Entah apa yang di ucapkan Pak Devan di dalam hatinya. Dia menghela nafas, terdiam sejenak sambil melirik ke arahku. Aku bisa membaca sorotan matanya yang mengartikan sesuatu, namun sulit untuk di ungkapkan karena hanya kita yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu.
******
Tiga puluh menit sudah berlalu, sekarang tinggal aku dan Pak Devan yang berada di dalam mobil. Dia sengaja ingin mengantarku pulang dengan alasan sudah terlalu malam. Dia tidak mengizinkan Riko yang mengantarku pulang berdalih tak ingin sampai kami kembali pergi ke klub malam.
"Ternyata kamu juga pindah ke kota ini Ar," ucapnya sambil mengemudikan mobil dengan pandangannya yang lurus ke depan.
"Iya," jawabku singkat saja, tanpa menoleh ke arahnya.
"Kalian sudah lama pacaran?" tanya dia lagi entah apa motif sebenarnya dia bertanya tentang hubunganku dan Riko.
Tak ingin menjawab ucapannya. Aku hanya diam saja. Itu bukanlah hal yang penting bagiku.
"Kenapa diam?" tanya dia lagi. Kali ini Pak Devan melirik ke arahku, lalu menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Loh, kok berhenti?" aku balik bertanya.
"Kamu belum menjawab pertanyaan dari saya, sudah berapa lama kalian pacaran dan apa saja yang sudah kalian lakukan selama pacaran?" pertanyaan itu begitu menyinggung, aku memandang tajam ke arahnya dengan air mata yang hampir saja jatuh.
"Anda tidak perlu tahu apa saja yang saya lakukan bersama Riko, dan anda tidak berhak tahu tentang hubungan kami, karena anda bukan siapa-siapa saya!" ujarku sambil membuka pintu mobil lalu keluar darisana.
"Ardila!" panggilnya, dia mengikutiku yang berjalan sambil menghapus air mata.
Aku tetap berjalan, mengabaikan panggilannya. Tapi dengan secepat kilat dia menangkap tanganku, lalu memeluk tubuhku dengan eurat.
"Jangan pergi!" ucapnya.
Meski aku berontak tak lantas membuatnya melepas pelukan. "Lepaskan saya!" ujarku kesal.
"Saya gak akan melepaskan kamu sebelum kamu berjanji pada saya," ucap Pak Devan yang begitu mencurigakan.
"Janji apa sih Pak, jangan begini, lepaskan saya!" aku tidak tahan lagi, tapi tenaganya lebih kuat dariku.
"Janji kalau kamu tidak akan pernah meninggalkan saya lagi," ucapnya tiba-tiba yang membuatku seketika berhenti berontak.
Kami saling berpandangan satu sama lain di tengah dinginnya malam, di tengah riuhnya kendaraan yang berlalu lalang lewat di jalanan.
"Lepaskan!" kataku lagi memberontak, kali ini aku tidak bisa melihat matanya.
"Lihat mata saya Ardila, saya yakin, kamu masih sangat mencintai saya, benarkan?" tanya dia lagi mempereurat pelukkannya.
"Jangan sok kepedean, lebih baik Bapak lepaskan saya, malu di lihat orang!" ujarku berusaha menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya.
Pelukkan Pak Devan melonggar. Dia melepaskan pekukannya. Matanya yang berwarna kecoklatan itu memandang lekat ke arahku. Dia terdiam sejenak.
"Saya antar kamu pulang, dan jangan ngebantah!" ujarnya kemudian sambil menarik tanganku berjalan menuju mobilnya.
*******
Saat berada di kampus, aku tidak fokus belajar. Kejadian semalam sungguh mengganngu pikiranku. Bertemu dengan Pak Devan kembali membuat hatiku merasa gelisah.
"Ardila! kalau mau melamun mending di luar saja, ini waktunya belajar!" tegur Pak Radit yang membuat semua teman sekelas menyoraki aku.
"Maaf, Pak!" jawabku.
Setelah jam kuliahku selesai, aku berjalan menuju lorong kampus yang begitu sepi. Entah kenapa seketika pikiranku kembali pada kejadian waktu lalu yang pernah aku alami bersama Pak Devan.
