"SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"
Jantungku seolah melorot ke perut. Dengan gerakan patah-patah bak robot dan ekspresi ngeri bukan main, aku memutar kepala. Di sana, di depan pintu kamar, sudah berdesakan Bapak, Ibu, para Bude dan Bulik, entah sejak kapan. Apa jangan-jangan mereka dengar semua curhatanku ke Bayu? "Itu ..." "Bicara yang jelas, Naini Ritta!" Mataku refleks terpejam erat mendengar suara menggelegar Bapak. Apalagi beliau memanggil dengan nama lengkap, sudah pasti aku tidak bisa memakai alasan konyol untuk berkelit. Kupandangi wajah yang menanti jawabanku satu per satu. Mereka seperti peserta acara reality show Super Deal 2 Miliar yang sedang harap-harap cemas menantikan apa yang ada di balik tirai—akankah aku membawa pulang hadiah atau tidak. Sayangnya, aku yang menjadi peserta terpilih justru sudah mendapat spill kalau tirai yang kupilih ternyata isinya zonk. Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Pandanganku terakhir berhenti di sosok Ibu yang paling terlihat cemas dan khawatir. Entah bagaimana nanti kalau beliau mendengar kenyataan yang akan kusampaikan. Semoga saja beliau tidak sampai pingsan. "Jadi ... tadi Anggara tiba-tiba kirim WA dan—" Rasanya aku tak sanggup melanjutkan. Fakta bahwa ini akan menyakiti dan mengecewakan semua pihak semakin memberatkanku. Bayang-bayang diriku yang mencoreng nama keluarga besar dan mempermalukan mereka karena batal menikah semakin terlihat jelas. "—dia bilang putus." Hening. Bahkan lalat pun rasanya sungkan bernapas dalam situasi seperti ini. Orang-orang yang tadinya menunggu penjelasanku dengan resah, tiba-tiba diam seperti patung seolah baru saja terkena kutukan Malin Kundang. Aku memberanikan diri bicara lebih jelas, meski masih terselip rasa takut, "Kemungkinan ... rencana pernikahannya juga batal." Gubrakk!! Mendadak Ibu jatuh pingsan, seperti yang aku khawatirkan. Suasana yang tadinya tegang langsung berubah menjadi hiruk-pikuk tak terkendali. Jeritan panik di mana-mana. Ada yang terduduk lemas, menangis, sementara Bapak dibantu Bude dan Bulik menggotong Ibu ke ruang tengah. Di tengah kegaduhan itu, aku menoleh ke arah jendela. Kosong. Sejak kapan Bayu melarikan diri dan meninggalkanku di saat seperti ini? Padahal gara-gara dia yang tidak mengawasi pintu tadi, curhatanku jadi bocor! *** Suara tangisan mendominasi kegaduhan di ruang tengah yang luas dan difungsikan sebagai tempat berkumpul keluarga. Tentunya tangisan pilu Ibu yang paling keras. Beliau sudah sadar sejak beberapa saat yang lalu setelah diberi bau-bauan minyak kayu putih tepat di bawah lubang hidungnya. Tubuh Ibu yang masih terbaring di sofa tampak pucat dan lemah, tetapi anehnya suara beliau masih saja sekencang geledek. "Neniii!! Huuhuuhuuu ... Nenii!! Huuhuuu ...." Lihat saja tangisannya sudah seperti meratapi orang meninggal. Padahal aku masih ada di samping beliau dalam keadaan sehat wal afiyat. Hanya, masa depan dan harga diriku yang dalam kondisi kritis, sulit diselamatkan. "Bu, sudah, Bu. Sudah." Aku berusaha menenangkan Ibu dengan mengusap-usap punggung tangannya lembut. Aku khawatir Ibu akan jatuh pingsan lagi akibat kelelahan karena terus histeris. Di sebelah Ibu, Bulik Narni tak henti mengayunkan kipas bambu yang beliau pegang, padahal jelas ibuku bukan sate yang lagi dipanggang. Sementaa Bude Sri juga masih siaga dengan minyak kayu putih yang penutup botolnya masih terbuka di tangan. "Sudah apanya?! Tega ya kamu ya. Tega!!!" Suara Ibu kembali melengking usai mengibaskan tanganku kasar. Entah kenapa justru orang tua calon mempelai putri yang lebih terpukul. Bukankah di saat seperti ini aku, sebagai pihak yang ditinggalkan, harusnya juga menjerit-jerit dan menangis pilu? Namun, yang kulakukan di sini justru berusaha menenangkan orang-orang. "Neni! Sini ikut Bapak!" Glek! Susah payah aku menelan ludah di kerongkonganku yang seolah tersumbat isi kedondong. Dengan takut-takut, aku beringsut mendekati Bapak yang tadinya menepi ke ruangan lain untuk menenangkan diri. Sayangnya, aku tidak yakin itu berhasil, sebab wajah Bapak masih seperti banteng yang dipenuhi angkara murka. "I-iya, Pak?" tanyaku sambil melirik Bapak yang kini berdiri menghadap jendela di kamarnya. "Anggara masih belum bisa dihubungi?" Aku menggeleng dengan wajah tertunduk. Bapak menggeram dengan suara