Entah apa yang di ucapkan Pak Devan di dalam hatinya. Dia menghela nafas, terdiam sejenak sambil melirik ke arahku. Aku bisa membaca sorotan matanya yang mengartikan sesuatu, namun sulit untuk di ungkapkan karena hanya kita yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu.
******
Tiga puluh menit sudah berlalu, sekarang tinggal aku dan Pak Devan yang berada di dalam mobil. Dia sengaja ingin mengantarku pulang dengan alasan sudah terlalu malam. Dia tidak mengizinkan Riko yang mengantarku pulang berdalih tak ingin sampai kami kembali pergi ke klub malam.
"Ternyata kamu juga pindah ke kota ini Ar," ucapnya sambil mengemudikan mobil dengan pandangannya yang lurus ke depan.
"Iya," jawabku singkat saja, tanpa menoleh ke arahnya.
"Kalian sudah lama pacaran?" tanya dia lagi entah apa motif sebenarnya dia bertanya tentang hubunganku dan Riko.
Tak ingin menjawab ucapannya. Aku hanya diam saja. Itu bukanlah hal yang penting bagiku.
"Kenapa diam?" tanya dia lagi. Kali ini Pak Devan melirik ke arahku, lalu menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Loh, kok berhenti?" aku balik bertanya.
"Kamu belum menjawab pertanyaan dari saya, sudah berapa lama kalian pacaran dan apa saja yang sudah kalian lakukan selama pacaran?" pertanyaan itu begitu menyinggung, aku memandang tajam ke arahnya dengan air mata yang hampir saja jatuh.
"Anda tidak perlu tahu apa saja yang saya lakukan bersama Riko, dan anda tidak berhak tahu tentang hubungan kami, karena anda bukan siapa-siapa saya!" ujarku sambil membuka pintu mobil lalu keluar darisana.
"Ardila!" panggilnya, dia mengikutiku yang berjalan sambil menghapus air mata.
Aku tetap berjalan, mengabaikan panggilannya. Tapi dengan secepat kilat dia menangkap tanganku, lalu memeluk tubuhku dengan eurat.
"Jangan pergi!" ucapnya.
Meski aku berontak tak lantas membuatnya melepas pelukan. "Lepaskan saya!" ujarku kesal.
"Saya gak akan melepaskan kamu sebelum kamu berjanji pada saya," ucap Pak Devan yang begitu mencurigakan.
"Janji apa sih Pak, jangan begini, lepaskan saya!" aku tidak tahan lagi, tapi tenaganya lebih kuat dariku.
"Janji kalau kamu tidak akan pernah meninggalkan saya lagi," ucapnya tiba-tiba yang membuatku seketika berhenti berontak.
Kami saling berpandangan satu sama lain di tengah dinginnya malam, di tengah riuhnya kendaraan yang berlalu lalang lewat di jalanan.
"Lepaskan!" kataku lagi memberontak, kali ini aku tidak bisa melihat matanya.
"Lihat mata saya Ardila, saya yakin, kamu masih sangat mencintai saya, benarkan?" tanya dia lagi mempereurat pelukkannya.
"Jangan sok kepedean, lebih baik Bapak lepaskan saya, malu di lihat orang!" ujarku berusaha menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya.
Pelukkan Pak Devan melonggar. Dia melepaskan pekukannya. Matanya yang berwarna kecoklatan itu memandang lekat ke arahku. Dia terdiam sejenak.
"Saya antar kamu pulang, dan jangan ngebantah!" ujarnya kemudian sambil menarik tanganku berjalan menuju mobilnya.
*******
Saat berada di kampus, aku tidak fokus belajar. Kejadian semalam sungguh mengganngu pikiranku. Bertemu dengan Pak Devan kembali membuat hatiku merasa gelisah.
"Ardila! kalau mau melamun mending di luar saja, ini waktunya belajar!" tegur Pak Radit yang membuat semua teman sekelas menyoraki aku.
