“Aduh, Neen! Kira-kira dong kalau ngelempar! Kamu pikir kepalaku ini garis pendaratan cakram apa?!” omel Bayu sambil menggosok-gosok keningnya yang kini memerah akibat kapur yang tadi melesat dengan kecepatan penuh.
Aku nyengir, mencoba menutupi rasa bersalah yang lebih banyak jadi hiburan buatku. “Hehe, maaf. Nggak sengaja.”Bayu mendengus, ekspresi mukanya seperti aktor drama yang gagal memenangkan penghargaan. “Nggak sengaja? Tadi aku kena timpuk sendal, sekarang kapur. Besok-besok lagi apa? Kompor gas? Blender? Atau kulkas sekalian biar langsung KO?”Aku berusaha menahan tawa, tapi gagal total. “Kalau kamu nggak segera jawab, mungkin aja,” kataku santai sambil menyeringai. “Kamu sendiri yang bikin aku harus ambil tindakan ekstrem. Dipanggilin kayak patung.”“Maksud kamu aku ini patung Liberty apa patung Pancoran?” jawab Bayu dengan ekspresi sewot yang malah bikin aku makin pengen ngakak.“Patung Pancoran juga mending, Yu. Setidaknya dBayu adalah seorang duda. Dia menikah sekitar 4 tahun lalu dengan seorang wanita yang dikenalnya dari tempat kerjanya dulu. Namanya Risma. Sejak mengumumkan akan menikah, dengan sendirinya Bayu menjaga jarak denganku. Kebetulan aku pun saat itu sedang sibuk melanjutkan S2 di luar kota sehingga jarang sekali berada di rumah. Risma yang ada di ingatanku adalah sosoknya dalam balutan gaun pengantin berwarna putih yang indah. Dia terlihat sangat cantik dan anggun. Tampak serasi sekali berdiri di sebelah Bayu yang di hari pernikahannya juga terlihat gagah. Namun, siapa sangka rumah tangga mereka hanya bertahan tiga bulan? Kabar itu tentu langsung menggemparkan desa. Tidak jelas siapa yang meminta berpisah terlebih dahulu. Namun, dari pihak Risma yang kebetulan memiliki keluarga di desa sebelah menyebarkan desas-desus bahwa Bayu-lah bermasalah. Dia yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai suami—ehem, if you know what I mean. Namun, Bayu s
Semalaman aku memikirkan soal rencana pernikahanku dan Bayu. Namun, mau dicari bagaimanapun sepertinya aku tidak akan pernah menemukan titik temu penyelesaiannya. Seluruh keluarga besarku menganggap masalah aku-yang-hampir-gagal-nikah-karena-ditinggal-kabur sudah selesai. Dan Bayu, tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Dia justru seolah menerima pernikahan dadakan ini dengan tangan terbuka. Aku sampai punya pikiran, apa sebaiknya kuterima saja pernikahan ini tanpa banyak komentar, ya? Namun, aku tidak sampai hati jika hanya gara-gara menyelamatkan mukaku saja, aku lantas mengorbankan masa depan dan kebahagiaan orang lain. Apalagi jika itu adalah Bayu, sahabatku sendiri. “Gimana ya? Kalau Bayu nggak benar-benar mau, gimana?” gumamku dalam hati, tapi pertanyaan itu sepertinya nggak punya jawaban pasti, sebab aku bukan Bayu dan aku tidak punya kemampuan super membaca pikiran orang lain. Aku lantas menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi. Tapi t
“Lha memang kamu mau bilang ‘nggak’, Non?” Mitha bertanya heran menanggapi pernyataanku. Dia lalu menekankan lagi, “Serius?”“Yaa nggak tahu. Aku sendiri juga bingung, Mit. Itu sebabnya aku nelepon kamu,” kataku berterus terang. “Menurut kamu aku harus gimana?”“Tunggu-tunggu! Memangnya yang bikin kamu bingung apa?” Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Sejujurnya, aku merasa sudah berada di jalan buntu. “Aku benar-benar nggak tega, Mit, kalau harus menyeret Bayu ke permasalahanku. Apalagi urusan nikah nggak sebercanda itu, lho. Tapi di sisi lain, aku juga udah buntu harus gimana nanganin permasalahan ini.” Suaraku bergetar di akhir kalimat. Rasanya hampir menangis hanya karena meluapkan kebingungan yang selama ini terpendam. “Menurut kamu aku harus gimana, Mit?”Mitha terdiam sejenak. Aku bisa membayangkan di seberang sana, dia sedang memutar otak mencari jawaban yang tepat untukku. Suara berderak kecil terdengar dari ponselnya, mungkin dia