dalam. "Jarjit." "Hah? Apa, Pak?" Aku langsung mendongak, menatap wajah Bapak karena tak yakin dengan apa yang barusan aku dengar. Jarjit, katanya? Memang apa hubungannya masalahku dengan teman mainnya Upin-Ipin itu? "Bapak bilang, cari!" ulang Bapak dengan suara lebih jelas dan tegas. Seketika mulutku membulat. "Ooh ... cari, toh. Aku kira Jarjit. Makanya kupikir buat apa Bapak nyuruh aku jadi Jarjit? Nanti di saat kayak gini malah berpantun, lagi! Dua tiga sayur mayur ...," cerocosku seraya menirukan lagak Jarjit di televisi. Wajah Bapak semakin membara. "NENII!!!" Aku berjengit kaget. "Iya! Iya, Pak! Aku berangkat! Assalamualaikum!" Lalu segera ngacir meninggalkan kamar. Di depan pintu, tanpa sepengetahuan Bapak, aku melanjutkan pantunku yang belum selesai tadi. "Dua tiga sayur mayur, Bapak marah, ayo kabuur!" *** Sesuai perintah Bapak, aku pun pergi mencari Anggara. Namun, aku tidak sendiri. Aku menyeret Bayu untuk ikut bersamaku karena secara tidak langsung gara-gara dia masalah ini jadi mencuat ke permukaan. Yang kedua adalah karena aku tidak bisa naik motor, dan tidak mungkin juga meminta tolong salah satu anggota keluargaku untuk mengantar di saat keadaan rumah masih gempar seperti sekarang. "Kamu tahu alamat tempat tinggalnya?" tanya Bayu tepat sebelum aku naik ke boncengan motor bebeknya. "Iyaa, tahu! Cepat, buruan! Sebelum janur kuning melengkung jadi bungkus ketupat!" perintahku seraya menepuk pundaknya cukup keras. Bayu pun menjalankan motor sesuai arahanku yang memegang G****e Maps di tangan. Meski baru kenal sekitar sebulan yang lalu dari aplikasi pencarian jodoh, untunglah aku tidak lupa menanyakan alamat tempat tinggal Anggara yang masih satu kota denganku, sebab aku pernah mengirimkan makana lewat gojek ke sana. Setengah jam kemudian, kami sudah sampai di depan sebaris rumah yang saling menyatu dindingnya antara satu dan yang lain. Aku menggaruk kepala, bingung. Ini memang pertama kalinya aku datang ke rumah Anggara. Namun, aku tidak mengira dia tinggal di rumah yang lebih mirip indekos petak seperti ini. "Yang sebelah mana rumahnya?" tanya Bayu sambil melihat-lihat pintu yang berjajar di hadapan kami. Sebenarnya aku sendiri tidak tahu, tetapi tengsin mengakui hal itu di depan Bayu. Oleh sebabnya, aku asal saja mengetuk salah satu pintu yang menurut instingku adalah milik Anggara. Semoga saja ikatan kami sebagai calon sepasang suami-istri benar-benar kuat. "Raa! Garaa! Ini aku, Ra! Tolong bukain pintu!" Maksud hati aku ingin memanggilnya dengan lemah lembut, tetapi malah seperti tukang kredit panci yang mau menagih cicilan. "Anggara!!" Aku kembali menggedor dengan berisik. Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Namun, bukan calon suamiku yang muncul, melainkan seorang wanita dengan tubuh semlohai yang mengenakan sepotong daster tipis. "Astaghfirullaah!" Refleks tanganku membekap mata Bayu, menghalangi pandangannya dari pemandangan tak senonoh."Maaf, Mbak siapa, ya? Ribut-ribut di depan rumah saya," tanya wanita cantik itu sambil menatapku tajam dengan kedua tangan bersedekap, membuat dadanya kian tampak menonjol.Bayu berusaha menurunkan tanganku, tetapi aku mati-matian menepisnya agar dia diam saja."Saya mau cari cowok yang namanya Anggara," jawabku tak gentar. Meski ada kemungkinan wanita di hadapanku ini adalah selingkuhan atau justru istrinya.Alis wanita itu tampak menukik saat dia berpikir sejenak. "Anggara? Ooh ... Mas-mas sales selang gas yang dari Sumatera itu, ya?"Ha? Sales selang gas? Perasaan Anggara bilang padaku kalau dia kerja di perusahaan minyak, deh!Namun, aku mengabaikan rasa keterkejutanku itu dan kembali ke fokus utama sebelum Bayu mencuri-curi lihat dari sela jariku. "I-iya, Mbak. Mbak-nya tahu?""Tuh, kamarnya paling pojok! Tapi kayaknya udah pindah, deh. Kelihatan kosong sejak 3 hari yang lalu," terangnya membuatku terkejut.Aku segera memutar tubuh, berniat mengecek dengan mata kepala sendiri ka
Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu."Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?"Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling
“Yu! Bayu! Tunggu!”Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.“Bayu! Berhen–”Brukk!!Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yan
“Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”“Li
