***"Pak, selamat pagi."Setelah sebelumnya membuka pelan pintu kamar rawat Juan, sapaan bernada ragu tersebut lantas Nada lontarkan—membuat sang pemilik kamar yang semula fokus menonton siaran berita di tv, menoleh.Tak bersama Kirania mau pun Gian, Nada masuk sendiri karena setelah bertemu dua orang tersebut, perintah untuk masuk sendiri didapatkannya dari Kirania.Tak cuma-cuma, Nada harus membayar untuk bisa bertemu Juan. Tak berupa uang, bayaran darinya berwujud bunga mawar yang mau tak mau harus diserahkan setelah Kirania meminta paksa.Ya, tak bisa menolak, Nada pada akhirnya pasrah setelah Kirania memberikan pilihan sehingga tak ada buket mawar merah, yang kini dia bawa ke kamar rawat Juan hanyalah sekeranjang buah dengan isi beragam."Senada," panggil Juan dengan raut wajah terkejut. "Kamu kenapa tahu saya di sini?""Dikasih tahu Senja, Pak," kata Nada sambil melangkah mendekati Juan yang kini bersandar pada bed.Bangun sejak tadi, Juan sudah diperiksa oleh suster bahkan suda
***"Mas setuju."Kaget.Itulah yang pertama Nada rasakan setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan pada sang adik, Gian. Bukan perkataan biasa, ucapan tersebut adalah jawaban Juan perihal tawaran membuat janji yang diberikan Gian setelah beberapa waktu lalu Nada meragukan kejujuran Nabila."Pak," panggil Nada. "Bapak semudah itu mempertaruhkan jabatan saya?""Kenapa kamu khawatir banget jabatan kamu pindah?" tanya Juan. "Kamu ragu sama kejujuran Nabila, kan? Harusnya kamu enggak usah takut.""Ya emang, tapi kan-""Mas Juan setuju itu berarti Mbak Nada juga setuju, karena faktanya yang punya kewenangan soal jabatan itu Mas Juan," potong Gian. "So, kita tinggal tunggu bukti yang dimaksud Kak Nabila. Senja bilang kemarin buktinya berbentuk chat sama rekaman suara Mentari setiap curhat lewat telepon. Mau diminta sekarang apa nanti sore aja setelah kerja? Pagi ini Mbak Nada mungkin harus ke kantor.""Aku enggak setuj
***"Gimana, Mas? Ada balesan?"Duduk di samping bed tempat Juan kini duduk, pertanyaan tersebut lantas Gian lontarkan pada sang kakak yang beberapa waktu lalu mengirim pesan pada Nabila.Tak langsung menelepon, step pertama yang Juan lakukan memang menyapa lewat chat. Namun, hingga beberapa menit berlalu, pesannya tersebut tak terbalas—membuat Juan dilanda rasa penasaran."Belum," kata Juan. "Centang dua abu, cuman belum dibaca.""Masih sibuk mungkin, ini kan pagi-pagi," kata Gian."Kayanya," kata Juan. "Tapi coba Mas kirim pesan yang lebih to the point. Barusan kan cuman nanya dia masih di Bandung apa enggak. Nah, sekarang Mas mau langsung nanyain bukti.""Oke," kata Gian. "Nanti jangan lupa bilang maaf juga, karena enggak cuman Senja, Kak Nabila kena kan sama Mas Juan?""Iya.""Nah, minta maaf.""Pasti."Tak banyak menunda, selanjutnya Juan kembali mengetik pesan untuk Nabila. Bukan
***"Kak Nabila masuk rumah sakit, Mas, dia koma."Deg.Detak jantung Juan yang semula normal, seketika bertambah cepat setelah jawaban tersebut dilontarkan Senja untuk pertanyaannya beberapa detik lalu.Kaget.Hal itu jelas dirasakan Juan sekarang karena setelah kemarin melihat Nabila bertemu Senja bahkan Kirania, kabar yang dia dengar dari sang istri seperti petir di siang bolong."Kamu serius? Kenapa dia?" tanya Juan setelah beberapa detik mencerna ucapan Senja. "Perasaan kemarin baik-baik aja, kok tiba-tiba koma?""Kak Nabila jatuh di kamar mandi jam enam tadi, Mas, dan suaminya bilang pembuluh darah di kepalanya pecah," ungkap Senja—masih disertai isakan. "Karena jarak dari hotel ke rumah sakit lumayan dekat, Kak Nabila berhasil diselamatin cuman dia koma dan kapan bangun, dokter sendiri enggak bisa prediksi karena kondisinya pun belum stabil. Aku khawatir, Mas, aku takut ada apa-apa sama Kak