ngapain masih mikirin orang itu sih Ar!" ujarku sambil menepuk jidatku. Setelah sampai di kostan aku langsung berbaring di tempat tidur. Karena disana sudah tersedia fasilitas yang lengkap. Tok...tok... Tok... Suara ketukan pintu membuatku segera membukanya. Terlihat Riko yang kini
Aku menutup wajahku dengan selimut. Merutuki diri sendiri dalam hati karena sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal untuk kedua kalinya. Tidak seharusnya aku terjebak dengan ucapan Erista. Dan tidak seharusnya aku melakukannya bersama Pak Devan yang bahkan sudah menjadi suami orang. "Sudahlah Ar, semua sudah terjadi. Maka dari itu saya akan bertanggung jawab atas semua perbuatan saya sekarang, dan perbuatan saya di masalalu sama kamu." Katanya dengan entengnya. Entah apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa berkata apapun lagi. Sengaja hanya diam. Menarik selimut untuk menutupi tubuh, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya aku pergi meninggalkan Pak Devan tanpa sepatah katapun. ***********Saat berjalan di lorong kampus, semu orang memandang ke arahku. Mereka berbisik membicarakan soal aku yang memerima tantangan Erista semalam. "Aku pikir cupu, ternyata dia suhu. Bisa-bisanya minum sampai habis banyak ya!" ujar seorang mahas
Aku menutup wajahku dengan selimut. Merutuki diri sendiri dalam hati karena sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal untuk kedua kalinya. Tidak seharusnya aku terjebak dengan ucapan Erista. Dan tidak seharusnya aku melakukannya bersama Pak Devan yang bahkan sudah menjadi suami orang. "Sudahlah Ar, semua sudah terjadi. Maka dari itu saya akan bertanggung jawab atas semua perbuatan saya sekarang, dan perbuatan saya di masalalu sama kamu." Katanya dengan entengnya. Entah apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa berkata apapun lagi. Sengaja hanya diam. Menarik selimut untuk menutupi tubuh, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya aku pergi meninggalkan Pak Devan tanpa sepatah katapun. ***********Saat berjalan di lorong kampus, semu orang memandang ke arahku. Mereka berbisik membicarakan soal aku yang memerima tantangan Erista semalam. "Aku pikir cupu, ternyata dia suhu. Bisa-bisanya minum sampai habis banyak ya!" ujar seorang mahas
Setelah membereskan semua barangku dan berpamitan pada ibu, aku pergi dari rumah Kak Lita menuju kontrakan yang sebelumnya sudah di siapkan kemarin oleh Riko. Karena ibu sedang sibuk memasak, dia tidak ikut membantu kepindahanku kesana. Aku naik bis menuju kontrakanku sambil menikmati indahnya jalanan kota. Beberapa panggilan tak terjawab dari Riko tak ku pedulikan lagi. Aku tetap fokus melihat jalanan kota sambil mengenang masa indah bersama Pak Devan. ""Hujan ini akan membuat kita saling mengingat kenangan di hari ini, saya yakin, kamu akan selalu mengingat saya di kala hujan." Ucapnya kala itu. Aku tersadar kembali lalu merutuki diriku sendiri karena tak bisa berhenti memikirkannya. "Dasar bodoh, ngapain masih mikirin orang itu sih Ar!" ujarku sambil menepuk jidatku. Setelah sampai di kostan aku langsung berbaring di tempat tidur. Karena disana sudah tersedia fasilitas yang lengkap. Tok...tok... Tok... Suara ketukan pintu membuatku segera membukanya. Terlihat Riko yang kini
