Share

Terjerat Cinta Duda Ting-Ting
Terjerat Cinta Duda Ting-Ting
Author: Quinsha R. Shita

Tiba-tiba Putus

last update Last Updated: 2025-01-16 17:55:35

[Nen, maaf sebelumnya. Tapi kayaknya hubungan kita nggak bisa dilanjut lagi. Aku bener-bener menyesal dan mohon maaf sebesar-besarnya. Kamu wanita yang baik. Kamu pasti bisa dapat pendamping yang lebih baik dari aku. Sekali lagi maaf, kita putus. Salam —Anggara]

"APA?! PUTUS???!"

Gara-gara terlalu fokus dengan ponsel, tanpa sadar aku menjerit. Lupa kalau di sekelilingku ada bude, bulik, dan kerabat lain yang sedang duduk melingkar sambil memasukkan bungkusan kacang telur ke dalam stoples.

"Ada apa tho, Nduk? Kok teriak-teriak begitu?" tanya Bude Sri, saudara tertua Ibu.

"Iya, nih! Untung Bulik nggak njingkat terus toplesnya kelempar. Nanti morat-marit semua!" Sekarang ganti Bulik Narni yang berkomentar. Bungkusan kacang telur dan stoples-stoples itu rencananya akan dibagikan sebagai suvenir di resepsi pernikahanku nanti.

"Memang siapa yang putus, Mbak? Kok sampai histeris begitu?" Dina, anak Bulik Narni yang tertua menatapku penasaran. Begitu pun dengan orang-orang lain di sekitar, termasuk Ibu. Aku yang sudah panik, bingung, gelisah, jadi makin mulas tidak karuan.

"Itu ... anu ... emm ... artis Korea!" kilahku sekenanya. Mereka kompak ber-oh panjang, termakan kebohonganku.

Meski berhasil berkelit, tetap saja rasa mulasku tidak kunjung hilang. Tentunya ini bukan karena sakit perut, karena pagi tadi usai bangun tidur aku sudah menunaikan 'panggilan alam' sesuai jadwal.

"Mmm ... aku ke WC dulu!" pamitku, lantas segera meloncat pergi menghindari kecurigaan lebih lanjut. Di toilet, aku kembali membuka ponsel dan membaca ulang pesan tadi sambil jongkok di atas kloset, mendalami peran sedang buang air besar.

"Nen, maaf blablabla ... wanita yang baik blabla ... sekali lagi maaf, kita putus. Astaga!" Kutepukkan ponsel ke jidat saking tak habis pikir, lalu setelahnya aku memekik kecil karena kesakitan sendiri. Sungguh, bagaimana bisa hal sesial ini menimpaku? Cepat-cepat aku mengetikkan balasan untuk WA-nya.

[Putus? Maksud kamu apa?]

[Kamu nggak lagi bercanda, kan?]

Sayang kedua pesan beruntunku itu hanya mendapat centang 1 dari operator. Aku semakin gelisah dan tanpa sadar menggigit-gigit ujung ponsel. Bagaimana ini? Apa sebaiknya aku telepon saja Anggara?

Namun, baru saja jempolku yang gemetaran hendak menekan ikon 'telepon', pintu kamar mandi bergetar akibat gedoran kencang dari luar.

"NENII! JANGAN LAMA-LAMA DI DALAM! BAPAK MULES!"

Ponselku melompat dan hampir saja masuk ke lubang pembuangan WC.

"Aduuh ... iya, iya, Bapak. Aku keluar! Nggak sabaran amat, sih!" sungutku seraya bangkit usai memungut ponsel yang jatuh ke lantai kamar mandi dengan mengenaskan. Saat kuperiksa sekilas, untung saja layarnya tidak pecah.

"Huuu! Kamu tuh, yang kalau nggak mau BAB jangan nongkrong di WC!" sahut Bapak seraya melangkahkan kaki masuk.

