***
"Nih perempuan belagu banget. Aku telepon malah dimatiin."Sambil memandang layar ponsel yang dia genggam di tangan kiri, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan setelah Senja menolak panggilannya.Masih berada di jalan, beberapa waktu lalu Juan tiba-tiba saja ingin membeli martabak. Punya niat baik membelikan Senja makanan manis tersebut, Juan menelepon sang istri untuk bertanya martabak apa yang disukai. Namun, niatnya itu gagal setelah panggilannya pada Senja justru tak dijawab—membuat rasa kesal jelas melanda."Enggak pengen dibaikin emang kayanya Senja."Tak mencoba untuk menghubungi lagi Senja, setelahnya Juan menyimpan ponsel miliknya di dashboard. Fokus mengemudi, mobilnya membelah jalanan malam kota Bandung hingga setelah sepuluh menit, dia berhenti di dekat penjual martabak.Turun untuk memesan makanan manis tersebut, Juan membeli tiga kotak dengan rasa berbeda yaitu; keju kesukaan Kirania, coklat kesukaan Caca kemudi***"Kalau ada apa-apa sama Senja, aku salahin Mas Juan ya, Mas. Senja kaya gini pasti karena kecapean."Di sela kegiatan mengemudi, ucapan bernada sinis itu lantas Gian lontarkan pada Juan yang kini duduk di sebelah kiri. Tak lagi di rumah, saat ini dia dan sang abang tengah berada di perjalanan menuju tempat Senja berada karena setelah dibuat khawatir, kabar dari Senja akhirnya datang.Namun, bukan kabar baik, yang Gian terima justru kabar buruk tentang pingsannya Senja di samping pemakaman Mentari. Ditemukan seorang pria penjaga warung, Senja katanya tergeletak di samping sebuah pusara dan setelah ditolong, perempuan itu kini berada di warung yang letaknya tak jauh dari tempat pemakaman.Entah apa alasan yang membawa Senja ke makam Mentari ketika hari tak lagi siang, Gian mau pun Juan sama-sama tak tahu. Namun, yang jelas di waktu yang sama kedua pria itu dilanda khawatir sehingga tanpa ba bi bu, keduanya pun bergegas."Kenap
***"Shit!"Masih dengan posisi tubuh membungkuk, Juan spontan mendesis setelah garis demi garis memar didapatinya di punggung Senja. Tak satu, ada tiga buah bekas memar yang dia lihat dan tak perlu bertanya, Juan tahu jika memar tersebut adalah bekas sabetan gesper.Mendengar Senja mengigau di tengah perjalanan, beberapa waktu lalu Gian memberhentikan mobil dan karena curiga akan sesuatu, keputusan mengecek kondisi Senja pun dilakukan.Tak oleh Gian, mengecek tubuh Senja dilakukan oleh Juan selaku suami dari perempuan itu dan benar saja dugaan dia juga sang adik, Senja tak baik-baik saja sehingga setelah menutup kembali punggung sang istri, Juan menarik tubuhnya dari mobil."Gimana? Apa ada sesuatu?" tanya Gian yang sejak beberapa menit lalu menunggu."Senja tadi bilang enggak mau ketemu sama siapa?" Alih-alih menjawab, Juan justru balik bertanya."Sama siapanya enggak bilang, tapi Senja ngomong kalau dia mau ketemu sam
***"Halo, Bunda."Duduk di sofa sambil memandang Senja yang masih tak sadar, sapaan penuh ragu tersebut lantas Juan lontarkan setelah sambungan telepon dengan sang mertua, terhubung.Sempat dilema antara menghubungi Nirmala malam ini atau besok, Juan memang mengambil keputusan untuk menelepon sang mertua sekarang., dan beruntung panggilannya dijawab."Halo, Nak Juan.""Bunda udah istirahat belum, Bun? Barangkali Juan ganggu," ucap Juan—memastikan lebih dulu sebelum mengungkap tujuannya menelepon."Belum, Nak Juan. Kebetulan Bunda lagi nungguin Ayah. Belum pulang soalnya.""Ayah emang ke mana, Bun? Kok jam segini belum pulang?"Hening.Tak ada jawaban untuk pertanyaan darinya, yang Juan dengar adalah hening sehingga setelah beberapa detik berlalu tanpa obrolan, dia buka suara."Jawabannya pasti ke Bandung ya, Bun?""Nak.""Juan pengen nanyain sesuatu sebenarnya sama Bunda, da
***"Editan atau bukan, Juan sendiri belum tahu, Bunda, tapi yang jelas Juan yakin Senja enggak selingkuh apalagi rutin bawa pacarnya ke rumah, karena setiap malam Juan selalu cek cctv rumah dan enggak pernah tuh Juan lihat Davion. Jadi, tolong sampaikan ke Ayah buat enggak marah lagi karena Senja enggak seperti yang dituduhkan."Membahas tentang foto yang Nirmala terima, ucapan panjang lebar tersebut lantas Juan lontarkan pada sang mertua. Sejenak melupakan