***
"Udah, Mas, udahan aja pijitnya. Kaki aku udah enakkan."Juan yang sejak tadi sibuk memijat kaki Senja, seketika berhenti setelah ucapan tersebut dilontarkan sang istri. Menoleh pada Senja yang kini bersandar pada tumpukan bantal, dia bertanya,"Enggak pegal lagi?"Hamil muda, Senja memang memiliki beberapa keluhan selain mual dan muntah di pagi hari. Kesulitan tidur karena mata yang susah diajak terpejam, pun rasa pegal yang kadang menghampirinya ketika malam, dua keluhan tersebut seringkali datang sehingga sebagai suami siaga, Juan sigap membantu istrinya itu meringankan semua keluhan."Enggak, udah enakan," kata Senja. Beralih sekilas pada jam dinding yang sudah berada di angka sembilan malam, dia berucap, "Kamu juga mau ngobrol sama Gian, kan? Gih sana jangan terlalu malam. Kamu harus kerja besoknya. Jadi jangan begadang.""Enggak mau dielus dulu sebelum tidur?""Enggak usah," kata Senja. "Malam ini aku udah ngan***"Tetap tinggal di sini setelah menikah karena ini rumah kamu juga."Sempat tegang setelah Juan berkata ingin meminta sesuatu sebagai syarat dari sebuah restu, Gian dilanda lega usai ucapan tersebut dilontarkan sang abang.Bukan permintaan aneh atau sulit seperti yang dia duga, Juan hanya meminta hal sederhana sehingga tanpa banyak berpikir, Gian menjawab,"Iya, Mas. Aku bakalan tetap di sini meskipun udah nikah sama Diandra, tapi mungkin enggak akan selamanya karena setelah punya anak, aku pikir aku harus punya rumah sendiri.""Enggak masalah," kata Juan. "Yang penting minimal satu tahun pernikahan, kalian di sini dulu karena Mas pengen tahu kamu sama Diandra bakalan gimana setelah nikah.""Aman," kataa Gian. "Nanti aku sampein ke Diandra dan aku yakin dia mau, karena kan Om Harun juga jarang di rumah. Jadi enggak masalah.""Kapan kamu mau minta restu sama Papanya Diandra?" tanya Juan. "Mas pikir kamu harus ngejar wa
***"Gian, lo udah tidur?"Membuka mata secara perlahan, itulah yang Gian lakukan setelah suara Diandra terdengar dari depan kamar. Belum terlalu nyenyak, dia baru terlelap beberapa menit lalu sehingga tak sulit, sangat mudah untuk membuatnya terbangun hanya dengan satu panggilan."Diandra," gumam Gian. Tak terus berbaring, selanjutnya dia beringsut secara perlahan dan tak diam, Gian buka suara. "Di, di depan kamar ada lo?""Iya, Gian, gue di sini. Lo bisa keluar enggak?"Merasa suara Diandra berbeda dari biasanya, Gian mengernyit sebelum kemudian beranjak. Melangkah menjauhi kasur, yang ditujunya sekarang adalah pintu hingga ketika tiba dan membuka pintu tersebut, rasa kaget datang karena tak baik-baik saja, wajah Diandra terlihat basah oleh air mata."Di, lo kenapa?" tanya Gian dengan suara yang syatat akan keterkejutan. "Kok nangis? Ada apa?""Gian, Tuhan kenapa nguji gue sampe segininya ya?" tanya Diandra sambil teri
***"Makam Mama bahkan belum sepenuhnya kering, tapi kenapa Papa ninggalin aku? Papa pergi tanpa pamit bahkan pertanda. Padahal, katanya aku anak kesayangan Papa. Kurang dari setahun lagi aku wisuda, Papa enggak mau lihat gitu?"Bersimpuh di samping gundukan tanah merah yang penuh dengan taburan bunga, ucapan lirih tersebut Diandra lontarkan. Mengusap nisan kayu bertuliskan nama lengkap sang papa, Diandra mencurahkan rasa sakitnya karena ditinggal secara mendadak oleh sang papa bukan hal yang bisa dia sepelekan.Perih, hancur, bahkan berantakan, semuanya Diandra rasakan karena mengalami musibah seperti sekarang tak pernah dia bayangkan sebelumnya."Lo harus kuat dan lo pasti bisa," ucap Gian sambil terus mengusap punggung Diandra.Tak ada orang lain lagi, di samping pusara kini hanya tinggal mereka berdua karena memang pukul sebelas siang, pemakaman selesai sehingga pelayat mau pun orang yang mengurus pemakaman sudah membubarkan diri.