"Maaf, Pak!" jawabku.
Setelah jam kuliahku selesai, aku berjalan menuju lorong kampus yang begitu sepi. Entah kenapa seketika pikiranku kembali pada kejadian waktu lalu yang pernah aku alami bersama Pak Devan.
Waktu itu kami sering sekali ketemuan di lorong kampus yang sepi untuk menghindari gosip tentang kedekatan kami. Tidak ada satupun orang yang mengetahui tentang hubungan kami kecuali ibuku.
"Hallo, sayang," ucap Pak Devan saat melihatku berjalan ke arahnya.
Sambil tersenyum aku berjalan. Menengok kesana kemari takut ketahuan orang. "Hallo juga sayang," balasku sambil tersenyum simpul padanya.
Dalam lamunanku aku tersenyum sendiri mengingat kenangan indah bersamanya. Tapi seketika senyuman itu memudar saat aku tersadar seharusnya aku tidak mengingatnya kembali.
"Ar..." panggilan seseorang membuat aku menoleh ke arahnya.
"Pak Devan!" ujarku terkejut, lalu menepuk kedua pipiku membuat pria itu mengernyitkan dahinya. "Ini bukan mimpi, kan?" ucap batinku.
"Kenapa Ar? kok kamu malah tepuk pipi segala?" tanya dia heran.
"Eu... Enggak, saya gak apa-apa," jawabku sambil menunduk.
"For your information, mulai hari ini saya akan mengajar di kampus ini." Jelasnya padaku.
Aku mengangkat wajahku, "Saya gak nanya!" ucapku sambil pergi meninggalkannya.
"Tunggu Ardila!" lagi Pak Devan menangkap tanganku sampai tubuhku menghadap padanya.
Lagi-lagi kami saling bertatapan. Ada rasa yang tidak bisa di ungkapkan. Aku berusaha melepaskan tangannya. Tapi Pak Devan berusaha menggenggam tanganku dengan kuat.
"Lepaskan tangan saya!" ujarku kesal.
Riko datang lalu menarik tanganku dari genggaman Kakaknya.
"Lepaskan tangan dia!" kata Riko.
"Apa urusannya sama kamu?" tanya Pak Devan.
"Dia pacarku, jadi siapapun yang mengganggu dia akan berurusan sama aku!" jawab Riko tegas sekali.
Pak Devan menoleh ke arahnya. Lalu melepaskan tanganku. Kali ini dia mengalah. Dia pergi tanpa sepatah katapun meninggalkan kami. Sedangkan Riko terlihat khawatir padaku.
Aku jadi merasa tidak enak. Merasa terjebak diantara dua saudara yang meresahkan.
"Kamu gak di apa-apain kan sama dia?" tanya Riko padaku.
"Enggak Kok," jawabku singkat, kemudian kita pergi berjalan kaki menuju rumahku karena jam kuliahku sudah selesai.
Drt... Drt... Drt...
Bunyi panggilan yang bergetar dari handphone Riko dia abaikan begitu saja. Aku menoleh ke arah Riko sambil berjalan. Merasa heran dengan tingkahnya yang gelagapan. Entah apa yang sedang dia sembunyikan dariku.
"Kenapa gak diangkat?" tanyaku penasaran.
"Eu... gak apa-apa, paling juga telpon gak penting. O, iya Ar, malam ini kamu sibuk gak?" tanya Riko mengalihkan pembicaraan.
"Iya, aku sibuk, aku mau cari kerjaan nanti malam." Jawabku singkat.
"Gimana kalau sekarang aja kita cari kerjaannya." Usulnya sambil tersenyum.
"Sekarang? emang kamu mau ajak aku cari kerja kemana jam segini?" tanyaku balik.
"Ikut aku!" Riko menarik tanganku berjalan mengimbangi langkahnya.