dendamnya pada Mentari, Juan membela Senja karena meskipun istrinya itu hanya bahan pelampiasan dendam, entah kenapa ketika tuduhan berselingkuh dilayangkan, dia tak suka."Ya Allah gitu ya, Nak Juan?" tanya Nirmala. "Ya sudah nanti Bunda sampein ke Ayah setelah beliau pulang ya. Kalau perlu, Bunda nyuruh ayah minta maaf ke Senja karena udah nuduh yang enggak macam-macam.""Iya, Juan juga minta maaf kalau apa yang dilakuin Kiran bikin Bunda sama Ayah salah paham," kata Juan. "Nanti J
***"Mas Juan lagi ngapain?"Tengah mengisi mangkuk besar dengan air panas dari dispenser, Juan spontan menoleh setelah pertanyaan tersebut dilontarkan Gian yang tiba-tiba saja datang ke dapur."Kamu.""Itu lagi ngapain?" tanya Gian—mengarahkan dagu pada mangkuk besar di tangan Juan. "Di rak gelas habis emangnya sampe minum aja pake mangkuk gede.""Ini buat Senja.""Senja udah sadar?" tanya Gian dengan raut wajah antusias. "Gimana kondisi dia sekarang? Masih sakit enggak katanya bekas gesper di punggung?""Enggak tahu.""Lah, enggak ditanyain?"Juan menghela napas. "Gimana mau nanyain orang baru belasan menit sadar, Senja pingsan lagi," ucapnya. "Tuh demam dia sekarang makanya Mas bikin air kompresan.""Enggak dibawa ke rumah sakit aja, Mas?" tanya Gian dengan raut khawatir yang tercetak jelas. "Takutnya ada apa-apa atau parahnya justru luka dalam.""Mas udah minta Dokter Fika ke sini
***"Aku pengen ngomong sesuatu sama Mas Juan."Mendengar jawaban tersebut dilontarkan Mentari, Juan mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan. Tak hilang, Mentari masih ada di sofa sehingga sambil membenarkan posisi duduk, dia bertanya,"Mau bicarain apa?""Tentang Senja," ucap Mentari sambil menoleh sekilas pada sang adik, sebelum kemudian kembali pada Juan. "Aku mau nanyain sesuatu ke kamu dan ini berhubungan sama dia.""Apa?" tanya Juan dengan raut wajah ketus, karena melihat wajah Mentari, dia teringat lagi perselingkuhaan yang dilakukan istrinya itu."Kamu mau sampai kapan menyakiti dia dengan memberikan hukuman yang enggak seharusnya Senja dapat, Mas?" tanya Mentari. "Aku tahu perselingkuhan yang aku lakuin sangat menyakiti kamu, tapi enggak seharusnya kamu melampiaskan semuanya ke Senja. Dia enggak tahu apa-apa dan dia cuman gadis polos, Mas. Aku minta kamu nikahin dia supaya kamu bisa lindungi Senja, bukan sebalik
***"Duh, Ya Tuhan, kepalaku pusing banget."Beringsut dari posisinya yang semula berbaring, keluhan tersebut lantas dilontarkan Senja yang pagi ini barusaja terbangun.Tak sadar lagi setelah semalam kembali pingsan, Senja memang baru membuka matanya ketika jarum jam sampai di angka enam. Tak baik-baik saja, rasa panas masih begitu terasa di tubuh Senja bahkan pusing dan berat pun belum enyah dari kepala.Punggung? Jangan ditanya karena meskipun tak meringis, rasa berdenyut di bagian memar begitu terasa—membuat Senja sangat berhati-hati ketika bergerak."Kamar Mas Juan."Mengedarkan pandangan untuk memastikan di mana tempat dia berada sekarang, Senja berucap demikian hingga ketika atensinya tertuju pada meja nakas, dia tertegun.Bukan tanpa alasan, hal tersebut terjadi setelah di atas meja Senja mendapati nampan berisi semangkuk bubur juga segelas air putih. Tak hanya itu, ada pula obat yang disertai catatan dan karena p
***"Gimana, buburnya enak enggak?"Duduk berhadapan dengan kedua putrinya yang kini rapi dengan seragam sekolah, pertanyaan tersebut lantas Juan lontarkan pada Kirania juga Caca. Tengah menyantap sarapan, itulah kegiatan Juan dan kedua putrinya. Bukan nasi goreng, roti bakar, atau pancake, menu sarapan pagi ini adalah bubur ayam. Bangun pukul lima, Juan yang merasa bersalah pada Senja memutuskan untuk membuat makanan tersebut, dan karena dia pikir anggota keluarganya yang lain menyukai bubur, Juan membuatnya dalam porsi yang sedikit banyak."Enak, Pa, enak banget," puji Caca dengan senyuman cerah seperti biasa. "Papa emang pinter masak. Caca suka.""Habisin kalau gitu ya, biar pas di sekolah nanti kamu semangat," kata Juan lembut."Siap, Papa.""Kamu sendiri gimana? Enak enggak bubur buatan Papa?" Setelah pada Caca, pertanyaan tersebut Juan lontarkan pada Kirania, dan tak ada senyuman, raut wajah pria tiga pu