Home / Romansa / Terjerat Cinta Duda Ting-Ting / Siapa yang Salah, Siapa yang Tanggung Jawab?

Share

Siapa yang Salah, Siapa yang Tanggung Jawab?

last update Last Updated: 2025-01-16 18:00:54

“Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.

“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.

Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.

“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.

Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”

“Linglung gimana? Wong tadi waktu masuk rumah aja Paklik lihat kalian jalan bareng sambil gandengan tangan berdua, kok!” Paklik Manan, adik Bapak yang termuda ikut bersuara dengan komentar seperti minyak tanah yang dituang ke dalam api unggun. Cukuplah tawa dari orang-orang lain yang mendengar menjadi penguat atas argumen itu.

Seketika mataku terbuka lebar. Andai tidak ada yang namanya sopan santun atau takut diblokir seumur hidup oleh keluarga besar, pastinya aku sudah melempar asbak penuh sisa putung rokok di atas meja ke kepala botak paklikku.

“Itu salah paham, Lik. Bayu dan aku itu …”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Bapak tiba-tiba memotong. “Sudahlah, Nen. Memang apa buruknya si Bayu itu? Toh kalian sudah lama kenal, sejak masih sama-sama pakai popok kain garis-garis, malah!”

Bibirku mengerucut sebal. “Tapi kan …”

“Apa gara-gara statusnya yang duda kamu jadi keberatan?” Kali ini Pakde Jamil yang menyela.

Tentu aku langsung menggeleng. “Nggak, bukan it–”

“Kalau soal itu, seharusnya kamu nggak usah khawatir. Kan rumornya Bayu sama istri pertamanya dulu nggak pernah tidur bareng, soalnya dia nggak bisa menjalankan kewajiban sebagai suami.” Lagi-lagi Paklik Manan seenaknya menarik kesimpulan sendiri. Namun, di detik berikutnya, sepertinya beliau baru menyadari kalau mengucapkan sesuatu yang justru bisa memicu kesalahpahaman.

“Eh, maksud Paklik … zaman sekarang belum tentu yang masih bujang itu benar-benar perjaka. Dan … eh, soal rumor tadi juga ….” Mendadak Paklik kehilangan suaranya. Tampak sekali beliau bingung dan terjerat oleh argumennya sendiri. Demi menjaga kewibawaan, Paklik berpura-pura batuk kecil, lalu berkata, “Paklik mau ambil minum dulu. Tenggorokannya kering.”

Kepergian Paklik disambut tatapan bengong yang lain. Sampai tubuh ceking beliau menghilang di belokan ruang makan, suasana canggung masih terasa.

Bapak bergegas mengambil alih untuk mengondisikan suasana. Beliau berdeham dengan cukup keras, sehingga fokus orang-orang kembali terarah padanya.

“Jadi … Bapak rasa diskusi kita sudah final. Kesimpulannya, nggak ada alasan buat nolak niat baik Bayu buat melanjutkan pernikahan dengan Neni.”

Aku langsung ternganga. Mulutku terbuka selebar-lebarnya sampai rasanya engsel rahangku mau copot. Mataku menatap Bapak dengan sorot tak percaya.

Gimana ceritanya diskusi udah final, wong aku belum mengutarakan argumen sama sekali!

“P-pak, tapi ….”

Suaraku mengecil, tenggelam oleh keributan hiruk-pikuk orang-orang. Seperti kompak dikomando, semuanya bangun dan membubarkan diri, termasuk Bapak yang terlihat buru-buru kabur ke kamar. Tidak ada lagi satu pun yang memedulikanku.

“Hish!” Aku mencebik sambil mengentakkan kaki kesal. Padahal aku yang akan menikah, tetapi mengapa justru persetujuanku seolah tidak diperukan? Memangnya yang menjalani kehidupan rumah tangga nanti Bapak, Pakde, atau Paklik Manan?!

Karena tidak mendapat hasil yang kuinginkan, aku memutuskan untuk berbalik dan mengurung diri di kamar. Sepanjang aku berpapasan dengan orang-orang, tidak ada yang berani bertatapan mata denganku. Semuanya langsung menyingkir, pura-pura sibuk dan tidak sadar dengan kehadiranku. Mungkin khawatir akan aku ajak berdebat lagi soal ketidakmungkinan Bayu dan aku menikah.

