[Nen, maaf sebelumnya. Tapi kayaknya hubungan kita nggak bisa dilanjut lagi. Aku bener-bener menyesal dan mohon maaf sebesar-besarnya. Kamu wanita yang baik. Kamu pasti bisa dapat pendamping yang lebih baik dari aku. Sekali lagi maaf, kita putus. Salam —Anggara]
"APA?! PUTUS???!" Gara-gara terlalu fokus dengan ponsel, tanpa sadar aku menjerit. Lupa kalau di sekelilingku ada bude, bulik, dan kerabat lain yang sedang duduk melingkar sambil memasukkan bungkusan kacang telur ke dalam stoples. "Ada apa tho, Nduk? Kok teriak-teriak begitu?" tanya Bude Sri, saudara tertua Ibu. "Iya, nih! Untung Bulik nggak njingkat terus toplesnya kelempar. Nanti morat-marit semua!" Sekarang ganti Bulik Narni yang berkomentar. Bungkusan kacang telur dan stoples-stoples itu rencananya akan dibagikan sebagai suvenir di resepsi pernikahanku nanti. "Memang siapa yang putus, Mbak? Kok sampai histeris begitu?" Dina, anak Bulik Narni yang tertua menatapku penasaran. Begitu pun dengan orang-orang lain di sekitar, termasuk Ibu. Aku yang sudah panik, bingung, gelisah, jadi makin mulas tidak karuan. "Itu ... anu ... emm ... artis Korea!" kilahku sekenanya. Mereka kompak ber-oh panjang, termakan kebohonganku. Meski berhasil berkelit, tetap saja rasa mulasku tidak kunjung hilang. Tentunya ini bukan karena sakit perut, karena pagi tadi usai bangun tidur aku sudah menunaikan 'panggilan alam' sesuai jadwal. "Mmm ... aku ke WC dulu!" pamitku, lantas segera meloncat pergi menghindari kecurigaan lebih lanjut. Di toilet, aku kembali membuka ponsel dan membaca ulang pesan tadi sambil jongkok di atas kloset, mendalami peran sedang buang air besar. "Nen, maaf blablabla ... wanita yang baik blabla ... sekali lagi maaf, kita putus. Astaga!" Kutepukkan ponsel ke jidat saking tak habis pikir, lalu setelahnya aku memekik kecil karena kesakitan sendiri. Sungguh, bagaimana bisa hal sesial ini menimpaku? Cepat-cepat aku mengetikkan balasan untuk WA-nya. [Putus? Maksud kamu apa?] [Kamu nggak lagi bercanda, kan?] Sayang kedua pesan beruntunku itu hanya mendapat centang 1 dari operator. Aku semakin gelisah dan tanpa sadar menggigit-gigit ujung ponsel. Bagaimana ini? Apa sebaiknya aku telepon saja Anggara? Namun, baru saja jempolku yang gemetaran hendak menekan ikon 'telepon', pintu kamar mandi bergetar akibat gedoran kencang dari luar. "NENII! JANGAN LAMA-LAMA DI DALAM! BAPAK MULES!" Ponselku melompat dan hampir saja masuk ke lubang pembuangan WC. "Aduuh ... iya, iya, Bapak. Aku keluar! Nggak sabaran amat, sih!" sungutku seraya bangkit usai memungut ponsel yang jatuh ke lantai kamar mandi dengan mengenaskan. Saat kuperiksa sekilas, untung saja layarnya tidak pecah. "Huuu! Kamu tuh, yang kalau nggak mau BAB jangan nongkrong di WC!" sahut Bapak seraya melangkahkan kaki masuk. Aku menoleh dengan raut terbengong. "Kok Bapak tahu?" "Ya tahu lah ... tuh, nggak ada jejak baunya!" Aku segera menepuk jidat. Astaga, ngapain juga pakai tanya-tanya kayak orang bego? Berhubung tempat persemedianku di WC sudah tergusur oleh Bapak, aku pun pindah ke kamar. Di tempat ini, aku segera melancarkan aksi menelepon Anggara yang tadi belum sempat terlaksana. Sambil berjalan mondar-mandir, aku menunggu operator menyambungkan panggilanku. Sayang, bukan bunyi 'tuuut' ala peluit kereta api yang kudengar, melainkan suara merdu mbak-mbak yang terdengar menjengkelkan. "Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif ..." "Hish! Kok pakai nggak aktif segala, sih?!" Aku kembali menekan-nekan layar ponsel dengan emosi, lalu mendekatkannya lagi ke telinga. Perasaanku kian tak karuan seperti semangkuk besar es campur yang diaduk-aduk pakai irus saat hendak dituangkan ke gelas supaya bisa menyerok banyak isinya. Ayolah, nyambung ... nyambung ... "Nomor yang Anda hubungi sedang ..." "Aaaargh!" Karena kesal, aku berteriak sambil membanting ponsel ke tempat tidur. Bagaimana ini? Kenapa laki-laki itu tidak bisa dihubungi? Sebenarnya apa yang terjadi? Bagaimana bisa Anggara mengatakan putus, tepat seminggu sebelum pernikahan kami?! Aku menggeleng cepat, tidak ingin membiarkan pertanyaan-pertanyaan terus bersemerawut di kepala. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus mencoba menghubungi Anggara sekali lagi. Ponsel kembali kuraih. Kali ini, aku mengucap bismillaahirrahmaanirrahiim dulu sebelum menekan ikon gagang ponsel berwarna hijau. Sayangnya meski sudah berdoa sambil menyebut nama Allah, tetap saja respons dari si Mbak mesin operator yang kudapat, bukan Anggara. Sekali lagi aku membanting ponsel ke kasur dan mengerang kesal. Kepalaku rasanya mau meledak. Kalau aku tidak bisa menghubungi dia dan kami benar-benar putus, lalu bagaimana dengan pesta pernikahan dan undangan yang sudah disebar? Tentu masalah ini benar-benar gawat! "Hoi, Nen! Teriak-teriak mulu dari tadi! Ngapain, sih? Udah nggak sabar mau kawin, ya?!" Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari arah jendela. Aku yang sudah terbakar seperti seblak level seratus langsung menoleh dengan ekspresi garang. "Woy, mulut dijaga! Sembarangan aja ngomongnya!" Aku mendengkus keras. Barangkali asap panas juga keluar dari hidungku seperti ilustrasi banteng ngamuk di film-film kartun. Padahal kepalaku sedang mumet. Bisa-bisanya Bayu, tetangga persis sebelah rumah, malah muncul di jendela kamarku dan menambah keruwetan. Bukan sekali-dua kali dia seperti ini. Malah sejak kecil kami memang terbiasa saling bergantian mengunjungi jendela kamar masing-masing atau berkomunikasi lewat jendela karena posisinya yang tepat berhadap-hadapan. Meski semenjak SMP, Bapak dan Ibu sudah sering melarangku dan Bayu supaya berhenti berkomunikasi lewat jendela. Tidak elok dilihat orang katanya karena kami sudah beranjak dewasa. Namun, tetap saja kami melakukannya secara sembunyi-bunyi. "Lagian kamu berisik mulu dari tadi kayak kucing kebelet kawin. Memang ada apa, sih? Kusut banget mukanya." Aku menatap Bayu dengan saksama. Meski sambil melontarkan ledekan, tetap saja aku bisa melihat raut kekhawatiran dan ingin tahu di wajahnya. Aku pun mengembuskan napas panjang hingga ekspresiku sedikit lebih lembut. Kulangkahkan kaki panjang-panjang, menghampirinya yang masih berdiri di luar jendela. "Yu, aku lagi ada masalah gawat banget, nih," ucapku setengah berbisik, membuka sesi curhat. Bayu tampak siap mendengarkan. Ekspresinya berubah ke mode serius. "Jangan bilang kalau kamu ...," Bayu menurunkan pandangan ke arah perutku dengan tatapan ngeri, "isi duluan?" Plakk!! Tanpa menunggu menit kedua, aku langsung menggeplak belakang kepalanya. "Dibilangin jangan ngomong sembarangan! Kamu kira aku kayak mantan istri kamu yang gampang dicolokin kayak kabel rol?!" Saking kesalnya tanpa sadar aku mengulik luka lama Bayu. Dia sampai mendelik, tetapi tidak mau memperpanjang perdebatan kami. "Ehm, sorry," ucapnya kemudian sambil berdeham. "Kalau gitu masalah kamu apa?" Mukaku kembali lesu. Aku membuang napas panjang. "Anggara tiba-tiba bilang putus. Nomornya nggak bisa dihubungi. Kalau begini terus, bisa-bisa aku batal nikah." Tepat di ujung curhatanku, suara menggelegar terdengar di belakang punggung. "SIAPA YANG BATAL NIKAH?!""SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"Jantungku seolah melorot ke perut. Dengan gerakan patah-patah bak robot dan ekspresi ngeri bukan main, aku memutar kepala. Di sana, di depan pintu kamar, sudah berdesakan Bapak, Ibu, para Bude dan Bulik, entah sejak kapan. Apa jangan-jangan mereka dengar semua curhatanku ke Bayu?"Itu ...""Bicara yang jelas, Naini Ritta!"Mataku refleks terpejam erat mendengar suara menggelegar Bapak. Apalagi beliau memanggil dengan nama lengkap, sudah pasti aku tidak bisa memakai alasan konyol untuk berkelit.Kupandangi wajah yang menanti jawabanku satu per satu. Mereka seperti peserta acara reality show Super Deal 2 Miliar yang sedang harap-harap cemas menantikan apa yang ada di balik tirai—akankah aku membawa pulang hadiah atau tidak. Sayangnya, aku yang menjadi peserta terpilih justru sudah mendapat spill kalau tirai yang kupilih ternyata isinya zonk.Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Pandanganku terakhir berhenti di sosok Ibu yang paling terli
