Riko memandang lekat ke arahku. Dia tersenyum setelahnya. "Kamu gak sedang bohong kan? Tapi meski kamu bohong, aku sudah tahu semuanya. Bagaimana jika Mbak Khalisa sampai tahu tentang kedekatan kalian ya? Apa dia masih mau mempertahankan rumah tangganya sama Bang Devan, atau..." Riko tidak melanjutkan ucapannya. Mungkin dia sengaja ingin mempermainkan aku.
"Atau apa?" balasku cepat.
"Atau dia akan menggugat cerai Bang Devan!" tegas Riko lagi.
Mataku melotot mendengarnya. Aku benar-benar sudah di permainkan oleh Riko. Perasaanku berubah seketika. Rasanya gundah gulana. Entah apa yang harus aku lakukan agar Riko bersedia tutup mulut tentang hal itu.
Ya, aku dan Pak Devan memang pernah menjalin hubungan asmara sewaktu aku berkuliah di Universitas lamaku. Sampai saat ini memang tidak pernah ada kata 'putus' di antara kami. Tapi, bagiku hubunganku dengannya sudah berakhir apalagi saat aku mengetahui ternyata dia adalah suami orang.
"Jangan sampai itu terjadi, aku mohon Riko, kamu jangan sampai memberitahu istri Pak Devan tentang hubungan aku sama Pak Devan. Sekarang kami tidak memiliki hubungan apapun. Bahkan aku udah lama gak ketemu sama Pak Devan, aku mohon Riko, jangan pernah buka mulut sama istri Pak Devan." Mohonku, sambil memegang tangan Riko.
Dia tersenyum manis, lalu berkata. "Kalau begitu, jadilah pacarku Ardila! Kalau kamu bersedia menjadi pacar aku. Aku tidak akan pernah membuka mulut pada siapapun terutama Mbak Khalisa." Jawab Riko, dia membalas genggaman tanganku.
Entah apa yang harus aku lakukan. Ternyata memang dari awal Riko sudah memanfaatkan kesedihanku. Dia sengaja mendekatiku agar dia bisa mendapatkan aku dengan cara mengancam akan memberitahu yang sebenarnya pada istri Pak Devan.
Sialnya aku malah terjebak dalam situasi yang sulit. Tidak mungkin aku menolaknya, karena bisa saja dia akan memberitahu hal sebenarnya. Tapi aku juga tidak ingin menerima cinta Riko karena aku tidak mencintainya. Aku tidak ingin menerimanya atas dasar paksaan atau kasihan semata.
"Jadi gimana? Kamu mau kan, jadi pacar aku?" tanya dia lagi.
Seorang karyawan wanita datang sambil membawa dua cangkir kopi late membuat Riko melepas tangannya sejenak. Karyawan itu pergi setelah menaruh dua cangkir kopi itu di atas meja.
"Makasih ya Arin," ucap Riko sangat sopan.
"Iya, sama-sama Pak," jawabnya yang kemudian pergi.
Riko kembali memegang tanganku yang gemetaran. "Aku anggap diam kamu itu sebagai jawaban kalau kamu menerima cinta aku Ar," ucapnya lalu tersenyum.
******
Malam harinya aku tidak bisa tidur, bayang-bayang Riko dan Pak Devan seakan tidak bisa hilang dari ingatanku. Dua orang itu memang sudah berhasil membuat hatiku gundah.
Karena tidak bisa tidur aku memutuskan untuk pergi keluar membeli minuman segar sembari berjalan-jalan mencari udara segar.
"Gimana ya ini, kenapa malah jadi seperti ini? Aku malah terjebak dalam hubungan yang tidak aku inginkan bersama Riko. Diam salah, bicarapun salah." Ujarku sambil berjalan sendiri di pinggir jalan.
Sembari membuang daun yang sempat tadi ku petik di jalanan, aku terus berjalan. Tanpa sengaja aku melihat Riko di pinggir jalan tengah mengobrol bersama seorang wanita.
"Itu Riko kan? Sedang apa dia disana?" segera aku bersembunyi di balik tembok. Sambil mengintip mereka.
Riko terlihat begitu akrab dengan wanita itu. Sesekali wanita itu menepuk bahunya kala Riko berbicara. Aku tidak mengenal wanita itu, lagipula posisinya memunggungiku. Tapi bisa ku lihat dari rambut merah atinya yang menjadi tanda. Suatu saat aku pasti bisa mengenal dia.
Memang bukan suatu hal baru jika Riko akrab dengan beberapa wanita. Sebab dia adalah cowok populer di kampus dengan ketampanan juga kekayaan yang dimiliki kedua orangtuanya.
Saat aku bersembunyi, tanpa ku sadari seperti ada seseorang yang kini tengah menemaniku. Aku menengok ke belakang, ternyata ada Pak Devan di belakangku.
"Pak Dev..." hampir saja aku berteriak, tapi dia malah membungkam mulutku.
"Diam, jangan bicara, saya lagi awasi mereka!" ucapnya sambil terus membungkam mulutku.
Karena hampir kehabisan nafas, terpaksa aku menggigit tangannya.
