***
"Kak Davion."Barusaja tiba di dekat gerbang sekolah, Kirania tersenyum ketika nama Davion terpampang di layar ponsel. Menoleh untuk memastikan Juan tak ada, setelahnya dia mencari tempat untuk menjawab panggilan dan di bawah pohon, Kirania mantap menggeser gambar gagang telepon di layar ponselnya."Halo.""Gue udah buka semua foto yang lo kirim dan gue enggak nemuin problem," kata Davion tanpa basa-basi. "Semua pose menurut gue wajar dan yang Om lo daratin telunjuk di bibir Senja, ekspresi Senja juga enggak ada yang kelihatan gening. Jadi kesimpulannya ucapan lo bohong. Senja enggak genit kaya yang lo omongin."Kirania merutuk.Punya niat membuat Senja sakit hati dengan berpura-pura memacari Davion, semalam dia memang menjelekan sang tante di depan pria tersebut agar langkah untuk mengajak Davion berpacaran, mudah.Namun, alih-alih berhasil, rencana Kirania justru gagal karena tak mudah dipengaruhi, Davion sepertiny***"Senja."Tengah menunggu roti di panggangan matang, Senja spontan menoleh setelah panggilan tersebut dilontarkan Juan dari dekat meja makan.Berdiri dengan setelan kantor, seperti biasa Juan memasang raut wajah serius bahkan dingin. Namun, Senja tak takut lagi karena hampir sepuluh hari menikah, wajah Juan yang seperti itu sudah menjadi makanannya sehari-hari."Mas Juan, ada apa?""Cuman mau bilang kalau hari ini saya mau ke Bogor buat cek kerjaan," kata Juan. "Titip rumah dan anak-anak karena saya pasti pulang malam.""Oh oke.""Enggak perlu anterin Kiran, kamu cuman cukup antar jemput Caca karena hari ini Kiran enggak sekolah," kata Juan. "Dia enggak enak badan katanya.""Lho, sakit apa?""Enggak tahu," kata Juan. "Dia cuman bilang enggak enak badan aja dan enggak ada yang darurat. Jadi enggak usah terlalu khawatir karena Kiran bukan anak kecil.""Oh ya udah.""Itu aja dari saya
***"Tante Senja, Tante mau ke mana, Tan? Tante!"Tiba persis di samping mobil, Senja seketika berhenti setelah Kirania yang sejak beberapa saat lalu mengejarnya, berseru.Kaget setelah mendapati Davion di ruang tengah, tanpa basa-basi Senja memang berbalik kemudian pergi begitu saja meninggalkan sang mantan. Tak dikejar oleh Davion langsung, langkah Senja diikuti Kirania sampai akhirnya setelah sejak beberapa menit lalu mencoba acuh, dia menoleh pada sang keponakan yang kini berada di teras."Tante Senja mau ke mana? Itu tamunya samperin ih!""Bilangin ke dia pulang, Kiran. Tante enggak mau ketemu.""Enggak!" tolak Kirania dengan segera. "Aku enggak mau usir tamu itu. Jadi kalau mau dia pergi, samperin terus usir sendiri. Lagian Tante Senja enggak ngehargain banget. Dia datang dari Jakarta lho. Masa enggak mau ditemuin?"Mendengar ucapan sang adik, Senja menghela napas. "Kamu enggak tahu apa-apa, Kiran.""Aku e
***"Aku pamit ya, Nja. Kamu baik-baik di sini dan jangan lupa jaga kesehatan. Seminggu ke depan aku rencananya mau healing dulu di sini. Jadi kalau ada apa-apa kabarin aku. Nomor hp aku yang tadi aku sebutin dan aku harap kamu enggak blokir lagi nomor aku karena meskipun berat, aku akan belajar nerima semuanya."Diantar sampai ke dekat mobil, ucapan panjang lebar tersebut lantas dilontarkan Davion pada Senja yang kini berdiri tak jauh darinya. Menetap selama setengah jam lebih, Davion berhasil menyelesaikan kesalahpahaman dengan Senja.Namun, meskipun begitu hubungan mereka tak bisa kembali seperti semula karena Senja kini berstatus istri orang. Berat, jujur saja itulah yang Davion rasakan, tapi selain menerima, dia tak bisa berbuat apa-apa lagi karena Senja bulat dengan keputusan yang diambilnya sehingga mau tak mau, dia harus menghargai apa yang diputuskan sang mantan."Iya, Davion," kata Senja. "Kamu juga jaga kesehatan dan aku harap kamu bisa
***"Ki, bisa keluar sebentar enggak?"Setelah sebelumnya mengetuk pintu kamar sang putri sambung, pertanyaan tersebut lantas Senja lontarkan. Tak dengan penampilan biasa, Senja kini sudah rapi dengan setelan atasan dan rok karena tak akan berdiam diri di rumah, malam ini dia akan pergi menemui sang ayah.Diajak bertemu lewat chat, Senja tak bisa menolak karena katanya ada hal penting yang harus dibicarakan. Entah apa, dia sendiri tak tahu. Namun, yang jelas Senja beruntung karena sampai saat ini