"Saya sudah bilang, saya bisa pulang sendiri!" tegasku sambil melewatinya.
"Ar!" panggil Riko yang di cegah pergi oleh Kakaknya.
*********
Terpaksa aku berjalan kaki karena tidak menemukan angkutan kota. Hari sudah mulai malam, aku berdiri sendiri di pinggir jalan sambil melirik ke arah jalanan. Tidak ada satupun angkot yang lewat ke arah rumahku.
"Mana sih ini angkot, kok gak ada satupun yang lewat?" ujarku.
Tid... Tid... Tid..
Suara klakson mobil terdengar, sebuah mobil berwarna merah berhenti di depanku. Orang itu membuka pintu kaca mobilnya.
"Hai cantik, berapa sekali main?" tanya seorang Om-om yang berada di bagian kemudi. Dia memandangku dari atas sampai bawah lalu berusaha menyentuh tanganku.
"Jangan kurang ajar ya!" bentakku sambil menepis kasar tangannya.
"Baru gitu aja galak, tapi Om lebih suka yang galak loh, yang galak lebih menantang, ehehehe..." katanya, dia keluar dari mobil lalu menarik tanganku untuk memasuki mobilnya.
"Ayok masuk cantik," katanya yang membuat aku berontak ketakutan sampai aku menangis.
"Lepaskan! jangan sentuh saya! Tolooong!" teriakku, tapi dia segera membungkam mulutku.
"Jangan coba-coba teriak atau saya akan melukai kamu! Cepat naik!" ancamnya sambil membawa sesuatu dari mobilnya.
Dengan rasa takut juga cemas yang berlebihan aku menangis mencoba tetap berontak melawannya. Anehnya tidak ada satupun orang yang berusaha menyelamatkan aku meski aku beteriak minta tolong.
Bugh!
Seseorang datang melayangkan sebuah pukulan pada Om itu sampai dia melepas bungkamannya lalu tubuhnya terjatuh ke atas tanah. Ternyata orang itu Pak Devan. Dia memukul wajah pria gempal itu berkali-kali sampai pria itu meminta ampun.
"Jangan pernah sekali-kali anda menyentuhnya, kalau tidak, saya akan habisi anda!" ujar Pak Devan.
"Tolong ampun Pak, jangan pukul saya lagi, ampun!" ujar Om itu, dia berlari menyalakan mobil lalu dengan cepat meninggalkan kami.
Tubuhku masih gemetaran. Aku menangis duduk di pinggir jalan sambil menenggelamkan wajahku di atas lutut. Dengan lembut Pak Devan memelukku. Dia menyandarkan kepalaku di dadanya.
"Jangan takut, dia sudah pergi, biar saya yang antar kamu pulang ya," ucapnya sambil memelukku.
Memang tidak seharusnya aku menerima pelukkannya. Tapi tanpa aku sadari, dialah yang membuat hatiku merasa nyaman dan tenang saat rasa cemas melandaku.
Rasa takut dan cemasku perlahan memudar. Aku bangkit di bantu oleh Pak Devan. Kemudian kami memasuki mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat itu.
Tanganku masih gemetaran. Karena tidak ingin dia khawatir, aku menyembunyikan tanganku di bawah tas. Sambil melihat ke arah jendela air mataku tak habisnya mengalir.
"Malam-malam begini memang rawan sekali bagi seorang wanita keluar malam-malam sendirian, makannya itu tadi saya menawarkan diri untuk mengantar kamu pulang, saya khawatir terjadi sesuatu sama kamu Ar." Kata Pak Devan yang sudah mulai melajukan mobilnya.
Aku hanya diam saja tanpa ingin menjawabnya sedikitpun.
"Apalagi ketika melihat wanita cantik seperti kamu, mereka pasti punya kesempatan untuk berbuat tidak baik sama kamu." Sambungnya lagi.
Kali ini aku menoleh ke arahnya. "Makasih sudah menolong saya, itukan yang anda mau?" ucapku pada Pak Devan.
"Bukan hanya itu yang saya mau, saya ingin kamu kembali pada saya, saya ingin kita seperti dulu, jangan bohongi perasaan kamu sendiri Ardila, saya tahu kamu pasti masih mencintai saya. Dan saya melihat itu dari sorot mata kamu." Jelasnya, lagi-lagi dia menghentikan mobilnya.
"Cukup Pak! Saya tidak ingin menjadi orang ketiga dalam rumah tangga anda, sudah berapakali saya bilang, saya tidak mau menjalin hubungan apapun dengan anda, bagi saya anda hanya masalalu saya, dan hubungan kita hanya sebuah kesalahan." Jawaban itu membuat Pak Devan memandangku tajam.
"Apa maksud kamu, semua itu adalah sebuah kesalahan? Bagi saya hubungan itu sangat berarti Ardila, berbulan-bulan saya mencoba mencari kamu, saya sudah merasa frustasi dengan kepergian kamu. Tapi sekarang kamu bilang hubungan kita sebuah kesalahan?" Kata Pak Devan lagi, dia terlihat menggebu-gebu mengucapkannya.
