***
"Ya udah kalau kamu mau malem ngobrolnya, nanti pas pulang jangan bahas apa-apa dulu soal Diandra ya. Mental dia pasti enggak stabil, jadi baiknya masalah itu jangan diungkit."Setelah sang suami memutuskan kapan mereka akan mengobrol, Senja berucap demikian. Bukan tanpa alasan, dirinya mengingatkan agar Juan tak terlalu membahas kejadian yang menimpa Diandra, karena sebagai perempuan, Senja tentunya paham bagaimana kondisi mental sahabat Gian tersebut."Oke, aku usahain.""Sekarang aku matiin dulu teleponnya karena pengen telepon Gian," kata Senja. "Siapa tahu dia udah di jalan atau udah dekat rumah. Aku mau nunggu di teras.""Stay safe always," celetuk Juan. "Kamu lagi hamil. Jad jangan sembrono.""Aku bukan anak kecil yang nunggu Gian sama Diandra sambil lari-larian, Mas, kamu tenang aja.""Syukurlah," kata Juan. "Meskipun masih kangen, aku kerja dulu ya. Nanti aku telepon lagi pas kangennya enggak bisa ditahan."<***"Gimana, Gi, bisa?"Melihat Gian keluar dari sebuah ruangan, Diandra yang sejak tadi menunggu, dengan segera bertanya. Tak lagi di kamar hotel, saat ini dia dan Gian tengah berada di area ruang keamanan karena memang setelah melakukan check out, Gian memutuskan untuk meminta rekaman cctv di area hotel sampai ke depan kamar Diandra."Bisa," kata Gian. "Muka orang yang bawa lo kelihatan jelas dan siang nanti kita bisa langsung bikin laporan.""Serius?" tanya Diandra dengan raut wajah antusias.Menaruh kecurigaan pada Kartika mau pun Nada, Diandra dan Gian memutuskan untuk mempercepat proses pelaporan. Tak bisa membuat laporan tanpa bukti, keduanya membutuhkan rekaman cctv. Tak hanya di hotel, rekaman di area club pun dibutuhkan sehingga sebelum ke rumah, Gian dan Diandra akan pergi ke club guna menemui satpam penjaga di sana."Seriuslah, nih," kata Gian sambil menunjukan sebuah benda berukuran kecil di tangan kirinya. "Rekaman cctv di area lobil sampe kamar lo udah ada di sini. Seka
***"Di, Diandra, lo udah bangun belum? Gue ada kabar gembira nih. Buka dong."Berdiri sambil mengetuk pintu kamar sebanyak beberapa kali, ucapan tersebut lantas Gian lontarkan dengan raut wajah sumringah.Bukan tanpa alasan, bahagianya Gian pagi ini disebabkan oleh sebuah kabar baik yang diterimanya dari kantor polisi. Melaporkan kasus pemerkosaan Diandra hari senin lalu, hari ini Gian mendapat kabar jika pelaku sudah berhasil diamankan. Tak satu orang, pelaku katanya terdiri dari dua orang dan jika mau, Gian mau pun Diandra dipersilakan hadir sehingga tanpa banyak menunda, Gian pun mendatangi sang sahabat yang masih menginap di rumahnya."Di?""Sebentar!"Sempat khawatir karena sang sahabat tak menyaut, perasaan lega melanda Gian setelah suara Diandra terdengar. Tak lagi berseru, setelahnya dia menunggu hingga tak berselang lama Diandra keluar dengan tubuh yang terlihat segar."Gue baru beres mandi, lo berisik banget."Tak semurung hari sebelumnya, Diandra sudah lebih baik di hari i
***"Mbak dan Mas silakan tunggu di sini, saya panggilkan dulu tahanannya.""Baik, Pak."Patuh terhadap perintah polisi, Diandra dan Gian lantas mendudukan diri di kursi panjang ruang besuk. Tak lagi di jalan, keduanya sudah sampai di kantor polisi dan setelah mengungkap tujuan datang, izin untuk bertemu tahanan didapatkan keduanya.Bukan menemui pria yang sudah memperkosa Diandra, tahanan yang akan ditemui adalah seorang perempuan yang katanya menjadi dalang di balik pemerkosaan.Bukan orang asing, dia adalah Senada Melodi—mantan sekretaris Juan dan tak membuat kaget Diandra dan Gian memberikan respon yang bisa dibilang biasa, karena sebelum ini dugaan mereka sudah tertuju pada Nada."Gue harap lo bisa tenang," kata Gian di sela menunggu polisi membawa Nada. "Jangan kepancing emosi, karena bisa-bisa lo ditahan juga.""Iya, Gi, tapi marah boleh, kan?" tanya