"Ya, kalau begitu kita langsung ke rumah Clara saja sekarang!" kata Pak Devan sambil menarik tanganku. Kemudian kita kembali pergi menuju kediaman Clara di sebuah komplek perumahan elit. Hanya orang tertentu saja yang bisa masuk ke komplek itu karena selain menjaga privasi, itu sudah termasuk aturan di komplek tersebut. "Mohon maaf, anda tidak bisa masuk, lagi pula Mbak Clara juga belum tentu kenal dengan anda." Kata satpam penjaga komplek. "Tapi Pak. Kita perlu bertemu dengan seseorang, dan orang itu temannya Clara. Namaya Riko, bapak pernah bertemu dengan Riko, kan?" jawabku. Dia mengernyitkan dahi sambil mencoba mengingat sesuatu. "Oh, Den Riko ya? Den Riko..." "Riko sudah aku bawa ke rumah sakit!" kata sebuah suara dari arah belakang. Dengan spontan kami menengok ke arahnya bersamaan. "Clara!" ujarku. Di perjalanan menuju rumah sakit dia menceritakan semua kejadian yang di alami Riko. Dengan rasa cemas yang berlebih, tanganku gemetaran, pikiranku sudah kacau entah dimana sa
"Tapi Ar...kamu ini kan belum tahu betul seluk beluk kota Jakarta. Dan lagi, kamu mau mencari pekerjaan kemana?" tanya Ibu. Mendengar pertanyaan itu membuat aku terdiam. Aku memang sedang kebingungan. Tapi aku harus segera bertindak. Tidak mungkin terus-terusan menumpang hidup di rumah kakakku. "Nanti Ardilla pikirkan lagi." Ucapku, lalu aku berjalan memasuki kamarku. Duduk di depan meja belajar sambil melamun. Aku teringat dengan semua kejadian pahit dalam hidupku. Sekarang aku harus bangkit dan membuktikan pada semua orang bahwa aku akan menjadi lebih baik lagi. Dan aku tidak serendah itu. "Mau kemana Ar?" tanya Ibu padaku yang sudah bersiap pergi. "Ardilla mau mencari pekerjaan bu, do'akan ya, semoga Ardilla segera mendapatkan pekerjaan." Ucapku sambil tersenyum. "Hati-hati ya," ucap Ibu sambil mengusap bahuku. Ku lihat wajahnya yang sudah menua itu sambil tersenyum. Dialah yang membuatku kuat menjalani hidup yang pahit. Aku berjalan kesana kemari, memasuki beberapa toko di
"Emangnya lu mau kerja apa dengan jurusan lukis? Lu harus kerja yang sesuai dengan bidang lu. Bikin karya yang bagus, terus lu jual deh ke pasaran." Jawabannya malah membuatku semakin badmood. Kalau di ingat memang benar juga, aku harus mengembangkan karyaku. Tapi setidaknya aku juga ingin bekerja supaya bisa membantu ibu. Yang jadi masalahnya hanya satu, aku sulit mencari pekerjaan. — Temui saya sekarang di 'Restaurant Lalita' — Pesan dari Pak Devan muncul kembali. Tapi aku tidak berniat membalasnya. Dia menelponku berkali-kali membuat aku terpaksa harus mengangkatnya. "Hallo?!" ucapku dengan suara tinggi. "Bisa temui saya sekarang, kan?" katanya. "Saya tidak bisa, saya sedang..." "Sepertinya kamu tidak sedang sibuk, saya tunggu kamu disini!" katanya lagi memotong ucapanku. "Ta-tapi..." Tut... Tut... Tut... Panggilan terputus karena dia mematikan telponnya. "Dasar aneh!" ujarku yang membuat Lena menoleh. "Siapa sih?" tanyanya lagi. "Maaf ya Len, aku harus pergi. Ada urusa
Tanpa menoleh aku menjawabnya. "Itu bukan urusan anda!" jawabku ketus. Pak Devan tertawa kecil. Dia berdiri di sampingku. "Kamu harus lebih berhati-hati sama Riko." Peringatnya. "O, ya, soal foto-foto kamu itu, saya sedang berusaha mencari tahu semuanya. Saya harap kamu lebih bersabar." Katanya lagi. Karena tak ingin berlama-lama mendengar ucapan darinya, aku sengaja menerobos hujan yang begitu deras. Tak peduli jika tubuhku harus basah di guyur air hujan. "Ardilla!" Panggilnya yang tidak aku gubris. ***********Saat aku pulang ke rumah, tiba-tiba saja Riko sudah ada di depan rumahku. Sambil menggelengkan kepalanya dia menyilangkan tangannya. "Habis darimana aja? Aku dari tadi nunggu kamu disini," tanya dia mendekat ke arahku. "Eu...itu...aku..." jawabku sambil mencari alasan yang tepat karena tidak mungkin aku memberitahunya kejadian tadi. Saat sengaja menerobos hujan Pak Devan juga sengaja mengikutiku menerobos hujan sampai seluruh badannya basah. Dia menari
