Share

Memburu Calon Suami

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-16 17:56:34

"SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"

Jantungku seolah melorot ke perut. Dengan gerakan patah-patah bak robot dan ekspresi ngeri bukan main, aku memutar kepala. Di sana, di depan pintu kamar, sudah berdesakan Bapak, Ibu, para Bude dan Bulik, entah sejak kapan. Apa jangan-jangan mereka dengar semua curhatanku ke Bayu?

"Itu ..."

"Bicara yang jelas, Naini Ritta!"

Mataku refleks terpejam erat mendengar suara menggelegar Bapak. Apalagi beliau memanggil dengan nama lengkap, sudah pasti aku tidak bisa memakai alasan konyol untuk berkelit.

Kupandangi wajah yang menanti jawabanku satu per satu. Mereka seperti peserta acara reality show Super Deal 2 Miliar yang sedang harap-harap cemas menantikan apa yang ada di balik tirai—akankah aku membawa pulang hadiah atau tidak. Sayangnya, aku yang menjadi peserta terpilih justru sudah mendapat spill kalau tirai yang kupilih ternyata isinya zonk.

Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Pandanganku terakhir berhenti di sosok Ibu yang paling terlihat cemas dan khawatir. Entah bagaimana nanti kalau beliau mendengar kenyataan yang akan kusampaikan. Semoga saja beliau tidak sampai pingsan.

"Jadi ... tadi Anggara tiba-tiba kirim WA dan—"

Rasanya aku tak sanggup melanjutkan. Fakta bahwa ini akan menyakiti dan mengecewakan semua pihak semakin memberatkanku. Bayang-bayang diriku yang mencoreng nama keluarga besar dan mempermalukan mereka karena batal menikah semakin terlihat jelas.

"—dia bilang putus."

Hening. Bahkan lalat pun rasanya sungkan bernapas dalam situasi seperti ini. Orang-orang yang tadinya menunggu penjelasanku dengan resah, tiba-tiba diam seperti patung seolah baru saja terkena kutukan Malin Kundang.

Aku memberanikan diri bicara lebih jelas, meski masih terselip rasa takut, "Kemungkinan ... rencana pernikahannya juga batal."

Gubrakk!! Mendadak Ibu jatuh pingsan, seperti yang aku khawatirkan. Suasana yang tadinya tegang langsung berubah menjadi hiruk-pikuk tak terkendali. Jeritan panik di mana-mana. Ada yang terduduk lemas, menangis, sementara Bapak dibantu Bude dan Bulik menggotong Ibu ke ruang tengah.

Di tengah kegaduhan itu, aku menoleh ke arah jendela. Kosong. Sejak kapan Bayu melarikan diri dan meninggalkanku di saat seperti ini? Padahal gara-gara dia yang tidak mengawasi pintu tadi, curhatanku jadi bocor!

***

Suara tangisan mendominasi kegaduhan di ruang tengah yang luas dan difungsikan sebagai tempat berkumpul keluarga. Tentunya tangisan pilu Ibu yang paling keras. Beliau sudah sadar sejak beberapa saat yang lalu setelah diberi bau-bauan minyak kayu putih tepat di bawah lubang hidungnya. Tubuh Ibu yang masih terbaring di sofa tampak pucat dan lemah, tetapi anehnya suara beliau masih saja sekencang geledek.

"Neniii!! Huuhuuhuuu ... Nenii!! Huuhuuu ...." Lihat saja tangisannya sudah seperti meratapi orang meninggal. Padahal aku masih ada di samping beliau dalam keadaan sehat wal afiyat. Hanya, masa depan dan harga diriku yang dalam kondisi kritis, sulit diselamatkan.

"Bu, sudah, Bu. Sudah." Aku berusaha menenangkan Ibu dengan mengusap-usap punggung tangannya lembut. Aku khawatir Ibu akan jatuh pingsan lagi akibat kelelahan karena terus histeris. Di sebelah Ibu, Bulik Narni tak henti mengayunkan kipas bambu yang beliau pegang, padahal jelas ibuku bukan sate yang lagi dipanggang. Sementaa Bude Sri juga masih siaga dengan minyak kayu putih yang penutup botolnya masih terbuka di tangan.

"Sudah apanya?! Tega ya kamu ya. Tega!!!" Suara Ibu kembali melengking usai mengibaskan tanganku kasar. Entah kenapa justru orang tua calon mempelai putri yang lebih terpukul. Bukankah di saat seperti ini aku, sebagai pihak yang ditinggalkan, harusnya juga menjerit-jerit dan menangis pilu? Namun, yang kulakukan di sini justru berusaha menenangkan orang-orang.