***"Saya permisi pulang dulu ya kalau begitu. Terima kasih untuk maaf yang sudah Mbak Diandra beri dan sekali lagi saya mohon maaf dan turut berduka cita yang sebesar-besarnya atas kepergian Bapak Harun. Jika seandainya di kemudian hari Mbak Diandra ada sesuatu, Mbak bisa hubungin saya karena saya pikir tanggung jawab saya masih panjang."Setelah menetap belasan menit, ucapan panjang lebar tersebut diucapkan Harvi pada Diandra mau pun Gian. Bukan orang asing, Harvi adalah orang yang sudah menabrak Harun dan bukan tanpa tujuan, alasan pria itu ke rumah Diandra siang ini adalah untuk memberikan ganti rugi berupa uang.Jika dibanding nyawa, uang yang Harvi berikan mungkin tak seberapa. Namun, meskipun begitu pria itu tetap ingin memberikannya sebagai bentuk tanggung jawab.Tak ada penolakan, Diandra pun menerima uang yang dia beri dan tak hanya itu, kabar baik pun diterimanya. Tak akan dibawa ke jalur hukum, Diandra menyelesaikan kecelakaan sang papa secara kekeluargaan sehingga tak ada
***"Kenapa berhenti?"Melihat dan mengikuti Gian yang tiba-tiba berhenti, pertanyaan tersebut Diandra lontarkan dengan perasaan yang heran.Tak sedang di sembarang tempat, saat ini Diandra dan Gian berada di salah satu mall besar karena memang sepulangnya dari kampus di hari ini, Gian mengajak Diandra pergi ke mall.Ketika ditanya tujuan, Gian katanya ingin menghibur Diandra dengan mengajak perempuan itu pergi ke tempat ramai, dan karena ucapan Gian cukup menyentuh, Diandra manut sehingga ketika Gian terus membawanya berjalan-jalan, gadis itu tak protes sedikit pun hingga Gian pun berhenti di depan sebuah toko perhiasan."Mau masuk ke sini enggak?" tanya Gian. "Siapa tahu ada cincin nikah yang pas buat kita.""Cincin nikah?" tanya Diandra kaget."Iya," kata Gian. "Inget ucapan gue kemarin yang bilang ke lo mau ajak ke seuatu tempat? Nah, tempat yang gue maksud tuh toko perhiasan.""Gi.""Kenapa?" tanya
***"Daritadi gue perhatiin lo banyak diem, kenapa sih? Lagi mikirin sesuatu apa gimana?"Setelah sejak tadi diam, pertanyaan tersebut akhirnya Gian lontarkan pada Diandra. Bukan tanpa alasan, dirinya bertanya demikian setelah sejak meninggalkan mall, sang calon istri banyak diam.Awalnya Gian pikir Diandra mungkin merasa lelah. Namun, karena durasi diamnya perempuan itu cukup lama, dia merasa khawatir karena bisa saja Diandra tengah meratapi sedih seperti kemarin."Enggak kenapa-kenapa kok, gue cuman pengen diem aja," kata Diandra—membuat Gian menoleh sekilas sebelum kemudian fokus kembali pada jalanan."Bohong ah," kata Gian setelahnya. "Kalau cuman pengen diem biasanya enggak lama, sementara sekarang? Lo diem sejak tadi kita ninggalin mall sampai setengah jalan. Ada apa? Kalau ada sesuatu yang lo pikirin, bilang ke gue karena sebagai calon pasangan suami istri, kita harus saling terbuka dalam hal apa pun.""Gue cuman kepikiran
***"Mengundur pernikahan Gian sama Diandra."Mendengar ucapan tersebut dilontarkan Juan, kerutan di kening Senja seketika terbentuk. Heran sekaligus penasaran dengan alasan saran tersebut didapat Juan, selanjutnya itulah yang dia rasakan sehingga tanpa banyak menunda, Senja pun bertanya,"Kok bisa saran itu dikasih, Mas? Apa ada alasannya?""Ada, tapi ayo lanjutin ngobrolnya di kamar biar enak," kata Juan. "Ini obrolan serius soalnya.""Oh oke."Tak banyak membantah, selanjutnya Senja dan Juan kembali melangkah. Sampai di kamar, keduanya masuk dan yang Senja tuju pertama kali adalah sofa. Tak mau lebih lama menunggu, Senja kembali bertanya, "Jadi apa, Mas, alasannya? Eh, apa mau ganti baju dulu?""Enggak usah, aku langsung jelasin aja," kata Juan. Mendekati Senja, dia duduk persis di samping istri dan tanpa banyak menunda, Juan berkata, "Jadi alasannya tuh karena dua minggu dari sekarang, Diandra ada kemungkinan hamil, Nja, sementara kan dalam agama kita menikah dalam kondisi hamil tu
***"Kiran, Caca, kalian duluan ke atas ya. Mama dan Papa mau ngobrol dulu sama Om Gian dan Kak Diandra. Nanti setelah selesai, Mama cek kalian."Makan malam usai, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan pada Kirania dan Caca. Bukan tanpa alasan, dirinya berkata demikian karena obrolan dia, Juan, Gian, dan Diandra obrolan serius sehingga Kirania dan Caca tak seharusnya bergabung.Untuk Kiran, gadis itu bisa saja ikut. Namun, jika Kirania tak ke atas lebih dulu, Caca pun pasti tak mau sehingga Senja pun harus memerintahkan kedua putrinya sekaligus."Enggak boleh ikutan?" tanya Kirania."Enggak, ini obrolan orang gede dan kamu masih bau kencur," celetuk Gian yang dijawab delikkan sang keponakan."Iya deh iya si paling tua."Tak diam, selanjutanya Kirania beranjak dan tentunya tak sendiri, gadis itu membawa sang adik pergi sehingga di ruang makan kini hanya tinggal empat orang saja yang siap memulai obrolan."Jadi a