"Saya sudah bilang, saya bisa pulang sendiri!" tegasku sambil melewatinya.
"Ar!" panggil Riko yang di cegah pergi oleh Kakaknya.
*********
Terpaksa aku berjalan kaki karena tidak menemukan angkutan kota. Hari sudah mulai malam, aku berdiri sendiri di pinggir jalan sambil melirik ke arah jalanan. Tidak ada satupun angkot yang lewat ke arah rumahku.
"Mana sih ini angkot, kok gak ada satupun yang lewat?" ujarku.
Tid... Tid... Tid..
Suara klakson mobil terdengar, sebuah mobil berwarna merah berhenti di depanku. Orang itu membuka pintu kaca mobilnya.
"Hai cantik, berapa sekali main?" tanya seorang Om-om yang berada di bagian kemudi. Dia memandangku dari atas sampai bawah lalu berusaha menyentuh tanganku.
"Jangan kurang ajar ya!" bentakku sambil menepis kasar tangannya.
"Baru gitu aja galak, tapi Om lebih suka yang galak loh, yang galak lebih menantang, ehehehe..." katanya, dia keluar dari mobil lalu menarik tanganku untuk memasuki mobilnya.
"Ayok masuk cantik," katanya yang membuat aku berontak ketakutan sampai aku menangis.
"Lepaskan! jangan sentuh saya! Tolooong!" teriakku, tapi dia segera membungkam mulutku.
"Jangan coba-coba teriak atau saya akan melukai kamu! Cepat naik!" ancamnya sambil membawa sesuatu dari mobilnya.
Dengan rasa takut juga cemas yang berlebihan aku menangis mencoba tetap berontak melawannya. Anehnya tidak ada satupun orang yang berusaha menyelamatkan aku meski aku beteriak minta tolong.
Bugh!
Seseorang datang melayangkan sebuah pukulan pada Om itu sampai dia melepas bungkamannya lalu tubuhnya terjatuh ke atas tanah. Ternyata orang itu Pak Devan. Dia memukul wajah pria gempal itu berkali-kali sampai pria itu meminta ampun.
"Jangan pernah sekali-kali anda menyentuhnya, kalau tidak, saya akan habisi anda!" ujar Pak Devan.
"Tolong ampun Pak, jangan pukul saya lagi, ampun!" ujar Om itu, dia berlari menyalakan mobil lalu dengan cepat meninggalkan kami.
Tubuhku masih gemetaran. Aku menangis duduk di pinggir jalan sambil menenggelamkan wajahku di atas lutut. Dengan lembut Pak Devan memelukku. Dia menyandarkan kepalaku di dadanya.
"Jangan takut, dia sudah pergi, biar saya yang antar kamu pulang ya," ucapnya sambil memelukku.
Memang tidak seharusnya aku menerima pelukkannya. Tapi tanpa aku sadari, dialah yang membuat hatiku merasa nyaman dan tenang saat rasa cemas melandaku.
Rasa takut dan cemasku perlahan memudar. Aku bangkit di bantu oleh Pak Devan. Kemudian kami memasuki mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat itu.
Tanganku masih gemetaran. Karena tidak ingin dia khawatir, aku menyembunyikan tanganku di bawah tas. Sambil melihat ke arah jendela air mataku tak habisnya mengalir.
"Malam-malam begini memang rawan sekali bagi seorang wanita keluar malam-malam sendirian, makannya itu tadi saya menawarkan diri untuk mengantar kamu pulang, saya khawatir terjadi sesuatu sama kamu Ar." Kata Pak Devan yang sudah mulai melajukan mobilnya.
Aku hanya diam saja tanpa ingin menjawabnya sedikitpun.
"Apalagi ketika melihat wanita cantik seperti kamu, mereka pasti punya kesempatan untuk berbuat tidak baik sama kamu." Sambungnya lagi.
Kali ini aku menoleh ke arahnya. "Makasih sudah menolong saya, itukan yang anda mau?" ucapku pada Pak Devan.
"Bukan hanya itu yang saya mau, saya ingin kamu kembali pada saya, saya ingin kita seperti dulu, jangan bohongi perasaan kamu sendiri Ardila, saya tahu kamu pasti masih mencintai saya. Dan saya melihat itu dari sorot mata kamu." Jelasnya, lagi-lagi dia menghentikan mobilnya.