"Neni! Sini ikut Bapak!"

Glek! Susah payah aku menelan ludah di kerongkonganku yang seolah tersumbat isi kedondong. Dengan takut-takut, aku beringsut mendekati Bapak yang tadinya menepi ke ruangan lain untuk menenangkan diri. Sayangnya, aku tidak yakin itu berhasil, sebab wajah Bapak masih seperti banteng yang dipenuhi angkara murka.

"I-iya, Pak?" tanyaku sambil melirik Bapak yang kini berdiri menghadap jendela di kamarnya.

"Anggara masih belum bisa dihubungi?"

Aku menggeleng dengan wajah tertunduk.

Bapak menggeram dengan suara dalam. "Jarjit."

"Hah? Apa, Pak?" Aku langsung mendongak, menatap wajah Bapak karena tak yakin dengan apa yang barusan aku dengar. Jarjit, katanya? Memang apa hubungannya masalahku dengan teman mainnya Upin-Ipin itu?

"Bapak bilang, cari!" ulang Bapak dengan suara lebih jelas dan tegas. Seketika mulutku membulat.

"Ooh ... cari, toh. Aku kira Jarjit. Makanya kupikir buat apa Bapak nyuruh aku jadi Jarjit? Nanti di saat kayak gini malah berpantun, lagi! Dua tiga sayur mayur ...," cerocosku seraya menirukan lagak Jarjit di televisi.

Wajah Bapak semakin membara. "NENII!!!"

Aku berjengit kaget. "Iya! Iya, Pak! Aku berangkat! Assalamualaikum!" Lalu segera ngacir meninggalkan kamar.

Di depan pintu, tanpa sepengetahuan Bapak, aku melanjutkan pantunku yang belum selesai tadi. "Dua tiga sayur mayur, Bapak marah, ayo kabuur!"

***

Sesuai perintah Bapak, aku pun pergi mencari Anggara. Namun, aku tidak sendiri. Aku menyeret Bayu untuk ikut bersamaku karena secara tidak langsung gara-gara dia masalah ini jadi mencuat ke permukaan. Yang kedua adalah karena aku tidak bisa naik motor, dan tidak mungkin juga meminta tolong salah satu anggota keluargaku untuk mengantar di saat keadaan rumah masih gempar seperti sekarang.

"Kamu tahu alamat tempat tinggalnya?" tanya Bayu tepat sebelum aku naik ke boncengan motor bebeknya.

"Iyaa, tahu! Cepat, buruan! Sebelum janur kuning melengkung jadi bungkus ketupat!" perintahku seraya menepuk pundaknya cukup keras.

Bayu pun menjalankan motor sesuai arahanku yang memegang G****e Maps di tangan. Meski baru kenal sekitar sebulan yang lalu dari aplikasi pencarian jodoh, untunglah aku tidak lupa menanyakan alamat tempat tinggal Anggara yang masih satu kota denganku, sebab aku pernah mengirimkan makana lewat gojek ke sana.

Setengah jam kemudian, kami sudah sampai di depan sebaris rumah yang saling menyatu dindingnya antara satu dan yang lain. Aku menggaruk kepala, bingung. Ini memang pertama kalinya aku datang ke rumah Anggara. Namun, aku tidak mengira dia tinggal di rumah yang lebih mirip indekos petak seperti ini.

"Yang sebelah mana rumahnya?" tanya Bayu sambil melihat-lihat pintu yang berjajar di hadapan kami.

Sebenarnya aku sendiri tidak tahu, tetapi tengsin mengakui hal itu di depan Bayu. Oleh sebabnya, aku asal saja mengetuk salah satu pintu yang menurut instingku adalah milik Anggara. Semoga saja ikatan kami sebagai calon sepasang suami-istri benar-benar kuat.

"Raa! Garaa! Ini aku, Ra! Tolong bukain pintu!" Maksud hati aku ingin memanggilnya dengan lemah lembut, tetapi malah seperti tukang kredit panci yang mau menagih cicilan.

"Anggara!!" Aku kembali menggedor dengan berisik.

Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Namun, bukan calon suamiku yang muncul, melainkan seorang wanita dengan tubuh semlohai yang mengenakan sepotong daster tipis.

"Astaghfirullaah!" Refleks tanganku membekap mata Bayu, menghalangi pandangannya dari pemandangan tak senonoh.