Diandra. "Gimana pun juga Mbak Nada udah jahatin gue dan dia bik
***"Udah, Mas, udahan aja pijitnya. Kaki aku udah enakkan."Juan yang sejak tadi sibuk memijat kaki Senja, seketika berhenti setelah ucapan tersebut dilontarkan sang istri. Menoleh pada Senja yang kini bersandar pada tumpukan bantal, dia bertanya,"Enggak pegal lagi?"Hamil muda, Senja memang memiliki beberapa keluhan selain mual dan muntah di pagi hari. Kesulitan tidur karena mata yang susah diajak terpejam, pun rasa pegal yang kadang menghampirinya ketika malam, dua keluhan tersebut seringkali datang sehingga sebagai suami siaga, Juan sigap membantu istrinya itu meringankan semua keluhan."Enggak, udah enakan," kata Senja. Beralih sekilas pada jam dinding yang sudah berada di angka sembilan malam, dia berucap, "Kamu juga mau ngobrol sama Gian, kan? Gih sana jangan terlalu malam. Kamu harus kerja besoknya. Jadi jangan begadang.""Enggak mau dielus dulu sebelum tidur?""Enggak usah," kata Senja. "Malam ini aku udah ngan
***"Tetap tinggal di sini setelah menikah karena ini rumah kamu juga."Sempat tegang setelah Juan berkata ingin meminta sesuatu sebagai syarat dari sebuah restu, Gian dilanda lega usai ucapan tersebut dilontarkan sang abang.Bukan permintaan aneh atau sulit seperti yang dia duga, Juan hanya meminta hal sederhana sehingga tanpa banyak berpikir, Gian menjawab,"Iya, Mas. Aku bakalan tetap di sini meskipun udah nikah sama Diandra, tapi mungkin enggak akan selamanya karena setelah punya anak, aku pikir aku harus punya rumah sendiri.""Enggak masalah," kata Juan. "Yang penting minimal satu tahun pernikahan, kalian di sini dulu karena Mas pengen tahu kamu sama Diandra bakalan gimana setelah nikah.""Aman," kataa Gian. "Nanti aku sampein ke Diandra dan aku yakin dia mau, karena kan Om Harun juga jarang di rumah. Jadi enggak masalah.""Kapan kamu mau minta restu sama Papanya Diandra?" tanya Juan. "Mas pikir kamu harus ngejar wa
***"Gian, lo udah tidur?"Membuka mata secara perlahan, itulah yang Gian lakukan setelah suara Diandra terdengar dari depan kamar. Belum terlalu nyenyak, dia baru terlelap beberapa menit lalu sehingga tak sulit, sangat mudah untuk membuatnya terbangun hanya dengan satu panggilan."Diandra," gumam Gian. Tak terus berbaring, selanjutnya dia beringsut secara perlahan dan tak diam, Gian buka suara. "Di, di depan kamar ada lo?""Iya, Gian, gue di sini. Lo bisa keluar enggak?"Merasa suara Diandra berbeda dari biasanya, Gian mengernyit sebelum kemudian beranjak. Melangkah menjauhi kasur, yang ditujunya sekarang adalah pintu hingga ketika tiba dan membuka pintu tersebut, rasa kaget datang karena tak baik-baik saja, wajah Diandra terlihat basah oleh air mata."Di, lo kenapa?" tanya Gian dengan suara yang syatat akan keterkejutan. "Kok nangis? Ada apa?""Gian, Tuhan kenapa nguji gue sampe segininya ya?" tanya Diandra sambil teri
***"Makam Mama bahkan belum sepenuhnya kering, tapi kenapa Papa ninggalin aku? Papa pergi tanpa pamit bahkan pertanda. Padahal, katanya aku anak kesayangan Papa. Kurang dari setahun lagi aku wisuda, Papa enggak mau lihat gitu?"Bersimpuh di samping gundukan tanah merah yang penuh dengan taburan bunga, ucapan lirih tersebut Diandra lontarkan. Mengusap nisan kayu bertuliskan nama lengkap sang papa, Diandra mencurahkan rasa sakitnya karena ditinggal secara mendadak oleh sang papa bukan hal yang bisa dia sepelekan.Perih, hancur, bahkan berantakan, semuanya Diandra rasakan karena mengalami musibah seperti sekarang tak pernah dia bayangkan sebelumnya."Lo harus kuat dan lo pasti bisa," ucap Gian sambil terus mengusap punggung Diandra.Tak ada orang lain lagi, di samping pusara kini hanya tinggal mereka berdua karena memang pukul sebelas siang, pemakaman selesai sehingga pelayat mau pun orang yang mengurus pemakaman sudah membubarkan diri.
