***
"Gi, Gian. Bangun sebentar bisa enggak? Aku mau ngomong sesuatu."Berdiri di samping bed tempat Gian terlelap, permintaan bernada pelan tersebut lantas Senja lontarkan sambil menepuk bahu sang adik ipar.Tak di kamar Juan, pagi ini—tepat pukul lima, Senja menemui Gian. Bukan tanpa tujuan, alasan dia menemui adik Juan adalah; untuk berpamitan karena sebelum melanjutkan tugasnya menjaga sang suami, Senja pikir dia harus pulang ke rumah untuk mengurus beberapa hal.Mengurus Caca, membawa baju ganti Juan dan Kirania bahkan mengurus surat izin sang keponakan, semua itu harus Senja lakukan. Namun, tentunya sebelum pergi, dia harus menitipkan Juan lebih dulu."Nja," panggil Gian setelah sebelumnya membuka mata. "Kamu udah bangun? Eh, ini jam berapa?""Baru jam lima pagi, Gi, maaf ganggu waktu tidur kamu," ucap Senja dengan raut wajah tak enak."Its okay, sebentar."Tak terus berbaring, Gian beringsut sementara Senj***"Kalau aku tahu, aku enggak akan nanya, Mbak. Lagian Mbak pikir aku cenayang yang bisa baca siapa pemilik nomor baru di hpku?"Menepi dari tengah koridor, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan dengan perasaan sedikit sebal. Memiliki banyak masalah, dia memang agak sensitif sehingga sang penelepon yang sebenarnya tak mencari masalah pun sedikit terkena semprot."Kok kamu ngomel sih, Nja? Aku perasaan barusan cuman nanya deh. Santai dong.""Aku lagi enggak pengen basa-basi," kata Senja. "Sekarang jawab aja, ini siapa?""Aku Senada Melodi, sekretarisnya Pak Juan.""Oh, Mbak Nada," ucap Senja. "Maaf, Mbak, kita kan baru dua kali ketemu. Jadi aku belum kenal suara Mbak kalau di telepon. Ada apa?""Pak Juan ke mana? Dia baik-baik aja apa enggak?" tanya Nada untuk yang kedua kalinya. "Aku dari kemarin hubungin nomor Pak Juan, tapi enggak aktif-aktif. Aku khawatir.""Ada apa emangnya Mbak telepon Mas Juan?" tanya S
***"Mbak Nada."Turun setelah mendapat informasi tentang datangnya seorang tamu, panggilan tersebut lantas Senja lontarkan setelah mendapati Nada di sofa. Kaget sekaligus tak senang, dua perasaan tersebut menghampiri Senja sementara Nada yang kini duduk dengan setelan kantor rapi, beranjak sambil tersenyum."Aku mau ikut ke rumah sakit buat jenguk Pak Juan," kata Nada dengan nada yang terdengar sinis. "Kalau kamu menilai aku enggak tahu malu karena maksain diri, jawabannya adalah aku enggak peduli karena faktanya bukan cuman mau jenguk, aku ke rumah sakit buat nanyain perubahan jadwal Pak Jaun. Tahu dong suami kamu itu pimpinan perusahaan yang punya jadwal padat?""Oh," kata Senja. "Ya udah.""Gitu doang respon kamu?""Memangnya aku harus respon apa?" tanya Senja dengan raut wajah yang terkesan dingin. "Ucapan Mbak Nada udah sangat jelas.""Enggak mau minta maaf gitu?" tanya Nada. "Kamu udah menghalang-halangi aku ketemu Pak Juan lho, dan kalau Pak Juan tahu, dia pasti marah.""Oh y
***"Pak, selamat pagi."Setelah sebelumnya membuka pelan pintu kamar rawat Juan, sapaan bernada ragu tersebut lantas Nada lontarkan—membuat sang pemilik kamar yang semula fokus menonton siaran berita di tv, menoleh.Tak bersama Kirania mau pun Gian, Nada masuk sendiri karena setelah bertemu dua orang tersebut, perintah untuk masuk sendiri didapatkannya dari Kirania.Tak cuma-cuma, Nada harus membayar untuk bisa bertemu Juan. Tak berupa uang, bayaran darinya berwujud bunga mawar yang mau tak mau harus diserahkan setelah Kirania meminta paksa.Ya, tak