Bab terkait

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kaburnya Sang Calon Mempelai Pria

    "Maaf, Mbak siapa, ya? Ribut-ribut di depan rumah saya," tanya wanita cantik itu sambil menatapku tajam dengan kedua tangan bersedekap, membuat dadanya kian tampak menonjol.Bayu berusaha menurunkan tanganku, tetapi aku mati-matian menepisnya agar dia diam saja."Saya mau cari cowok yang namanya Anggara," jawabku tak gentar. Meski ada kemungkinan wanita di hadapanku ini adalah selingkuhan atau justru istrinya.Alis wanita itu tampak menukik saat dia berpikir sejenak. "Anggara? Ooh ... Mas-mas sales selang gas yang dari Sumatera itu, ya?"Ha? Sales selang gas? Perasaan Anggara bilang padaku kalau dia kerja di perusahaan minyak, deh!Namun, aku mengabaikan rasa keterkejutanku itu dan kembali ke fokus utama sebelum Bayu mencuri-curi lihat dari sela jariku. "I-iya, Mbak. Mbak-nya tahu?""Tuh, kamarnya paling pojok! Tapi kayaknya udah pindah, deh. Kelihatan kosong sejak 3 hari yang lalu," terangnya membuatku terkejut.Aku segera memutar tubuh, berniat mengecek dengan mata kepala sendiri ka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Mengatasi Masalah dengan Masalah

    Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu."Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?"Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Protes Keras

    “Yu! Bayu! Tunggu!”Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.“Bayu! Berhen–”Brukk!!Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Siapa yang Salah, Siapa yang Tanggung Jawab?

    “Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”“Li

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Alasan Bayu

    “Aduh, Neen! Kira-kira dong kalau ngelempar! Kamu pikir kepalaku ini garis pendaratan cakram apa?!” omel Bayu sambil menggosok-gosok keningnya yang kini memerah akibat kapur yang tadi melesat dengan kecepatan penuh.Aku nyengir, mencoba menutupi rasa bersalah yang lebih banyak jadi hiburan buatku. “Hehe, maaf. Nggak sengaja.”Bayu mendengus, ekspresi mukanya seperti aktor drama yang gagal memenangkan penghargaan. “Nggak sengaja? Tadi aku kena timpuk sendal, sekarang kapur. Besok-besok lagi apa? Kompor gas? Blender? Atau kulkas sekalian biar langsung KO?”Aku berusaha menahan tawa, tapi gagal total. “Kalau kamu nggak segera jawab, mungkin aja,” kataku santai sambil menyeringai. “Kamu sendiri yang bikin aku harus ambil tindakan ekstrem. Dipanggilin kayak patung.”“Maksud kamu aku ini patung Liberty apa patung Pancoran?” jawab Bayu dengan ekspresi sewot yang malah bikin aku makin pengen ngakak.“Patung Pancoran juga mending, Yu. Setidaknya d

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Duda 'Ting-Ting'

    Bayu adalah seorang duda. Dia menikah sekitar 4 tahun lalu dengan seorang wanita yang dikenalnya dari tempat kerjanya dulu. Namanya Risma. Sejak mengumumkan akan menikah, dengan sendirinya Bayu menjaga jarak denganku. Kebetulan aku pun saat itu sedang sibuk melanjutkan S2 di luar kota sehingga jarang sekali berada di rumah. Risma yang ada di ingatanku adalah sosoknya dalam balutan gaun pengantin berwarna putih yang indah. Dia terlihat sangat cantik dan anggun. Tampak serasi sekali berdiri di sebelah Bayu yang di hari pernikahannya juga terlihat gagah. Namun, siapa sangka rumah tangga mereka hanya bertahan tiga bulan? Kabar itu tentu langsung menggemparkan desa. Tidak jelas siapa yang meminta berpisah terlebih dahulu. Namun, dari pihak Risma yang kebetulan memiliki keluarga di desa sebelah menyebarkan desas-desus bahwa Bayu-lah bermasalah. Dia yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai suami—ehem, if you know what I mean. Namun, Bayu s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Dibuat Pusing Sendiri