"Iya, saya menyesal sudah pernah menjalin hubungan dengan anda sampai menyakiti seseorang. Kalau saya tahu anda belum punya istri, saya tidak akan menerima anda sebagai pacar saya Pak, tapi kenapa anda tidak jujur dari awal?" balasku dengan menggebu-gebu.
Setiap kami bertemu pasti akan selalu ada pertengkaran di dalamnya. Kisah masa lalu yang kelam membuatku tidak bisa melupakan kenangan juga kejadian buruk yang terjadi di masalalu yang menimpaku.
"Saya belum menikah saat kita menjalin hubungan. Dan sampai saat ini saya belum..."
"Jangan mengatasnamakan khilaf, saya tidak suka dengan cara anda yang tidak mau di salahkan. Mulai sekarang, jangan pernah temui saya lagi, jangan pernah ganggu hidup saya lagi!" ujarku sambil keluar dari mobilnya.
Pak Devan tidak mengejarku seperti biasa. Meski masih di liputi rasa takut dan trauma akan kejadian tadi, aku memberanikan diri untuk pergi berjalan kaki menuju rumahku.
Tid...tid... Tid...
Dia membunyikan klaksonnya berkali-kali tanpa aku gubris. Aku mempercepat langkahku agar Pak Devan tidak mengejarku lagi.
Tapi, tiba-tiba saja dia muncul, dengan secepat kilat mengangkat tubuhku seperti tengah membawa sekarung beras. Lalu memasukkanku ke dalam mobilnya.
"Jangan bandel!" ujarnya sebelum menutup pintu lalu mengitari mobil untuk duduk di bagian kemudi.
Aku mendengkus kelelahan dengan sikapnya. Tidak adiknya, tidak Kakaknya, mereka sama sekali tidak pernah menyerah mendekatiku.
Karena sangat khawatir dengan keadaanku, Pak Devan mengantarku pulang sampai di depan pintu rumah. Saat ibu membuka pintu, dia terkejut melihat kedatangan kami.
"Kamu darimana aja sih Ar, kok baru pulang? Ibu pikir tadi kamu ada di kamar?" ucap Ibu saat melihatku bersamaan Pak Devan.
"Aku habis..."
"Tadi Ardila habis mengerjakan tugas kampus bersama adik saya, karena tidak ingin dia kenapa-napa jadi saya antar dia pulang sampai rumah." Potong Pak Devan.
"Oh, ya, terimakasih." Jawab Ibu dingin. "Masuklah Ar," kata ibu padaku.
"Dan untuk anda, tolong jangan pernah mengganggu anak saya lagi!" katanya pada Pak Devan sambil menutup pintu dengan keras.
Aku mengerti dengan sikapnya. Beberapa bulan yang lalu kami harus menanggung rasa sakit karena gosip hubunganku dengan Pak Devan yang sudah beredar sampai membuat orang tua Pak Devan mendatangi kami lalu meminta kami segera pergi dari kota itu agar Pak Devan tidak mendekatiku lagi.
Bukan hanya itu, setelah aku mengaku tentang hubunganku dengan Pak Devan yang sudah sangat jauh, ibu sangat marah padaku. Akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke kota menumpang hidup di rumah Kak Lita.
Aku tahu betul rasa sakitnya saat tanpa ampun para tetangga melempar kami dengan telur busuk akibat gosip tentang aku dan Pak Devan yang sudah beristri.
"Ar, kenapa kamu berhubungan lagi sama orang itu? Ibu sudah pernah bilang jangan sampai kamu kembali berhubungan dengan orang itu, ibu gak mau kejadian di masalalu terulang lagi!" kata ibu padaku yang masih menatap kosong duduk di atas kursi.