Kami masuk ke dalam mobilnya. Meski tak tahu akan di bawa kemana, aku menurut saja. Siapa tahu dia memang akan memberikan pekerjaan untukku.
Setelah beberapa menit dia menghentikan mobilnya di sebuah restaurant. Riko keluar dari mobil terlebih dahulu, lalu membukakan pintu mobil untukku.
Kami berjalan menuju restauran yang begitu asing bagiku. Di sana ada beberapa karyawan yang menyapa Riko seakan mereka sudah tak asing lagi padanya.
"Hallo Selamat siang Pak Riko," ucap mereka.
"Hallo," dengan ramah Riko melambai membalas mereka.
Dia mengajakku memasuki sebuah ruangan. Lalu kami duduk di atas sofa.
"Arin! tolong ambilkan dua gelas kopi buat aku sama ayangku!" teriak Riko pada salah satu karyawan.
Aku mengernyitkan dahi saat mendengar kata terakhir yang dia ucapkan. Aku tidak merasa kita memiliki hubungan lebih dari sekedar teman. Tapi kenapa dia menyebutku dengan panggilan itu yang membuat kupingku geli mendengarnya.
"Kenapa?" tanya dia yang wajahnya terlalu dekat denganku.
Dengan cepat aku menahan bahunya agar dia menjaga jarak. "Maksud kamu apa? kita tidak lebih dari sekedar teman Riko, jadi jangan biarkan mereka semua beranggapan berbeda tentang kita," ucapku.
"Kenapa kamu selalu lebih suka pacaran backstreet dari pada terbuka?" tanya Riko tiba-tiba.
Saat mendengar pertanyaan itu membuat aku teringat kembali dengan kejadian di masalalu bersama Pak Devan. Ya, kami memang pernah menjalin kedekatan. Bahkan Pak Devan dan aku menjalani hubungan backtreet tanpa seorangpun yang tahu.
"Aku tahu, kamu pernah menjalin hubungan sama Bang Devan kan?" tanya Riko lagi. Pertanyaan itu membuat jantungku berdebar lebih cepat. Rasanya jantungku mau copot di buatnya.
Bagaimana bisa dia tiba-tiba saja mengetahui hal itu. Padahal selama ini aku selalu mewanti-wanti Pak Devan agar tidak ada seorangpun yang tahu tentang hubungan kita.
"Eu...itu tidak benar, aku tidak pernah menjalin hubungan apapun sama Pak Devan, kami hanya sebatas Dosen dan mahasiswa pada umumnya, tidak lebih dari itu. Aku dekat sama Pak Devan karena aku menjadi asisten dia sewaktu di kampus lama." Jelasku, dengan terpaksa aku berbohong pada Riko.
Riko memandang lekat ke arahku. Dia tersenyum setelahnya. "Kamu gak sedang bohong kan? Tapi meski kamu bohong, aku sudah tahu semuanya. Bagaimana jika Mbak Khalisa sampai tahu tentang kedekatan kalian ya? Apa dia masih mau mempertahankan rumah tangganya sama Bang Devan, atau..." Riko tidak melanjutkan ucapannya. Mungkin dia sengaja ingin mempermainkan aku. "Atau apa?" balasku cepat. "Atau dia akan menggugat cerai Bang Devan!" tegas Riko lagi. Mataku melotot mendengarnya. Aku benar-benar sudah di permainkan oleh Riko. Perasaanku berubah seketika. Rasanya gundah gulana. Entah apa yang harus aku lakukan agar Riko bersedia tutup mulut tentang hal itu. Ya, aku dan Pak Devan memang pernah menjalin hubungan asmara sewaktu aku berkuliah di Universitas lamaku. Sampai saat ini memang tidak pernah ada kata 'putus' di antara kami. Tapi, bagiku hubunganku dengannya sudah berakhir apalagi saat aku mengetahui ternyata dia adalah suami orang. "Jangan sampai itu terjadi, aku mohon Riko, kamu jang