Pak Devan melepaskan pelukkannya setelah aku tenang. Dia menyodorkan sebuah kotak kecil padaku yang baru saja dia rogoh dari saku celananya. "Ini untuk kamu, maaf baru bisa ngasih hari ini," ucapnya, menaruh kotak kecil itu di tanganku, setelahnya pergi meninggalkan aku yang masih terpaku. Hatiku kembali teriris mendapat perlakuan barusan. Bukan karena ucapannya, melainkan karena sikapnya yang semakin membuat aku sulit untuk melupakannya.Segera aku buka kotak kecil yang kini berada di tanganku. Terlihat sebuah cincin putih berlian berbentuk hati yang berkilauan. Ada sebuah surat hasil tulisan tangan di dalamnya. Karena penasaran, aku segera membacanya. ~ Selamat ulang tahun Ardilla, Tolong terima cincin ini dengan baik, dan tolong jangan salah paham. Saya ingin menepati janji saya dahulu saat kita masih menjalin kedekatan. Sekarang janji saya sudah saya tepati. Jadi, jangan mencoba mengembalikan barang ini. Wish you all the best. ~Setelah membaca surat itu hatiku meluluh. Ada ra
"Ardila!" kata Riko yang mengejarku saat aku pergi. "Jangan pergi dulu Ar, dengarkan penjelasan aku dulu, apa yang kamu lihat tadi..." "Yang aku lihat tadi emang kalian sedang berpelukkan, apalagi yang mau di jelaskan, semua emang udah jelas!" balasku kesal, berhenti sejenak lalu berjalan kembali."Gak gitu juga Ar, dengerin aku dulu!" Riko menahan tanganku. Semua orang menatap ke arahku dengan penuh kebencian. "Lihat tuh si plakor, gak ada habisnya ya dia gangguin pacar sama suami orang, dasar gak punya harga diri!" ujar seorang mahasiswi pada temannya. "Mana ada harga diri, kalau udah pacaran sama suami orangkan emang gak ada harga dirinya, ingat ya, karma masih berlaku!" balas temannya lalu mereka pergi. Bukan hanya itu yang membuatku menahan diri untuk pergi. Tapi kejadian itu persis sekali dengan ucapan para tetangga saat mencoba mengusir aku dan ibu waktu lalu. "Ar, kamu baik-baik saja kan?" tanya Riko lagi padaku. Dengan kuat aku melepaskan tangannya yang menggenggam ta
Entah kemana dia pergi, aku tidak begitu melihat ibu. Aku fokus pada lamunanku di masalalu. Sakit memang saat menjalani hubungan tanpa restu orang tua. Apalagi setelah mengetahui bahwa Pak Devan sebenarnya sudah beristri. Duniaku seakan hancur, masa depanku hancur karenanya. Drt... Drt... Drt... Sebuah pesan masuk dari ponselku membuatku segera membacanya. —Ar, kamu udah sampai rumah kan?—Pesan dari Riko sudah ku baca, tapi aku enggan membalasnya. —Balas dong Ar, aku khawatir sama kamu!—Dia kembali mengirim pesan. Lalu menelpon."Hallo," "Ar, kamu baik-baik aja kan?" tanya Riko penuh khawatir. "Iya, aku baik-baik aja!" jawabku meski malas. "Syukurlah kalau baik, jangan tidur malam-malam ya, besok aku kirim sesuatu ke rumah kamu," katanya yang membuat aku penasaran."Sesuatu apa?" tanyaku penasaran. "Lihat aja besok, see you sayang!" ucapnya sambil menutup telpon. Balum saja aku balas, dia sudah menutup telpon. Karena itu aku segera membersihkan diri saja. Lalu bersiap istir