Waktu itu kami sering sekali ketemuan di lorong kampus yang sepi untuk menghindari gosip tentang kedekatan kami. Tidak ada satupun orang yang mengetahui tentang hubungan kami kecuali ibuku.
"Hallo, sayang," ucap Pak Devan saat melihatku berjalan ke arahnya.
Sambil tersenyum aku berjalan. Menengok kesana kemari takut ketahuan orang. "Hallo juga sayang," balasku sambil tersenyum simpul padanya.
Dalam lamunanku aku tersenyum sendiri mengingat kenangan indah bersamanya. Tapi seketika senyuman itu memudar saat aku tersadar seharusnya aku tidak mengingatnya kembali.
"Ar..." panggilan seseorang membuat aku menoleh ke arahnya.
"Pak Devan!" ujarku terkejut, lalu menepuk kedua pipiku membuat pria itu mengernyitkan dahinya. "Ini bukan mimpi, kan?" ucap batinku.
"Kenapa Ar? kok kamu malah tepuk pipi segala?" tanya dia heran.
"Eu... Enggak, saya gak apa-apa," jawabku sambil menunduk.
"For your information, mulai hari ini saya akan mengajar di kampus ini." Jelasnya padaku.
Aku mengangkat wajahku, "Saya gak nanya!" ucapku sambil pergi meninggalkannya.
"Tunggu Ardila!" lagi Pak Devan menangkap tanganku sampai tubuhku menghadap padanya.
Lagi-lagi kami saling bertatapan. Ada rasa yang tidak bisa di ungkapkan. Aku berusaha melepaskan tangannya. Tapi Pak Devan berusaha menggenggam tanganku dengan kuat.
"Lepaskan tangan saya!" ujarku kesal.
Riko datang lalu menarik tanganku dari genggaman Kakaknya.
"Lepaskan tangan dia!" kata Riko.
"Apa urusannya sama kamu?" tanya Pak Devan.
"Dia pacarku, jadi siapapun yang mengganggu dia akan berurusan sama aku!" jawab Riko tegas sekali.
Pak Devan menoleh ke arahnya. Lalu melepaskan tanganku. Kali ini dia mengalah. Dia pergi tanpa sepatah katapun meninggalkan kami. Sedangkan Riko terlihat khawatir padaku.
Aku jadi merasa tidak enak. Merasa terjebak diantara dua saudara yang meresahkan.
"Kamu gak di apa-apain kan sama dia?" tanya Riko padaku.
"Enggak Kok," jawabku singkat, kemudian kita pergi berjalan kaki menuju rumahku karena jam kuliahku sudah selesai.
Drt... Drt... Drt...
Bunyi panggilan yang bergetar dari handphone Riko dia abaikan begitu saja. Aku menoleh ke arah Riko sambil berjalan. Merasa heran dengan tingkahnya yang gelagapan. Entah apa yang sedang dia sembunyikan dariku.
"Kenapa gak diangkat?" tanyaku penasaran.
"Eu... gak apa-apa, paling juga telpon gak penting. O, iya Ar, malam ini kamu sibuk gak?" tanya Riko mengalihkan pembicaraan.
"Iya, aku sibuk, aku mau cari kerjaan nanti malam." Jawabku singkat.
"Gimana kalau sekarang aja kita cari kerjaannya." Usulnya sambil tersenyum.
"Sekarang? emang kamu mau ajak aku cari kerja kemana jam segini?" tanyaku balik.
"Ikut aku!" Riko menarik tanganku berjalan mengimbangi langkahnya.
Kami masuk ke dalam mobilnya. Meski tak tahu akan di bawa kemana, aku menurut saja. Siapa tahu dia memang akan memberikan pekerjaan untukku.
Setelah beberapa menit dia menghentikan mobilnya di sebuah restaurant. Riko keluar dari mobil terlebih dahulu, lalu membukakan pintu mobil untukku.
Kami berjalan menuju restauran yang begitu asing bagiku. Di sana ada beberapa karyawan yang menyapa Riko seakan mereka sudah tak asing lagi padanya.