bisa menolak, Nada pada akhirnya pasrah setelah Kirania memberikan pilihan sehingga tak ada buket mawar merah, yang kini dia bawa ke kamar rawat Juan hanyalah sekeranjang buah dengan isi beragam."Senada," panggil Juan dengan raut wajah terkejut. "Kamu kenapa tahu saya di sini?""Dikasih tahu Senja, Pak," kata Nada sambil melangkah mendekati Juan yang kini bersandar pada bed.Bangun sejak tadi, Juan sudah diperiksa oleh suster bahkan suda
***"Mas setuju."Kaget.Itulah yang pertama Nada rasakan setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan pada sang adik, Gian. Bukan perkataan biasa, ucapan tersebut adalah jawaban Juan perihal tawaran membuat janji yang diberikan Gian setelah beberapa waktu lalu Nada meragukan kejujuran Nabila."Pak," panggil Nada. "Bapak semudah itu mempertaruhkan jabatan saya?""Kenapa kamu khawatir banget jabatan kamu pindah?" tanya Juan. "Kamu ragu sama kejujuran Nabila, kan? Harusnya kamu enggak usah takut.""Ya emang, tapi kan-""Mas Juan setuju itu berarti Mbak Nada juga setuju, karena faktanya yang punya kewenangan soal jabatan itu Mas Juan," potong Gian. "So, kita tinggal tunggu bukti yang dimaksud Kak Nabila. Senja bilang kemarin buktinya berbentuk chat sama rekaman suara Mentari setiap curhat lewat telepon. Mau diminta sekarang apa nanti sore aja setelah kerja? Pagi ini Mbak Nada mungkin harus ke kantor.""Aku enggak setuj
***"Gimana, Mas? Ada balesan?"Duduk di samping bed tempat Juan kini duduk, pertanyaan tersebut lantas Gian lontarkan pada sang kakak yang beberapa waktu lalu mengirim pesan pada Nabila.Tak langsung menelepon, step pertama yang Juan lakukan memang menyapa lewat chat. Namun, hingga beberapa menit berlalu, pesannya tersebut tak terbalas—membuat Juan dilanda rasa penasaran."Belum," kata Juan. "Centang dua abu, cuman belum dibaca.""Masih sibuk mungkin, ini kan pagi-pagi," kata Gian."Kayanya," kata Juan. "Tapi coba Mas kirim pesan yang lebih to the point. Barusan kan cuman nanya dia masih di Bandung apa enggak. Nah, sekarang Mas mau langsung nanyain bukti.""Oke," kata Gian. "Nanti jangan lupa bilang maaf juga, karena enggak cuman Senja, Kak Nabila kena kan sama Mas Juan?""Iya.""Nah, minta maaf.""Pasti."Tak banyak menunda, selanjutnya Juan kembali mengetik pesan untuk Nabila. Bukan
***"Kak Nabila masuk rumah sakit, Mas, dia koma."Deg.Detak jantung Juan yang semula normal, seketika bertambah cepat setelah jawaban tersebut dilontarkan Senja untuk pertanyaannya beberapa detik lalu.Kaget.Hal itu jelas dirasakan Juan sekarang karena setelah kemarin melihat Nabila bertemu Senja bahkan Kirania, kabar yang dia dengar dari sang istri seperti petir di siang bolong."Kamu serius? Kenapa dia?" tanya Juan setelah beberapa detik mencerna ucapan Senja. "Perasaan kemarin baik-baik aja, kok tiba-tiba koma?""Kak Nabila jatuh di kamar mandi jam enam tadi, Mas, dan suaminya bilang pembuluh darah di kepalanya pecah," ungkap Senja—masih disertai isakan. "Karena jarak dari hotel ke rumah sakit lumayan dekat, Kak Nabila berhasil diselamatin cuman dia koma dan kapan bangun, dokter sendiri enggak bisa prediksi karena kondisinya pun belum stabil. Aku khawatir, Mas, aku takut ada apa-apa sama Kak Nabila. Padahal, aku be
***"Aku pulang dulu ya, Mas. Titip Kak Nabila dan kalau ada apa-apa tolong kabarin aku. Bagaimanapun juga aku perlu berterima kasih karena berkat Kak Nabila kehidupan aku sedikit lebih baik."Usai