Huh! Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya kencang. Sesampainya di depan pintu kamar, tanganku terulur meraih kenop, tetapi aku tidak langsung memutar dan mendorongnya supaya terbuka. Langkahku turut terhenti.

Apa sekarang ganti aku aja yang kabur, ya? Dengan begitu tidak mungkin pernikahan ini dilanjutkan.

Namun, sebelum rencana lebih lanjut tersusun, aku segera menepis ide konyol itu sendiri. Bagaimana mungkin aku akan kabur, sebab tidak ada tempat yang akan aku tuju. Lagi pula, aku juga tidak punya uang sepeser pun untuk melakukan pelarian. Ya kalau si Anggara budur itu, dia pergi sambil membawa kabur uangku, mungkin untuk dibawa pulang ke kampung halamannya.

Aku mendesah frustrasi. Kali ini sambil benar-benar menyorong pintu kamar dan bergegas memasukinya. Neni … Neni, nasibmu! Udah nyaris jadi perawan tua, kena tipu cowok, uang dibawa kabur, jadi beban aib keluarga, sekarang bikin sohib kentel jadi ikutan susah!

Tepat saat memikirkan hal itu, mataku menatap lurus ke jendela yang masih terbuka. Tepat di seberangnya adalah kamar Bayu. Dia menutup rapat kaca jendelanya dan menurunkan tirai. Apa mungkin Bayu sudah tidur?

Refleks bola mataku bergulir memeriksa angka yang ditunjuk jarum jam yang menempel di dinding. Masih pukul delapan malam kurang. Tidak mungkin cowok itu sudah tidur. Lagi pula, kamarnya masih terang. Aku hafal Bayu selalu mematikan lampu kamarnya sebelum tidur.

Kuayunkan kaki cepat menuju ke jendela. Angin dari luar terasa sejuk membelai kulitku. “Sssshhh … Yu!”

Aku mencoba memaggilnya dengan suara yang tidak terlalu keras. Jarak antar kedua jendela ini tidak terlalu jauh. Jadi, kalau dia berada di kamar seharusnya dia bisa mendengarnya.

“Yu! Bayu!” Aku menaikkan sedikit volume suaraku, tidak ingin ada orang lain di rumah ini yang mendengar. Namun, tetap saja tidak ada respons.

“Sebenarnya ini anak di mana, sih?” gerutuku.

Tidak habis akal, aku pun berbalik menuju meja rias dan membuka laci paling atasnya. Di sana tampak banyak sekali kapur papan tulis yang memang kusediakan untuk saat-saat seperti ini. Dibandingkan lewat WA atau telepon, aku memang lebih suka mengobrol langsung sambil bertatap muka dengan Bayu. Lebih efektif dan minim kesalahpahaman, toh jendela kamar kita juga berhadap-hadapan!

Aku mengambil satu batang dan membawanya kembali ke dekat jendela. Kupatahkan kapur itu dengan jemari, lalu 1 potongan kecilnya kulemparkan ke arah jendela kamar Bayu.

Takk!

Berhasil! Namun, setelah beberapa saat belum ada tanda-tanda cowok itu akan muncul. Aku kembali mematahkan kapur dan mengulangi lemparan. Kali ini 2 tembakan berturut-turut.

Takk! Takk!

Aku diam, menunggu. Namun, karena sejak pagi kesabaranku sudah seperti tisu yang dirobek-robek, aku sudah keburu kesal dan tidak memberi waktu sampai satu menit agar jendela itu terbuka.

Tanpa mematahkannya lagi, aku melempar kapur sepanjang 2 Senti yang masih tersisa kuat-kuat ke jendela. Aku tidak peduli jika nanti kacanya akan pecah. Biar saja Bayu yang mengurusnya sendiri!

Tepat saat kapur itu sudah melesat cepat, daun jendela terdorong dari dalam. Sudah terlalu terlambat untuk menghindar.

Bletakk!! Bunyi pendaratan kapur yang keras disusul suara kesakitan Bayu.

Refleks aku langsung membekap mulut. Ups!