“Ya mana aku tahu! Coba kamu tanya Bayu sendiri.”Jawaban Mitha sungguh sangat tidak menjawab kebingunganku. Namun, dari curhat dengannya aku bisa menarik satu kesimpulan: memang tidak ada pilihan lain yang lebih baik untukku kecuali menikah dengan Bayu. Aku terdiam dengan posisi tetap membiarkan ponsel di telinga. Pandanganku menatap lurus, membayangkan Mitha seolah-olah duduk di hadapanku sekarang dan sedang menikmati secangkir teh dengan nyaman. Sementara aku memasang wajah murung dengan kepala penuh kekacauan. “Kamu yakin nggak ada jalan lain?” tanyaku, berharap Mitha mendadak berubah pikiran dan memberiku solusi lain. Kudengar Mitha yang menghela napas panjang di seberang. “Non, kalau aku jadi kamu, aku juga pasti milih Bayu. Dia udah jelas orangnya, kamu udah kenal sejak kecil. Dan yang paling penting, dia nggak akan lari kayak Anggara.” Kalimat itu menusukku tepat di ulu hati. M
Aku mengeluarkan ponsel lagi dari saku dan melihat pesan di ponselku yang masih tetap belum dibaca. Bayu, apa sih yang sedang kamu lakukan? Kenapa lama sekali? Jantungku berdebar semakin kencang. Aku tahu ini bukan perkara main-main, tapi sepertinya Bayu tidak menyadari betapa pentingnya pembicaraan ini bagiku. Tidak bisa begini! Padahal kami harus segera bicara. Kupandangi layar ponsel untuk kesekian kalinya, berharap tanda centang dua abu-abu itu berubah biru. Namun, tidak ada perubahan. Aku menggigit bibir bawahku, bingung harus berbuat apa. Kalau aku terus menunggu, rasanya aku bisa gila. Tapi kalau aku memaksakan diri menemuinya lewat pintu depan, aku tahu aku melanggar aturan 'pingitan' dadakan yang dibuat Bude Sri dan keluarga besar tadi. “Aduh, Nen, apa sih yang kamu lakukan?” Aku memarahi diri sendiri pelan sambil mondar-mandir di dalam kamar. Bayangan keluarga besar di ruang tengah tadi masih melekat jelas di pikiranku. Wajah-wajah p
"Aaaaa—pppffmm—"Pekikan yang keluar dari mulutku terhenti seketika ketika tangan Bayu membekap mulut dan hidungku dengan kasar. Mataku membelalak, terkejut dan panik. Bibirku terasa tertekan, dan udara di dalam paru-paruku semakin menipis. Instingku untuk melawan segera muncul, namun tubuhku seakan terhenti begitu saja. Semua yang ada di pikiranku hanyalah bagaimana bisa keluar dari cengkeramannya yang tak terduga.Sambil berusaha melepaskan diri, bola mataku melotot, berusaha melihat wajah Bayu yang masih ada di depanku. Tidak! Bukan seperti ini yang aku inginkan! Ini bukan saat yang tepat untuk bertengkar atau berteriak, tapi—aaakh! Apa yang dia pikirkan? Dengan sedikit tenaga yang tersisa, aku menarik tangan Bayu yang menempel erat di wajahku, berharap bisa meraih kebebasanku. Rasanya dingin sekali saat telapak tanganku bertemu dengan kulit tubuhnya yang panas. Hal ini justru membuatku semakin bingung. Kenapa aku merasa canggung? Ken
"Emang sebenarnya kenapa sih, Nen, kamu ngelarang banget aku ke rumahmu? Takut camilan buat nikahan lusa aku habisin, ya?" Bayu terus melontarkan candaan yang tak pernah bisa kuhindari. Melihatku yang tak segera berbicara, mulutnya tak tahan untuk tidak berkomentar, lagi.Aku mendelik tak senang. "Dasar!" gerutuku dalam hati, namun dengan cepat menahan diri untuk tidak melontarkan kata-kata lebih kasar. Bayu memang belum membaca pesan terakhirku, tetapi apakah dia tidak berpikir kalau rumahku yang lagi penuh dengan orang rewang jelas bukan tempat yang cocok untuk bicara serius?“Yang ada nanti baru juga kamu sampai teras udah diusir orang-orang!” ujarku dengan nada kesal, teringat ucapan Bude dan yang lain kalau aku dan Bayu harus dipingit, tidak boleh bertemu sebelum hari pernikahan.Bayu mengernyitkan kening, ekspresinya tampak kebingungan. "Kenapa?" tanyanya dengan nada jujur, seperti anak kecil yang baru saja mendengar sesuatu yang belum pernah dia pahami se