"Maaf, Mbak siapa, ya? Ribut-ribut di depan rumah saya," tanya wanita cantik itu sambil menatapku tajam dengan kedua tangan bersedekap, membuat dadanya kian tampak menonjol.Bayu berusaha menurunkan tanganku, tetapi aku mati-matian menepisnya agar dia diam saja."Saya mau cari cowok yang namanya Anggara," jawabku tak gentar. Meski ada kemungkinan wanita di hadapanku ini adalah selingkuhan atau justru istrinya.Alis wanita itu tampak menukik saat dia berpikir sejenak. "Anggara? Ooh ... Mas-mas sales selang gas yang dari Sumatera itu, ya?"Ha? Sales selang gas? Perasaan Anggara bilang padaku kalau dia kerja di perusahaan minyak, deh!Namun, aku mengabaikan rasa keterkejutanku itu dan kembali ke fokus utama sebelum Bayu mencuri-curi lihat dari sela jariku. "I-iya, Mbak. Mbak-nya tahu?""Tuh, kamarnya paling pojok! Tapi kayaknya udah pindah, deh. Kelihatan kosong sejak 3 hari yang lalu," terangnya membuatku terkejut.Aku segera memutar tubuh, berniat mengecek dengan mata kepala sendiri ka
Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu."Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?"Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling
“Yu! Bayu! Tunggu!”Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.“Bayu! Berhen–”Brukk!!Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yan
“Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”“Li
“Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”“Li
“Yu! Bayu! Tunggu!”Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.“Bayu! Berhen–”Brukk!!Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yan
Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu."Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?"Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling
"Maaf, Mbak siapa, ya? Ribut-ribut di depan rumah saya," tanya wanita cantik itu sambil menatapku tajam dengan kedua tangan bersedekap, membuat dadanya kian tampak menonjol.Bayu berusaha menurunkan tanganku, tetapi aku mati-matian menepisnya agar dia diam saja."Saya mau cari cowok yang namanya Anggara," jawabku tak gentar. Meski ada kemungkinan wanita di hadapanku ini adalah selingkuhan atau justru istrinya.Alis wanita itu tampak menukik saat dia berpikir sejenak. "Anggara? Ooh ... Mas-mas sales selang gas yang dari Sumatera itu, ya?"Ha? Sales selang gas? Perasaan Anggara bilang padaku kalau dia kerja di perusahaan minyak, deh!Namun, aku mengabaikan rasa keterkejutanku itu dan kembali ke fokus utama sebelum Bayu mencuri-curi lihat dari sela jariku. "I-iya, Mbak. Mbak-nya tahu?""Tuh, kamarnya paling pojok! Tapi kayaknya udah pindah, deh. Kelihatan kosong sejak 3 hari yang lalu," terangnya membuatku terkejut.Aku segera memutar tubuh, berniat mengecek dengan mata kepala sendiri ka
"SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"Jantungku seolah melorot ke perut. Dengan gerakan patah-patah bak robot dan ekspresi ngeri bukan main, aku memutar kepala. Di sana, di depan pintu kamar, sudah berdesakan Bapak, Ibu, para Bude dan Bulik, entah sejak kapan. Apa jangan-jangan mereka dengar semua curhatanku ke Bayu?"Itu ...""Bicara yang jelas, Naini Ritta!"Mataku refleks terpejam erat mendengar suara menggelegar Bapak. Apalagi beliau memanggil dengan nama lengkap, sudah pasti aku tidak bisa memakai alasan konyol untuk berkelit.Kupandangi wajah yang menanti jawabanku satu per satu. Mereka seperti peserta acara reality show Super Deal 2 Miliar yang sedang harap-harap cemas menantikan apa yang ada di balik tirai—akankah aku membawa pulang hadiah atau tidak. Sayangnya, aku yang menjadi peserta terpilih justru sudah mendapat spill kalau tirai yang kupilih ternyata isinya zonk.Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Pandanganku terakhir berhenti di sosok Ibu yang paling terli
[Nen, maaf sebelumnya. Tapi kayaknya hubungan kita nggak bisa dilanjut lagi. Aku bener-bener menyesal dan mohon maaf sebesar-besarnya. Kamu wanita yang baik. Kamu pasti bisa dapat pendamping yang lebih baik dari aku. Sekali lagi maaf, kita putus. Salam —Anggara]"APA?! PUTUS???!"Gara-gara terlalu fokus dengan ponsel, tanpa sadar aku menjerit. Lupa kalau di sekelilingku ada bude, bulik, dan kerabat lain yang sedang duduk melingkar sambil memasukkan bungkusan kacang telur ke dalam stoples."Ada apa tho, Nduk? Kok teriak-teriak begitu?" tanya Bude Sri, saudara tertua Ibu."Iya, nih! Untung Bulik nggak njingkat terus toplesnya kelempar. Nanti morat-marit semua!" Sekarang ganti Bulik Narni yang berkomentar. Bungkusan kacang telur dan stoples-stoples itu rencananya akan dibagikan sebagai suvenir di resepsi pernikahanku nanti."Memang siapa yang putus, Mbak? Kok sampai histeris begitu?" Dina, anak Bulik Narni yang tertua menatapku penasaran. Begitu pun dengan orang-orang lain di sekitar, te