Related chapters

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Alasan Bayu

    “Aduh, Neen! Kira-kira dong kalau ngelempar! Kamu pikir kepalaku ini garis pendaratan cakram apa?!” omel Bayu sambil menggosok-gosok keningnya yang kini memerah akibat kapur yang tadi melesat dengan kecepatan penuh.Aku nyengir, mencoba menutupi rasa bersalah yang lebih banyak jadi hiburan buatku. “Hehe, maaf. Nggak sengaja.”Bayu mendengus, ekspresi mukanya seperti aktor drama yang gagal memenangkan penghargaan. “Nggak sengaja? Tadi aku kena timpuk sendal, sekarang kapur. Besok-besok lagi apa? Kompor gas? Blender? Atau kulkas sekalian biar langsung KO?”Aku berusaha menahan tawa, tapi gagal total. “Kalau kamu nggak segera jawab, mungkin aja,” kataku santai sambil menyeringai. “Kamu sendiri yang bikin aku harus ambil tindakan ekstrem. Dipanggilin kayak patung.”“Maksud kamu aku ini patung Liberty apa patung Pancoran?” jawab Bayu dengan ekspresi sewot yang malah bikin aku makin pengen ngakak.“Patung Pancoran juga mending, Yu. Setidaknya d

    Last Updated : 2025-01-17
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Duda 'Ting-Ting'

    Bayu adalah seorang duda. Dia menikah sekitar 4 tahun lalu dengan seorang wanita yang dikenalnya dari tempat kerjanya dulu. Namanya Risma. Sejak mengumumkan akan menikah, dengan sendirinya Bayu menjaga jarak denganku. Kebetulan aku pun saat itu sedang sibuk melanjutkan S2 di luar kota sehingga jarang sekali berada di rumah. Risma yang ada di ingatanku adalah sosoknya dalam balutan gaun pengantin berwarna putih yang indah. Dia terlihat sangat cantik dan anggun. Tampak serasi sekali berdiri di sebelah Bayu yang di hari pernikahannya juga terlihat gagah. Namun, siapa sangka rumah tangga mereka hanya bertahan tiga bulan? Kabar itu tentu langsung menggemparkan desa. Tidak jelas siapa yang meminta berpisah terlebih dahulu. Namun, dari pihak Risma yang kebetulan memiliki keluarga di desa sebelah menyebarkan desas-desus bahwa Bayu-lah bermasalah. Dia yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai suami—ehem, if you know what I mean. Namun, Bayu s

    Last Updated : 2025-01-17
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Dibuat Pusing Sendiri

    Semalaman aku memikirkan soal rencana pernikahanku dan Bayu. Namun, mau dicari bagaimanapun sepertinya aku tidak akan pernah menemukan titik temu penyelesaiannya. Seluruh keluarga besarku menganggap masalah aku-yang-hampir-gagal-nikah-karena-ditinggal-kabur sudah selesai. Dan Bayu, tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Dia justru seolah menerima pernikahan dadakan ini dengan tangan terbuka. Aku sampai punya pikiran, apa sebaiknya kuterima saja pernikahan ini tanpa banyak komentar, ya? Namun, aku tidak sampai hati jika hanya gara-gara menyelamatkan mukaku saja, aku lantas mengorbankan masa depan dan kebahagiaan orang lain. Apalagi jika itu adalah Bayu, sahabatku sendiri. “Gimana ya? Kalau Bayu nggak benar-benar mau, gimana?” gumamku dalam hati, tapi pertanyaan itu sepertinya nggak punya jawaban pasti, sebab aku bukan Bayu dan aku tidak punya kemampuan super membaca pikiran orang lain. Aku lantas menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi. Tapi t

    Last Updated : 2025-01-18
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Keputusan yang Tak Mudah

    “Lha memang kamu mau bilang ‘nggak’, Non?” Mitha bertanya heran menanggapi pernyataanku. Dia lalu menekankan lagi, “Serius?”“Yaa nggak tahu. Aku sendiri juga bingung, Mit. Itu sebabnya aku nelepon kamu,” kataku berterus terang. “Menurut kamu aku harus gimana?”“Tunggu-tunggu! Memangnya yang bikin kamu bingung apa?” Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Sejujurnya, aku merasa sudah berada di jalan buntu. “Aku benar-benar nggak tega, Mit, kalau harus menyeret Bayu ke permasalahanku. Apalagi urusan nikah nggak sebercanda itu, lho. Tapi di sisi lain, aku juga udah buntu harus gimana nanganin permasalahan ini.” Suaraku bergetar di akhir kalimat. Rasanya hampir menangis hanya karena meluapkan kebingungan yang selama ini terpendam. “Menurut kamu aku harus gimana, Mit?”Mitha terdiam sejenak. Aku bisa membayangkan di seberang sana, dia sedang memutar otak mencari jawaban yang tepat untukku. Suara berderak kecil terdengar dari ponselnya, mungkin dia

