***
"Oke, terima kasih infonya, Senada. Maaf kalau ketidakhadiran saya membuat kamu sedikit kerepotan."Selesai menyimak laporan yang diberikan Nada, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan pada sang sekretaris. Makan siang terjeda, beberapa waktu lalu Juan tiba-tiba mendapat panggilan dari Senada.Khawatir ada hal penting, Juan menjawab panggilan tersebut di depan Senja dan tak salah dugaan, Nada benar-benar ingin menyampaikan masalah pekerjaan padanya, sehingga dengan baik Juan menyimak."Enggak masalah, Pa, insiden kan enggak ada yang tahu.""Iya," kata Juan. "Oh, ya nanti sore jangan lupa ke sini setelah dari kantor ya. Ada yang pengen saya bicarain sama kamu.""Wajib, Pak?""Iya," kata Juan. "Saya tunggu banget.""Oh oke, tapi kalau boleh tahu apa ya yang mau Bapak bicarain?" tanya Nada. "Masalah pribadikah? Atau mungkin masalah kerjaan?""Masalah kerjaan," kata Juan. "Intinya harus datang jangan sam***"Kenapa nawarin buat jadi sekretaris ke aku? Maksudnya, kan, Mbak Nada masih ada dan enggak ngundurin diri. Kenapa harus diganti?"Tiba-tiba ditawari untuk menjadi sekretaris Juan, pertanyaan tersebut lantas Senja lontarkan pada sang suami yang masih mengarahkan atensi padanya.Heran.Itulah yang dia rasakan karena jika melihat interaksi Juan dan Nada, keduanya seperti tak ada masalah sehingga ucapan Juan beberapa detik lalu jelas membuatnya curiga.Khawatir dijebak seperti ketika awal-awal menikah, itulah yang Senja rasakan karena meskipun Juan sudah berjanji untuk memperbaiki semua, bisa saja janji Juan palsu."Ya karena udah kesepakatan," kata Juan. "Saya pikid Gian udah ngomong sama kamu.""Aku belum ketemu bahkan berkomunikasi sama Gian, jadi aku enggak tahu apa-apa," kata Senja apa adanya. "Kenapa memang? Kesepakatan apa yang Mas maksud?"Juan menghela napas. "Tadi saya bercerita perihal semua yang Men
***"Selamat sore."Sambil membuka pintu secara perlahan, sapaan tersebut Nada lontarkan begitu tiba di ambang pintu kamar rawat Juan. Waktu pulang kerja tiba, Nada memang ke rumah sakit guna mematuhi perintah Juan.Tak menduga disambut beberapa orang sekaligus di kamar rawat, Nada pikir yang akan dia temui hanyalah Juan atau mungkin berdua dengan Senja. Namun, ternyata dugaan dia salah karena tak hanya sang bos beserta istri, di dekat bed ada pula Kiran bahkan Gian yang sepertinya sengaja menunggu.Tegang?Jawabannya adalah iya, karena begitu dirinya masuk, tatapan semua orang tertuju pada dia—membuat degupan jantung Nada kini tak menentu."Sore," sapa Juan. "Masuk, Nada, kita semua udah nunggu kamu di sini sejak sepuluh menit lalu.""Baik, Pak."Dengan hati berdebar, Nada masuk lebih dalam hingga tak berselang lama dia berhenti di dekat bed Juan. Tak jauh dari Senja mau pun Kiran, Nada mengarahkan atensinya pa
***"Ah, kurang ajar! Bisa-bisanya Pak Juan hempasin aku gitu aja setelah baikan sama Senja. Lupa apa dia siapa yang selalu nemenin dia pas sedih? Gue! Bukan Senja! Argh!"Baru tiba di kamar apartemen tempatnya tinggal, teriakan tersebut langsung Nada keluarkan sebagai pelampiasan kesal. Tak terima, itulah yang dia rasakan setelah Juan menurunkan jabatannya dengan sangat mudah.Namun, untuk sekadar protes, Nada pun tak bisa karena di kamar rawat sang atasan tadi, dirinya benar-benar disudutkan sehingga meskipun emosi, yang Nada lakukan hanyalah pasrah.Ingin resign, Nada juga tak bisa karena di zaman sekarang, mencari pekerjaan bisa dibilang sulit sehingga mau tak mau dia harus bertahan, karena ada biaya sewa apartemen yang harus dibayarnya setiap bulan."Ini pasti ulahnya si Senja," desis Nada dengan napas yang terengah karena emosi. "Pak Juan minta maaf sama Senja dan dia minta Pak Juan lakuin ini ke gue. Ya, enggak salah lagi jelas dia
***"Dari Davionnya langsung. Dia yang ngasih tahu aku dan ya ... dia punya bukti."Setelah dibuat kaget oleh Senja yang tiba-tiba membahas perbuatannya pada Davion tempo hari, Juan kembali terkejut setelah jawaban tersebut dengan santai dilontarkan sang istri.Tak ada penekanan apalagi emosi, Senja terdengar santai ketika berucap. Namun, justru hal tersebut membuat Juan takut, karena terkadang yang tenang jauh lebih berbahaya dibanding sebaliknya."Bukti apa?""Bukti chat cewek yang waktu itu jebak Davion sama kamu," kata Senja sambil