***"Saya permisi pulang dulu ya kalau begitu. Terima kasih untuk maaf yang sudah Mbak Diandra beri dan sekali lagi saya mohon maaf dan turut berduka cita yang sebesar-besarnya atas kepergian Bapak Harun. Jika seandainya di kemudian hari Mbak Diandra ada sesuatu, Mbak bisa hubungin saya karena saya pikir tanggung jawab saya masih panjang."Setelah menetap belasan menit, ucapan panjang lebar tersebut diucapkan Harvi pada Diandra mau pun Gian. Bukan orang asing, Harvi adalah orang yang sudah menabrak Harun dan bukan tanpa tujuan, alasan pria itu ke rumah Diandra siang ini adalah untuk memberikan ganti rugi berupa uang.Jika dibanding nyawa, uang yang Harvi berikan mungkin tak seberapa. Namun, meskipun begitu pria itu tetap ingin memberikannya sebagai bentuk tanggung jawab.Tak ada penolakan, Diandra pun menerima uang yang dia beri dan tak hanya itu, kabar baik pun diterimanya. Tak akan dibawa ke jalur hukum, Diandra menyelesaikan kecelakaan sang papa secara kekeluargaan sehingga tak ada
***"Ah, akhirnya acara aqiqah Tian berjalan dengan lancar ya, Mas. Rasanya baru kemarin deh dia lahir, tapi ternyata udah dua minggu yang lalu."Tersenyum sambil memandang para tamu yang kini pergi meninggalkan rumahnya, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan pada Juan. Tak berada di dalam, saat ini dia dan sang suami masih berada di teras karena memang setelah acara selesai, keduanya mengantar para tamu seraya mengucapkan terima kasih.Dua minggu pasca melahirkan, Senja dan keluarga sepakat untuk mengadakan acara aqiqah baby Tian. Tak digelar di gedung, Senja dan Juan sepakat mengadakan acara di rumah.Mengundang para tetangga komplek, acara berlangsung dengan lancar dan tak sedikit, tamu yang diundang pun cukup banyak karena dari banyaknya tetangga yang diberitahu, hampir semua datang sore ini ke rumah Juan."Iya, akhirnya acara berjalan dengan lancar," kata Juan. Menoleh kemudian memandang Senja, dia kemudian berkata, "Semoga Tian seh
***"Welcome home, Mama Senja!"Membulatkan mata dengan raut wajah kaget, itulah Senja setelah sambutan tersebut didapatkannya dari orang-orang yang siang ini menyambut di ruang tengah.Dua hari menetap, Senja dan sang bayi memang diizinkan pulang hari ini untuk menjalani pemulihan di rumah. Tak dijemput siapa pun, Senja pulang berdua saja dengan Juan dan jujur dirinya sedih, karena dia pikir orang-orang rumah akan menjemputnya, mengingat kepulangan dia bukan di hari kerja melainkan hari libur.Tak menunjukan kesedihan, Senja terus berusaha tersenyum selema di jalan hingga ketika tiba di rumah, kehadiran dua mobil yang tak asing untuknya membuat dia bertanya-tanya.Bukan mobil Juan ataupun Gian, yang dilihat Senja adalah mobil Davion juga kedua orang tuanya sehingga dengan rasa penasaran yang tiba-tiba melanda, Senja bertanya.Namun, alih-alih memberikan jawaban, Juan justru meminta dia untuk masuk sehingga sambil menggendong san
***"Ayo, Bu, coba dorong."Bersandar pada bed, yang sejak tadi dia tempati, Senja menoleh ke arah Juan sebelum kemudian mengambil ancang-ancang. Menutup rapat mulutnya seperti yang disarankan, Senja mulai mengejan sekuat tenaga sambil berpegangan pada sang suami.Bukaan lengkap