***"Masih masak?"Tengah menjaga ayam goreng di wajan, Senja menoleh setelah pertanyaan tersebut dilontarkan Juan yang kini menghampirinya di dapur. Belum mandi, pria itu masih mengenakan baju siang karena memang setelah minum obat pukul satu tadi, Juan terlelap sekitar pukul dua."Mas," panggil Senja. "Iya, kenapa? Eh, kamu kapan bangun?""Ada mungkin dua puluh menit lalu, cuman tadi di kamar Caca dulu," kata Juan. "Itu kamu tinggal bikin apa? Terus bibi ke mana kok enggak ada? Harusnya bibi yang masak.""Tinggal goreng ayam terus bumbuin pake bumbu merah sama terakhir mungkin tumis capcai," kata Senja. "Kalau kamu tanya Bibi, beliau lagi angkat jemuran di atas.""Oh," ucap Juan. Mendekati meja makan, dia menarik kursi sebelum akhirnya duduk dan kembali bertanya, "Kiran udah pulang belum? Udah jam lima.""Belum, masih di jalan kayanya," kata Senja. "Aku udah ingetin kok tadi biar enggak ke mana-mana dulu supaya enggak kejebak macet dan katanya siap.""Oh oke.""Kamu mau apa nanyain
***"Pulang juga tuh anak kucrut."Duduk di kursi yang tersedia di teras, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan dengan raut wajah yang terlihat sebal.Bukan tanpa alasan, kalimat tersebut diucapkannya setelah sebuah mobil memasuki halaman. Bukan mobil orang lain, mobil berjenis xenia tersebut milik Davion yang baru bisa membawa Kiran pulang setelah lama mengantri seblak.Ya, mengantri seblak.Tak kejahatan yang dilakukan Davion terhadap Kiran, alasan keduanya pulang terlambat adalah; karena kedai seblak yang dikunjungi sore ini sangat ramai sehingga Davion dan Kiran pun harus mengantri.Perihal pesan Juan yang sempat tak dibalas, Davion bilang ponselnya disimpan di mobil, sehingga pria itu baru bisa membalas pesan suami Senja tersebut setelah kegiatan membeli seblak selesai. "Jangan emosi lho, Mas, Davion enggak apa-apain Kiran," ucap Senja yang setia menemani sang suami.Bukan khawatir Juan tak berani di luar sendiri saat maghrib, alasannya berada di samping sang suami adalah untuk
***"Selamat makan ya, semua. Semoga suka sama masakan aku dan bibi."Dengan senyuman terukir di bibir, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan pada semua orang di meja makan. Tak lagi di luar, dia dan Juan memang sudah berpindah tempat ke ruang makan dan tak hanya bersama keluarga, di acara makan bersama malam ini ada pula Davion yang ikut bergabung.Sempat menolak, Davion pada akhirnya mau setelah Senja membujuk dan tentunya tak ada kontra, Juan manut karena semenjak bertekad memperbaiki hubungan dengan sang istri, nyali Juan untuk melawan Senja seketika ciyut."Makasih, Tante Senja," ucap Gian yang kini duduk di di ujung meja—berhadapan dengan Juan. "Makanannya pasti enak sih. Udah enggak diraguin.""Setuju," kata Caca yang berada di samping kiri Senja sementara Kiran dan Davion sendiri bersebelahan di depan Senja. "Masakan Mama Senja sama enaknya kaya masakan Mama Mentari. Aku suka.""Bisa aja anak gadis," ucap Senja bahagia.Tak banyak menunda, setelahnya perintah untuk memulai m
***"Mas."Melihat Juan keluar dari kamar mandi, panggilan tersebut dengan segera Senja lontarkan pada suaminya tersebut. Belum terlelap sejak ditinggal Juan yang katanya mendadak tak enak perut, Senja memang memutuskan untuk menunggu sang suami