"Woi! Ngelamun aja kerjaan lu!" Lena menepuk bahuku yang terasa sakit. Dia duduk di sampingku yang masih merenung. "Len, kamu tahu gak, soal cinta?" tanyaku dengan pandangan lurus ke depan. "Ya gak tahulah, orang belum pernah pacaran, gimana sih lu!" jawabnya. "Aku mau minta pendapat dari kamu, kalau misalkan kita membuat sebuah kesalahan besar sama orang lain, apa dia bisa memaafkan kita kalau secara langsung kita minta maaf sama orang itu?" tanyaku lagi. "Lah, mana ku tahu. Tapi, kayaknya sih dia bakal maafin aja, apalagi kalau lu sambil bawa makanan pas minta maafnya hehehe...." jawabnya setengah bercanda."Ah, kamu ini!" ujarku kesal karena Lena malah menanggapinya dengan bercanda. "Dahlah, mending kita jajan ke kantin dari pada ngelamun, nanti kesambet baru tahu rasa, yuk ah buruan!" ajak Lena sambil menarik tanganku yang pasrah saja mengikutinya. Saat berjalan menuju kantin, aku berpapasan dengan Riko. Dia melirik sekilas ke arahku tanpa sepatah katapun. Biasanya Riko tak
Aku tidak mempedulikan ucapan Kak Lita. Sembari membungkus makanan catering aku membuka pesan yang baru masuk melalui ponselku. — Ar, bisa ke resto sebentar gak? Ada yang mau aku bicarakan. Ini penting. —Begitulah isi pesan darinya. Aku tak langsung menjawab. Karena masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan. Setelah tiga puluh menit berlalu, barulah aku bangkit. Semua pekerjaan sudah selesai. Aku bergegas pergi, sambil berpamitan pada Kak Lita. "Tolong bilang sama ibu, aku pergi ke rumah temen." Kataku pada Kak Lita yang asik memainkan handphonenya. "Sama temen apa sama pacar?" tanyanya. "Temen!" jawabku singkat sambil pergi. **********Sengaja aku memesan taxi online menuju restaurant Riko agar lebih cepat sampai ketimbang berjalan kaki meski jaraknya cukup dekat dengan rumah. Langsung saja aku masuk ke restaurant itu menuju ruangan khusus karena Riko sudah menungguku disana. Baru saja hendak membuka pintu, sebuah suara perempuan terdengar. "Aku
"Saya sudah bilang, saya bisa pulang sendiri!" tegasku sambil melewatinya. "Ar!" panggil Riko yang di cegah pergi oleh Kakaknya. *********Terpaksa aku berjalan kaki karena tidak menemukan angkutan kota. Hari sudah mulai malam, aku berdiri sendiri di pinggir jalan sambil melirik ke arah jalanan. Tidak ada satupun angkot yang lewat ke arah rumahku. "Mana sih ini angkot, kok gak ada satupun yang lewat?" ujarku. Tid... Tid... Tid..Suara klakson mobil terdengar, sebuah mobil berwarna merah berhenti di depanku. Orang itu membuka pintu kaca mobilnya. "Hai cantik, berapa sekali main?" tanya seorang Om-om yang berada di bagian kemudi. Dia memandangku dari atas sampai bawah lalu berusaha menyentuh tanganku. "Jangan kurang ajar ya!" bentakku sambil menepis kasar tangannya. "Baru gitu aja galak, tapi Om lebih suka yang galak loh, yang galak lebih menantang, ehehehe..." katanya, dia keluar dari mobil lalu menarik tanganku untuk memasuki mobilnya. "Ayok masuk can