    Semalaman aku memikirkan soal rencana pernikahanku dan Bayu. Namun, mau dicari bagaimanapun sepertinya aku tidak akan pernah menemukan titik temu penyelesaiannya. Seluruh keluarga besarku menganggap masalah aku-yang-hampir-gagal-nikah-karena-ditinggal-kabur sudah selesai. Dan Bayu, tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Dia justru seolah menerima pernikahan dadakan ini dengan tangan terbuka. Aku sampai punya pikiran, apa sebaiknya kuterima saja pernikahan ini tanpa banyak komentar, ya? Namun, aku tidak sampai hati jika hanya gara-gara menyelamatkan mukaku saja, aku lantas mengorbankan masa depan dan kebahagiaan orang lain. Apalagi jika itu adalah Bayu, sahabatku sendiri. “Gimana ya? Kalau Bayu nggak benar-benar mau, gimana?” gumamku dalam hati, tapi pertanyaan itu sepertinya nggak punya jawaban pasti, sebab aku bukan Bayu dan aku tidak punya kemampuan super membaca pikiran orang lain. Aku lantas menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi. Tapi t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Keputusan yang Tak Mudah

    “Lha memang kamu mau bilang ‘nggak’, Non?” Mitha bertanya heran menanggapi pernyataanku. Dia lalu menekankan lagi, “Serius?”“Yaa nggak tahu. Aku sendiri juga bingung, Mit. Itu sebabnya aku nelepon kamu,” kataku berterus terang. “Menurut kamu aku harus gimana?”“Tunggu-tunggu! Memangnya yang bikin kamu bingung apa?” Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Sejujurnya, aku merasa sudah berada di jalan buntu. “Aku benar-benar nggak tega, Mit, kalau harus menyeret Bayu ke permasalahanku. Apalagi urusan nikah nggak sebercanda itu, lho. Tapi di sisi lain, aku juga udah buntu harus gimana nanganin permasalahan ini.” Suaraku bergetar di akhir kalimat. Rasanya hampir menangis hanya karena meluapkan kebingungan yang selama ini terpendam. “Menurut kamu aku harus gimana, Mit?”Mitha terdiam sejenak. Aku bisa membayangkan di seberang sana, dia sedang memutar otak mencari jawaban yang tepat untukku. Suara berderak kecil terdengar dari ponselnya, mungkin dia

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18

Bab terbaru

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Ada Undang di Balik Kotak Bekal

    Aku terdiam sejenak, masih mencerna kehadirannya yang tiba-tiba.“Eh, Ris... ini...” Aku menunjuk kotak bekal di mejaku. “Punya kamu?”"Iya. Aku bawain buat kamu," jawabnya ringan.Aku hampir tersedak udara. "Buat aku? Kok bisa?"Risma tertawa kecil. "Aku sering lihat kamu nggak pernah bawa bekal makan siang. Selalu beli di kantin, kan? Jadi aku pikir, nggak ada salahnya kalau aku bawain bekal. Lagian, aku masaknya banyak."Aku menatapnya dengan waspada. Ini aneh. Mantan istri suamiku tiba-tiba bawain aku bekal? Apa ini semacam misi terselubung? Mungkin Risma udah nonton terlalu banyak drama Korea dan sekarang mau berteman baik sama istri suaminya yang dulu?Atau... mungkin ini trik khas mantan yang masih punya agenda tersembunyi?Tapi kalau iya, kenapa harus dimulai dengan bekal? Apa dia berharap aku luluh dengan lauk ayam goreng dan sambal?"T-terima kasih ya..." Aku mencoba bersikap sopan. "Tapi nggak usah repot-repot gitu, Ris. Aku nggak enak.""Nggak apa-apa, aku senang kok." Ris

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Cuek Vs Si Kepo

    Malam itu, aku duduk di ruang tamu sambil melamun. Setelah berkunjung ke rumah Risma siang tadi, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku nggak bisa berhenti memikirkan suasana rumahnya yang terasa terlalu sepi.Di meja makan, Bayu sedang asyik mengetik sesuatu di laptopnya. Dari tadi dia nggak banyak bicara, hanya sesekali mendengus kesal saat mengetik. Entah apa yang dikerjakannya, tapi aku yakin itu bukan tugas kantor. Mungkin dia lagi ribut di forum jual beli telur asin atau debat online soal harga pakan bebek.Aku berdehem, mencoba menarik perhatiannya."Yu.""Hmm?" Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Aku menghela napas. "Kamu nggak merasa ada yang aneh tadi waktu kita di rumah Risma?"Bayu akhirnya mendongak sebentar. "Aneh kenapa? Karena kamu dibikinin siomai? Atau karena aku jadi tukang servis gratis?"Aku melotot. "Bukan itu, Bayu! Serius, deh!"Dia menutup laptopnya dan menyandarkan punggung ke kursi. "Terus, apanya yang aneh?""Rumahnya itu, loh. Sepi