setelah menunggu selama beberapa jam, persalinan Senja memang segera dilakukan. Aman untuk melahirkan secara normal, Senja membiarkan tubuhnya kesakitan karena gelombang cinta yang beberapa waktu lalu datang, dan sekarang perempuan itu kembali berjuang.Bayi yang dikandung tak langsung keluar dalam sekali ejanan, Senja menjatuhkan punggungnya di bed dengan napas terengah. Beristirahat sejenak, itulah yang dia lakukan sekarang sementara dokter sibuk memeriksa sesuatu."Kuat ya, kamu pasti bisa," ucap Juan yang terus berada di samping Senja. "Doain ya, Mas," pinta Senja yang dijawab senyuman oleh sang suami."Pasti."Waktu istirahat seles
***"Gi, anak kita lucu."Berdiri persis di samping inkubator, ucapan tersebut Diandra lontarkan dengan perasaan yang terasa begitu hari. Melahirkan beberapa jam lalu, sore menjelang malam Diandra meminta untuk dibawa ke ruang Nicu. Dioperasi menggunakan metode yang cukup bagus, perempuan itu sudah mampu berdiri bahkan duduk sehingga setelah meminta izin pada Dokter, Gian membawa istrinya itu menemui sang putra.Lahir dengan tubuh yang sangat mungil, putra pertama Gian dan Diandra terlihat persis seperti sang ayah, Gian. Memiliki hidung mancung, dua alis yang tak terlalu tebal kemudian rambut hitam, bayi mungil tersebut nampak begitu baik sehingga meskipun harus menetap di inkubator hingga kondisi dan berat badan stabil, Gian mau pun Diandra lega karena sejauh ini, tak ada kelainan yang ditunjukan Pradikta atau yang lebih akrab disapa baby Dikta."Mirip banget sama aku enggak sih?" tanya Gian yang setia di samping Diandra, guna berjaga-j
***"Gimana, Dok? Apa istri saya harus lahiran sekarang karena ketubannya udah pecah?"Melihat dokter selesai memeriksa Diandra, pertanyaan tersebut lekas Gian lontarkan dengan raut wajah yang cukup tegang.Mendapat kabar tentang Diandra yang tiba-tiba mengalami pecah ketuban, Gian memang sigap membawa istrinya itu ke rumah sakit terdekat. Meskipun Diandra tak merqsa kesakitan, Gian membawa perempuan itu ke IGD sehingga tanpa perlu menunggu lama, penanganan pun dilakukan dengan cepat."Betul sekali, Pak," kata sang dokter, memberi jawaban. "Karena air ketuban yang tersisa hanya tinggal sedikit, istri Bapak harus segera melahirkan bayinya dan demi mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, kami akan melakukan tindak operasi secepatnya. Apa bapak setuju? Jika iya, nanti berkas-berkasnya disiapkan pun dengan ruang operasi.""Kalau itu yang terbaik, saya setuju, Dokter," ucap Gian. "Tapi usia kandungan istri saya baru dua puluh sembila
***"Silakan dinikmati basonya ya, Mbak, Kak, Dek, semoga bakso buatan Mamang cocok di lidah kalian."Sambil menyimpan satu persatu mangkuk bakso di atas meja makan, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan untuk istri dan kedua anaknya yang sejak beberapa menit lalu menunggu di sana.Tak bisa menolak ngidam Senja yang katanya ingin bakso buatan dia sendiri, Juan mendadak cosplay menjadi mang bakso komplek. Membuat adonan bakso kemudian mengolahnya menjadi bulatan kecil dan sedang, semua dia lakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun.Tak hanya membuat bakso, Juan juga berpakaian seperti tukang bakso