Entah kemana dia pergi, aku tidak begitu melihat ibu. Aku fokus pada lamunanku di masalalu. Sakit memang saat menjalani hubungan tanpa restu orang tua. Apalagi setelah mengetahui bahwa Pak Devan sebenarnya sudah beristri. Duniaku seakan hancur, masa depanku hancur karenanya. Drt... Drt... Drt... Sebuah pesan masuk dari ponselku membuatku segera membacanya. —Ar, kamu udah sampai rumah kan?—Pesan dari Riko sudah ku baca, tapi aku enggan membalasnya. —Balas dong Ar, aku khawatir sama kamu!—Dia kembali mengirim pesan. Lalu menelpon."Hallo," "Ar, kamu baik-baik aja kan?" tanya Riko penuh khawatir. "Iya, aku baik-baik aja!" jawabku meski malas. "Syukurlah kalau baik, jangan tidur malam-malam ya, besok aku kirim sesuatu ke rumah kamu," katanya yang membuat aku penasaran."Sesuatu apa?" tanyaku penasaran. "Lihat aja besok, see you sayang!" ucapnya sambil menutup telpon. Balum saja aku balas, dia sudah menutup telpon. Karena itu aku segera membersihkan diri saja. Lalu bersiap istir
"Ardila!" kata Riko yang mengejarku saat aku pergi. "Jangan pergi dulu Ar, dengarkan penjelasan aku dulu, apa yang kamu lihat tadi..." "Yang aku lihat tadi emang kalian sedang berpelukkan, apalagi yang mau di jelaskan, semua emang udah jelas!" balasku kesal, berhenti sejenak lalu berjalan kembali."Gak gitu juga Ar, dengerin aku dulu!" Riko menahan tanganku. Semua orang menatap ke arahku dengan penuh kebencian. "Lihat tuh si plakor, gak ada habisnya ya dia gangguin pacar sama suami orang, dasar gak punya harga diri!" ujar seorang mahasiswi pada temannya. "Mana ada harga diri, kalau udah pacaran sama suami orangkan emang gak ada harga dirinya, ingat ya, karma masih berlaku!" balas temannya lalu mereka pergi. Bukan hanya itu yang membuatku menahan diri untuk pergi. Tapi kejadian itu persis sekali dengan ucapan para tetangga saat mencoba mengusir aku dan ibu waktu lalu. "Ar, kamu baik-baik saja kan?" tanya Riko lagi padaku. Dengan kuat aku melepaskan tangannya yang menggenggam ta
Pak Devan melepaskan pelukkannya setelah aku tenang. Dia menyodorkan sebuah kotak kecil padaku yang baru saja dia rogoh dari saku celananya. "Ini untuk kamu, maaf baru bisa ngasih hari ini," ucapnya, menaruh kotak kecil itu di tanganku, setelahnya pergi meninggalkan aku yang masih terpaku. Hatiku kembali teriris mendapat perlakuan barusan. Bukan karena ucapannya, melainkan karena sikapnya yang semakin membuat aku sulit untuk melupakannya.Segera aku buka kotak kecil yang kini berada di tanganku. Terlihat sebuah cincin putih berlian berbentuk hati yang berkilauan. Ada sebuah surat hasil tulisan tangan di dalamnya. Karena penasaran, aku segera membacanya. ~ Selamat ulang tahun Ardilla, Tolong terima cincin ini dengan baik, dan tolong jangan salah paham. Saya ingin menepati janji saya dahulu saat kita masih menjalin kedekatan. Sekarang janji saya sudah saya tepati. Jadi, jangan mencoba mengembalikan barang ini. Wish you all the best. ~Setelah membaca surat itu hatiku meluluh. Ada ra