Gelapnya ruangan yang di hiasi lampu kerlap kerlip dengan suara musik Dj yang kencang membuatku merasa tak nyaman berada di tempat seperti itu. Niat hati ingin bersenang-senang, aku malah mendapati kakakku sendiri yang tengah berjalan sempoyongan di rangkul seorang pria menuju sebuah ruangan. "Kak Lita!" ujarku lalu berlari mengikutinya di susul Riko yang kini berlari bersamaku."Kamu mau kemana Ar, ini ruangan khusus, kamu gak boleh masuk kesana!" cegah Riko sambil menahan bahuku. "Tapi Riko, Kakak aku masuk ke ruangan itu, aku lihat tubuhnya sempoyongan. Aku gak mau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama dia!" ucapku sambil berusaha melepaskan tanganku yang di genggam kuat oleh Riko. "Jangan Ar, aku mohon kamu jangan kesana!" cegahnya lagi. "Lepaskan!" aku berlari setelah melepaskan diri dari Riko lalu dengan kuat mendobrak sebuah pintu yang terdapat Kak Lita bersama seorang laki-laki disana. Setelah pintu terbuka, betapa terkejutnya aku saat melihat Kak Lita yang tengah berada
Entah apa yang di ucapkan Pak Devan di dalam hatinya. Dia menghela nafas, terdiam sejenak sambil melirik ke arahku. Aku bisa membaca sorotan matanya yang mengartikan sesuatu, namun sulit untuk di ungkapkan karena hanya kita yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. ******Tiga puluh menit sudah berlalu, sekarang tinggal aku dan Pak Devan yang berada di dalam mobil. Dia sengaja ingin mengantarku pulang dengan alasan sudah terlalu malam. Dia tidak mengizinkan Riko yang mengantarku pulang berdalih tak ingin sampai kami kembali pergi ke klub malam. "Ternyata kamu juga pindah ke kota ini Ar," ucapnya sambil mengemudikan mobil dengan pandangannya yang lurus ke depan. "Iya," jawabku singkat saja, tanpa menoleh ke arahnya. "Kalian sudah lama pacaran?" tanya dia lagi entah apa motif sebenarnya dia bertanya tentang hubunganku dan Riko. Tak ingin menjawab ucapannya. Aku hanya diam saja. Itu bukanlah hal yang penting bagiku. "Kenapa diam?" tanya dia lagi.
Riko memandang lekat ke arahku. Dia tersenyum setelahnya. "Kamu gak sedang bohong kan? Tapi meski kamu bohong, aku sudah tahu semuanya. Bagaimana jika Mbak Khalisa sampai tahu tentang kedekatan kalian ya? Apa dia masih mau mempertahankan rumah tangganya sama Bang Devan, atau..." Riko tidak melanjutkan ucapannya. Mungkin dia sengaja ingin mempermainkan aku. "Atau apa?" balasku cepat. "Atau dia akan menggugat cerai Bang Devan!" tegas Riko lagi. Mataku melotot mendengarnya. Aku benar-benar sudah di permainkan oleh Riko. Perasaanku berubah seketika. Rasanya gundah gulana. Entah apa yang harus aku lakukan agar Riko bersedia tutup mulut tentang hal itu. Ya, aku dan Pak Devan memang pernah menjalin hubungan asmara sewaktu aku berkuliah di Universitas lamaku. Sampai saat ini memang tidak pernah ada kata 'putus' di antara kami. Tapi, bagiku hubunganku dengannya sudah berakhir apalagi saat aku mengetahui ternyata dia adalah suami orang. "Jangan sampai itu terjadi, aku mohon Riko, kamu jang
"Woi! Ngelamun aja kerjaan lu!" Lena menepuk bahuku yang terasa sakit. Dia duduk di sampingku yang masih merenung. "Len, kamu tahu gak, soal cinta?" tanyaku dengan pandangan lurus ke depan. "Ya gak tahulah, orang belum pernah pacaran, gimana sih lu!" jawabnya. "Aku mau minta pendapat dari kamu, kalau misalkan kita membuat sebuah kesalahan besar sama orang lain, apa dia bisa memaafkan kita kalau secara langsung kita minta maaf sama orang itu?" tanyaku lagi. "Lah, mana ku tahu. Tapi, kayaknya sih dia bakal maafin aja, apalagi kalau lu sambil bawa makanan pas minta maafnya hehehe...." jawabnya setengah bercanda."Ah, kamu ini!" ujarku kesal karena Lena malah menanggapinya dengan bercanda. "Dahlah, mending kita jajan ke kantin dari pada ngelamun, nanti kesambet baru tahu rasa, yuk ah buruan!" ajak Lena sambil menarik tanganku yang pasrah saja mengikutinya. Saat berjalan menuju kantin, aku berpapasan dengan Riko. Dia melirik sekilas ke arahku tanpa sepatah katapun. Biasanya Riko tak
Aku tidak mempedulikan ucapan Kak Lita. Sembari membungkus makanan catering aku membuka pesan yang baru masuk melalui ponselku. — Ar, bisa ke resto sebentar gak? Ada yang mau aku bicarakan. Ini penting. —Begitulah isi pesan darinya. Aku tak langsung menjawab. Karena masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan. Setelah tiga puluh menit berlalu, barulah aku bangkit. Semua pekerjaan sudah selesai. Aku bergegas pergi, sambil berpamitan pada Kak Lita. "Tolong bilang sama ibu, aku pergi ke rumah temen." Kataku pada Kak Lita yang asik memainkan handphonenya. "Sama temen apa sama pacar?" tanyanya. "Temen!" jawabku singkat sambil pergi. **********Sengaja aku memesan taxi online menuju restaurant Riko agar lebih cepat sampai ketimbang berjalan kaki meski jaraknya cukup dekat dengan rumah. Langsung saja aku masuk ke restaurant itu menuju ruangan khusus karena Riko sudah menungguku disana. Baru saja hendak membuka pintu, sebuah suara perempuan terdengar. "Aku