    Last Updated : 2025-01-18
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Dipingit

    “Ya mana aku tahu! Coba kamu tanya Bayu sendiri.”Jawaban Mitha sungguh sangat tidak menjawab kebingunganku. Namun, dari curhat dengannya aku bisa menarik satu kesimpulan: memang tidak ada pilihan lain yang lebih baik untukku kecuali menikah dengan Bayu. Aku terdiam dengan posisi tetap membiarkan ponsel di telinga. Pandanganku menatap lurus, membayangkan Mitha seolah-olah duduk di hadapanku sekarang dan sedang menikmati secangkir teh dengan nyaman. Sementara aku memasang wajah murung dengan kepala penuh kekacauan. “Kamu yakin nggak ada jalan lain?” tanyaku, berharap Mitha mendadak berubah pikiran dan memberiku solusi lain. Kudengar Mitha yang menghela napas panjang di seberang. “Non, kalau aku jadi kamu, aku juga pasti milih Bayu. Dia udah jelas orangnya, kamu udah kenal sejak kecil. Dan yang paling penting, dia nggak akan lari kayak Anggara.” Kalimat itu menusukku tepat di ulu hati. M

    Last Updated : 2025-01-19
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Membobol Kamar Bayu

    Aku mengeluarkan ponsel lagi dari saku dan melihat pesan di ponselku yang masih tetap belum dibaca. Bayu, apa sih yang sedang kamu lakukan? Kenapa lama sekali? Jantungku berdebar semakin kencang. Aku tahu ini bukan perkara main-main, tapi sepertinya Bayu tidak menyadari betapa pentingnya pembicaraan ini bagiku. Tidak bisa begini! Padahal kami harus segera bicara. Kupandangi layar ponsel untuk kesekian kalinya, berharap tanda centang dua abu-abu itu berubah biru. Namun, tidak ada perubahan. Aku menggigit bibir bawahku, bingung harus berbuat apa. Kalau aku terus menunggu, rasanya aku bisa gila. Tapi kalau aku memaksakan diri menemuinya lewat pintu depan, aku tahu aku melanggar aturan 'pingitan' dadakan yang dibuat Bude Sri dan keluarga besar tadi. “Aduh, Nen, apa sih yang kamu lakukan?” Aku memarahi diri sendiri pelan sambil mondar-mandir di dalam kamar. Bayangan keluarga besar di ruang tengah tadi masih melekat jelas di pikiranku. Wajah-wajah p

    Last Updated : 2025-01-19
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Sesuatu yang Seharusnya Tidak Dilihat

    "Aaaaa—pppffmm—"Pekikan yang keluar dari mulutku terhenti seketika ketika tangan Bayu membekap mulut dan hidungku dengan kasar. Mataku membelalak, terkejut dan panik. Bibirku terasa tertekan, dan udara di dalam paru-paruku semakin menipis. Instingku untuk melawan segera muncul, namun tubuhku seakan terhenti begitu saja. Semua yang ada di pikiranku hanyalah bagaimana bisa keluar dari cengkeramannya yang tak terduga.Sambil berusaha melepaskan diri, bola mataku melotot, berusaha melihat wajah Bayu yang masih ada di depanku. Tidak! Bukan seperti ini yang aku inginkan! Ini bukan saat yang tepat untuk bertengkar atau berteriak, tapi—aaakh! Apa yang dia pikirkan? Dengan sedikit tenaga yang tersisa, aku menarik tangan Bayu yang menempel erat di wajahku, berharap bisa meraih kebebasanku. Rasanya dingin sekali saat telapak tanganku bertemu dengan kulit tubuhnya yang panas. Hal ini justru membuatku semakin bingung. Kenapa aku merasa canggung? Ken

    Last Updated : 2025-01-20
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kesepakatan Kedua Calon Mempelai