selesai. Bukan tanpa alasan, hal tersebut dia lakukan guna memastikan sesuatu yaitu; marah atau tidaknya Juan setelah dirinya menjawab belum siap disentuh.Mengalami sedikit trauma pasca kejadian tempo hari, Senja memberikan jawaban tersebut ketika Juan bertanya perihal mau atau tidaknya dia memberikan kegadisan pada pria itu.Tak menolak terang-terangan, Senja berkata mau. Namun, untuk melakukannya dalam waktu dekat, dia tak siap.Tak sempat mengobrol lebih panjang, setelah Senja menjawab demikian, Juan pamit pergi ke kamar mandi sehingga untuk terlelap, rasanya Senja tak tenang."Kamu belum tidur?" tanya Juan sambil menoleh. "Aku pikir tidur duluan.""Belum, aku nungguin kamu.""Ada apa?" tanya Juan sambil menautkan kedua alis. Berjalan mend
103). Istri Yang Sesungguhnya***"Mas Juan bangun, Mas, udah setengah enam."Berdiri sambil sedikit membungkukan badan, ucapam tersebut lantas Senja lontarkan pada Juan yang masih terlelap.Bangun lebih dulu dibanding sang suami, Senja membuka matanya sekitar pukul lima pagi tadi dan karena merasa gerah, kegiatannya setelah itu adalah mandi sehingga ketika membangunkan sang suami, penampilannya sudah segar dan wangi."Mas Juan ...."Tak bangun dengan sekali panggilan, Senja kembali berusaha sambil menepuk pelan bahu Juan dan tak lagi gagal, usahanya kali ini membuahkan hasil karena setelahnya Juan buka suara."Hmmmm.""Bangun, Mas, udah setengah enam," kata Senja. "Mau ke kantor, kan, kamu hari ini?""Iya," jawab Juan parau."Bangun dong kalau gitu," kata Senja. "Mandi, siap-siap terus sarapan. Banyak kegiatan yang harus kamu lakuin sebelum ke kantor.""Sepuluh menit lagi," kata Juan tanpa berbalik, karena memang posisi tidur pria itu kini membelakangi Senja. "Nanti setelah sepuluh me
***"Benar gitu enggak sih? Lama enggak pake dasi rasanya aku lupa-lupa ingat deh sama cara bikin simpul."Tersenyum setelah selesai memasangkan dasi di leher Juan, pertanyaan tersebut lantas Senja lontarkan pada sang suami. Sedikit ragu simpul dasi yang dia buat, benar, itulah yang dia rasakan sehingga setelahnya Juan pun mengecek."Udah kok benar gini," kata Juan. "Meskipun agak menyon dikit, enggak apa-apa. Masih kelihatan rapi.""Lho, menyon ya?" tanya Senja. "Ya udah sini ak-""Enggak usah," potong Juan sambil melindungi simpul dasinya dengan telapak tangan. "Ini udah bagus untuk hari pertama kamu pasangin dasi buat aku. Next time pasti bisa lebih rapi."Meleleh.Cukup lama selalu menyimpan kesal setiap berinteraksi dengan Juan, untuk pertama kalinya Senja meleleh mendengar pernyataan suaminya yang terdengar begitu manis.Merasa diapresiasi, itulah Senja sekarang sehingga tanpa ragu dia tersenyum
***"Papa kenapa? Kok sejak tadi senyum-senyum terus? Aneh deh."Setelah sejak tadi memperhatikan tingkah aneh sang papa, pertanyaan tersebut akhirnya meluncur juga dari bibir mungil Caca.Bukan tanpa alasan, Caca bertanya demikian setelah sejak berangkat dari rumah, dia melihat sang papa terus tersenyum. Entah apa yang sedang Juan pikirkan, Caca sendiri tak tahu. Namun, yang jelas dia merasa aneh karena tak biasanya sang papa seperti itu."Lho, Caca merhatiin Papa?" tanya Juan sambil menoleh sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan. "Papa pikir enggak ada yang perhatiin. Jadi malu.""Aku