mengobrol selama beberapa menit bahkan menyimpan pula nomor Riga di ponselnya, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan dan sebagai respon, Riga tersenyum."Iya, hati-hati di jalan dan titip salam ke Juan," kata Riga. "Bilang ke dia maaf karena belum bisa jenguk.""Mas Juan pasti paham, Mas.""Iya," kata Riga. "Kamu pun jangan segan hubungi saya kalau ada apa-apa karena bagaimanapun saya punya janji ke Nabila buat jagain kamu dan saya pengen tepatin janji itu.""Pasti, Mas."Tak terlalu lama berbincang, selanjutnya Senja benar-benar berpamitan. Berpisah dengan Riga, dia bergegas menuju mobil dan yang ditujunya setelah ini adalah; sekolah Kiran.Sampai dalam setengah jam, Senja memasuki area sekolah untuk kemudian pergi
***"Yang ini dua kali sehari, yang ini tiga kali sama yang ini terus perban sama obat merah dikasih pas perawat mau ganti perban di kepala kamu. Udah gitu aja dan obatnya harus diminum sampai habis semua."Duduk di samping bed, penjelasan demi penjelasan lantas Senja lontarkan seraya mengeluarkan beberapa jenis obat dari kresek putih. Berasal dari apotek, Senja memang baru kembali beberapa menit lalu dan tak ada siapa-siapa, seperti biasa yang didapatinya hanyalah Juan yang nampak bersantai di bed.Gian? Cowok tersebut katanya membersihkan badan di kamar rawat Kirania setelah sempat datang untuk mengambil baju ganti yang Senja bawa."Enggak bisa diskip?""Maksudnya?" tanya Senja."Obat-obatnya enggak bisa diskip aja?" tanya Juan. "Kamu sendiri tahu kalau saya enggak bisa minum obat.""Ya enggaklah," kata Senja. "Kalau obatnya enggak diminum, gimana mau sembuh? Lagian kamu kaya anak kecil aja enggak mau minum o
***"Ah, akhirnya acara aqiqah Tian berjalan dengan lancar ya, Mas. Rasanya baru kemarin deh dia lahir, tapi ternyata udah dua minggu yang lalu."Tersenyum sambil memandang para tamu yang kini pergi meninggalkan rumahnya, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan pada Juan. Tak berada di dalam, saat ini dia dan sang suami masih berada di teras karena memang setelah acara selesai, keduanya mengantar para tamu seraya mengucapkan terima kasih.Dua minggu pasca melahirkan, Senja dan keluarga sepakat untuk mengadakan acara aqiqah baby Tian. Tak digelar di gedung, Senja dan Juan sepakat mengadakan acara di rumah.Mengundang para tetangga komplek, acara berlangsung dengan lancar dan tak sedikit, tamu yang diundang pun cukup banyak karena dari banyaknya tetangga yang diberitahu, hampir semua datang sore ini ke rumah Juan."Iya, akhirnya acara berjalan dengan lancar," kata Juan. Menoleh kemudian memandang Senja, dia kemudian berkata, "Semoga Tian seh
***"Welcome home, Mama Senja!"Membulatkan mata dengan raut wajah kaget, itulah Senja setelah sambutan tersebut didapatkannya dari orang-orang yang siang ini menyambut di ruang tengah.Dua hari menetap, Senja dan sang bayi memang diizinkan pulang hari ini untuk menjalani pemulihan di rumah. Tak dijemput siapa pun, Senja pulang berdua saja dengan Juan dan jujur dirinya sedih, karena dia pikir orang-orang rumah akan menjemputnya, mengingat kepulangan dia bukan di hari kerja melainkan hari libur.Tak menunjukan kesedihan, Senja terus berusaha tersenyum selema di jalan hingga ketika tiba di rumah, kehadiran dua mobil yang tak asing untuknya membuat dia bertanya-tanya.Bukan mobil Juan ataupun Gian, yang dilihat Senja adalah mobil Davion juga kedua orang tuanya sehingga dengan