[Nen, maaf sebelumnya. Tapi kayaknya hubungan kita nggak bisa dilanjut lagi. Aku bener-bener menyesal dan mohon maaf sebesar-besarnya. Kamu wanita yang baik. Kamu pasti bisa dapat pendamping yang lebih baik dari aku. Sekali lagi maaf, kita putus. Salam —Anggara]"APA?! PUTUS???!"Gara-gara terlalu fokus dengan ponsel, tanpa sadar aku menjerit. Lupa kalau di sekelilingku ada bude, bulik, dan kerabat lain yang sedang duduk melingkar sambil memasukkan bungkusan kacang telur ke dalam stoples."Ada apa tho, Nduk? Kok teriak-teriak begitu?" tanya Bude Sri, saudara tertua Ibu."Iya, nih! Untung Bulik nggak njingkat terus toplesnya kelempar. Nanti morat-marit semua!" Sekarang ganti Bulik Narni yang berkomentar. Bungkusan kacang telur dan stoples-stoples itu rencananya akan dibagikan sebagai suvenir di resepsi pernikahanku nanti."Memang siapa yang putus, Mbak? Kok sampai histeris begitu?" Dina, anak Bulik Narni yang tertua menatapku penasaran. Begitu pun dengan orang-orang lain di sekitar, te
“Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”“Li
“Yu! Bayu! Tunggu!”Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.“Bayu! Berhen–”Brukk!!Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yan
Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu."Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?"Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling
"Maaf, Mbak siapa, ya? Ribut-ribut di depan rumah saya," tanya wanita cantik itu sambil menatapku tajam dengan kedua tangan bersedekap, membuat dadanya kian tampak menonjol.Bayu berusaha menurunkan tanganku, tetapi aku mati-matian menepisnya agar dia diam saja."Saya mau cari cowok yang namanya Anggara," jawabku tak gentar. Meski ada kemungkinan wanita di hadapanku ini adalah selingkuhan atau justru istrinya.Alis wanita itu tampak menukik saat dia berpikir sejenak. "Anggara? Ooh ... Mas-mas sales selang gas yang dari Sumatera itu, ya?"Ha? Sales selang gas? Perasaan Anggara bilang padaku kalau dia kerja di perusahaan minyak, deh!Namun, aku mengabaikan rasa keterkejutanku itu dan kembali ke fokus utama sebelum Bayu mencuri-curi lihat dari sela jariku. "I-iya, Mbak. Mbak-nya tahu?""Tuh, kamarnya paling pojok! Tapi kayaknya udah pindah, deh. Kelihatan kosong sejak 3 hari yang lalu," terangnya membuatku terkejut.Aku segera memutar tubuh, berniat mengecek dengan mata kepala sendiri ka
"SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"Jantungku seolah melorot ke perut. Dengan gerakan patah-patah bak robot dan ekspresi ngeri bukan main, aku memutar kepala. Di sana, di depan pintu kamar, sudah berdesakan Bapak, Ibu, para Bude dan Bulik, entah sejak kapan. Apa jangan-jangan mereka dengar semua curhatanku ke Bayu?"Itu ...""Bicara yang jelas, Naini Ritta!"Mataku refleks terpejam erat mendengar suara menggelegar Bapak. Apalagi beliau memanggil dengan nama lengkap, sudah pasti aku tidak bisa memakai alasan konyol untuk berkelit.Kupandangi wajah yang menanti jawabanku satu per satu. Mereka seperti peserta acara reality show Super Deal 2 Miliar yang sedang harap-harap cemas menantikan apa yang ada di balik tirai—akankah aku membawa pulang hadiah atau tidak. Sayangnya, aku yang menjadi peserta terpilih justru sudah mendapat spill kalau tirai yang kupilih ternyata isinya zonk.Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Pandanganku terakhir berhenti di sosok Ibu yang paling terli
[Nen, maaf sebelumnya. Tapi kayaknya hubungan kita nggak bisa dilanjut lagi. Aku bener-bener menyesal dan mohon maaf sebesar-besarnya. Kamu wanita yang baik. Kamu pasti bisa dapat pendamping yang lebih baik dari aku. Sekali lagi maaf, kita putus. Salam —Anggara]"APA?! PUTUS???!"Gara-gara terlalu fokus dengan ponsel, tanpa sadar aku menjerit. Lupa kalau di sekelilingku ada bude, bulik, dan kerabat lain yang sedang duduk melingkar sambil memasukkan bungkusan kacang telur ke dalam stoples."Ada apa tho, Nduk? Kok teriak-teriak begitu?" tanya Bude Sri, saudara tertua Ibu."Iya, nih! Untung Bulik nggak njingkat terus toplesnya kelempar. Nanti morat-marit semua!" Sekarang ganti Bulik Narni yang berkomentar. Bungkusan kacang telur dan stoples-stoples itu rencananya akan dibagikan sebagai suvenir di resepsi pernikahanku nanti."Memang siapa yang putus, Mbak? Kok sampai histeris begitu?" Dina, anak Bulik Narni yang tertua menatapku penasaran. Begitu pun dengan orang-orang lain di sekitar, te