Tanpa menoleh aku menjawabnya. "Itu bukan urusan anda!" jawabku ketus. Pak Devan tertawa kecil. Dia berdiri di sampingku. "Kamu harus lebih berhati-hati sama Riko." Peringatnya. "O, ya, soal foto-foto kamu itu, saya sedang berusaha mencari tahu semuanya. Saya harap kamu lebih bersabar." Katanya lagi. Karena tak ingin berlama-lama mendengar ucapan darinya, aku sengaja menerobos hujan yang begitu deras. Tak peduli jika tubuhku harus basah di guyur air hujan. "Ardilla!" Panggilnya yang tidak aku gubris. ***********Saat aku pulang ke rumah, tiba-tiba saja Riko sudah ada di depan rumahku. Sambil menggelengkan kepalanya dia menyilangkan tangannya. "Habis darimana aja? Aku dari tadi nunggu kamu disini," tanya dia mendekat ke arahku. "Eu...itu...aku..." jawabku sambil mencari alasan yang tepat karena tidak mungkin aku memberitahunya kejadian tadi. Saat sengaja menerobos hujan Pak Devan juga sengaja mengikutiku menerobos hujan sampai seluruh badannya basah. Dia menari
Aku menutup wajahku dengan selimut. Merutuki diri sendiri dalam hati karena sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal untuk kedua kalinya. Tidak seharusnya aku terjebak dengan ucapan Erista. Dan tidak seharusnya aku melakukannya bersama Pak Devan yang bahkan sudah menjadi suami orang. "Sudahlah Ar, semua sudah terjadi. Maka dari itu saya akan bertanggung jawab atas semua perbuatan saya sekarang, dan perbuatan saya di masalalu sama kamu." Katanya dengan entengnya. Entah apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa berkata apapun lagi. Sengaja hanya diam. Menarik selimut untuk menutupi tubuh, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya aku pergi meninggalkan Pak Devan tanpa sepatah katapun. ***********Saat berjalan di lorong kampus, semu orang memandang ke arahku. Mereka berbisik membicarakan soal aku yang memerima tantangan Erista semalam. "Aku pikir cupu, ternyata dia suhu. Bisa-bisanya minum sampai habis banyak ya!" ujar seorang mahas
Setelah membereskan semua barangku dan berpamitan pada ibu, aku pergi dari rumah Kak Lita menuju kontrakan yang sebelumnya sudah di siapkan kemarin oleh Riko. Karena ibu sedang sibuk memasak, dia tidak ikut membantu kepindahanku kesana. Aku naik bis menuju kontrakanku sambil menikmati indahnya jalanan kota. Beberapa panggilan tak terjawab dari Riko tak ku pedulikan lagi. Aku tetap fokus melihat jalanan kota sambil mengenang masa indah bersama Pak Devan. ""Hujan ini akan membuat kita saling mengingat kenangan di hari ini, saya yakin, kamu akan selalu mengingat saya di kala hujan." Ucapnya kala itu. Aku tersadar kembali lalu merutuki diriku sendiri karena tak bisa berhenti memikirkannya. "Dasar bodoh, ngapain masih mikirin orang itu sih Ar!" ujarku sambil menepuk jidatku. Setelah sampai di kostan aku langsung berbaring di tempat tidur. Karena disana sudah tersedia fasilitas yang lengkap. Tok...tok... Tok... Suara ketukan pintu membuatku segera membukanya. Terlihat Riko yang kini
"Ya, kalau begitu kita langsung ke rumah Clara saja sekarang!" kata Pak Devan sambil menarik tanganku. Kemudian kita kembali pergi menuju kediaman Clara di sebuah komplek perumahan elit. Hanya orang tertentu saja yang bisa masuk ke komplek itu karena selain menjaga privasi, itu sudah termasuk aturan di komplek tersebut. "Mohon maaf, anda tidak bisa masuk, lagi pula Mbak Clara juga belum tentu kenal dengan anda." Kata satpam penjaga komplek. "Tapi Pak. Kita perlu bertemu dengan seseorang, dan orang itu temannya Clara. Namaya Riko, bapak pernah bertemu dengan Riko, kan?" jawabku. Dia mengernyitkan dahi sambil mencoba mengingat sesuatu. "Oh, Den Riko ya? Den Riko..." "Riko sudah aku bawa ke rumah sakit!" kata sebuah suara dari arah belakang. Dengan spontan kami menengok ke arahnya bersamaan. "Clara!" ujarku. Di perjalanan menuju rumah sakit dia menceritakan semua kejadian yang di alami Riko. Dengan rasa cemas yang berlebih, tanganku gemetaran, pikiranku sudah kacau entah dimana sa
