***
"Dokter tolong."Sampai di depan IGD, permintaan tersebut lantas dilontarkan Senja pada dokter yang barusaja tiba. Dilanda rasa panik, itulah Senja setelah beberapa menit lalu perawat yang menemani Kirania di ambulan berkata jika suhu tubuh sang keponakan sampai di angka 40° celcius.Tengah berada di kamar rawat Juan, kabar buruk tentang pingsannya Kirania didapatkan Senja dari sang putri bungsu. Sempat dilanda panik, Senja berhasil ditenangkan oleh Gian sehingga keputusan bijak pun diambil.Tak pulang ke rumah, Senja memilih untuk meminta ambulan di rumah sakit tempat sang suami dirawat agar menjemput sang keponakan di rumah dan tentunya tak sendiri, Kirania ditemani Pak Ahmad karena bibi sendiri harus menjaga Caca yang katanya menangis karena panik.Ambulan yang membawa Kirania sampai setelah setengah jam di jalan, Senja langsung menyambut dan bersama perawat lain, dia membawa brankar sang keponakan menuju pintu IGD."Ini a***"Om Gian."Tengah meneguk sebotol air mineral yang tersaji di kamar rawat, Gian refleks menoleh setelah panggilan tersebut tiba-tiba saja terdengar dari arah bed.Mendapati Kirania membuka mata, seketika rasa lega datang sehingga tanpa banyak berbasa-basi, dengan segera Gian menghampiri keponakannya itu.Mengalami panas tinggi, Kirania memang harus menjalani observasi. Diambil sampel darah untuk dicek di labolatorium, itulah yang harus dilakukan Kirania sehingga satu atau dua malam, gadis itu harus menjalani rawat inap.Sempat ditunggui Senja ketika ditangani di IGD, Kirania kini dijaga Gian karena memang setelah membicarakan semuanya dengan Senja, Gian mengajukan diri untuk menjaga sang keponakan sementara Senja sendiri berada di kamar rawat Juan yang kebetulan bersebelahan."Hei, kamu akhirnya bangun. Gimana sekarang kondisinya? Better?""Aku di rumah sakit ya, Om?" tanya Kirania dengan suara pelan."Iya,
***"Gi, Gian. Bangun sebentar bisa enggak? Aku mau ngomong sesuatu."Berdiri di samping bed tempat Gian terlelap, permintaan bernada pelan tersebut lantas Senja lontarkan sambil menepuk bahu sang adik ipar.Tak di kamar Juan, pagi ini—tepat pukul lima, Senja menemui Gian. Bukan tanpa tujuan, alasan dia menemui adik Juan adalah; untuk berpamitan karena sebelum melanjutkan tugasnya menjaga sang suami, Senja pikir dia harus pulang ke rumah untuk mengurus beberapa hal.Mengurus Caca, membawa baju ganti Juan dan Kirania bahkan mengurus surat izin sang keponakan, semua itu harus Senja lakukan. Namun, tentunya sebelum pergi, dia harus menitipkan Juan lebih dulu."Nja," panggil Gian setelah sebelumnya membuka mata. "Kamu udah bangun? Eh, ini jam berapa?""Baru jam lima pagi, Gi, maaf ganggu waktu tidur kamu," ucap Senja dengan raut wajah tak enak."Its okay, sebentar."Tak terus berbaring, Gian beringsut sementara Senj
***"Kalau aku tahu, aku enggak akan nanya, Mbak. Lagian Mbak pikir aku cenayang yang bisa baca siapa pemilik nomor baru di hpku?"Menepi dari tengah koridor, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan dengan perasaan sedikit sebal. Memiliki banyak masalah, dia memang agak sensitif sehingga sang penelepon yang sebenarnya tak mencari masalah pun sedikit terkena semprot."Kok kamu ngomel sih, Nja? Aku perasaan barusan cuman nanya deh. Santai dong.""Aku lagi enggak pengen basa-basi," kata Senja. "Sekarang jawab aja, ini siapa?""Aku Senada Melodi, sekretarisnya Pak Juan.""Oh, Mbak Nada," ucap Senja. "Maaf, Mbak, kita kan baru dua kali ketemu. Jadi aku belum kenal suara Mbak kalau di telepon. Ada apa?""Pak Juan ke mana? Dia baik-baik aja apa enggak?" tanya Nada untuk yang kedua kalinya. "Aku dari kemarin hubungin nomor Pak Juan, tapi enggak aktif-aktif. Aku khawatir.""Ada apa emangnya Mbak telepon Mas Juan?" tanya S
***"Mbak Nada."Turun setelah mendapat informasi tentang datangnya seorang tamu, panggilan tersebut lantas Senja lontarkan setelah mendapati Nada di sofa. Kaget sekaligus tak senang, dua perasaan tersebut menghampiri Senja sementara Nada yang kini duduk dengan setelan kantor rapi, beranjak sambil tersenyum."Aku mau ikut ke rumah sakit buat jenguk Pak Juan," kata Nada dengan nada yang terdengar sinis. "Kalau kamu menilai aku enggak tahu malu karena maksain diri, jawabannya adalah aku enggak peduli karena faktanya