Nabila. Padahal, aku be
***"Aku pulang dulu ya, Mas. Titip Kak Nabila dan kalau ada apa-apa tolong kabarin aku. Bagaimanapun juga aku perlu berterima kasih karena berkat Kak Nabila kehidupan aku sedikit lebih baik."Usai mengobrol selama beberapa menit bahkan menyimpan pula nomor Riga di ponselnya, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan dan sebagai respon, Riga tersenyum."Iya, hati-hati di jalan dan titip salam ke Juan," kata Riga. "Bilang ke dia maaf karena belum bisa jenguk.""Mas Juan pasti paham, Mas.""Iya," kata Riga. "Kamu pun jangan segan hubungi saya kalau ada apa-apa karena bagaimanapun saya punya janji ke Nabila buat jagain kamu dan saya pengen tepatin janji itu.""Pasti, Mas."Tak terlalu lama berbincang, selanjutnya Senja benar-benar berpamitan. Berpisah dengan Riga, dia bergegas menuju mobil dan yang ditujunya setelah ini adalah; sekolah Kiran.Sampai dalam setengah jam, Senja memasuki area sekolah untuk kemudian pergi
***"Yang ini dua kali sehari, yang ini tiga kali sama yang ini terus perban sama obat merah dikasih pas perawat mau ganti perban di kepala kamu. Udah gitu aja dan obatnya harus diminum sampai habis semua."Duduk di samping bed, penjelasan demi penjelasan lantas Senja lontarkan seraya mengeluarkan beberapa jenis obat dari kresek putih. Berasal dari apotek, Senja memang baru kembali beberapa menit lalu dan tak ada siapa-siapa, seperti biasa yang didapatinya hanyalah Juan yang nampak bersantai di bed.Gian? Cowok tersebut katanya membersihkan badan di kamar rawat Kirania setelah sempat datang untuk mengambil baju ganti yang Senja bawa."Enggak bisa diskip?""Maksudnya?" tanya Senja."Obat-obatnya enggak bisa diskip aja?" tanya Juan. "Kamu sendiri tahu kalau saya enggak bisa minum obat.""Ya enggaklah," kata Senja. "Kalau obatnya enggak diminum, gimana mau sembuh? Lagian kamu kaya anak kecil aja enggak mau minum o
***"Oke, terima kasih infonya, Senada. Maaf kalau ketidakhadiran saya membuat kamu sedikit kerepotan."Selesai menyimak laporan yang diberikan Nada, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan pada sang sekretaris. Makan siang terjeda, beberapa waktu lalu Juan tiba-tiba mendapat panggilan dari Senada.Khawatir ada hal penting, Juan menjawab panggilan tersebut di depan Senja dan tak salah dugaan, Nada benar-benar ingin menyampaikan masalah pekerjaan padanya, sehingga dengan baik Juan menyimak."Enggak masalah, Pa, insiden kan enggak ada yang tahu.""Iya," kata Juan. "Oh, ya nanti sore jangan lupa ke sini setelah dari kantor ya. Ada yang pengen saya bicarain sama kamu.""Wajib, Pak?""Iya," kata Juan. "Saya tunggu banget.""Oh oke, tapi kalau boleh tahu apa ya yang mau Bapak bicarain?" tanya Nada. "Masalah pribadikah? Atau mungkin masalah kerjaan?""Masalah kerjaan," kata Juan. "Intinya harus datang jangan sam
***"Kenapa nawarin buat jadi sekretaris ke aku? Maksudnya, kan, Mbak Nada masih ada dan enggak ngundurin diri. Kenapa harus diganti?"Tiba-tiba ditawari untuk menjadi sekretaris Juan, pertanyaan tersebut lantas Senja lontarkan pada sang suami yang masih mengarahkan atensi padanya.Heran.Itulah yang dia rasakan karena jika melihat interaksi Juan dan Nada, keduanya seperti tak ada masalah sehingga ucapan Juan beberapa detik lalu jelas membuatnya curiga.Khawatir dijebak seperti ketika awal-awal menikah, itulah yang Senja rasakan karena meskipun Juan sudah berjanji untuk memperbaiki semua, bisa saja janji Juan palsu."Ya karena udah kesepakatan," kata Juan. "Saya pikid Gian udah ngomong sama kamu.""Aku belum ketemu bahkan berkomunikasi sama Gian, jadi aku enggak tahu apa-apa," kata Senja apa adanya. "Kenapa memang? Kesepakatan apa yang Mas maksud?"Juan menghela napas. "Tadi saya bercerita perihal semua yang Men