"Aw, sakit!" ujarnya melepaskan tangannya yang sedari tadi membungkam mulutku.
"Kenapa pake bungkam mulut orang segala sih! Kan pengap!" omelku padanya.
"Maaf, saya cuma gak mau kalau kamu itu berteriak, jadi membuat pengintaian saya ini gagal!" katanya yang tidak ku anggap benar sebagai alasan.
Dari balik tembok ku lihat kembali Riko sudah tidak ada di tempat tadi. "Tuh, kan, aku jadi kehilangan jejak dia, ini semua gara-gara Pak Devan!" ujarku kesal.
Entah kenapa dia malah cekikikan tidak jelas saat mendengar ucapanku. Aku menatapnya sinis sambil mengerlingkan mata. Sekarang kita bagaikan musuh yang tidak pernah saling mengenal.
"Kenapa malah ketawa?" tanyaku galak.
"Huhuhu... kamu lucu kalau lagi marah, " ucapnya sambil tertawa dengan suaranya yang renyah.
Aku teringat kembali dengan kenangan masa lalu kita waktu itu. Saat masih berada di masanya, kami sering menghabiskan waktu bersama. Kami sering pergi bersama menuju tempat wisata, kami sering pergi bersama ke bioskop, ke pasar malam, juga ke tempat-tempat yang indah lainnya.
Cerita cinta kami yang begitu kelam bagaikan di warnai dengan penuh kebahagiaan. Meski backstreet, tapi kami merasa bahagia. Semenjak sebuah tragedi panas terjadi di antara kami, aku tidak ingin melanjutkan hubungan itu, dan memilih pergi meninggalkan kota sampai harus pindah kuliah demi melupakannya.
Tapi, siapa sangka, orang yang ingin aku lupakan itu ternyata malah berada di hadapanku.
"Ar...kamu kenapa bengong?" Pak Devan melambai-lambaikan tangannya ke hadapan wajahku.
Aku segera tersadar dari lamunanku. "Eh, iya?" ucapku.
"Kamu mau kemana malam-malam begini jalan sendirian?" tanya dia saat kita jalan kaki bersama menuju supermarket terdekat.
"Saya cuma mau beli minuman segar, karena gak bisa tidur jadi saya cari udara segar aja sambil beli minuman." Jawabku yang begitu jujur dan polos.
Kembali Pak Devan tertawa kecil. Tawanya memang membuat siapa saja akan terpesona. Kacamata yang selalu tersemat di hidung mancungnya semakin membuatku merasa terpana melihatnya. Tapi, aku segera menyadarkan diri dari perasaan itu.
"Kamu ini lucu banget tahu gak sih, masih aja sama seperti dulu, kalau gak bisa tidur pengennya minum yang seger-seger dulu." Ujarnya lalu berhenti menertawai kelakuanku.
"Memangnya kenapa? Bagus dong kalau lucu!" jawabku ketus.
"Iya, bagus, kamu memang tidak pernah berubah," ucapnya dengan suara lembut.
"Kalau begitu, ayok sekalian saya antar ke supermarket, sekalian saya juga mau beli peralatan bayi." Katanya, hendak menggandeng tanganku, tapi aku segera mundur.
Ucapan terakhirnya itu sangat menusuk jantungku. Mengingatkan aku pada seorang wanita yang mungkin sudah pernah aku lukai hatinya. Aku merasa minder juga merasa sangat bersalah pada wanita yang belum ku ketahui wajahnya.
"Maaf Ar, saya cuma..."
"Saya permisi pulang," ucapku sambil berjalan terburu-buru berniat pulang.
"Ardila!" panggilan terakhir Pak Devan yang tidak aku gubris sama sekali membuat aku merasa sangat kecewa juga kembali membencinya.
"Ada apa dengan orang itu? Bukankah dia sama halnya seperti seorang bajingan yang bahkan tidak pernah aku ketahui sama sekali statusnya yang sudah menikah. Tapi kenapa waktu itu aku malah bersedia menjadi pacarnya? Kenapa Ar? Kenapa kamu begitu bodoh dan naif?" ucapku sepanjang jalan pulang sambil ngomel-ngomel sendiri dengan air mata yang tak hentinya mengalir.