"Cukup Pak! Saya tidak ingin menjadi orang ketiga dalam rumah tangga anda, sudah berapakali saya bilang, saya tidak mau menjalin hubungan apapun dengan anda, bagi saya anda hanya masalalu saya, dan hubungan kita hanya sebuah kesalahan." Jawaban itu membuat Pak Devan memandangku tajam.
"Apa maksud kamu, semua itu adalah sebuah kesalahan? Bagi saya hubungan itu sangat berarti Ardila, berbulan-bulan saya mencoba mencari kamu, saya sudah merasa frustasi dengan kepergian kamu. Tapi sekarang kamu bilang hubungan kita sebuah kesalahan?" Kata Pak Devan lagi, dia terlihat menggebu-gebu mengucapkannya.
"Iya, saya menyesal sudah pernah menjalin hubungan dengan anda sampai menyakiti seseorang. Kalau saya tahu anda belum punya istri, saya tidak akan menerima anda sebagai pacar saya Pak, tapi kenapa anda tidak jujur dari awal?" balasku dengan menggebu-gebu.
Setiap kami bertemu pasti akan selalu ada pertengkaran di dalamnya. Kisah masa lalu yang kelam membuatku tidak bisa melupakan kenangan juga kejadian buruk yang terjadi di masalalu yang menimpaku.
"Saya belum menikah saat kita menjalin hubungan. Dan sampai saat ini saya belum..."
"Jangan mengatasnamakan khilaf, saya tidak suka dengan cara anda yang tidak mau di salahkan. Mulai sekarang, jangan pernah temui saya lagi, jangan pernah ganggu hidup saya lagi!" ujarku sambil keluar dari mobilnya.
Pak Devan tidak mengejarku seperti biasa. Meski masih di liputi rasa takut dan trauma akan kejadian tadi, aku memberanikan diri untuk pergi berjalan kaki menuju rumahku.
Tid...tid... Tid...
Dia membunyikan klaksonnya berkali-kali tanpa aku gubris. Aku mempercepat langkahku agar Pak Devan tidak mengejarku lagi.
Tapi, tiba-tiba saja dia muncul, dengan secepat kilat mengangkat tubuhku seperti tengah membawa sekarung beras. Lalu memasukkanku ke dalam mobilnya.
"Jangan bandel!" ujarnya sebelum menutup pintu lalu mengitari mobil untuk duduk di bagian kemudi.
Aku mendengkus kelelahan dengan sikapnya. Tidak adiknya, tidak Kakaknya, mereka sama sekali tidak pernah menyerah mendekatiku.
Karena sangat khawatir dengan keadaanku, Pak Devan mengantarku pulang sampai di depan pintu rumah. Saat ibu membuka pintu, dia terkejut melihat kedatangan kami.
"Kamu darimana aja sih Ar, kok baru pulang? Ibu pikir tadi kamu ada di kamar?" ucap Ibu saat melihatku bersamaan Pak Devan.
"Aku habis..."
"Tadi Ardila habis mengerjakan tugas kampus bersama adik saya, karena tidak ingin dia kenapa-napa jadi saya antar dia pulang sampai rumah." Potong Pak Devan.
"Oh, ya, terimakasih." Jawab Ibu dingin. "Masuklah Ar," kata ibu padaku.
"Dan untuk anda, tolong jangan pernah mengganggu anak saya lagi!" katanya pada Pak Devan sambil menutup pintu dengan keras.
Aku mengerti dengan sikapnya. Beberapa bulan yang lalu kami harus menanggung rasa sakit karena gosip hubunganku dengan Pak Devan yang sudah beredar sampai membuat orang tua Pak Devan mendatangi kami lalu meminta kami segera pergi dari kota itu agar Pak Devan tidak mendekatiku lagi.
Bukan hanya itu, setelah aku mengaku tentang hubunganku dengan Pak Devan yang sudah sangat jauh, ibu sangat marah padaku. Akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke kota menumpang hidup di rumah Kak Lita.
Aku tahu betul rasa sakitnya saat tanpa ampun para tetangga melempar kami dengan telur busuk akibat gosip tentang aku dan Pak Devan yang sudah beristri.