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Jangan Ada 'Siomai' Di Antara Kita

    Sebenarnya aku sudah curiga sejak kami di jalan tadi.Begitu telepon dari Risma selesai, Bayu langsung menyuruh aku ikut. Tanpa basa-basi, dia nyalain motor dan melambaikan tangan ke arahku.“Cepetan, Nen. Risma bilang masalahnya urgent banget!”Aku tidak langsung naik. “Kamu tahu rumahnya?” tanyaku, memicingkan mata.“Dia shareloc,” jawabnya sambil menunjuk layar ponselnya yang terpampang di dashboard motor.“Oh,” kataku pendek. Tapi dalam hati aku nggak bisa berhenti mikir: kok dia kayak terlalu santai, ya? Seolah-olah ini hal biasa.Aku bahkan bisa melihat betapa tenangnya Bayu, seperti sudah pernah berkali-kali melakukan hal serupa. Sesuatu dalam diriku mulai merasakan ada yang janggal. Kenapa dia terlihat seperti tahu apa yang sedang terjadi? Atau lebih tepatnya, kenapa dia tidak terlihat khawatir sedikit pun?Dan sekarang, di depan pintu kamar Risma, aku merasa dugaan itu ada benarnya. Bayu sudah berdiri di depan pintu kamar yang sedikit terbuka, memegang senter dari ponselnya.

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kunjungan ke Rumah Mantan

    Pemandangan di depan rumah Risma sudah cukup bikin aku menelan ludah. Risma berdiri di sana dengan wajah yang… gimana ya? Kagok? Syok? Kayak dia nggak nyangka bakal lihat aku ikut nimbrung.Kerudung segiempat dengan kedua ujung tersampir di pundak menutup kepalanya, dan dia pakai piyama dengan gambar kelinci yang terlalu imut buat seorang perempuan dewasa. Aku menahan tawa melihatnya. Kayak bukan Risma yang biasa aku lihat di kantor. Atau mungkin ini sekadar triknya untuk terlihat imut? Bukankah kaum Adam suka dengan cewek-cewek kawaii macam di Anime?Aku, yang masih duduk di belakang Bayu di atas motor, memiringkan kepala. Kaget, Ris? Kirain cuma mau ngobrol sama Bayu aja?“Oh, Neni ikut juga?” tanya Risma dengan senyum kecil yang—menurutku—agak dipaksakan.“Ya dong, kami ke mana-mana bareng. Paket hemat,” jawabku dengan nada santai, meskipun dalam hati aku merasa agak puas.Risma tertawa kecil, tapi aku bisa melihat matanya sekilas melirik ke arah Bayu, seolah sedang menilai reaksin

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Perusak Suasana

    Setelah istirahat beberapa saat, Bayu memaksaku untuk naik sepeda tandem lagi. Meski sebenarnya enggan, aku akhirnya menyerah karena dia mulai merengek seperti anak kecil. Dia pun mulai mengayuh dengan semangat, sementara aku berusaha menjaga keseimbangan di belakang.“Yu, pelan-pelan!” teriakku ketika dia mulai melaju lebih cepat.“Ayo, Nen! Ini asyik banget!”Aku berteriak histeris setiap kali kami melewati tikungan, sementara Bayu tertawa seperti orang gila. Beberapa orang di taman memandang kami dengan tatapan aneh, tapi Bayu sepertinya tidak peduli.“Yu, pelan-pelaaan!" teriakku di sela deru angin yang menampar-nampar.“Tenang aja, Nen! Aku udah pro!" sahutnya sambil tertawa kencang yang terdengar menyebalkan di telingaku. Dia lalu menambahkan dengan suara lantang, "Kamu aman di belakangku. Aku nggak bakal ninggalin kamu kok!”Aku mendengus kesal. “Gombal banget. Udah, pelan dikit, Bayu! Aku serius!”Bayu akhirnya mengurangi kecepatan sedikit, tapi masih dengan ekspresi puas di w