*******
"Woi! Ngelamun aja kerjaan lu!" Lena menepuk bahuku yang terasa sakit. Dia duduk di sampingku yang masih merenung. "Len, kamu tahu gak, soal cinta?" tanyaku dengan pandangan lurus ke depan. "Ya gak tahulah, orang belum pernah pacaran, gimana sih lu!" jawabnya. "Aku mau minta pendapat dari kamu, kalau misalkan kita membuat sebuah kesalahan besar sama orang lain, apa dia bisa memaafkan kita kalau secara langsung kita minta maaf sama orang itu?" tanyaku lagi. "Lah, mana ku tahu. Tapi, kayaknya sih dia bakal maafin aja, apalagi kalau lu sambil bawa makanan pas minta maafnya hehehe...." jawabnya setengah bercanda."Ah, kamu ini!" ujarku kesal karena Lena malah menanggapinya dengan bercanda. "Dahlah, mending kita jajan ke kantin dari pada ngelamun, nanti kesambet baru tahu rasa, yuk ah buruan!" ajak Lena sambil menarik tanganku yang pasrah saja mengikutinya. Saat berjalan menuju kantin, aku berpapasan dengan Riko. Dia melirik sekilas ke arahku tanpa sepatah katapun. Biasanya Riko tak
Aku tidak mempedulikan ucapan Kak Lita. Sembari membungkus makanan catering aku membuka pesan yang baru masuk melalui ponselku. — Ar, bisa ke resto sebentar gak? Ada yang mau aku bicarakan. Ini penting. —Begitulah isi pesan darinya. Aku tak langsung menjawab. Karena masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan. Setelah tiga puluh menit berlalu, barulah aku bangkit. Semua pekerjaan sudah selesai. Aku bergegas pergi, sambil berpamitan pada Kak Lita. "Tolong bilang sama ibu, aku pergi ke rumah temen." Kataku pada Kak Lita yang asik memainkan handphonenya. "Sama temen apa sama pacar?" tanyanya. "Temen!" jawabku singkat sambil pergi. **********Sengaja aku memesan taxi online menuju restaurant Riko agar lebih cepat sampai ketimbang berjalan kaki meski jaraknya cukup dekat dengan rumah. Langsung saja aku masuk ke restaurant itu menuju ruangan khusus karena Riko sudah menungguku disana. Baru saja hendak membuka pintu, sebuah suara perempuan terdengar. "Aku
"Saya sudah bilang, saya bisa pulang sendiri!" tegasku sambil melewatinya. "Ar!" panggil Riko yang di cegah pergi oleh Kakaknya. *********Terpaksa aku berjalan kaki karena tidak menemukan angkutan kota. Hari sudah mulai malam, aku berdiri sendiri di pinggir jalan sambil melirik ke arah jalanan. Tidak ada satupun angkot yang lewat ke arah rumahku. "Mana sih ini angkot, kok gak ada satupun yang lewat?" ujarku. Tid... Tid... Tid..Suara klakson mobil terdengar, sebuah mobil berwarna merah berhenti di depanku. Orang itu membuka pintu kaca mobilnya. "Hai cantik, berapa sekali main?" tanya seorang Om-om yang berada di bagian kemudi. Dia memandangku dari atas sampai bawah lalu berusaha menyentuh tanganku. "Jangan kurang ajar ya!" bentakku sambil menepis kasar tangannya. "Baru gitu aja galak, tapi Om lebih suka yang galak loh, yang galak lebih menantang, ehehehe..." katanya, dia keluar dari mobil lalu menarik tanganku untuk memasuki mobilnya. "Ayok masuk can
Gelapnya ruangan yang di hiasi lampu kerlap kerlip dengan suara musik Dj yang kencang membuatku merasa tak nyaman berada di tempat seperti itu. Niat hati ingin bersenang-senang, aku malah mendapati kakakku sendiri yang tengah berjalan sempoyongan di rangkul seorang pria menuju sebuah ruangan. "Kak Lita!" ujarku lalu berlari mengikutinya di susul Riko yang kini berlari bersamaku."Kamu mau kemana Ar, ini ruangan khusus, kamu gak boleh masuk kesana!" cegah Riko sambil menahan bahuku. "Tapi Riko, Kakak aku masuk ke ruangan itu, aku lihat tubuhnya sempoyongan. Aku gak mau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama dia!" ucapku sambil berusaha melepaskan tanganku yang di genggam kuat oleh Riko. "Jangan Ar, aku mohon kamu jangan kesana!" cegahnya lagi. "Lepaskan!" aku berlari setelah melepaskan diri dari Riko lalu dengan kuat mendobrak sebuah pintu yang terdapat Kak Lita bersama seorang laki-laki disana. Setelah pintu terbuka, betapa terkejutnya aku saat melihat Kak Lita yang tengah berada
Entah apa yang di ucapkan Pak Devan di dalam hatinya. Dia menghela nafas, terdiam sejenak sambil melirik ke arahku. Aku bisa membaca sorotan matanya yang mengartikan sesuatu, namun sulit untuk di ungkapkan karena hanya kita yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. ******Tiga puluh menit sudah berlalu, sekarang tinggal aku dan Pak Devan yang berada di dalam mobil. Dia sengaja ingin mengantarku pulang dengan alasan sudah terlalu malam. Dia tidak mengizinkan Riko yang mengantarku pulang berdalih tak ingin sampai kami kembali pergi ke klub malam. "Ternyata kamu juga pindah ke kota ini Ar," ucapnya sambil mengemudikan mobil dengan pandangannya yang lurus ke depan. "Iya," jawabku singkat saja, tanpa menoleh ke arahnya. "Kalian sudah lama pacaran?" tanya dia lagi entah apa motif sebenarnya dia bertanya tentang hubunganku dan Riko. Tak ingin menjawab ucapannya. Aku hanya diam saja. Itu bukanlah hal yang penting bagiku. "Kenapa diam?" tanya dia lagi.