"Ar, kenapa kamu berhubungan lagi sama orang itu? Ibu sudah pernah bilang jangan sampai kamu kembali berhubungan dengan orang itu, ibu gak mau kejadian di masalalu terulang lagi!" kata ibu padaku yang masih menatap kosong duduk di atas kursi.
Entah kemana dia pergi, aku tidak begitu melihat ibu. Aku fokus pada lamunanku di masalalu. Sakit memang saat menjalani hubungan tanpa restu orang tua. Apalagi setelah mengetahui bahwa Pak Devan sebenarnya sudah beristri. Duniaku seakan hancur, masa depanku hancur karenanya. Drt... Drt... Drt... Sebuah pesan masuk dari ponselku membuatku segera membacanya. —Ar, kamu udah sampai rumah kan?—Pesan dari Riko sudah ku baca, tapi aku enggan membalasnya. —Balas dong Ar, aku khawatir sama kamu!—Dia kembali mengirim pesan. Lalu menelpon."Hallo," "Ar, kamu baik-baik aja kan?" tanya Riko penuh khawatir. "Iya, aku baik-baik aja!" jawabku meski malas. "Syukurlah kalau baik, jangan tidur malam-malam ya, besok aku kirim sesuatu ke rumah kamu," katanya yang membuat aku penasaran."Sesuatu apa?" tanyaku penasaran. "Lihat aja besok, see you sayang!" ucapnya sambil menutup telpon. Balum saja aku balas, dia sudah menutup telpon. Karena itu aku segera membersihkan diri saja. Lalu bersiap istir
"Ardila!" kata Riko yang mengejarku saat aku pergi. "Jangan pergi dulu Ar, dengarkan penjelasan aku dulu, apa yang kamu lihat tadi..." "Yang aku lihat tadi emang kalian sedang berpelukkan, apalagi yang mau di jelaskan, semua emang udah jelas!" balasku kesal, berhenti sejenak lalu berjalan kembali."Gak gitu juga Ar, dengerin aku dulu!" Riko menahan tanganku. Semua orang menatap ke arahku dengan penuh kebencian. "Lihat tuh si plakor, gak ada habisnya ya dia gangguin pacar sama suami orang, dasar gak punya harga diri!" ujar seorang mahasiswi pada temannya. "Mana ada harga diri, kalau udah pacaran sama suami orangkan emang gak ada harga dirinya, ingat ya, karma masih berlaku!" balas temannya lalu mereka pergi. Bukan hanya itu yang membuatku menahan diri untuk pergi. Tapi kejadian itu persis sekali dengan ucapan para tetangga saat mencoba mengusir aku dan ibu waktu lalu. "Ar, kamu baik-baik saja kan?" tanya Riko lagi padaku. Dengan kuat aku melepaskan tangannya yang menggenggam ta
Pak Devan melepaskan pelukkannya setelah aku tenang. Dia menyodorkan sebuah kotak kecil padaku yang baru saja dia rogoh dari saku celananya. "Ini untuk kamu, maaf baru bisa ngasih hari ini," ucapnya, menaruh kotak kecil itu di tanganku, setelahnya pergi meninggalkan aku yang masih terpaku. Hatiku kembali teriris mendapat perlakuan barusan. Bukan karena ucapannya, melainkan karena sikapnya yang semakin membuat aku sulit untuk melupakannya.Segera aku buka kotak kecil yang kini berada di tanganku. Terlihat sebuah cincin putih berlian berbentuk hati yang berkilauan. Ada sebuah surat hasil tulisan tangan di dalamnya. Karena penasaran, aku segera membacanya. ~ Selamat ulang tahun Ardilla, Tolong terima cincin ini dengan baik, dan tolong jangan salah paham. Saya ingin menepati janji saya dahulu saat kita masih menjalin kedekatan. Sekarang janji saya sudah saya tepati. Jadi, jangan mencoba mengembalikan barang ini. Wish you all the best. ~Setelah membaca surat itu hatiku meluluh. Ada ra