demi mengabulkan keinginan Senja. Kaos abu pendek, celana pendek juga topi bulat dan handuk, semuanya dia pakai dan hal tersebut membuat Senja bahagia, sehingga meskipun harus menunggu satu jam lebih bakso yang diinginkannya jadi, perempuan itu tak bosan sama sekali."Waw," ucap Kirania takjub. "Udah cocok kayanya Papa jadi tukang bakso. Persis bua
***"Menurut Papa?"Menyipitkan mata dengan emosi yang semakin naik, itulah Juan setelah pertanyaan tersebut dilontarkan sang putri, usai dirinya bertanya tentang testpack yang ditemukan di atas meja belajar Kirania.Tak ada panik, gadis itu terlihat tenang dan hal tersebut jelas membuat Juan penasaran karena jika memang Kirania hamil, seharusnya rqsa panik melanda karena bukan hal sepele, hamil di usia belia terlebih masih pelajar adalah sebuah masalah yang sangat besar."Kamu ditanya tuh jawab, bukan balik nanya," desis Juan. "Mau Papa pukul?""Pukul apa maksud kamu?"Bukan Kirania, yang bertanya adalah Senja yang tahu-tahu berada di ambang pintu. Tak kalah serius dari Juan, perempuan itu kini menatap intens sang suami sebelum akhirnya bertanya,"Kamu lagi ngapain Kiran? Kok pake nyebut pukul segala? Berani emang kamu pukul anak aku?""Aku nemuin tespack di meja belajar Kiran, Senja, dan ini aku lagi nanya," k
***"Halo."Refleks melengkungkan senyuman, itulah yang Kirania lakukan setelah suara berat Davion terdengar dari telepon. Tak lagi di kamar sang papa, saat ini dia memang sudah kembali ke kamarnya dan tak diam saja, Kiranua menghubungi sang kekasih dengan tujuan; mengajak Davion datang ke rumah hari sabtu nanti.Mendapat lampu hijau untuk berpacaran, Kirania tak sepenuhnya bebas karena sebelum melanjutkan hubungan dengan Davion, kebaikan dan ketulusan kekasihnya tersebut harus dipastikan dulu sehingga selain makan siang bersama, sabtu nanti katanya Juan akan mengajak mantan dari istrinya tersebut berdialog empat mata."Halo, Kak, ganggu enggak?" tanya Kirania. "Kali aja Kak Davi lagi nongkrong atau bahkan udah tidur gitu?""Enggak sih, enggak ganggu," kata Davion. "Aku barusan kebetulan lagi main game. Jadi aman.""Lho, keganggu dong itu, Kak?" tanya Kirania. "Kalau ada panggilan pas main game kan nanti gamenya kepause. Iya engg
***"Putus."Kompak memasang raut wajah kaget, itulah Senja dan Kirania setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan dengan raut wajah seriusnya.Mengikuti saran Senja, malam ini Kirania jujur tentang hubungannya dengan Davion. Tak ada respon baik, Juan nampak tak suka mendengar kabar yang diberikan sang putri sehingga setelah Kirania menjawab serius tentang hubunganya dan sang kekasih, pria itu meminta sang putri putus."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Senja yang membuat atensi Juan beralih."Ya putus," kata Juan. "Aku mau Kiran sama Davion putus. Apa enggak jelas ucapan barusan?""Enggak bisa gitu dong, Pa," kata Kirania yang membut Juan kembali memandangnya. "Aku cinta sama Kak Davion begitu pun sebaliknya. Jadi enggak ada tuh putus-putus.""Jadi kamu lebih pilih Davion dibanding Papa? Iya?" tanya Juan. "Kamu masih kecil, Kiran, bahkan tujuh belas tahun pun kurang. Bisa-bisanya pacaran sama orang dewasa. Aneh tahu enggak?"