memberikan tatapannya pada Juan. "Enggak cuman itu, ada juga bukti transfer dari rekening dengan nama Juandra Bimasena. Nama Juan atau Juandra memang banyak, tapi kayanya jarang kan, Mas, yang plek ketiplek gitu? Jadi selain Mas Juan suami aku, siapa lagi yang fitnah Davion? Lagian alasannya juga kuat.""Saya minta maaf," ucap Juan tanpa berniat membela diri. "Waktu itu saya hanya tidak ingin kamu
***"Tekanan darahnya normal ya, Pak, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan setelah ini Bapak hanya tinggal menjalani pemulihan di rumah. Lekas sehat dan jangan lupa kembali hari senin nanti untuk melakukan check up."Selesai menjalani pemeriksaan akhir, ucapan tersebut didapatkan Juan dari dokter yang pagi ini mengunjunginya. Tak sekadar memeriksa seperti pagi-pagi sebelumnya, hari ini dokter membawa kabar bahagia yaitu; Juan bisa pulang.Sembilan hari menjalani perawatan, kondisi Juan dinyatakan aman untuk kembali ke rumah sehingga setelahnya pria tiga puluh tujuh tahun itu hanya perlu menjalani rawat jalan."Terima kasih, Dokter.""Sama-sama," kata sang dokter. "Nanti saya berikan surat kontrolnya untuk menggu depan ya.""Oke.""Ah, satu lagi," kata dokter. "Kaki Bapak apa masih sakit untuk dipijakkan? Saat kecelakan, kaki kiri Bapak terkilir kan ya di bagian pergelangan? Bagaimana sekarang?""Aman," kata Ju
***"Sakit enggak?"Duduk membungkuk dengan pandangan yang tertuju pada Juan, pertanyaan tersebut lantas Senja berikan sambil menekan beberapa kali pergelangan kaki suaminya itu.Tak lagi di rumah sakit, sekarang Senja dan Juan berada di sebuah pemakaman. Namun, belum turun, keduanya masih berada di mobil yang sejak beberapa waktu ke belakang dikendarai Senja.Tak menolak ketika Juan ingin mengunjungi makam Mentari, Senja memang mengikuti kemauan suaminya itu karena setelah sepuluh hari tak berkunjung, rasa rindu pada sang kakak, bersemayam.Tak hanya itu, Senja juga ingin melihat bagaimana Juan meminta maaf pada sang kakak karena minggu lalu ketika sang suami datang ke makam Mentari, dia tak tahu."Enggak terlalu, aman," kata Juan.Tengah mengecek pergelangan kaki Juan yang sempat terkilir, itulah kegiatan Senja sekarang karena meskipun mengaku tak sakit, dia harus memastikan dulu sebelum sang suami berjalan jauh ke ten
***(Pulang sekolah jangan ke mana-mana dulu ya, malam ini kita mau makan sama-sama di rumah sebagai perayaan Papa kamu pulang dari rumah sakit. Takutnya kejebak macet kalau kamu pergi-pergian dulu.)Beristirahat sejenak setelah menyelesaikan kegiatan ekstrakurikuler, senyuman tipis terukir di bibir Kiran usai pesan dari Senja selesai dia baca.Senang, tentunya itulah yang dia rasakan karena setelah seminggu orang-orang di rumah tak lengkap, malam ini mereka akan berkumpul kembali untuk makan bersama."Akhirnya semua pulih," gumam Kiran. "Semoga aja enggak sementara."Tak langsung beranjak setelah membaca pesan dari Senja, Kiran lantas membalas hingga setelah pesan tersebut berhasil dikirim, dia mengambil tas untuk kemudian pulang.Tak lagi siang, sekarang jarum jam sudah ada di angka empat sore sehingga manut pada perintah Senja, dia akan segera pulang bersama Pak Ahmad yang sepertinya sudah datang."Kiw, bocil! Baru pulang Cil?"Tengah berjalan menuju gerbang, Kiran seketika berhenti
***"Masih masak?"Tengah menjaga ayam goreng di wajan, Senja menoleh setelah pertanyaan tersebut dilontarkan Juan yang kini menghampirinya di dapur. Belum mandi, pria itu masih mengenakan baju siang karena memang setelah minum obat pukul satu tadi, Juan terlelap sekitar pukul dua."Mas," panggil Senja. "Iya, kenapa? Eh, kamu kapan bangun?""Ada mungkin dua puluh menit lalu, cuman tadi di kamar Caca dulu," kata Juan. "Itu kamu tinggal bikin apa? Terus bibi ke mana kok enggak ada? Harusnya bibi yang masak.""Tinggal goreng ayam terus bumbuin pake bumbu merah sama terakhir mungkin tumis capcai," kata Senja. "Kalau kamu tanya Bibi, beliau lagi angkat jemuran di atas.""Oh," ucap Juan. Mendekati meja makan, dia menarik kursi sebelum akhirnya duduk dan kembali bertanya, "Kiran udah pulang belum? Udah jam lima.""Belum, masih di jalan kayanya," kata Senja. "Aku udah ingetin kok tadi biar enggak ke mana-mana dulu supaya enggak kejebak macet dan katanya siap.""Oh oke.""Kamu mau apa nanyain