rasa penasaran yang tiba-tiba melanda, Senja bertanya.Namun, alih-alih memberikan jawaban, Juan justru meminta dia untuk masuk sehingga sambil menggendong san
***"Ayo, Bu, coba dorong."Bersandar pada bed, yang sejak tadi dia tempati, Senja menoleh ke arah Juan sebelum kemudian mengambil ancang-ancang. Menutup rapat mulutnya seperti yang disarankan, Senja mulai mengejan sekuat tenaga sambil berpegangan pada sang suami.Bukaan lengkap setelah menunggu selama beberapa jam, persalinan Senja memang segera dilakukan. Aman untuk melahirkan secara normal, Senja membiarkan tubuhnya kesakitan karena gelombang cinta yang beberapa waktu lalu datang, dan sekarang perempuan itu kembali berjuang.Bayi yang dikandung tak langsung keluar dalam sekali ejanan, Senja menjatuhkan punggungnya di bed dengan napas terengah. Beristirahat sejenak, itulah yang dia lakukan sekarang sementara dokter sibuk memeriksa sesuatu."Kuat ya, kamu pasti bisa," ucap Juan yang terus berada di samping Senja. "Doain ya, Mas," pinta Senja yang dijawab senyuman oleh sang suami."Pasti."Waktu istirahat seles
***"Gi, anak kita lucu."Berdiri persis di samping inkubator, ucapan tersebut Diandra lontarkan dengan perasaan yang terasa begitu hari. Melahirkan beberapa jam lalu, sore menjelang malam Diandra meminta untuk dibawa ke ruang Nicu. Dioperasi menggunakan metode yang cukup bagus, perempuan itu sudah mampu berdiri bahkan duduk sehingga setelah meminta izin pada Dokter, Gian membawa istrinya itu menemui sang putra.Lahir dengan tubuh yang sangat mungil, putra pertama Gian dan Diandra terlihat persis seperti sang ayah, Gian. Memiliki hidung mancung, dua alis yang tak terlalu tebal kemudian rambut hitam, bayi mungil tersebut nampak begitu baik sehingga meskipun harus menetap di inkubator hingga kondisi dan berat badan stabil, Gian mau pun Diandra lega karena sejauh ini, tak ada kelainan yang ditunjukan Pradikta atau yang lebih akrab disapa baby Dikta."Mirip banget sama aku enggak sih?" tanya Gian yang setia di samping Diandra, guna berjaga-j
***"Gimana, Dok? Apa istri saya harus lahiran sekarang karena ketubannya udah pecah?"Melihat dokter selesai memeriksa Diandra, pertanyaan tersebut lekas Gian lontarkan dengan raut wajah yang cukup tegang.Mendapat kabar tentang Diandra yang tiba-tiba mengalami pecah ketuban, Gian memang sigap membawa istrinya itu ke rumah sakit terdekat. Meskipun Diandra tak merqsa kesakitan, Gian membawa perempuan itu ke IGD sehingga tanpa perlu menunggu lama, penanganan pun dilakukan dengan cepat."Betul sekali, Pak," kata sang dokter, memberi jawaban. "Karena air ketuban yang tersisa hanya tinggal sedikit, istri Bapak harus segera melahirkan bayinya dan demi mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, kami akan melakukan tindak operasi secepatnya. Apa bapak setuju? Jika iya, nanti berkas-berkasnya disiapkan pun dengan ruang operasi.""Kalau itu yang terbaik, saya setuju, Dokter," ucap Gian. "Tapi usia kandungan istri saya baru dua puluh sembila
***"Silakan dinikmati basonya ya, Mbak, Kak, Dek, semoga bakso buatan Mamang cocok di lidah kalian."Sambil menyimpan satu persatu mangkuk bakso di atas meja makan, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan untuk istri dan kedua anaknya yang sejak beberapa menit lalu menunggu di sana.Tak bisa menolak ngidam Senja yang katanya ingin bakso buatan dia sendiri, Juan mendadak cosplay menjadi mang bakso