perhatiin Papa tahu daritadi dan aku serem lihat Papa senyum sendiri," kata Caca. "Udah kaya orang kesurupan aja.""Dih, serem banget ucapannya," kata Juan tanpa melunturkan senyum dari bibir. "Papa enggak kesurupan, Ca, Papa cuman lagi bahagia aja.""Bahagia kenapa?"Karena dicium Tante Senja.Tak terlontar langsung
***"Sekadar sahabat. Enggak ada hubungan spesial, saya dan Senja sekadar itu karena memang kan dulu kita kuliah di tempat yang sama. Jelas?"Ditodong pertanyaan tentang hubungannya dengan Senja, jawaban tersebut meluncur dengan lancar dari mulut Davion. Punya feeling tak baik terhadap perempuan di depannya, Davion memutuskan untuk berbohong perihal status dia dan Senja dengan harapan; Nada akan percaya dengan apa yang dia katakan."Oh, jadi enggak ada hubungan spesial?" tanya Nada sambil menaikkan sebelah alis."Spesialnya ya itu, sahabat," kata Davion."Ya maksudnya bukan spesial itu," kata Nada. "Pernah suka atau pacaran gitu.""Enggak," kata Davion lagi. "Lagian pas kuliah, Senja punya pacar dan saya akrab sama pacarnya. Jadi mana mungkin saya sama Senja punya hubungan.""Siapa emang pacarnya Senja?""Tanya aja coba, Mbak, ke orangnya," kata Davion. "Sekarang daripada terus nanyain masalah enggak p
***"Ah, akhirnya acara aqiqah Tian berjalan dengan lancar ya, Mas. Rasanya baru kemarin deh dia lahir, tapi ternyata udah dua minggu yang lalu."Tersenyum sambil memandang para tamu yang kini pergi meninggalkan rumahnya, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan pada Juan. Tak berada di dalam, saat ini dia dan sang suami masih berada di teras karena memang setelah acara selesai, keduanya mengantar para tamu seraya mengucapkan terima kasih.Dua minggu pasca melahirkan, Senja dan keluarga sepakat untuk mengadakan acara aqiqah baby Tian. Tak digelar di gedung, Senja dan Juan sepakat mengadakan acara di rumah.Mengundang para tetangga komplek, acara berlangsung dengan lancar dan tak sedikit, tamu yang diundang pun cukup banyak karena dari banyaknya tetangga yang diberitahu, hampir semua datang sore ini ke rumah Juan."Iya, akhirnya acara berjalan dengan lancar," kata Juan. Menoleh kemudian memandang Senja, dia kemudian berkata, "Semoga Tian seh
***"Welcome home, Mama Senja!"Membulatkan mata dengan raut wajah kaget, itulah Senja setelah sambutan tersebut didapatkannya dari orang-orang yang siang ini menyambut di ruang tengah.Dua hari menetap, Senja dan sang bayi memang diizinkan pulang hari ini untuk menjalani pemulihan di rumah. Tak dijemput siapa pun, Senja pulang berdua saja dengan Juan dan jujur dirinya sedih, karena dia pikir orang-orang rumah akan menjemputnya, mengingat kepulangan dia bukan di hari kerja melainkan hari libur.Tak menunjukan kesedihan, Senja terus berusaha tersenyum selema di jalan hingga ketika tiba di rumah, kehadiran dua mobil yang tak asing untuknya membuat dia bertanya-tanya.Bukan mobil Juan ataupun Gian, yang dilihat Senja adalah mobil Davion juga kedua orang tuanya sehingga dengan rasa penasaran yang tiba-tiba melanda, Senja bertanya.Namun, alih-alih memberikan jawaban, Juan justru meminta dia untuk masuk sehingga sambil menggendong san
***"Ayo, Bu, coba dorong."Bersandar pada bed, yang sejak tadi dia tempati, Senja menoleh ke arah Juan sebelum kemudian mengambil