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Cara Melupakan Beban

    Hari Sabtu. Harusnya ini jadi hari buat istirahat, tapi kenyataannya aku malah tergeletak di sofa ruang tamu seperti ikan asin dijemur. Energi rasanya terkuras habis, bukan cuma buat kerjaan di perpustakaan, tapi juga buat berhadapan sama Risma setiap hari.Mungkin aku harus menulis surat pengunduran diri sebagai manusia normal dan resmi jadi karpet saja.“Bangun, Nen.”Suara Bayu memaksaku membuka mata. Dia berdiri di depan sofa dengan kaus oblong dan celana pendek, membawa kantong plastik yang sepertinya penuh dengan camilan. Aku sempat berpikir kalau dia baru saja merampok minimarket.“Ngapain sih bawa-bawa plastik kayak mau dagang keliling?” tanyaku lemas.“Ini buat nyemil kalau kamu mau merenung di sini sepanjang hari,” jawabnya santai sambil menjatuhkan dirinya ke sofa sebelahku. “Tapi aku lebih suka kalau kamu bangun dan kita jalan-jalan.”Aku mendesah panjang, menutup wajah dengan bantal. “Nggak ah, aku capek. Lagian mau jalan ke mana?”Dia menepuk lututku dengan plastik camil

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Overthinking

    Sore itu, aku merasa harus meluruskan semuanya ke Bayu. Setelah kerja, aku langsung pulang dan menemukan dia sedang duduk santai di ruang tamu dengan kaus lusuh favoritnya. Aku berdiri di ambang pintu, mengamati pemandangan di depanku. Bayu tampak begitu santai, kakinya selonjor di atas meja kecil, satu tangan menopang kepala, sementara tangan satunya lagi mengetik di laptop dengan ekspresi serius. Aku diam sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya melangkah mendekat. “Yu,” panggilku, berdiri di depannya dengan tangan bersedekap. Bayu hanya menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke layar laptopnya. “Hmm?” Aku menatapnya tajam, tapi dia tetap tak terpengaruh. Aku berdehem, memastikan suaraku lebih tegas. “Risma tadi bilang kalau kita kelihatan kompak. Menurut kamu, itu artinya apa?” Bayu akhirnya mengalihkan perhatiannya dariku dan menatapku dengan ekspresi bingung. “Itu artinya, kamu terlalu overthinking.” Aku mengembuskan napas panjang, berusaha tetap tenang. “Bayu!” Ak

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kopi yang Terlalu Pahit

    Minggu pertama kerja di perpustakaan. Harusnya ini menyenangkan, ya? Dikelilingi rak-rak tinggi berisi buku, suasana hening yang menenangkan, dan aroma kertas yang khas. Tapi kenyataannya, sejak aku melihat wajah Risma pagi ini, rasanya perutku seperti diaduk-aduk.Bukannya apa-apa, dia terlihat terlalu... ramah. Ramah yang, hmm, gimana ya? Kayak lagi ngasih kode tanpa ngomong langsung.“Neni, kamu kelihatan serius banget.”Aku mendongak dari buku katalog yang sedang kubaca. Ternyata Risma sudah berdiri di sebelah meja, membawa dua cangkir kopi. Bibirnya melengkung dalam senyuman manis yang terlihat terlalu sempurna.“Aku bawain latte. Kamu suka, kan?”“Oh, iya. Makasih.” Aku mengambil cangkir itu dengan senyum yang sedikit dipaksakan.Risma duduk di kursi sebelahku, meletakkan kopinya dengan gerakan anggun sebelum menyandarkan tubuhnya di kursi. Tatapannya terfokus padaku, seolah ingin menginterogasiku dengan cara halus.“Jadi, gimana? Udah mulai betah?”Aku mengangguk sambil menyeru

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Menjadi Curigaan

    Ketika akhirnya jam pulang, Bayu menepati ucapannya dengan menungguku di luar. Aku melihatnya bersandar di motor, mengenakan jaket hitam favoritnya, sambil sesekali melihat ke layar ponselnya. Rasanya lega melihatnya di sana, tetapi sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, Risma yang sejak tadi terus menempel kepadaku tentu saja ikut menyadari kehadiran Bayu.“Bayu! Udah di sini aja?” katanya sambil melambai ceria, seolah-olah mereka sudah lama tidak bertemu dan sangat akrab.Bayu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Iya, tadi langsung ke sini pas Neni kirim WhatsApp. Gimana, Nen? Udah selesai?”Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya masih ada beberapa hal yang mengganjal pikiranku. “Udah. Kayaknya aku bisa lanjut sendiri sekarang.”Risma terkekeh kecil, melirikku sekilas sebelum kembali menatap Bayu. “Wah, Bayu. Kamu bisa tenang sekarang. Neni kan anak mandiri. Tapi jangan lupa mampir-mampir lagi ke sini, ya.”Nada suaranya santai, tetapi entah kenapa terdengar seperti pesan tersembunyi. Ak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status