Keramaian luar biasa tampak sejak pagi-pagi buta di kediamanku. Rumah yang sebelumnya sepi kini berubah menjadi pusat aktivitas yang tak pernah aku bayangkan. Dua hiasan besar berupa umbul-umbul dari janur kuning melengkung indah di depan gapura pagar rumah, menandakan bahwa ini adalah hari yang sangat istimewa. Terop yang dipasang membentang mulai dari teras dan menjulur hingga keluar pagar, meskipun hanya memakai bahu jalan untuk menancapkan tiang penyangga, tidak sampai mengganggu lalu lintas kendaraan yang lewat. Bayu yang meminta ini semua—request spesial yang sederhana namun bijaksana—bilangnya, "Zalim kalau sampai kita mengabaikan hak orang banyak demi kepentingan pribadi." Aku setuju dengan pemikirannya, meski tidak semua orang bisa memahaminya.Bagi aku, yang penting hari ini berjalan lancar. Namun, orang tuaku, keluarga besar, dan tentu saja, tetangga-tetangga yang sangat antusias, punya pemikiran yang berbeda. Aku mengerti, ini adalah pernikahan p
Aku terdiam sejenak, masih mencerna kehadirannya yang tiba-tiba.“Eh, Ris... ini...” Aku menunjuk kotak bekal di mejaku. “Punya kamu?”"Iya. Aku bawain buat kamu," jawabnya ringan.Aku hampir tersedak udara. "Buat aku? Kok bisa?"Risma tertawa kecil. "Aku sering lihat kamu nggak pernah bawa bekal makan siang. Selalu beli di kantin, kan? Jadi aku pikir, nggak ada salahnya kalau aku bawain bekal. Lagian, aku masaknya banyak."Aku menatapnya dengan waspada. Ini aneh. Mantan istri suamiku tiba-tiba bawain aku bekal? Apa ini semacam misi terselubung? Mungkin Risma udah nonton terlalu banyak drama Korea dan sekarang mau berteman baik sama istri suaminya yang dulu?Atau... mungkin ini trik khas mantan yang masih punya agenda tersembunyi?Tapi kalau iya, kenapa harus dimulai dengan bekal? Apa dia berharap aku luluh dengan lauk ayam goreng dan sambal?"T-terima kasih ya..." Aku mencoba bersikap sopan. "Tapi nggak usah repot-repot gitu, Ris. Aku nggak enak.""Nggak apa-apa, aku senang kok." Ris
Malam itu, aku duduk di ruang tamu sambil melamun. Setelah berkunjung ke rumah Risma siang tadi, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku nggak bisa berhenti memikirkan suasana rumahnya yang terasa terlalu sepi.Di meja makan, Bayu sedang asyik mengetik sesuatu di laptopnya. Dari tadi dia nggak banyak bicara, hanya sesekali mendengus kesal saat mengetik. Entah apa yang dikerjakannya, tapi aku yakin itu bukan tugas kantor. Mungkin dia lagi ribut di forum jual beli telur asin atau debat online soal harga pakan bebek.Aku berdehem, mencoba menarik perhatiannya."Yu.""Hmm?" Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Aku menghela napas. "Kamu nggak merasa ada yang aneh tadi waktu kita di rumah Risma?"Bayu akhirnya mendongak sebentar. "Aneh kenapa? Karena kamu dibikinin siomai? Atau karena aku jadi tukang servis gratis?"Aku melotot. "Bukan itu, Bayu! Serius, deh!"Dia menutup laptopnya dan menyandarkan punggung ke kursi. "Terus, apanya yang aneh?""Rumahnya itu, loh. Sepi
Sebenarnya aku sudah curiga sejak kami di jalan tadi.Begitu telepon dari Risma selesai, Bayu langsung menyuruh aku ikut. Tanpa basa-basi, dia nyalain motor dan melambaikan tangan ke arahku.“Cepetan, Nen. Risma bilang masalahnya urgent banget!”Aku tidak langsung naik. “Kamu tahu rumahnya?” tanyaku, memicingkan mata.“Dia shareloc,” jawabnya sambil menunjuk layar ponselnya yang terpampang di dashboard motor.“Oh,” kataku pendek. Tapi dalam hati aku nggak bisa berhenti mikir: kok dia kayak terlalu santai, ya? Seolah-olah ini hal biasa.Aku bahkan bisa melihat betapa tenangnya Bayu, seperti sudah pernah berkali-kali melakukan hal serupa. Sesuatu dalam diriku mulai merasakan ada yang janggal. Kenapa dia terlihat seperti tahu apa yang sedang terjadi? Atau lebih tepatnya, kenapa dia tidak terlihat khawatir sedikit pun?Dan sekarang, di depan pintu kamar Risma, aku merasa dugaan itu ada benarnya. Bayu sudah berdiri di depan pintu kamar yang sedikit terbuka, memegang senter dari ponselnya.