"Tapi Ar...kamu ini kan belum tahu betul seluk beluk kota Jakarta. Dan lagi, kamu mau mencari pekerjaan kemana?" tanya Ibu. Mendengar pertanyaan itu membuat aku terdiam. Aku memang sedang kebingungan. Tapi aku harus segera bertindak. Tidak mungkin terus-terusan menumpang hidup di rumah kakakku. "Nanti Ardilla pikirkan lagi." Ucapku, lalu aku berjalan memasuki kamarku. Duduk di depan meja belajar sambil melamun. Aku teringat dengan semua kejadian pahit dalam hidupku. Sekarang aku harus bangkit dan membuktikan pada semua orang bahwa aku akan menjadi lebih baik lagi. Dan aku tidak serendah itu. "Mau kemana Ar?" tanya Ibu padaku yang sudah bersiap pergi. "Ardilla mau mencari pekerjaan bu, do'akan ya, semoga Ardilla segera mendapatkan pekerjaan." Ucapku sambil tersenyum. "Hati-hati ya," ucap Ibu sambil mengusap bahuku. Ku lihat wajahnya yang sudah menua itu sambil tersenyum. Dialah yang membuatku kuat menjalani hidup yang pahit. Aku berjalan kesana kemari, memasuki beberapa toko di
"Emangnya lu mau kerja apa dengan jurusan lukis? Lu harus kerja yang sesuai dengan bidang lu. Bikin karya yang bagus, terus lu jual deh ke pasaran." Jawabannya malah membuatku semakin badmood. Kalau di ingat memang benar juga, aku harus mengembangkan karyaku. Tapi setidaknya aku juga ingin bekerja supaya bisa membantu ibu. Yang jadi masalahnya hanya satu, aku sulit mencari pekerjaan. — Temui saya sekarang di 'Restaurant Lalita' — Pesan dari Pak Devan muncul kembali. Tapi aku tidak berniat membalasnya. Dia menelponku berkali-kali membuat aku terpaksa harus mengangkatnya. "Hallo?!" ucapku dengan suara tinggi. "Bisa temui saya sekarang, kan?" katanya. "Saya tidak bisa, saya sedang..." "Sepertinya kamu tidak sedang sibuk, saya tunggu kamu disini!" katanya lagi memotong ucapanku. "Ta-tapi..." Tut... Tut... Tut... Panggilan terputus karena dia mematikan telponnya. "Dasar aneh!" ujarku yang membuat Lena menoleh. "Siapa sih?" tanyanya lagi. "Maaf ya Len, aku harus pergi. Ada urusa
Tanpa menoleh aku menjawabnya. "Itu bukan urusan anda!" jawabku ketus. Pak Devan tertawa kecil. Dia berdiri di sampingku. "Kamu harus lebih berhati-hati sama Riko." Peringatnya. "O, ya, soal foto-foto kamu itu, saya sedang berusaha mencari tahu semuanya. Saya harap kamu lebih bersabar." Katanya lagi. Karena tak ingin berlama-lama mendengar ucapan darinya, aku sengaja menerobos hujan yang begitu deras. Tak peduli jika tubuhku harus basah di guyur air hujan. "Ardilla!" Panggilnya yang tidak aku gubris. ***********Saat aku pulang ke rumah, tiba-tiba saja Riko sudah ada di depan rumahku. Sambil menggelengkan kepalanya dia menyilangkan tangannya. "Habis darimana aja? Aku dari tadi nunggu kamu disini," tanya dia mendekat ke arahku. "Eu...itu...aku..." jawabku sambil mencari alasan yang tepat karena tidak mungkin aku memberitahunya kejadian tadi. Saat sengaja menerobos hujan Pak Devan juga sengaja mengikutiku menerobos hujan sampai seluruh badannya basah. Dia menari