Aku menoleh dengan raut terbengong. "Kok Bapak tahu?"

"Ya tahu lah ... tuh, nggak ada jejak baunya!"

Aku segera menepuk jidat. Astaga, ngapain juga pakai tanya-tanya kayak orang bego?

Berhubung tempat persemedianku di WC sudah tergusur oleh Bapak, aku pun pindah ke kamar. Di tempat ini, aku segera melancarkan aksi menelepon Anggara yang tadi belum sempat terlaksana.

Sambil berjalan mondar-mandir, aku menunggu operator menyambungkan panggilanku. Sayang, bukan bunyi 'tuuut' ala peluit kereta api yang kudengar, melainkan suara merdu mbak-mbak yang terdengar menjengkelkan.

"Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif ..."

"Hish! Kok pakai nggak aktif segala, sih?!" Aku kembali menekan-nekan layar ponsel dengan emosi, lalu mendekatkannya lagi ke telinga. Perasaanku kian tak karuan seperti semangkuk besar es campur yang diaduk-aduk pakai irus saat hendak dituangkan ke gelas supaya bisa menyerok banyak isinya.

Ayolah, nyambung ... nyambung ...

"Nomor yang Anda hubungi sedang ..."

"Aaaargh!" Karena kesal, aku berteriak sambil membanting ponsel ke tempat tidur. Bagaimana ini? Kenapa laki-laki itu tidak bisa dihubungi? Sebenarnya apa yang terjadi? Bagaimana bisa Anggara mengatakan putus, tepat seminggu sebelum pernikahan kami?!

Aku menggeleng cepat, tidak ingin membiarkan pertanyaan-pertanyaan terus bersemerawut di kepala. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus mencoba menghubungi Anggara sekali lagi.

Ponsel kembali kuraih. Kali ini, aku mengucap bismillaahirrahmaanirrahiim dulu sebelum menekan ikon gagang ponsel berwarna hijau. Sayangnya meski sudah berdoa sambil menyebut nama Allah, tetap saja respons dari si Mbak mesin operator yang kudapat, bukan Anggara.

Sekali lagi aku membanting ponsel ke kasur dan mengerang kesal. Kepalaku rasanya mau meledak. Kalau aku tidak bisa menghubungi dia dan kami benar-benar putus, lalu bagaimana dengan pesta pernikahan dan undangan yang sudah disebar? Tentu masalah ini benar-benar gawat!

"Hoi, Nen! Teriak-teriak mulu dari tadi! Ngapain, sih? Udah nggak sabar mau kawin, ya?!" Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari arah jendela.

Aku yang sudah terbakar seperti seblak level seratus langsung menoleh dengan ekspresi garang. "Woy, mulut dijaga! Sembarangan aja ngomongnya!"

Aku mendengkus keras. Barangkali asap panas juga keluar dari hidungku seperti ilustrasi banteng ngamuk di film-film kartun. Padahal kepalaku sedang mumet. Bisa-bisanya Bayu, tetangga persis sebelah rumah, malah muncul di jendela kamarku dan menambah keruwetan.

Bukan sekali-dua kali dia seperti ini. Malah sejak kecil kami memang terbiasa saling bergantian mengunjungi jendela kamar masing-masing atau berkomunikasi lewat jendela karena posisinya yang tepat berhadap-hadapan. Meski semenjak SMP, Bapak dan Ibu sudah sering melarangku dan Bayu supaya berhenti berkomunikasi lewat jendela. Tidak elok dilihat orang katanya karena kami sudah beranjak dewasa. Namun, tetap saja kami melakukannya secara sembunyi-bunyi.

"Lagian kamu berisik mulu dari tadi kayak kucing kebelet kawin. Memang ada apa, sih? Kusut banget mukanya."