    "Emang sebenarnya kenapa sih, Nen, kamu ngelarang banget aku ke rumahmu? Takut camilan buat nikahan lusa aku habisin, ya?" Bayu terus melontarkan candaan yang tak pernah bisa kuhindari. Melihatku yang tak segera berbicara, mulutnya tak tahan untuk tidak berkomentar, lagi.Aku mendelik tak senang. "Dasar!" gerutuku dalam hati, namun dengan cepat menahan diri untuk tidak melontarkan kata-kata lebih kasar. Bayu memang belum membaca pesan terakhirku, tetapi apakah dia tidak berpikir kalau rumahku yang lagi penuh dengan orang rewang jelas bukan tempat yang cocok untuk bicara serius?“Yang ada nanti baru juga kamu sampai teras udah diusir orang-orang!” ujarku dengan nada kesal, teringat ucapan Bude dan yang lain kalau aku dan Bayu harus dipingit, tidak boleh bertemu sebelum hari pernikahan.Bayu mengernyitkan kening, ekspresinya tampak kebingungan. "Kenapa?" tanyanya dengan nada jujur, seperti anak kecil yang baru saja mendengar sesuatu yang belum pernah dia pahami se

    Last Updated : 2025-01-20

Latest chapter

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Ada Undang di Balik Kotak Bekal

    Aku terdiam sejenak, masih mencerna kehadirannya yang tiba-tiba.“Eh, Ris... ini...” Aku menunjuk kotak bekal di mejaku. “Punya kamu?”"Iya. Aku bawain buat kamu," jawabnya ringan.Aku hampir tersedak udara. "Buat aku? Kok bisa?"Risma tertawa kecil. "Aku sering lihat kamu nggak pernah bawa bekal makan siang. Selalu beli di kantin, kan? Jadi aku pikir, nggak ada salahnya kalau aku bawain bekal. Lagian, aku masaknya banyak."Aku menatapnya dengan waspada. Ini aneh. Mantan istri suamiku tiba-tiba bawain aku bekal? Apa ini semacam misi terselubung? Mungkin Risma udah nonton terlalu banyak drama Korea dan sekarang mau berteman baik sama istri suaminya yang dulu?Atau... mungkin ini trik khas mantan yang masih punya agenda tersembunyi?Tapi kalau iya, kenapa harus dimulai dengan bekal? Apa dia berharap aku luluh dengan lauk ayam goreng dan sambal?"T-terima kasih ya..." Aku mencoba bersikap sopan. "Tapi nggak usah repot-repot gitu, Ris. Aku nggak enak.""Nggak apa-apa, aku senang kok." Ris

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Cuek Vs Si Kepo

    Malam itu, aku duduk di ruang tamu sambil melamun. Setelah berkunjung ke rumah Risma siang tadi, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku nggak bisa berhenti memikirkan suasana rumahnya yang terasa terlalu sepi.Di meja makan, Bayu sedang asyik mengetik sesuatu di laptopnya. Dari tadi dia nggak banyak bicara, hanya sesekali mendengus kesal saat mengetik. Entah apa yang dikerjakannya, tapi aku yakin itu bukan tugas kantor. Mungkin dia lagi ribut di forum jual beli telur asin atau debat online soal harga pakan bebek.Aku berdehem, mencoba menarik perhatiannya."Yu.""Hmm?" Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Aku menghela napas. "Kamu nggak merasa ada yang aneh tadi waktu kita di rumah Risma?"Bayu akhirnya mendongak sebentar. "Aneh kenapa? Karena kamu dibikinin siomai? Atau karena aku jadi tukang servis gratis?"Aku melotot. "Bukan itu, Bayu! Serius, deh!"Dia menutup laptopnya dan menyandarkan punggung ke kursi. "Terus, apanya yang aneh?""Rumahnya itu, loh. Sepi

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Jangan Ada 'Siomai' Di Antara Kita