ancang-ancang. Menutup rapat mulutnya seperti yang disarankan, Senja mulai mengejan sekuat tenaga sambil berpegangan pada sang suami.Bukaan lengkap setelah menunggu selama beberapa jam, persalinan Senja memang segera dilakukan. Aman untuk melahirkan secara normal, Senja membiarkan tubuhnya kesakitan karena gelombang cinta yang beberapa waktu lalu datang, dan sekarang perempuan itu kembali berjuang.Bayi yang dikandung tak langsung keluar dalam sekali ejanan, Senja menjatuhkan punggungnya di bed dengan napas terengah. Beristirahat sejenak, itulah yang dia lakukan sekarang sementara dokter sibuk memeriksa sesuatu."Kuat ya, kamu pasti bisa," ucap Juan yang terus berada di samping Senja. "Doain ya, Mas," pinta Senja yang dijawab senyuman oleh sang suami."Pasti."Waktu istirahat seles
***"Gi, anak kita lucu."Berdiri persis di samping inkubator, ucapan tersebut Diandra lontarkan dengan perasaan yang terasa begitu hari. Melahirkan beberapa jam lalu, sore menjelang malam Diandra meminta untuk dibawa ke ruang Nicu. Dioperasi menggunakan metode yang cukup bagus, perempuan itu sudah mampu berdiri bahkan duduk sehingga setelah meminta izin pada Dokter, Gian membawa istrinya itu menemui sang putra.Lahir dengan tubuh yang sangat mungil, putra pertama Gian dan Diandra terlihat persis seperti sang ayah, Gian. Memiliki hidung mancung, dua alis yang tak terlalu tebal kemudian rambut hitam, bayi mungil tersebut nampak begitu baik sehingga meskipun harus menetap di inkubator hingga kondisi dan berat badan stabil, Gian mau pun Diandra lega karena sejauh ini, tak ada kelainan yang ditunjukan Pradikta atau yang lebih akrab disapa baby Dikta."Mirip banget sama aku enggak sih?" tanya Gian yang setia di samping Diandra, guna berjaga-j
***"Gimana, Dok? Apa istri saya harus lahiran sekarang karena ketubannya udah pecah?"Melihat dokter selesai memeriksa Diandra, pertanyaan tersebut lekas Gian lontarkan dengan raut wajah yang cukup tegang.Mendapat kabar tentang Diandra yang tiba-tiba mengalami pecah ketuban, Gian memang sigap membawa istrinya itu ke rumah sakit terdekat. Meskipun Diandra tak merqsa kesakitan, Gian membawa perempuan itu ke IGD sehingga tanpa perlu menunggu lama, penanganan pun dilakukan dengan cepat."Betul sekali, Pak," kata sang dokter, memberi jawaban. "Karena air ketuban yang tersisa hanya tinggal sedikit, istri Bapak harus segera melahirkan bayinya dan demi mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, kami akan melakukan tindak operasi secepatnya. Apa bapak setuju? Jika iya, nanti berkas-berkasnya disiapkan pun dengan ruang operasi.""Kalau itu yang terbaik, saya setuju, Dokter," ucap Gian. "Tapi usia kandungan istri saya baru dua puluh sembila
***"Silakan dinikmati basonya ya, Mbak, Kak, Dek, semoga bakso buatan Mamang cocok di lidah kalian."Sambil menyimpan satu persatu mangkuk bakso di atas meja makan, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan untuk istri dan kedua anaknya yang sejak beberapa menit lalu menunggu di sana.Tak bisa menolak ngidam Senja yang katanya ingin bakso buatan dia sendiri, Juan mendadak cosplay menjadi mang bakso komplek. Membuat adonan bakso kemudian mengolahnya menjadi bulatan kecil dan sedang, semua dia lakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun.Tak