Aku menatap Bayu dengan saksama. Meski sambil melontarkan ledekan, tetap saja aku bisa melihat raut kekhawatiran dan ingin tahu di wajahnya. Aku pun mengembuskan napas panjang hingga ekspresiku sedikit lebih lembut. Kulangkahkan kaki panjang-panjang, menghampirinya yang masih berdiri di luar jendela.

"Yu, aku lagi ada masalah gawat banget, nih," ucapku setengah berbisik, membuka sesi curhat. Bayu tampak siap mendengarkan. Ekspresinya berubah ke mode serius.

"Jangan bilang kalau kamu ...," Bayu menurunkan pandangan ke arah perutku dengan tatapan ngeri, "isi duluan?"

Plakk!! Tanpa menunggu menit kedua, aku langsung menggeplak belakang kepalanya.

"Dibilangin jangan ngomong sembarangan! Kamu kira aku kayak mantan istri kamu yang gampang dicolokin kayak kabel rol?!" Saking kesalnya tanpa sadar aku mengulik luka lama Bayu. Dia sampai mendelik, tetapi tidak mau memperpanjang perdebatan kami.

"Ehm, sorry," ucapnya kemudian sambil berdeham. "Kalau gitu masalah kamu apa?"

Mukaku kembali lesu. Aku membuang napas panjang. "Anggara tiba-tiba bilang putus. Nomornya nggak bisa dihubungi. Kalau begini terus, bisa-bisa aku batal nikah."

Tepat di ujung curhatanku, suara menggelegar terdengar di belakang punggung.

"SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"

Related chapters

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Memburu Calon Suami

    "SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"Jantungku seolah melorot ke perut. Dengan gerakan patah-patah bak robot dan ekspresi ngeri bukan main, aku memutar kepala. Di sana, di depan pintu kamar, sudah berdesakan Bapak, Ibu, para Bude dan Bulik, entah sejak kapan. Apa jangan-jangan mereka dengar semua curhatanku ke Bayu?"Itu ...""Bicara yang jelas, Naini Ritta!"Mataku refleks terpejam erat mendengar suara menggelegar Bapak. Apalagi beliau memanggil dengan nama lengkap, sudah pasti aku tidak bisa memakai alasan konyol untuk berkelit.Kupandangi wajah yang menanti jawabanku satu per satu. Mereka seperti peserta acara reality show Super Deal 2 Miliar yang sedang harap-harap cemas menantikan apa yang ada di balik tirai—akankah aku membawa pulang hadiah atau tidak. Sayangnya, aku yang menjadi peserta terpilih justru sudah mendapat spill kalau tirai yang kupilih ternyata isinya zonk.Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Pandanganku terakhir berhenti di sosok Ibu yang paling terli

    Last Updated : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kaburnya Sang Calon Mempelai Pria

    "Maaf, Mbak siapa, ya? Ribut-ribut di depan rumah saya," tanya wanita cantik itu sambil menatapku tajam dengan kedua tangan bersedekap, membuat dadanya kian tampak menonjol.Bayu berusaha menurunkan tanganku, tetapi aku mati-matian menepisnya agar dia diam saja."Saya mau cari cowok yang namanya Anggara," jawabku tak gentar. Meski ada kemungkinan wanita di hadapanku ini adalah selingkuhan atau justru istrinya.Alis wanita itu tampak menukik saat dia berpikir sejenak. "Anggara? Ooh ... Mas-mas sales selang gas yang dari Sumatera itu, ya?"Ha? Sales selang gas? Perasaan Anggara bilang padaku kalau dia kerja di perusahaan minyak, deh!Namun, aku mengabaikan rasa keterkejutanku itu dan kembali ke fokus utama sebelum Bayu mencuri-curi lihat dari sela jariku. "I-iya, Mbak. Mbak-nya tahu?""Tuh, kamarnya paling pojok! Tapi kayaknya udah pindah, deh. Kelihatan kosong sejak 3 hari yang lalu," terangnya membuatku terkejut.Aku segera memutar tubuh, berniat mengecek dengan mata kepala sendiri ka

    Last Updated : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Mengatasi Masalah dengan Masalah

    Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu."Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?"Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling

    Last Updated : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Protes Keras

    “Yu! Bayu! Tunggu!”Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.“Bayu! Berhen–”Brukk!!Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yan

    Last Updated : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Siapa yang Salah, Siapa yang Tanggung Jawab?