    Sebenarnya aku sudah curiga sejak kami di jalan tadi.Begitu telepon dari Risma selesai, Bayu langsung menyuruh aku ikut. Tanpa basa-basi, dia nyalain motor dan melambaikan tangan ke arahku.“Cepetan, Nen. Risma bilang masalahnya urgent banget!”Aku tidak langsung naik. “Kamu tahu rumahnya?” tanyaku, memicingkan mata.“Dia shareloc,” jawabnya sambil menunjuk layar ponselnya yang terpampang di dashboard motor.“Oh,” kataku pendek. Tapi dalam hati aku nggak bisa berhenti mikir: kok dia kayak terlalu santai, ya? Seolah-olah ini hal biasa.Aku bahkan bisa melihat betapa tenangnya Bayu, seperti sudah pernah berkali-kali melakukan hal serupa. Sesuatu dalam diriku mulai merasakan ada yang janggal. Kenapa dia terlihat seperti tahu apa yang sedang terjadi? Atau lebih tepatnya, kenapa dia tidak terlihat khawatir sedikit pun?Dan sekarang, di depan pintu kamar Risma, aku merasa dugaan itu ada benarnya. Bayu sudah berdiri di depan pintu kamar yang sedikit terbuka, memegang senter dari ponselnya.

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kunjungan ke Rumah Mantan

    Pemandangan di depan rumah Risma sudah cukup bikin aku menelan ludah. Risma berdiri di sana dengan wajah yang… gimana ya? Kagok? Syok? Kayak dia nggak nyangka bakal lihat aku ikut nimbrung.Kerudung segiempat dengan kedua ujung tersampir di pundak menutup kepalanya, dan dia pakai piyama dengan gambar kelinci yang terlalu imut buat seorang perempuan dewasa. Aku menahan tawa melihatnya. Kayak bukan Risma yang biasa aku lihat di kantor. Atau mungkin ini sekadar triknya untuk terlihat imut? Bukankah kaum Adam suka dengan cewek-cewek kawaii macam di Anime?Aku, yang masih duduk di belakang Bayu di atas motor, memiringkan kepala. Kaget, Ris? Kirain cuma mau ngobrol sama Bayu aja?“Oh, Neni ikut juga?” tanya Risma dengan senyum kecil yang—menurutku—agak dipaksakan.“Ya dong, kami ke mana-mana bareng. Paket hemat,” jawabku dengan nada santai, meskipun dalam hati aku merasa agak puas.Risma tertawa kecil, tapi aku bisa melihat matanya sekilas melirik ke arah Bayu, seolah sedang menilai reaksin

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Perusak Suasana

    Setelah istirahat beberapa saat, Bayu memaksaku untuk naik sepeda tandem lagi. Meski sebenarnya enggan, aku akhirnya menyerah karena dia mulai merengek seperti anak kecil. Dia pun mulai mengayuh dengan semangat, sementara aku berusaha menjaga keseimbangan di belakang.“Yu, pelan-pelan!” teriakku ketika dia mulai melaju lebih cepat.“Ayo, Nen! Ini asyik banget!”Aku berteriak histeris setiap kali kami melewati tikungan, sementara Bayu tertawa seperti orang gila. Beberapa orang di taman memandang kami dengan tatapan aneh, tapi Bayu sepertinya tidak peduli.“Yu, pelan-pelaaan!" teriakku di sela deru angin yang menampar-nampar.“Tenang aja, Nen! Aku udah pro!" sahutnya sambil tertawa kencang yang terdengar menyebalkan di telingaku. Dia lalu menambahkan dengan suara lantang, "Kamu aman di belakangku. Aku nggak bakal ninggalin kamu kok!”Aku mendengus kesal. “Gombal banget. Udah, pelan dikit, Bayu! Aku serius!”Bayu akhirnya mengurangi kecepatan sedikit, tapi masih dengan ekspresi puas di w

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Cara Melupakan Beban

    Hari Sabtu. Harusnya ini jadi hari buat istirahat, tapi kenyataannya aku malah tergeletak di sofa ruang tamu seperti ikan asin dijemur. Energi rasanya terkuras habis, bukan cuma buat kerjaan di perpustakaan, tapi juga buat berhadapan sama Risma setiap hari.Mungkin aku harus menulis surat pengunduran diri sebagai manusia normal dan resmi jadi karpet saja.“Bangun, Nen.”Suara Bayu memaksaku membuka mata. Dia berdiri di depan sofa dengan kaus oblong dan celana pendek, membawa kantong plastik yang sepertinya penuh dengan camilan. Aku sempat berpikir kalau dia baru saja merampok minimarket.“Ngapain sih bawa-bawa plastik kayak mau dagang keliling?” tanyaku lemas.“Ini buat nyemil kalau kamu mau merenung di sini sepanjang hari,” jawabnya santai sambil menjatuhkan dirinya ke sofa sebelahku. “Tapi aku lebih suka kalau kamu bangun dan kita jalan-jalan.”Aku mendesah panjang, menutup wajah dengan bantal. “Nggak ah, aku capek. Lagian mau jalan ke mana?”Dia menepuk lututku dengan plastik camil

