***
"Gian bisa lebih cepat enggak?"Dengan kedua mata berkaca-kaca pun perasaan panik yang kini hinggap, pertanyaan tersebut lantas Senja lontarkan pada Gian. Tak lagi di rumah, saat ini dia dan Gian tengah berada di dalam mobil dan tak akan pergi ke sembarang tempat, tujuan keduanya adalah rumah sakit.Juan kecelakaan.Itulah alasan Senja dan Gian pergi ke rumah sakit malam ini. Didatangi polisi yang memberikan kabar perihal kecelakaan yang dialami Juan, Senja dilanda rasa panik sehingga tanpa basa-basi dia lekas mengajak Gian untuk mengecek.Menitipkan Kirania dan Caca pada Bibi, untuk sementara waktu Senja menyembunyikan perihal apa yang terjadi pada Juan, dari keponakannya. Tak mau membuat Kirania mau pun Caca khawatir, hal tersebutlah yang menjadi alasan dan Gian setuju karena di kondisi Kirania sekarang, dia khawatir keponakannya tersebut semakin down."Ini udah lebih cepat, Nja, tenang ya," kata Gian tanpa mengalihkan fok***"Gimana kondisinya, Dokter?"Persis ketika dokter menyelesaikan tugasnya memeriksa Juan, pertanyaan tersebut lantas Senja lontarkan dengan perasaan harap-harap cemas.Juan bangun setelah dirinya mengajak pria itu bicara, Senja memang sigap memanggil dokter sehingga tanpa ba bi bu, pemeriksaan pun dilakukan dan sendiri, Senja menunggu ditemani Gian yang sudah selesai mengurus administrasi."Sejauh ini tidak ada kondisi yang perlu dikhawatirkan, karena organ vital pasien terlihat cukup stabil. Namun, karena ada benturan di kepala yang menyebabkan pasien mengalami gegar otak, selama dua puluh empat jam saya minta bantuannya untuk mengawasi pasien ya. Apabila pasien mengalami sakit kepala, muntah, bahkan sensitif akan cahaya, Mbak bisa panggil saya agar pemeriksaan lanjutan bisa kami lakukan.""Oh baik, Dokter.""Sekarang mungkin cukup itu saja, nanti kalau ada apa-apa jangan ragu panggil perawat atau dokter karena kami akan siag
***"Dokter tolong."Sampai di depan IGD, permintaan tersebut lantas dilontarkan Senja pada dokter yang barusaja tiba. Dilanda rasa panik, itulah Senja setelah beberapa menit lalu perawat yang menemani Kirania di ambulan berkata jika suhu tubuh sang keponakan sampai di angka 40° celcius.Tengah berada di kamar rawat Juan, kabar buruk tentang pingsannya Kirania didapatkan Senja dari sang putri bungsu. Sempat dilanda panik, Senja berhasil ditenangkan oleh Gian sehingga keputusan bijak pun diambil.Tak pulang ke rumah, Senja memilih untuk meminta ambulan di rumah sakit tempat sang suami dirawat agar menjemput sang keponakan di rumah dan tentunya tak sendiri, Kirania ditemani Pak Ahmad karena bibi sendiri harus menjaga Caca yang katanya menangis karena panik.Ambulan yang membawa Kirania sampai setelah setengah jam di jalan, Senja langsung menyambut dan bersama perawat lain, dia membawa brankar sang keponakan menuju pintu IGD."Ini a
***"Om Gian."Tengah meneguk sebotol air mineral yang tersaji di kamar rawat, Gian refleks menoleh setelah panggilan tersebut tiba-tiba saja terdengar dari arah bed.Mendapati Kirania membuka mata, seketika rasa lega datang sehingga tanpa banyak berbasa-basi, dengan segera Gian menghampiri keponakannya itu.Mengalami panas tinggi, Kirania memang harus menjalani observasi. Diambil sampel darah untuk dicek di labolatorium, itulah yang harus dilakukan Kirania sehingga satu atau dua malam, gadis itu harus menjalani rawat inap.Sempat ditunggui Senja ketika ditangani di IGD, Kirania kini dijaga Gian karena memang setelah membicarakan semuanya dengan Senja, Gian mengajukan diri untuk menjaga sang keponakan sementara Senja sendiri berada di kamar rawat Juan yang kebetulan bersebelahan."Hei, kamu akhirnya bangun. Gimana sekarang kondisinya? Better?""Aku di rumah sakit ya, Om?" tanya Kirania dengan suara pelan."Iya,
***"Gi, Gian. Bangun sebentar bisa enggak? Aku mau ngomong sesuatu."Berdiri di samping bed tempat Gian terlelap, permintaan bernada pelan tersebut lantas Senja lontarkan sambil menepuk bahu sang adik ipar.Tak di kamar Juan, pagi ini—tepat pukul lima, Senja menemui Gian. Bukan tanpa tujuan, alasan dia menemui adik Juan adalah; untuk berpamitan karena sebelum melanjutkan tugasnya menjaga sang suami, Senja pikir dia harus pulang ke rumah untuk mengurus beberapa hal.Mengurus Caca, membawa baju ganti Juan dan Kirania