Tanpa menoleh aku menjawabnya. "Itu bukan urusan anda!" jawabku ketus. Pak Devan tertawa kecil. Dia berdiri di sampingku. "Kamu harus lebih berhati-hati sama Riko." Peringatnya. "O, ya, soal foto-foto kamu itu, saya sedang berusaha mencari tahu semuanya. Saya harap kamu lebih bersabar." Katanya lagi. Karena tak ingin berlama-lama mendengar ucapan darinya, aku sengaja menerobos hujan yang begitu deras. Tak peduli jika tubuhku harus basah di guyur air hujan. "Ardilla!" Panggilnya yang tidak aku gubris. ***********Saat aku pulang ke rumah, tiba-tiba saja Riko sudah ada di depan rumahku. Sambil menggelengkan kepalanya dia menyilangkan tangannya. "Habis darimana aja? Aku dari tadi nunggu kamu disini," tanya dia mendekat ke arahku. "Eu...itu...aku..." jawabku sambil mencari alasan yang tepat karena tidak mungkin aku memberitahunya kejadian tadi. Saat sengaja menerobos hujan Pak Devan juga sengaja mengikutiku menerobos hujan sampai seluruh badannya basah. Dia menari
"Emangnya lu mau kerja apa dengan jurusan lukis? Lu harus kerja yang sesuai dengan bidang lu. Bikin karya yang bagus, terus lu jual deh ke pasaran." Jawabannya malah membuatku semakin badmood. Kalau di ingat memang benar juga, aku harus mengembangkan karyaku. Tapi setidaknya aku juga ingin bekerja supaya bisa membantu ibu. Yang jadi masalahnya hanya satu, aku sulit mencari pekerjaan. — Temui saya sekarang di 'Restaurant Lalita' — Pesan dari Pak Devan muncul kembali. Tapi aku tidak berniat membalasnya. Dia menelponku berkali-kali membuat aku terpaksa harus mengangkatnya. "Hallo?!" ucapku dengan suara tinggi. "Bisa temui saya sekarang, kan?" katanya. "Saya tidak bisa, saya sedang..." "Sepertinya kamu tidak sedang sibuk, saya tunggu kamu disini!" katanya lagi memotong ucapanku. "Ta-tapi..." Tut... Tut... Tut... Panggilan terputus karena dia mematikan telponnya. "Dasar aneh!" ujarku yang membuat Lena menoleh. "Siapa sih?" tanyanya lagi. "Maaf ya Len, aku harus pergi. Ada urusa
"Tapi Ar...kamu ini kan belum tahu betul seluk beluk kota Jakarta. Dan lagi, kamu mau mencari pekerjaan kemana?" tanya Ibu. Mendengar pertanyaan itu membuat aku terdiam. Aku memang sedang kebingungan. Tapi aku harus segera bertindak. Tidak mungkin terus-terusan menumpang hidup di rumah kakakku. "Nanti Ardilla pikirkan lagi." Ucapku, lalu aku berjalan memasuki kamarku. Duduk di depan meja belajar sambil melamun. Aku teringat dengan semua kejadian pahit dalam hidupku. Sekarang aku harus bangkit dan membuktikan pada semua orang bahwa aku akan menjadi lebih baik lagi. Dan aku tidak serendah itu. "Mau kemana Ar?" tanya Ibu padaku yang sudah bersiap pergi. "Ardilla mau mencari pekerjaan bu, do'akan ya, semoga Ardilla segera mendapatkan pekerjaan." Ucapku sambil tersenyum. "Hati-hati ya," ucap Ibu sambil mengusap bahuku. Ku lihat wajahnya yang sudah menua itu sambil tersenyum. Dialah yang membuatku kuat menjalani hidup yang pahit. Aku berjalan kesana kemari, memasuki beberapa toko di
"Ya, kalau begitu kita langsung ke rumah Clara saja sekarang!" kata Pak Devan sambil menarik tanganku. Kemudian kita kembali pergi menuju kediaman Clara di sebuah komplek perumahan elit. Hanya orang tertentu saja yang bisa masuk ke komplek itu karena selain menjaga privasi, itu sudah termasuk aturan di komplek tersebut. "Mohon maaf, anda tidak bisa masuk, lagi pula Mbak Clara juga belum tentu kenal dengan anda." Kata satpam penjaga komplek. "Tapi Pak. Kita perlu bertemu dengan seseorang, dan orang itu temannya Clara. Namaya Riko, bapak pernah bertemu dengan Riko, kan?" jawabku. Dia mengernyitkan dahi sambil mencoba mengingat sesuatu. "Oh, Den Riko ya? Den Riko..." "Riko sudah aku bawa ke rumah sakit!" kata sebuah suara dari arah belakang. Dengan spontan kami menengok ke arahnya bersamaan. "Clara!" ujarku. Di perjalanan menuju rumah sakit dia menceritakan semua kejadian yang di alami Riko. Dengan rasa cemas yang berlebih, tanganku gemetaran, pikiranku sudah kacau entah dimana sa