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Overthinking

    Sore itu, aku merasa harus meluruskan semuanya ke Bayu. Setelah kerja, aku langsung pulang dan menemukan dia sedang duduk santai di ruang tamu dengan kaus lusuh favoritnya. Aku berdiri di ambang pintu, mengamati pemandangan di depanku. Bayu tampak begitu santai, kakinya selonjor di atas meja kecil, satu tangan menopang kepala, sementara tangan satunya lagi mengetik di laptop dengan ekspresi serius. Aku diam sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya melangkah mendekat. “Yu,” panggilku, berdiri di depannya dengan tangan bersedekap. Bayu hanya menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke layar laptopnya. “Hmm?” Aku menatapnya tajam, tapi dia tetap tak terpengaruh. Aku berdehem, memastikan suaraku lebih tegas. “Risma tadi bilang kalau kita kelihatan kompak. Menurut kamu, itu artinya apa?” Bayu akhirnya mengalihkan perhatiannya dariku dan menatapku dengan ekspresi bingung. “Itu artinya, kamu terlalu overthinking.” Aku mengembuskan napas panjang, berusaha tetap tenang. “Bayu!” Ak

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kopi yang Terlalu Pahit

    Minggu pertama kerja di perpustakaan. Harusnya ini menyenangkan, ya? Dikelilingi rak-rak tinggi berisi buku, suasana hening yang menenangkan, dan aroma kertas yang khas. Tapi kenyataannya, sejak aku melihat wajah Risma pagi ini, rasanya perutku seperti diaduk-aduk.Bukannya apa-apa, dia terlihat terlalu... ramah. Ramah yang, hmm, gimana ya? Kayak lagi ngasih kode tanpa ngomong langsung.“Neni, kamu kelihatan serius banget.”Aku mendongak dari buku katalog yang sedang kubaca. Ternyata Risma sudah berdiri di sebelah meja, membawa dua cangkir kopi. Bibirnya melengkung dalam senyuman manis yang terlihat terlalu sempurna.“Aku bawain latte. Kamu suka, kan?”“Oh, iya. Makasih.” Aku mengambil cangkir itu dengan senyum yang sedikit dipaksakan.Risma duduk di kursi sebelahku, meletakkan kopinya dengan gerakan anggun sebelum menyandarkan tubuhnya di kursi. Tatapannya terfokus padaku, seolah ingin menginterogasiku dengan cara halus.“Jadi, gimana? Udah mulai betah?”Aku mengangguk sambil menyeru

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Menjadi Curigaan

    Ketika akhirnya jam pulang, Bayu menepati ucapannya dengan menungguku di luar. Aku melihatnya bersandar di motor, mengenakan jaket hitam favoritnya, sambil sesekali melihat ke layar ponselnya. Rasanya lega melihatnya di sana, tetapi sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, Risma yang sejak tadi terus menempel kepadaku tentu saja ikut menyadari kehadiran Bayu.“Bayu! Udah di sini aja?” katanya sambil melambai ceria, seolah-olah mereka sudah lama tidak bertemu dan sangat akrab.Bayu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Iya, tadi langsung ke sini pas Neni kirim WhatsApp. Gimana, Nen? Udah selesai?”Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya masih ada beberapa hal yang mengganjal pikiranku. “Udah. Kayaknya aku bisa lanjut sendiri sekarang.”Risma terkekeh kecil, melirikku sekilas sebelum kembali menatap Bayu. “Wah, Bayu. Kamu bisa tenang sekarang. Neni kan anak mandiri. Tapi jangan lupa mampir-mampir lagi ke sini, ya.”Nada suaranya santai, tetapi entah kenapa terdengar seperti pesan tersembunyi. Ak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status