    “Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”“Li

    Last Updated : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Alasan Bayu

    “Aduh, Neen! Kira-kira dong kalau ngelempar! Kamu pikir kepalaku ini garis pendaratan cakram apa?!” omel Bayu sambil menggosok-gosok keningnya yang kini memerah akibat kapur yang tadi melesat dengan kecepatan penuh.Aku nyengir, mencoba menutupi rasa bersalah yang lebih banyak jadi hiburan buatku. “Hehe, maaf. Nggak sengaja.”Bayu mendengus, ekspresi mukanya seperti aktor drama yang gagal memenangkan penghargaan. “Nggak sengaja? Tadi aku kena timpuk sendal, sekarang kapur. Besok-besok lagi apa? Kompor gas? Blender? Atau kulkas sekalian biar langsung KO?”Aku berusaha menahan tawa, tapi gagal total. “Kalau kamu nggak segera jawab, mungkin aja,” kataku santai sambil menyeringai. “Kamu sendiri yang bikin aku harus ambil tindakan ekstrem. Dipanggilin kayak patung.”“Maksud kamu aku ini patung Liberty apa patung Pancoran?” jawab Bayu dengan ekspresi sewot yang malah bikin aku makin pengen ngakak.“Patung Pancoran juga mending, Yu. Setidaknya d

    Last Updated : 2025-01-17
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Duda 'Ting-Ting'

    Bayu adalah seorang duda. Dia menikah sekitar 4 tahun lalu dengan seorang wanita yang dikenalnya dari tempat kerjanya dulu. Namanya Risma. Sejak mengumumkan akan menikah, dengan sendirinya Bayu menjaga jarak denganku. Kebetulan aku pun saat itu sedang sibuk melanjutkan S2 di luar kota sehingga jarang sekali berada di rumah. Risma yang ada di ingatanku adalah sosoknya dalam balutan gaun pengantin berwarna putih yang indah. Dia terlihat sangat cantik dan anggun. Tampak serasi sekali berdiri di sebelah Bayu yang di hari pernikahannya juga terlihat gagah. Namun, siapa sangka rumah tangga mereka hanya bertahan tiga bulan? Kabar itu tentu langsung menggemparkan desa. Tidak jelas siapa yang meminta berpisah terlebih dahulu. Namun, dari pihak Risma yang kebetulan memiliki keluarga di desa sebelah menyebarkan desas-desus bahwa Bayu-lah bermasalah. Dia yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai suami—ehem, if you know what I mean. Namun, Bayu s

    Last Updated : 2025-01-17
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Dibuat Pusing Sendiri

    Semalaman aku memikirkan soal rencana pernikahanku dan Bayu. Namun, mau dicari bagaimanapun sepertinya aku tidak akan pernah menemukan titik temu penyelesaiannya. Seluruh keluarga besarku menganggap masalah aku-yang-hampir-gagal-nikah-karena-ditinggal-kabur sudah selesai. Dan Bayu, tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Dia justru seolah menerima pernikahan dadakan ini dengan tangan terbuka. Aku sampai punya pikiran, apa sebaiknya kuterima saja pernikahan ini tanpa banyak komentar, ya? Namun, aku tidak sampai hati jika hanya gara-gara menyelamatkan mukaku saja, aku lantas mengorbankan masa depan dan kebahagiaan orang lain. Apalagi jika itu adalah Bayu, sahabatku sendiri. “Gimana ya? Kalau Bayu nggak benar-benar mau, gimana?” gumamku dalam hati, tapi pertanyaan itu sepertinya nggak punya jawaban pasti, sebab aku bukan Bayu dan aku tidak punya kemampuan super membaca pikiran orang lain. Aku lantas menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi. Tapi t