Setelah membereskan semua barangku dan berpamitan pada ibu, aku pergi dari rumah Kak Lita menuju kontrakan yang sebelumnya sudah di siapkan kemarin oleh Riko. Karena ibu sedang sibuk memasak, dia tidak ikut membantu kepindahanku kesana. Aku naik bis menuju kontrakanku sambil menikmati indahnya jalanan kota. Beberapa panggilan tak terjawab dari Riko tak ku pedulikan lagi. Aku tetap fokus melihat jalanan kota sambil mengenang masa indah bersama Pak Devan. ""Hujan ini akan membuat kita saling mengingat kenangan di hari ini, saya yakin, kamu akan selalu mengingat saya di kala hujan." Ucapnya kala itu. Aku tersadar kembali lalu merutuki diriku sendiri karena tak bisa berhenti memikirkannya. "Dasar bodoh, ngapain masih mikirin orang itu sih Ar!" ujarku sambil menepuk jidatku. Setelah sampai di kostan aku langsung berbaring di tempat tidur. Karena disana sudah tersedia fasilitas yang lengkap. Tok...tok... Tok... Suara ketukan pintu membuatku segera membukanya. Terlihat Riko yang kini
Aku menutup wajahku dengan selimut. Merutuki diri sendiri dalam hati karena sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal untuk kedua kalinya. Tidak seharusnya aku terjebak dengan ucapan Erista. Dan tidak seharusnya aku melakukannya bersama Pak Devan yang bahkan sudah menjadi suami orang. "Sudahlah Ar, semua sudah terjadi. Maka dari itu saya akan bertanggung jawab atas semua perbuatan saya sekarang, dan perbuatan saya di masalalu sama kamu." Katanya dengan entengnya. Entah apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa berkata apapun lagi. Sengaja hanya diam. Menarik selimut untuk menutupi tubuh, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya aku pergi meninggalkan Pak Devan tanpa sepatah katapun. ***********Saat berjalan di lorong kampus, semu orang memandang ke arahku. Mereka berbisik membicarakan soal aku yang memerima tantangan Erista semalam. "Aku pikir cupu, ternyata dia suhu. Bisa-bisanya minum sampai habis banyak ya!" ujar seorang mahas
Setelah membereskan semua barangku dan berpamitan pada ibu, aku pergi dari rumah Kak Lita menuju kontrakan yang sebelumnya sudah di siapkan kemarin oleh Riko. Karena ibu sedang sibuk memasak, dia tidak ikut membantu kepindahanku kesana. Aku naik bis menuju kontrakanku sambil menikmati indahnya jalanan kota. Beberapa panggilan tak terjawab dari Riko tak ku pedulikan lagi. Aku tetap fokus melihat jalanan kota sambil mengenang masa indah bersama Pak Devan. ""Hujan ini akan membuat kita saling mengingat kenangan di hari ini, saya yakin, kamu akan selalu mengingat saya di kala hujan." Ucapnya kala itu. Aku tersadar kembali lalu merutuki diriku sendiri karena tak bisa berhenti memikirkannya. "Dasar bodoh, ngapain masih mikirin orang itu sih Ar!" ujarku sambil menepuk jidatku. Setelah sampai di kostan aku langsung berbaring di tempat tidur. Karena disana sudah tersedia fasilitas yang lengkap. Tok...tok... Tok... Suara ketukan pintu membuatku segera membukanya. Terlihat Riko yang kini