hanya membuat bakso, Juan juga berpakaian seperti tukang bakso demi mengabulkan keinginan Senja. Kaos abu pendek, celana pendek juga topi bulat dan handuk, semuanya dia pakai dan hal tersebut membuat Senja bahagia, sehingga meskipun harus menunggu satu jam lebih bakso yang diinginkannya jadi, perempuan itu tak bosan sama sekali."Waw," ucap Kirania takjub. "Udah cocok kayanya Papa jadi tukang bakso. Persis bua
***"Menurut Papa?"Menyipitkan mata dengan emosi yang semakin naik, itulah Juan setelah pertanyaan tersebut dilontarkan sang putri, usai dirinya bertanya tentang testpack yang ditemukan di atas meja belajar Kirania.Tak ada panik, gadis itu terlihat tenang dan hal tersebut jelas membuat Juan penasaran karena jika memang Kirania hamil, seharusnya rqsa panik melanda karena bukan hal sepele, hamil di usia belia terlebih masih pelajar adalah sebuah masalah yang sangat besar."Kamu ditanya tuh jawab, bukan balik nanya," desis Juan. "Mau Papa pukul?""Pukul apa maksud kamu?"Bukan Kirania, yang bertanya adalah Senja yang tahu-tahu berada di ambang pintu. Tak kalah serius dari Juan, perempuan itu kini menatap intens sang suami sebelum akhirnya bertanya,"Kamu lagi ngapain Kiran? Kok pake nyebut pukul segala? Berani emang kamu pukul anak aku?""Aku nemuin tespack di meja belajar Kiran, Senja, dan ini aku lagi nanya," k
***"Halo."Refleks melengkungkan senyuman, itulah yang Kirania lakukan setelah suara berat Davion terdengar dari telepon. Tak lagi di kamar sang papa, saat ini dia memang sudah kembali ke kamarnya dan tak diam saja, Kiranua menghubungi sang kekasih dengan tujuan; mengajak Davion datang ke rumah hari sabtu nanti.Mendapat lampu hijau untuk berpacaran, Kirania tak sepenuhnya bebas karena sebelum melanjutkan hubungan dengan Davion, kebaikan dan ketulusan kekasihnya tersebut harus dipastikan dulu sehingga selain makan siang bersama, sabtu nanti katanya Juan akan mengajak mantan dari istrinya tersebut berdialog empat mata."Halo, Kak, ganggu enggak?" tanya Kirania. "Kali aja Kak Davi lagi nongkrong atau bahkan udah tidur gitu?""Enggak sih, enggak ganggu," kata Davion. "Aku barusan kebetulan lagi main game. Jadi aman.""Lho, keganggu dong itu, Kak?" tanya Kirania. "Kalau ada panggilan pas main game kan nanti gamenya kepause. Iya engg
***"Putus."Kompak memasang raut wajah kaget, itulah Senja dan Kirania setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan dengan raut wajah seriusnya.Mengikuti saran Senja, malam ini Kirania jujur tentang hubungannya dengan Davion. Tak ada respon baik, Juan nampak tak suka mendengar kabar yang diberikan sang putri sehingga setelah Kirania menjawab serius tentang hubunganya dan sang kekasih, pria itu meminta sang putri putus."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Senja yang membuat atensi Juan beralih."Ya putus," kata Juan. "Aku mau Kiran sama Davion putus. Apa enggak jelas ucapan barusan?""Enggak bisa gitu dong, Pa," kata Kirania yang membut Juan kembali memandangnya. "Aku cinta sama Kak Davion begitu pun sebaliknya. Jadi enggak ada tuh putus-putus.""Jadi kamu lebih pilih Davion dibanding Papa? Iya?" tanya Juan. "Kamu masih kecil, Kiran, bahkan tujuh belas tahun pun kurang. Bisa-bisanya pacaran sama orang dewasa. Aneh tahu enggak?"