komplek. Membuat adonan bakso kemudian mengolahnya menjadi bulatan kecil dan sedang, semua dia lakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun.Tak hanya membuat bakso, Juan juga berpakaian seperti tukang bakso demi mengabulkan keinginan Senja. Kaos abu pendek, celana pendek juga topi bulat dan handuk, semuanya dia pakai dan hal tersebut membuat Senja bahagia, sehingga meskipun harus menunggu satu jam lebih bakso yang diinginkannya jadi, perempuan itu tak bosan sama sekali."Waw," ucap Kirania takjub. "Udah cocok kayanya Papa jadi tukang bakso. Persis bua
***"Menurut Papa?"Menyipitkan mata dengan emosi yang semakin naik, itulah Juan setelah pertanyaan tersebut dilontarkan sang putri, usai dirinya bertanya tentang testpack yang ditemukan di atas meja belajar Kirania.Tak ada panik, gadis itu terlihat tenang dan hal tersebut jelas membuat Juan penasaran karena jika memang Kirania hamil, seharusnya rqsa panik melanda karena bukan hal sepele, hamil di usia belia terlebih masih pelajar adalah sebuah masalah yang sangat besar."Kamu ditanya tuh jawab, bukan balik nanya," desis Juan. "Mau Papa pukul?""Pukul apa maksud kamu?"Bukan Kirania, yang bertanya adalah Senja yang tahu-tahu berada di ambang pintu. Tak kalah serius dari Juan, perempuan itu kini menatap intens sang suami sebelum akhirnya bertanya,"Kamu lagi ngapain Kiran? Kok pake nyebut pukul segala? Berani emang kamu pukul anak aku?""Aku nemuin tespack di meja belajar Kiran, Senja, dan ini aku lagi nanya," k
***"Halo."Refleks melengkungkan senyuman, itulah yang Kirania lakukan setelah suara berat Davion terdengar dari telepon. Tak lagi di kamar sang papa, saat ini dia memang sudah kembali ke kamarnya dan tak diam saja, Kiranua menghubungi sang kekasih dengan tujuan; mengajak Davion datang ke rumah hari sabtu nanti.Mendapat lampu hijau untuk berpacaran, Kirania tak sepenuhnya bebas karena sebelum melanjutkan hubungan dengan Davion, kebaikan dan ketulusan kekasihnya tersebut harus dipastikan dulu sehingga selain makan siang bersama, sabtu nanti katanya Juan akan mengajak mantan dari istrinya tersebut berdialog empat mata."Halo, Kak, ganggu enggak?" tanya Kirania. "Kali aja Kak Davi lagi nongkrong atau bahkan udah tidur gitu?""Enggak sih, enggak ganggu," kata Davion. "Aku barusan kebetulan lagi main game. Jadi aman.""Lho, keganggu dong itu, Kak?" tanya Kirania. "Kalau ada panggilan pas main game kan nanti gamenya kepause. Iya engg
***"Putus."Kompak memasang raut wajah kaget, itulah Senja dan Kirania setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan dengan raut wajah seriusnya.Mengikuti saran Senja, malam ini Kirania jujur tentang hubungannya dengan Davion. Tak ada respon baik, Juan nampak tak suka mendengar kabar yang diberikan sang putri sehingga setelah Kirania menjawab serius tentang hubunganya dan sang kekasih, pria itu meminta sang putri putus."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Senja yang membuat atensi Juan beralih."Ya putus," kata Juan. "Aku mau Kiran sama Davion putus. Apa enggak jelas ucapan barusan?""Enggak bisa gitu dong, Pa," kata Kirania yang membut Juan kembali memandangnya. "Aku cinta sama Kak Davion begitu pun sebaliknya. Jadi enggak ada tuh putus-putus.""Jadi kamu lebih pilih Davion dibanding Papa? Iya?" tanya Juan. "Kamu masih kecil, Kiran, bahkan tujuh belas tahun pun kurang. Bisa-bisanya pacaran sama orang dewasa. Aneh tahu enggak?"