"Ya, kalau begitu kita langsung ke rumah Clara saja sekarang!" kata Pak Devan sambil menarik tanganku. Kemudian kita kembali pergi menuju kediaman Clara di sebuah komplek perumahan elit. Hanya orang tertentu saja yang bisa masuk ke komplek itu karena selain menjaga privasi, itu sudah termasuk aturan di komplek tersebut. "Mohon maaf, anda tidak bisa masuk, lagi pula Mbak Clara juga belum tentu kenal dengan anda." Kata satpam penjaga komplek. "Tapi Pak. Kita perlu bertemu dengan seseorang, dan orang itu temannya Clara. Namaya Riko, bapak pernah bertemu dengan Riko, kan?" jawabku. Dia mengernyitkan dahi sambil mencoba mengingat sesuatu. "Oh, Den Riko ya? Den Riko..." "Riko sudah aku bawa ke rumah sakit!" kata sebuah suara dari arah belakang. Dengan spontan kami menengok ke arahnya bersamaan. "Clara!" ujarku. Di perjalanan menuju rumah sakit dia menceritakan semua kejadian yang di alami Riko. Dengan rasa cemas yang berlebih, tanganku gemetaran, pikiranku sudah kacau entah dimana sa
"Tapi Ar...kamu ini kan belum tahu betul seluk beluk kota Jakarta. Dan lagi, kamu mau mencari pekerjaan kemana?" tanya Ibu. Mendengar pertanyaan itu membuat aku terdiam. Aku memang sedang kebingungan. Tapi aku harus segera bertindak. Tidak mungkin terus-terusan menumpang hidup di rumah kakakku. "Nanti Ardilla pikirkan lagi." Ucapku, lalu aku berjalan memasuki kamarku. Duduk di depan meja belajar sambil melamun. Aku teringat dengan semua kejadian pahit dalam hidupku. Sekarang aku harus bangkit dan membuktikan pada semua orang bahwa aku akan menjadi lebih baik lagi. Dan aku tidak serendah itu. "Mau kemana Ar?" tanya Ibu padaku yang sudah bersiap pergi. "Ardilla mau mencari pekerjaan bu, do'akan ya, semoga Ardilla segera mendapatkan pekerjaan." Ucapku sambil tersenyum. "Hati-hati ya," ucap Ibu sambil mengusap bahuku. Ku lihat wajahnya yang sudah menua itu sambil tersenyum. Dialah yang membuatku kuat menjalani hidup yang pahit. Aku berjalan kesana kemari, memasuki beberapa toko di
"Emangnya lu mau kerja apa dengan jurusan lukis? Lu harus kerja yang sesuai dengan bidang lu. Bikin karya yang bagus, terus lu jual deh ke pasaran." Jawabannya malah membuatku semakin badmood. Kalau di ingat memang benar juga, aku harus mengembangkan karyaku. Tapi setidaknya aku juga ingin bekerja supaya bisa membantu ibu. Yang jadi masalahnya hanya satu, aku sulit mencari pekerjaan. — Temui saya sekarang di 'Restaurant Lalita' — Pesan dari Pak Devan muncul kembali. Tapi aku tidak berniat membalasnya. Dia menelponku berkali-kali membuat aku terpaksa harus mengangkatnya. "Hallo?!" ucapku dengan suara tinggi. "Bisa temui saya sekarang, kan?" katanya. "Saya tidak bisa, saya sedang..." "Sepertinya kamu tidak sedang sibuk, saya tunggu kamu disini!" katanya lagi memotong ucapanku. "Ta-tapi..." Tut... Tut... Tut... Panggilan terputus karena dia mematikan telponnya. "Dasar aneh!" ujarku yang membuat Lena menoleh. "Siapa sih?" tanyanya lagi. "Maaf ya Len, aku harus pergi. Ada urusa
Tanpa menoleh aku menjawabnya. "Itu bukan urusan anda!" jawabku ketus. Pak Devan tertawa kecil. Dia berdiri di sampingku. "Kamu harus lebih berhati-hati sama Riko." Peringatnya. "O, ya, soal foto-foto kamu itu, saya sedang berusaha mencari tahu semuanya. Saya harap kamu lebih bersabar." Katanya lagi. Karena tak ingin berlama-lama mendengar ucapan darinya, aku sengaja menerobos hujan yang begitu deras. Tak peduli jika tubuhku harus basah di guyur air hujan. "Ardilla!" Panggilnya yang tidak aku gubris. ***********Saat aku pulang ke rumah, tiba-tiba saja Riko sudah ada di depan rumahku. Sambil menggelengkan kepalanya dia menyilangkan tangannya. "Habis darimana aja? Aku dari tadi nunggu kamu disini," tanya dia mendekat ke arahku. "Eu...itu...aku..." jawabku sambil mencari alasan yang tepat karena tidak mungkin aku memberitahunya kejadian tadi. Saat sengaja menerobos hujan Pak Devan juga sengaja mengikutiku menerobos hujan sampai seluruh badannya basah. Dia menari