bukan cuman mau jenguk, aku ke rumah sakit buat nanyain perubahan jadwal Pak Jaun. Tahu dong suami kamu itu pimpinan perusahaan yang punya jadwal padat?""Oh," kata Senja. "Ya udah.""Gitu doang respon kamu?""Memangnya aku harus respon apa?" tanya Senja dengan raut wajah yang terkesan dingin. "Ucapan Mbak Nada udah sangat jelas.""Enggak mau minta maaf gitu?" tanya Nada. "Kamu udah menghalang-halangi aku ketemu Pak Juan lho, dan kalau Pak Juan tahu, dia pasti marah.""Oh y
***"Pak, selamat pagi."Setelah sebelumnya membuka pelan pintu kamar rawat Juan, sapaan bernada ragu tersebut lantas Nada lontarkan—membuat sang pemilik kamar yang semula fokus menonton siaran berita di tv, menoleh.Tak bersama Kirania mau pun Gian, Nada masuk sendiri karena setelah bertemu dua orang tersebut, perintah untuk masuk sendiri didapatkannya dari Kirania.Tak cuma-cuma, Nada harus membayar untuk bisa bertemu Juan. Tak berupa uang, bayaran darinya berwujud bunga mawar yang mau tak mau harus diserahkan setelah Kirania meminta paksa.Ya, tak bisa menolak, Nada pada akhirnya pasrah setelah Kirania memberikan pilihan sehingga tak ada buket mawar merah, yang kini dia bawa ke kamar rawat Juan hanyalah sekeranjang buah dengan isi beragam."Senada," panggil Juan dengan raut wajah terkejut. "Kamu kenapa tahu saya di sini?""Dikasih tahu Senja, Pak," kata Nada sambil melangkah mendekati Juan yang kini bersandar pada bed.Bangun sejak tadi, Juan sudah diperiksa oleh suster bahkan suda
***"Mas setuju."Kaget.Itulah yang pertama Nada rasakan setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan pada sang adik, Gian. Bukan perkataan biasa, ucapan tersebut adalah jawaban Juan perihal tawaran membuat janji yang diberikan Gian setelah beberapa waktu lalu Nada meragukan kejujuran Nabila."Pak," panggil Nada. "Bapak semudah itu mempertaruhkan jabatan saya?""Kenapa kamu khawatir banget jabatan kamu pindah?" tanya Juan. "Kamu ragu sama kejujuran Nabila, kan? Harusnya kamu enggak usah takut.""Ya emang, tapi kan-""Mas Juan setuju itu berarti Mbak Nada juga setuju, karena faktanya yang punya kewenangan soal jabatan itu Mas Juan," potong Gian. "So, kita tinggal tunggu bukti yang dimaksud Kak Nabila. Senja bilang kemarin buktinya berbentuk chat sama rekaman suara Mentari setiap curhat lewat telepon. Mau diminta sekarang apa nanti sore aja setelah kerja? Pagi ini Mbak Nada mungkin harus ke kantor.""Aku enggak setuj
***"Gimana, Mas? Ada balesan?"Duduk di samping bed tempat Juan kini duduk, pertanyaan tersebut lantas Gian lontarkan pada sang kakak yang beberapa waktu lalu mengirim pesan pada Nabila.Tak langsung menelepon, step pertama yang Juan lakukan memang menyapa lewat chat. Namun, hingga beberapa menit berlalu, pesannya tersebut tak terbalas—membuat Juan dilanda rasa penasaran."Belum," kata Juan. "Centang dua abu, cuman belum dibaca.""Masih sibuk mungkin, ini kan pagi-pagi," kata Gian."Kayanya," kata Juan. "Tapi coba Mas kirim pesan yang lebih to the point. Barusan kan cuman nanya dia masih di Bandung apa enggak. Nah, sekarang Mas mau langsung nanyain bukti.""Oke," kata Gian. "Nanti jangan lupa bilang maaf juga, karena enggak cuman Senja, Kak Nabila kena kan sama Mas Juan?""Iya.""Nah, minta maaf.""Pasti."Tak banyak menunda, selanjutnya Juan kembali mengetik pesan untuk Nabila. Bukan
***"Kak Nabila masuk rumah sakit, Mas, dia koma."Deg.Detak jantung Juan yang semula normal, seketika bertambah cepat setelah jawaban tersebut dilontarkan Senja untuk pertanyaannya beberapa detik lalu.Kaget.Hal itu jelas dirasakan Juan sekarang karena setelah kemarin melihat Nabila bertemu Senja bahkan Kirania, kabar yang dia dengar dari sang istri seperti petir di siang bolong."Kamu serius? Kenapa dia?" tanya Juan setelah beberapa detik mencerna ucapan Senja. "Perasaan kemarin baik-baik aja, kok tiba-tiba koma?""Kak Nabila jatuh di kamar mandi jam enam tadi, Mas, dan suaminya bilang pembuluh darah di kepalanya pecah," ungkap Senja—masih disertai isakan. "Karena jarak dari hotel ke rumah sakit lumayan dekat, Kak Nabila berhasil diselamatin cuman dia koma dan kapan bangun, dokter sendiri enggak bisa prediksi karena kondisinya pun belum stabil. Aku khawatir, Mas, aku takut ada apa-apa sama Kak Nabila. Padahal, aku be