    Last Updated : 2025-01-18

Latest chapter

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Ada Undang di Balik Kotak Bekal

    Aku terdiam sejenak, masih mencerna kehadirannya yang tiba-tiba.“Eh, Ris... ini...” Aku menunjuk kotak bekal di mejaku. “Punya kamu?”"Iya. Aku bawain buat kamu," jawabnya ringan.Aku hampir tersedak udara. "Buat aku? Kok bisa?"Risma tertawa kecil. "Aku sering lihat kamu nggak pernah bawa bekal makan siang. Selalu beli di kantin, kan? Jadi aku pikir, nggak ada salahnya kalau aku bawain bekal. Lagian, aku masaknya banyak."Aku menatapnya dengan waspada. Ini aneh. Mantan istri suamiku tiba-tiba bawain aku bekal? Apa ini semacam misi terselubung? Mungkin Risma udah nonton terlalu banyak drama Korea dan sekarang mau berteman baik sama istri suaminya yang dulu?Atau... mungkin ini trik khas mantan yang masih punya agenda tersembunyi?Tapi kalau iya, kenapa harus dimulai dengan bekal? Apa dia berharap aku luluh dengan lauk ayam goreng dan sambal?"T-terima kasih ya..." Aku mencoba bersikap sopan. "Tapi nggak usah repot-repot gitu, Ris. Aku nggak enak.""Nggak apa-apa, aku senang kok." Ris

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Cuek Vs Si Kepo

    Malam itu, aku duduk di ruang tamu sambil melamun. Setelah berkunjung ke rumah Risma siang tadi, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku nggak bisa berhenti memikirkan suasana rumahnya yang terasa terlalu sepi.Di meja makan, Bayu sedang asyik mengetik sesuatu di laptopnya. Dari tadi dia nggak banyak bicara, hanya sesekali mendengus kesal saat mengetik. Entah apa yang dikerjakannya, tapi aku yakin itu bukan tugas kantor. Mungkin dia lagi ribut di forum jual beli telur asin atau debat online soal harga pakan bebek.Aku berdehem, mencoba menarik perhatiannya."Yu.""Hmm?" Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Aku menghela napas. "Kamu nggak merasa ada yang aneh tadi waktu kita di rumah Risma?"Bayu akhirnya mendongak sebentar. "Aneh kenapa? Karena kamu dibikinin siomai? Atau karena aku jadi tukang servis gratis?"Aku melotot. "Bukan itu, Bayu! Serius, deh!"Dia menutup laptopnya dan menyandarkan punggung ke kursi. "Terus, apanya yang aneh?""Rumahnya itu, loh. Sepi

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Jangan Ada 'Siomai' Di Antara Kita

    Sebenarnya aku sudah curiga sejak kami di jalan tadi.Begitu telepon dari Risma selesai, Bayu langsung menyuruh aku ikut. Tanpa basa-basi, dia nyalain motor dan melambaikan tangan ke arahku.“Cepetan, Nen. Risma bilang masalahnya urgent banget!”Aku tidak langsung naik. “Kamu tahu rumahnya?” tanyaku, memicingkan mata.“Dia shareloc,” jawabnya sambil menunjuk layar ponselnya yang terpampang di dashboard motor.“Oh,” kataku pendek. Tapi dalam hati aku nggak bisa berhenti mikir: kok dia kayak terlalu santai, ya? Seolah-olah ini hal biasa.Aku bahkan bisa melihat betapa tenangnya Bayu, seperti sudah pernah berkali-kali melakukan hal serupa. Sesuatu dalam diriku mulai merasakan ada yang janggal. Kenapa dia terlihat seperti tahu apa yang sedang terjadi? Atau lebih tepatnya, kenapa dia tidak terlihat khawatir sedikit pun?Dan sekarang, di depan pintu kamar Risma, aku merasa dugaan itu ada benarnya. Bayu sudah berdiri di depan pintu kamar yang sedikit terbuka, memegang senter dari ponselnya.