para penghuni rumah yang sejak pagi tadi pergi, belum kembali.Juan masih di perjalanan pulang sementara Gian sendiri masih di luar untuk mengerjakan tugas sehingga permintaan Haikal untuk tak memberitahu siapa-siapa pun bisa dia kabulkan."Ada apa?"Setelah menunggu kurang dari dua menit, pertanyaan tersebut lantas didapatkan Senja dari Kirania yang kini berdiri di ambang pintu."Tante mau pergi, titip rumah," kata Senja. "Maka
***Plak!"Ini hukuman untuk perempuan yang enggak bisa jaga kehormatan suaminya setelah menikah."Selesai mendaratkan gesper yang dia pegang di punggung Senja, ucapan tersebut dilontarkan Haikal yang kini berdiri di samping sang putri.Menyambut Senja dengan tamparan begitu putri bungsunya itu datang, Haikal tanpa ragu memberikan hukuman lain setelah laporan tentang Senja yang katanya sering membawa pria lain ke rumah Juan, diterimanya pagi tadi.Tak mau mendengar penjelasan apa pun dari Senja, Haikal memilih percaya pada foto juga pernyataan sang cucu, Kirania, sehingga tanpa memedulikan pembelaan yang dilontarkan Senja, permintaan untuk duduk di sofa dilontarkannya beberapa waktu lalu.Bukan ayah yang lembut, faktanya Haikal adalah orang tua yang selalu menggunakan hukuman fisik ketika anak-anaknya melakukan kesalahan, dan setelah sekian lama aman, malam ini Senja harus pasrah menahan sakit dicambuk karena memang hukuman itula
***"Nih perempuan belagu banget. Aku telepon malah dimatiin."Sambil memandang layar ponsel yang dia genggam di tangan kiri, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan setelah Senja menolak panggilannya.Masih berada di jalan, beberapa waktu lalu Juan tiba-tiba saja ingin membeli martabak. Punya niat baik membelikan Senja makanan manis tersebut, Juan menelepon sang istri untuk bertanya martabak apa yang disukai. Namun, niatnya itu gagal setelah panggilannya pada Senja justru tak dijawab—membuat rasa kesal jelas melanda."Enggak pengen dibaikin emang kayanya Senja."Tak mencoba untuk menghubungi lagi Senja, setelahnya Juan menyimpan ponsel miliknya di dashboard. Fokus mengemudi, mobilnya membelah jalanan malam kota Bandung hingga setelah sepuluh menit, dia berhenti di dekat penjual martabak.Turun untuk memesan makanan manis tersebut, Juan membeli tiga kotak dengan rasa berbeda yaitu; keju kesukaan Kirania, coklat kesukaan Caca kemudi
***"Kalau ada apa-apa sama Senja, aku salahin Mas Juan ya, Mas. Senja kaya gini pasti karena kecapean."Di sela kegiatan mengemudi, ucapan bernada sinis itu lantas Gian lontarkan pada Juan yang kini duduk di sebelah kiri. Tak lagi di rumah, saat ini dia dan sang abang tengah berada di perjalanan menuju tempat Senja berada karena setelah dibuat khawatir, kabar dari Senja akhirnya datang.Namun, bukan kabar baik, yang Gian terima justru kabar buruk tentang pingsannya Senja di samping pemakaman Mentari. Ditemukan seorang pria penjaga warung, Senja katanya tergeletak di samping sebuah pusara dan setelah ditolong, perempuan itu kini berada di warung yang letaknya tak jauh dari tempat pemakaman.Entah apa alasan yang membawa Senja ke makam Mentari ketika hari tak lagi siang, Gian mau pun Juan sama-sama tak tahu. Namun, yang jelas di waktu yang sama kedua pria itu dilanda khawatir sehingga tanpa ba bi bu, keduanya pun bergegas."Kenap
***"Shit!"Masih dengan posisi tubuh membungkuk, Juan spontan mendesis setelah garis demi garis memar didapatinya di punggung Senja. Tak satu, ada tiga buah bekas memar yang dia lihat dan tak perlu bertanya, Juan tahu jika memar tersebut adalah bekas sabetan gesper.Mendengar Senja mengigau di tengah perjalanan, beberapa waktu lalu Gian memberhentikan mobil dan karena curiga akan sesuatu, keputusan mengecek kondisi Senja pun dilakukan.Tak oleh Gian, mengecek tubuh Senja dilakukan oleh Juan selaku suami dari perempuan itu dan benar saja dugaan dia juga sang adik, Senja tak baik-baik saja sehingga setelah menutup kembali punggung sang istri, Juan menarik tubuhnya dari mobil."Gimana? Apa ada sesuatu?" tanya Gian yang sejak beberapa menit lalu menunggu."Senja tadi bilang enggak mau ketemu sama siapa?" Alih-alih menjawab, Juan justru balik bertanya."Sama siapanya enggak bilang, tapi Senja ngomong kalau dia mau ketemu sam