Pemandangan di depan rumah Risma sudah cukup bikin aku menelan ludah. Risma berdiri di sana dengan wajah yang… gimana ya? Kagok? Syok? Kayak dia nggak nyangka bakal lihat aku ikut nimbrung.Kerudung segiempat dengan kedua ujung tersampir di pundak menutup kepalanya, dan dia pakai piyama dengan gambar kelinci yang terlalu imut buat seorang perempuan dewasa. Aku menahan tawa melihatnya. Kayak bukan Risma yang biasa aku lihat di kantor. Atau mungkin ini sekadar triknya untuk terlihat imut? Bukankah kaum Adam suka dengan cewek-cewek kawaii macam di Anime?Aku, yang masih duduk di belakang Bayu di atas motor, memiringkan kepala. Kaget, Ris? Kirain cuma mau ngobrol sama Bayu aja?“Oh, Neni ikut juga?” tanya Risma dengan senyum kecil yang—menurutku—agak dipaksakan.“Ya dong, kami ke mana-mana bareng. Paket hemat,” jawabku dengan nada santai, meskipun dalam hati aku merasa agak puas.Risma tertawa kecil, tapi aku bisa melihat matanya sekilas melirik ke arah Bayu, seolah sedang menilai reaksin
Setelah istirahat beberapa saat, Bayu memaksaku untuk naik sepeda tandem lagi. Meski sebenarnya enggan, aku akhirnya menyerah karena dia mulai merengek seperti anak kecil. Dia pun mulai mengayuh dengan semangat, sementara aku berusaha menjaga keseimbangan di belakang.“Yu, pelan-pelan!” teriakku ketika dia mulai melaju lebih cepat.“Ayo, Nen! Ini asyik banget!”Aku berteriak histeris setiap kali kami melewati tikungan, sementara Bayu tertawa seperti orang gila. Beberapa orang di taman memandang kami dengan tatapan aneh, tapi Bayu sepertinya tidak peduli.“Yu, pelan-pelaaan!" teriakku di sela deru angin yang menampar-nampar.“Tenang aja, Nen! Aku udah pro!" sahutnya sambil tertawa kencang yang terdengar menyebalkan di telingaku. Dia lalu menambahkan dengan suara lantang, "Kamu aman di belakangku. Aku nggak bakal ninggalin kamu kok!”Aku mendengus kesal. “Gombal banget. Udah, pelan dikit, Bayu! Aku serius!”Bayu akhirnya mengurangi kecepatan sedikit, tapi masih dengan ekspresi puas di w
Hari Sabtu. Harusnya ini jadi hari buat istirahat, tapi kenyataannya aku malah tergeletak di sofa ruang tamu seperti ikan asin dijemur. Energi rasanya terkuras habis, bukan cuma buat kerjaan di perpustakaan, tapi juga buat berhadapan sama Risma setiap hari.Mungkin aku harus menulis surat pengunduran diri sebagai manusia normal dan resmi jadi karpet saja.“Bangun, Nen.”Suara Bayu memaksaku membuka mata. Dia berdiri di depan sofa dengan kaus oblong dan celana pendek, membawa kantong plastik yang sepertinya penuh dengan camilan. Aku sempat berpikir kalau dia baru saja merampok minimarket.“Ngapain sih bawa-bawa plastik kayak mau dagang keliling?” tanyaku lemas.“Ini buat nyemil kalau kamu mau merenung di sini sepanjang hari,” jawabnya santai sambil menjatuhkan dirinya ke sofa sebelahku. “Tapi aku lebih suka kalau kamu bangun dan kita jalan-jalan.”Aku mendesah panjang, menutup wajah dengan bantal. “Nggak ah, aku capek. Lagian mau jalan ke mana?”Dia menepuk lututku dengan plastik camil