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kunjungan ke Rumah Mantan

    Pemandangan di depan rumah Risma sudah cukup bikin aku menelan ludah. Risma berdiri di sana dengan wajah yang… gimana ya? Kagok? Syok? Kayak dia nggak nyangka bakal lihat aku ikut nimbrung.Kerudung segiempat dengan kedua ujung tersampir di pundak menutup kepalanya, dan dia pakai piyama dengan gambar kelinci yang terlalu imut buat seorang perempuan dewasa. Aku menahan tawa melihatnya. Kayak bukan Risma yang biasa aku lihat di kantor. Atau mungkin ini sekadar triknya untuk terlihat imut? Bukankah kaum Adam suka dengan cewek-cewek kawaii macam di Anime?Aku, yang masih duduk di belakang Bayu di atas motor, memiringkan kepala. Kaget, Ris? Kirain cuma mau ngobrol sama Bayu aja?“Oh, Neni ikut juga?” tanya Risma dengan senyum kecil yang—menurutku—agak dipaksakan.“Ya dong, kami ke mana-mana bareng. Paket hemat,” jawabku dengan nada santai, meskipun dalam hati aku merasa agak puas.Risma tertawa kecil, tapi aku bisa melihat matanya sekilas melirik ke arah Bayu, seolah sedang menilai reaksin

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Perusak Suasana

    Setelah istirahat beberapa saat, Bayu memaksaku untuk naik sepeda tandem lagi. Meski sebenarnya enggan, aku akhirnya menyerah karena dia mulai merengek seperti anak kecil. Dia pun mulai mengayuh dengan semangat, sementara aku berusaha menjaga keseimbangan di belakang.“Yu, pelan-pelan!” teriakku ketika dia mulai melaju lebih cepat.“Ayo, Nen! Ini asyik banget!”Aku berteriak histeris setiap kali kami melewati tikungan, sementara Bayu tertawa seperti orang gila. Beberapa orang di taman memandang kami dengan tatapan aneh, tapi Bayu sepertinya tidak peduli.“Yu, pelan-pelaaan!" teriakku di sela deru angin yang menampar-nampar.“Tenang aja, Nen! Aku udah pro!" sahutnya sambil tertawa kencang yang terdengar menyebalkan di telingaku. Dia lalu menambahkan dengan suara lantang, "Kamu aman di belakangku. Aku nggak bakal ninggalin kamu kok!”Aku mendengus kesal. “Gombal banget. Udah, pelan dikit, Bayu! Aku serius!”Bayu akhirnya mengurangi kecepatan sedikit, tapi masih dengan ekspresi puas di w

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Cara Melupakan Beban

    Hari Sabtu. Harusnya ini jadi hari buat istirahat, tapi kenyataannya aku malah tergeletak di sofa ruang tamu seperti ikan asin dijemur. Energi rasanya terkuras habis, bukan cuma buat kerjaan di perpustakaan, tapi juga buat berhadapan sama Risma setiap hari.Mungkin aku harus menulis surat pengunduran diri sebagai manusia normal dan resmi jadi karpet saja.“Bangun, Nen.”Suara Bayu memaksaku membuka mata. Dia berdiri di depan sofa dengan kaus oblong dan celana pendek, membawa kantong plastik yang sepertinya penuh dengan camilan. Aku sempat berpikir kalau dia baru saja merampok minimarket.“Ngapain sih bawa-bawa plastik kayak mau dagang keliling?” tanyaku lemas.“Ini buat nyemil kalau kamu mau merenung di sini sepanjang hari,” jawabnya santai sambil menjatuhkan dirinya ke sofa sebelahku. “Tapi aku lebih suka kalau kamu bangun dan kita jalan-jalan.”Aku mendesah panjang, menutup wajah dengan bantal. “Nggak ah, aku capek. Lagian mau jalan ke mana?”Dia menepuk lututku dengan plastik camil