Pak Devan melepaskan pelukkannya setelah aku tenang. Dia menyodorkan sebuah kotak kecil padaku yang baru saja dia rogoh dari saku celananya. "Ini untuk kamu, maaf baru bisa ngasih hari ini," ucapnya, menaruh kotak kecil itu di tanganku, setelahnya pergi meninggalkan aku yang masih terpaku. Hatiku kembali teriris mendapat perlakuan barusan. Bukan karena ucapannya, melainkan karena sikapnya yang semakin membuat aku sulit untuk melupakannya.Segera aku buka kotak kecil yang kini berada di tanganku. Terlihat sebuah cincin putih berlian berbentuk hati yang berkilauan. Ada sebuah surat hasil tulisan tangan di dalamnya. Karena penasaran, aku segera membacanya. ~ Selamat ulang tahun Ardilla, Tolong terima cincin ini dengan baik, dan tolong jangan salah paham. Saya ingin menepati janji saya dahulu saat kita masih menjalin kedekatan. Sekarang janji saya sudah saya tepati. Jadi, jangan mencoba mengembalikan barang ini. Wish you all the best. ~Setelah membaca surat itu hatiku meluluh. Ada ra
"Ardila!" kata Riko yang mengejarku saat aku pergi. "Jangan pergi dulu Ar, dengarkan penjelasan aku dulu, apa yang kamu lihat tadi..." "Yang aku lihat tadi emang kalian sedang berpelukkan, apalagi yang mau di jelaskan, semua emang udah jelas!" balasku kesal, berhenti sejenak lalu berjalan kembali."Gak gitu juga Ar, dengerin aku dulu!" Riko menahan tanganku. Semua orang menatap ke arahku dengan penuh kebencian. "Lihat tuh si plakor, gak ada habisnya ya dia gangguin pacar sama suami orang, dasar gak punya harga diri!" ujar seorang mahasiswi pada temannya. "Mana ada harga diri, kalau udah pacaran sama suami orangkan emang gak ada harga dirinya, ingat ya, karma masih berlaku!" balas temannya lalu mereka pergi. Bukan hanya itu yang membuatku menahan diri untuk pergi. Tapi kejadian itu persis sekali dengan ucapan para tetangga saat mencoba mengusir aku dan ibu waktu lalu. "Ar, kamu baik-baik saja kan?" tanya Riko lagi padaku. Dengan kuat aku melepaskan tangannya yang menggenggam ta
Entah kemana dia pergi, aku tidak begitu melihat ibu. Aku fokus pada lamunanku di masalalu. Sakit memang saat menjalani hubungan tanpa restu orang tua. Apalagi setelah mengetahui bahwa Pak Devan sebenarnya sudah beristri. Duniaku seakan hancur, masa depanku hancur karenanya. Drt... Drt... Drt... Sebuah pesan masuk dari ponselku membuatku segera membacanya. —Ar, kamu udah sampai rumah kan?—Pesan dari Riko sudah ku baca, tapi aku enggan membalasnya. —Balas dong Ar, aku khawatir sama kamu!—Dia kembali mengirim pesan. Lalu menelpon."Hallo," "Ar, kamu baik-baik aja kan?" tanya Riko penuh khawatir. "Iya, aku baik-baik aja!" jawabku meski malas. "Syukurlah kalau baik, jangan tidur malam-malam ya, besok aku kirim sesuatu ke rumah kamu," katanya yang membuat aku penasaran."Sesuatu apa?" tanyaku penasaran. "Lihat aja besok, see you sayang!" ucapnya sambil menutup telpon. Balum saja aku balas, dia sudah menutup telpon. Karena itu aku segera membersihkan diri saja. Lalu bersiap istir