"Hallo Selamat siang Pak Riko," ucap mereka.
"Hallo," dengan ramah Riko melambai membalas mereka.
Dia mengajakku memasuki sebuah ruangan. Lalu kami duduk di atas sofa.
"Arin! tolong ambilkan dua gelas kopi buat aku sama ayangku!" teriak Riko pada salah satu karyawan.
Aku mengernyitkan dahi saat mendengar kata terakhir yang dia ucapkan. Aku tidak merasa kita memiliki hubungan lebih dari sekedar teman. Tapi kenapa dia menyebutku dengan panggilan itu yang membuat kupingku geli mendengarnya.
"Kenapa?" tanya dia yang wajahnya terlalu dekat denganku.
Dengan cepat aku menahan bahunya agar dia menjaga jarak. "Maksud kamu apa? kita tidak lebih dari sekedar teman Riko, jadi jangan biarkan mereka semua beranggapan berbeda tentang kita," ucapku.
"Kenapa kamu selalu lebih suka pacaran backstreet dari pada terbuka?" tanya Riko tiba-tiba.
Saat mendengar pertanyaan itu membuat aku teringat kembali dengan kejadian di masalalu bersama Pak Devan. Ya, kami memang pernah menjalin kedekatan. Bahkan Pak Devan dan aku menjalani hubungan backtreet tanpa seorangpun yang tahu.
"Aku tahu, kamu pernah menjalin hubungan sama Bang Devan kan?" tanya Riko lagi. Pertanyaan itu membuat jantungku berdebar lebih cepat. Rasanya jantungku mau copot di buatnya.
Bagaimana bisa dia tiba-tiba saja mengetahui hal itu. Padahal selama ini aku selalu mewanti-wanti Pak Devan agar tidak ada seorangpun yang tahu tentang hubungan kita.
"Eu...itu tidak benar, aku tidak pernah menjalin hubungan apapun sama Pak Devan, kami hanya sebatas Dosen dan mahasiswa pada umumnya, tidak lebih dari itu. Aku dekat sama Pak Devan karena aku menjadi asisten dia sewaktu di kampus lama." Jelasku, dengan terpaksa aku berbohong pada Riko.
Riko memandang lekat ke arahku. Dia tersenyum setelahnya. "Kamu gak sedang bohong kan? Tapi meski kamu bohong, aku sudah tahu semuanya. Bagaimana jika Mbak Khalisa sampai tahu tentang kedekatan kalian ya? Apa dia masih mau mempertahankan rumah tangganya sama Bang Devan, atau..." Riko tidak melanjutkan ucapannya. Mungkin dia sengaja ingin mempermainkan aku. "Atau apa?" balasku cepat. "Atau dia akan menggugat cerai Bang Devan!" tegas Riko lagi. Mataku melotot mendengarnya. Aku benar-benar sudah di permainkan oleh Riko. Perasaanku berubah seketika. Rasanya gundah gulana. Entah apa yang harus aku lakukan agar Riko bersedia tutup mulut tentang hal itu. Ya, aku dan Pak Devan memang pernah menjalin hubungan asmara sewaktu aku berkuliah di Universitas lamaku. Sampai saat ini memang tidak pernah ada kata 'putus' di antara kami. Tapi, bagiku hubunganku dengannya sudah berakhir apalagi saat aku mengetahui ternyata dia adalah suami orang. "Jangan sampai itu terjadi, aku mohon Riko, kamu jang
"Woi! Ngelamun aja kerjaan lu!" Lena menepuk bahuku yang terasa sakit. Dia duduk di sampingku yang masih merenung. "Len, kamu tahu gak, soal cinta?" tanyaku dengan pandangan lurus ke depan. "Ya gak tahulah, orang belum pernah pacaran, gimana sih lu!" jawabnya. "Aku mau minta pendapat dari kamu, kalau misalkan kita membuat sebuah kesalahan besar sama orang lain, apa dia bisa memaafkan kita kalau secara langsung kita minta maaf sama orang itu?" tanyaku lagi. "Lah, mana ku tahu. Tapi, kayaknya sih dia bakal maafin aja, apalagi kalau lu sambil bawa makanan pas minta maafnya hehehe...." jawabnya setengah bercanda."Ah, kamu ini!" ujarku kesal karena Lena malah menanggapinya dengan bercanda. "Dahlah, mending kita jajan ke kantin dari pada ngelamun, nanti kesambet baru tahu rasa, yuk ah buruan!" ajak Lena sambil menarik tanganku yang pasrah saja mengikutinya. Saat berjalan menuju kantin, aku berpapasan dengan Riko. Dia melirik sekilas ke arahku tanpa sepatah katapun. Biasanya Riko tak