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Overthinking

    Sore itu, aku merasa harus meluruskan semuanya ke Bayu. Setelah kerja, aku langsung pulang dan menemukan dia sedang duduk santai di ruang tamu dengan kaus lusuh favoritnya. Aku berdiri di ambang pintu, mengamati pemandangan di depanku. Bayu tampak begitu santai, kakinya selonjor di atas meja kecil, satu tangan menopang kepala, sementara tangan satunya lagi mengetik di laptop dengan ekspresi serius. Aku diam sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya melangkah mendekat. “Yu,” panggilku, berdiri di depannya dengan tangan bersedekap. Bayu hanya menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke layar laptopnya. “Hmm?” Aku menatapnya tajam, tapi dia tetap tak terpengaruh. Aku berdehem, memastikan suaraku lebih tegas. “Risma tadi bilang kalau kita kelihatan kompak. Menurut kamu, itu artinya apa?” Bayu akhirnya mengalihkan perhatiannya dariku dan menatapku dengan ekspresi bingung. “Itu artinya, kamu terlalu overthinking.” Aku mengembuskan napas panjang, berusaha tetap tenang. “Bayu!” Ak

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kopi yang Terlalu Pahit

    Minggu pertama kerja di perpustakaan. Harusnya ini menyenangkan, ya? Dikelilingi rak-rak tinggi berisi buku, suasana hening yang menenangkan, dan aroma kertas yang khas. Tapi kenyataannya, sejak aku melihat wajah Risma pagi ini, rasanya perutku seperti diaduk-aduk.Bukannya apa-apa, dia terlihat terlalu... ramah. Ramah yang, hmm, gimana ya? Kayak lagi ngasih kode tanpa ngomong langsung.“Neni, kamu kelihatan serius banget.”Aku mendongak dari buku katalog yang sedang kubaca. Ternyata Risma sudah berdiri di sebelah meja, membawa dua cangkir kopi. Bibirnya melengkung dalam senyuman manis yang terlihat terlalu sempurna.“Aku bawain latte. Kamu suka, kan?”“Oh, iya. Makasih.” Aku mengambil cangkir itu dengan senyum yang sedikit dipaksakan.Risma duduk di kursi sebelahku, meletakkan kopinya dengan gerakan anggun sebelum menyandarkan tubuhnya di kursi. Tatapannya terfokus padaku, seolah ingin menginterogasiku dengan cara halus.“Jadi, gimana? Udah mulai betah?”Aku mengangguk sambil menyeru

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Menjadi Curigaan

    Ketika akhirnya jam pulang, Bayu menepati ucapannya dengan menungguku di luar. Aku melihatnya bersandar di motor, mengenakan jaket hitam favoritnya, sambil sesekali melihat ke layar ponselnya. Rasanya lega melihatnya di sana, tetapi sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, Risma yang sejak tadi terus menempel kepadaku tentu saja ikut menyadari kehadiran Bayu.“Bayu! Udah di sini aja?” katanya sambil melambai ceria, seolah-olah mereka sudah lama tidak bertemu dan sangat akrab.Bayu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Iya, tadi langsung ke sini pas Neni kirim WhatsApp. Gimana, Nen? Udah selesai?”Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya masih ada beberapa hal yang mengganjal pikiranku. “Udah. Kayaknya aku bisa lanjut sendiri sekarang.”Risma terkekeh kecil, melirikku sekilas sebelum kembali menatap Bayu. “Wah, Bayu. Kamu bisa tenang sekarang. Neni kan anak mandiri. Tapi jangan lupa mampir-mampir lagi ke sini, ya.”Nada suaranya santai, tetapi entah kenapa terdengar seperti pesan tersembunyi. Ak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status