Sore itu, aku merasa harus meluruskan semuanya ke Bayu. Setelah kerja, aku langsung pulang dan menemukan dia sedang duduk santai di ruang tamu dengan kaus lusuh favoritnya. Aku berdiri di ambang pintu, mengamati pemandangan di depanku. Bayu tampak begitu santai, kakinya selonjor di atas meja kecil, satu tangan menopang kepala, sementara tangan satunya lagi mengetik di laptop dengan ekspresi serius. Aku diam sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya melangkah mendekat. “Yu,” panggilku, berdiri di depannya dengan tangan bersedekap. Bayu hanya menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke layar laptopnya. “Hmm?” Aku menatapnya tajam, tapi dia tetap tak terpengaruh. Aku berdehem, memastikan suaraku lebih tegas. “Risma tadi bilang kalau kita kelihatan kompak. Menurut kamu, itu artinya apa?” Bayu akhirnya mengalihkan perhatiannya dariku dan menatapku dengan ekspresi bingung. “Itu artinya, kamu terlalu overthinking.” Aku mengembuskan napas panjang, berusaha tetap tenang. “Bayu!” Ak
Minggu pertama kerja di perpustakaan. Harusnya ini menyenangkan, ya? Dikelilingi rak-rak tinggi berisi buku, suasana hening yang menenangkan, dan aroma kertas yang khas. Tapi kenyataannya, sejak aku melihat wajah Risma pagi ini, rasanya perutku seperti diaduk-aduk.Bukannya apa-apa, dia terlihat terlalu... ramah. Ramah yang, hmm, gimana ya? Kayak lagi ngasih kode tanpa ngomong langsung.“Neni, kamu kelihatan serius banget.”Aku mendongak dari buku katalog yang sedang kubaca. Ternyata Risma sudah berdiri di sebelah meja, membawa dua cangkir kopi. Bibirnya melengkung dalam senyuman manis yang terlihat terlalu sempurna.“Aku bawain latte. Kamu suka, kan?”“Oh, iya. Makasih.” Aku mengambil cangkir itu dengan senyum yang sedikit dipaksakan.Risma duduk di kursi sebelahku, meletakkan kopinya dengan gerakan anggun sebelum menyandarkan tubuhnya di kursi. Tatapannya terfokus padaku, seolah ingin menginterogasiku dengan cara halus.“Jadi, gimana? Udah mulai betah?”Aku mengangguk sambil menyeru
Ketika akhirnya jam pulang, Bayu menepati ucapannya dengan menungguku di luar. Aku melihatnya bersandar di motor, mengenakan jaket hitam favoritnya, sambil sesekali melihat ke layar ponselnya. Rasanya lega melihatnya di sana, tetapi sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, Risma yang sejak tadi terus menempel kepadaku tentu saja ikut menyadari kehadiran Bayu.“Bayu! Udah di sini aja?” katanya sambil melambai ceria, seolah-olah mereka sudah lama tidak bertemu dan sangat akrab.Bayu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Iya, tadi langsung ke sini pas Neni kirim WhatsApp. Gimana, Nen? Udah selesai?”Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya masih ada beberapa hal yang mengganjal pikiranku. “Udah. Kayaknya aku bisa lanjut sendiri sekarang.”Risma terkekeh kecil, melirikku sekilas sebelum kembali menatap Bayu. “Wah, Bayu. Kamu bisa tenang sekarang. Neni kan anak mandiri. Tapi jangan lupa mampir-mampir lagi ke sini, ya.”Nada suaranya santai, tetapi entah kenapa terdengar seperti pesan tersembunyi. Ak