Pak Devan melepaskan pelukkannya setelah aku tenang. Dia menyodorkan sebuah kotak kecil padaku yang baru saja dia rogoh dari saku celananya. "Ini untuk kamu, maaf baru bisa ngasih hari ini," ucapnya, menaruh kotak kecil itu di tanganku, setelahnya pergi meninggalkan aku yang masih terpaku. Hatiku kembali teriris mendapat perlakuan barusan. Bukan karena ucapannya, melainkan karena sikapnya yang semakin membuat aku sulit untuk melupakannya.Segera aku buka kotak kecil yang kini berada di tanganku. Terlihat sebuah cincin putih berlian berbentuk hati yang berkilauan. Ada sebuah surat hasil tulisan tangan di dalamnya. Karena penasaran, aku segera membacanya. ~ Selamat ulang tahun Ardilla, Tolong terima cincin ini dengan baik, dan tolong jangan salah paham. Saya ingin menepati janji saya dahulu saat kita masih menjalin kedekatan. Sekarang janji saya sudah saya tepati. Jadi, jangan mencoba mengembalikan barang ini. Wish you all the best. ~Setelah membaca surat itu hatiku meluluh. Ada ra
"Ardila!" kata Riko yang mengejarku saat aku pergi. "Jangan pergi dulu Ar, dengarkan penjelasan aku dulu, apa yang kamu lihat tadi..." "Yang aku lihat tadi emang kalian sedang berpelukkan, apalagi yang mau di jelaskan, semua emang udah jelas!" balasku kesal, berhenti sejenak lalu berjalan kembali."Gak gitu juga Ar, dengerin aku dulu!" Riko menahan tanganku. Semua orang menatap ke arahku dengan penuh kebencian. "Lihat tuh si plakor, gak ada habisnya ya dia gangguin pacar sama suami orang, dasar gak punya harga diri!" ujar seorang mahasiswi pada temannya. "Mana ada harga diri, kalau udah pacaran sama suami orangkan emang gak ada harga dirinya, ingat ya, karma masih berlaku!" balas temannya lalu mereka pergi. Bukan hanya itu yang membuatku menahan diri untuk pergi. Tapi kejadian itu persis sekali dengan ucapan para tetangga saat mencoba mengusir aku dan ibu waktu lalu. "Ar, kamu baik-baik saja kan?" tanya Riko lagi padaku. Dengan kuat aku melepaskan tangannya yang menggenggam ta
Entah kemana dia pergi, aku tidak begitu melihat ibu. Aku fokus pada lamunanku di masalalu. Sakit memang saat menjalani hubungan tanpa restu orang tua. Apalagi setelah mengetahui bahwa Pak Devan sebenarnya sudah beristri. Duniaku seakan hancur, masa depanku hancur karenanya. Drt... Drt... Drt... Sebuah pesan masuk dari ponselku membuatku segera membacanya. —Ar, kamu udah sampai rumah kan?—Pesan dari Riko sudah ku baca, tapi aku enggan membalasnya. —Balas dong Ar, aku khawatir sama kamu!—Dia kembali mengirim pesan. Lalu menelpon."Hallo," "Ar, kamu baik-baik aja kan?" tanya Riko penuh khawatir. "Iya, aku baik-baik aja!" jawabku meski malas. "Syukurlah kalau baik, jangan tidur malam-malam ya, besok aku kirim sesuatu ke rumah kamu," katanya yang membuat aku penasaran."Sesuatu apa?" tanyaku penasaran. "Lihat aja besok, see you sayang!" ucapnya sambil menutup telpon. Balum saja aku balas, dia sudah menutup telpon. Karena itu aku segera membersihkan diri saja. Lalu bersiap istir