Aku tidak mempedulikan ucapan Kak Lita. Sembari membungkus makanan catering aku membuka pesan yang baru masuk melalui ponselku. — Ar, bisa ke resto sebentar gak? Ada yang mau aku bicarakan. Ini penting. —Begitulah isi pesan darinya. Aku tak langsung menjawab. Karena masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan. Setelah tiga puluh menit berlalu, barulah aku bangkit. Semua pekerjaan sudah selesai. Aku bergegas pergi, sambil berpamitan pada Kak Lita. "Tolong bilang sama ibu, aku pergi ke rumah temen." Kataku pada Kak Lita yang asik memainkan handphonenya. "Sama temen apa sama pacar?" tanyanya. "Temen!" jawabku singkat sambil pergi. **********Sengaja aku memesan taxi online menuju restaurant Riko agar lebih cepat sampai ketimbang berjalan kaki meski jaraknya cukup dekat dengan rumah. Langsung saja aku masuk ke restaurant itu menuju ruangan khusus karena Riko sudah menungguku disana. Baru saja hendak membuka pintu, sebuah suara perempuan terdengar. "Aku
"Saya sudah bilang, saya bisa pulang sendiri!" tegasku sambil melewatinya. "Ar!" panggil Riko yang di cegah pergi oleh Kakaknya. *********Terpaksa aku berjalan kaki karena tidak menemukan angkutan kota. Hari sudah mulai malam, aku berdiri sendiri di pinggir jalan sambil melirik ke arah jalanan. Tidak ada satupun angkot yang lewat ke arah rumahku. "Mana sih ini angkot, kok gak ada satupun yang lewat?" ujarku. Tid... Tid... Tid..Suara klakson mobil terdengar, sebuah mobil berwarna merah berhenti di depanku. Orang itu membuka pintu kaca mobilnya. "Hai cantik, berapa sekali main?" tanya seorang Om-om yang berada di bagian kemudi. Dia memandangku dari atas sampai bawah lalu berusaha menyentuh tanganku. "Jangan kurang ajar ya!" bentakku sambil menepis kasar tangannya. "Baru gitu aja galak, tapi Om lebih suka yang galak loh, yang galak lebih menantang, ehehehe..." katanya, dia keluar dari mobil lalu menarik tanganku untuk memasuki mobilnya. "Ayok masuk can
Gelapnya ruangan yang di hiasi lampu kerlap kerlip dengan suara musik Dj yang kencang membuatku merasa tak nyaman berada di tempat seperti itu. Niat hati ingin bersenang-senang, aku malah mendapati kakakku sendiri yang tengah berjalan sempoyongan di rangkul seorang pria menuju sebuah ruangan. "Kak Lita!" ujarku lalu berlari mengikutinya di susul Riko yang kini berlari bersamaku."Kamu mau kemana Ar, ini ruangan khusus, kamu gak boleh masuk kesana!" cegah Riko sambil menahan bahuku. "Tapi Riko, Kakak aku masuk ke ruangan itu, aku lihat tubuhnya sempoyongan. Aku gak mau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama dia!" ucapku sambil berusaha melepaskan tanganku yang di genggam kuat oleh Riko. "Jangan Ar, aku mohon kamu jangan kesana!" cegahnya lagi. "Lepaskan!" aku berlari setelah melepaskan diri dari Riko lalu dengan kuat mendobrak sebuah pintu yang terdapat Kak Lita bersama seorang laki-laki disana. Setelah pintu terbuka, betapa terkejutnya aku saat melihat Kak Lita yang tengah berada