bahkan mengurus surat izin sang keponakan, semua itu harus Senja lakukan. Namun, tentunya sebelum pergi, dia harus menitipkan Juan lebih dulu."Nja," panggil Gian setelah sebelumnya membuka mata. "Kamu udah bangun? Eh, ini jam berapa?""Baru jam lima pagi, Gi, maaf ganggu waktu tidur kamu," ucap Senja dengan raut wajah tak enak."Its okay, sebentar."Tak terus berbaring, Gian beringsut sementara Senj
***"Kalau aku tahu, aku enggak akan nanya, Mbak. Lagian Mbak pikir aku cenayang yang bisa baca siapa pemilik nomor baru di hpku?"Menepi dari tengah koridor, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan dengan perasaan sedikit sebal. Memiliki banyak masalah, dia memang agak sensitif sehingga sang penelepon yang sebenarnya tak mencari masalah pun sedikit terkena semprot."Kok kamu ngomel sih, Nja? Aku perasaan barusan cuman nanya deh. Santai dong.""Aku lagi enggak pengen basa-basi," kata Senja. "Sekarang jawab aja, ini siapa?""Aku Senada Melodi, sekretarisnya Pak Juan.""Oh, Mbak Nada," ucap Senja. "Maaf, Mbak, kita kan baru dua kali ketemu. Jadi aku belum kenal suara Mbak kalau di telepon. Ada apa?""Pak Juan ke mana? Dia baik-baik aja apa enggak?" tanya Nada untuk yang kedua kalinya. "Aku dari kemarin hubungin nomor Pak Juan, tapi enggak aktif-aktif. Aku khawatir.""Ada apa emangnya Mbak telepon Mas Juan?" tanya S
***"Mbak Nada."Turun setelah mendapat informasi tentang datangnya seorang tamu, panggilan tersebut lantas Senja lontarkan setelah mendapati Nada di sofa. Kaget sekaligus tak senang, dua perasaan tersebut menghampiri Senja sementara Nada yang kini duduk dengan setelan kantor rapi, beranjak sambil tersenyum."Aku mau ikut ke rumah sakit buat jenguk Pak Juan," kata Nada dengan nada yang terdengar sinis. "Kalau kamu menilai aku enggak tahu malu karena maksain diri, jawabannya adalah aku enggak peduli karena faktanya bukan cuman mau jenguk, aku ke rumah sakit buat nanyain perubahan jadwal Pak Jaun. Tahu dong suami kamu itu pimpinan perusahaan yang punya jadwal padat?""Oh," kata Senja. "Ya udah.""Gitu doang respon kamu?""Memangnya aku harus respon apa?" tanya Senja dengan raut wajah yang terkesan dingin. "Ucapan Mbak Nada udah sangat jelas.""Enggak mau minta maaf gitu?" tanya Nada. "Kamu udah menghalang-halangi aku ketemu Pak Juan lho, dan kalau Pak Juan tahu, dia pasti marah.""Oh y
***"Pak, selamat pagi."Setelah sebelumnya membuka pelan pintu kamar rawat Juan, sapaan bernada ragu tersebut lantas Nada lontarkan—membuat sang pemilik kamar yang semula fokus menonton siaran berita di tv, menoleh.Tak bersama Kirania mau pun Gian, Nada masuk sendiri karena setelah bertemu dua orang tersebut, perintah untuk masuk sendiri didapatkannya dari Kirania.Tak cuma-cuma, Nada harus membayar untuk bisa bertemu Juan. Tak berupa uang, bayaran darinya berwujud bunga mawar yang mau tak mau harus diserahkan setelah Kirania meminta paksa.Ya, tak bisa menolak, Nada pada akhirnya pasrah setelah Kirania memberikan pilihan sehingga tak ada buket mawar merah, yang kini dia bawa ke kamar rawat Juan hanyalah sekeranjang buah dengan isi beragam."Senada," panggil Juan dengan raut wajah terkejut. "Kamu kenapa tahu saya di sini?""Dikasih tahu Senja, Pak," kata Nada sambil melangkah mendekati Juan yang kini bersandar pada bed.Bangun sejak tadi, Juan sudah diperiksa oleh suster bahkan suda
***"Mas setuju."Kaget.Itulah yang pertama Nada rasakan setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan pada sang adik, Gian. Bukan perkataan biasa, ucapan tersebut adalah jawaban Juan perihal tawaran membuat janji yang diberikan Gian setelah beberapa waktu lalu Nada meragukan kejujuran Nabila."Pak," panggil Nada. "Bapak semudah itu mempertaruhkan jabatan saya?""Kenapa kamu khawatir banget jabatan kamu pindah?" tanya Juan. "Kamu ragu sama kejujuran Nabila, kan? Harusnya kamu enggak usah takut.""Ya emang, tapi kan-""Mas Juan setuju itu berarti Mbak Nada juga setuju, karena faktanya yang punya kewenangan soal jabatan itu Mas Juan," potong Gian. "So, kita tinggal tunggu bukti yang dimaksud Kak Nabila. Senja bilang kemarin buktinya berbentuk chat sama rekaman suara Mentari setiap curhat lewat telepon. Mau diminta sekarang apa nanti sore aja setelah kerja? Pagi ini Mbak Nada mungkin harus ke kantor.""Aku enggak setuj