“Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.
“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas. Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum. “Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian. Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!” “Linglung gimana? Wong tadi waktu masuk rumah aja Paklik lihat kalian jalan bareng sambil gandengan tangan berdua, kok!” Paklik Manan, adik Bapak yang termuda ikut bersuara dengan komentar seperti minyak tanah yang dituang ke dalam api unggun. Cukuplah tawa dari orang-orang lain yang mendengar menjadi penguat atas argumen itu. Seketika mataku terbuka lebar. Andai tidak ada yang namanya sopan santun atau takut diblokir seumur hidup oleh keluarga besar, pastinya aku sudah melempar asbak penuh sisa putung rokok di atas meja ke kepala botak paklikku. “Itu salah paham, Lik. Bayu dan aku itu …” Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Bapak tiba-tiba memotong. “Sudahlah, Nen. Memang apa buruknya si Bayu itu? Toh kalian sudah lama kenal, sejak masih sama-sama pakai popok kain garis-garis, malah!” Bibirku mengerucut sebal. “Tapi kan …” “Apa gara-gara statusnya yang duda kamu jadi keberatan?” Kali ini Pakde Jamil yang menyela. Tentu aku langsung menggeleng. “Nggak, bukan it–” “Kalau soal itu, seharusnya kamu nggak usah khawatir. Kan rumornya Bayu sama istri pertamanya dulu nggak pernah tidur bareng, soalnya dia nggak bisa menjalankan kewajiban sebagai suami.” Lagi-lagi Paklik Manan seenaknya menarik kesimpulan sendiri. Namun, di detik berikutnya, sepertinya beliau baru menyadari kalau mengucapkan sesuatu yang justru bisa memicu kesalahpahaman. “Eh, maksud Paklik … zaman sekarang belum tentu yang masih bujang itu benar-benar perjaka. Dan … eh, soal rumor tadi juga ….” Mendadak Paklik kehilangan suaranya. Tampak sekali beliau bingung dan terjerat oleh argumennya sendiri. Demi menjaga kewibawaan, Paklik berpura-pura batuk kecil, lalu berkata, “Paklik mau ambil minum dulu. Tenggorokannya kering.” Kepergian Paklik disambut tatapan bengong yang lain. Sampai tubuh ceking beliau menghilang di belokan ruang makan, suasana canggung masih terasa. Bapak bergegas mengambil alih untuk mengondisikan suasana. Beliau berdeham dengan cukup keras, sehingga fokus orang-orang kembali terarah padanya. “Jadi … Bapak rasa diskusi kita sudah final. Kesimpulannya, nggak ada alasan buat nolak niat baik Bayu buat melanjutkan pernikahan dengan Neni.” Aku langsung ternganga. Mulutku terbuka selebar-lebarnya sampai rasanya engsel rahangku mau copot. Mataku menatap Bapak dengan sorot tak percaya. Gimana ceritanya diskusi udah final, wong aku belum mengutarakan argumen sama sekali! “P-pak, tapi ….” Suaraku mengecil, tenggelam oleh keributan hiruk-pikuk orang-orang. Seperti kompak dikomando, semuanya bangun dan membubarkan diri, termasuk Bapak yang terlihat buru-buru kabur ke kamar. Tidak ada lagi satu pun yang memedulikanku. “Hish!” Aku mencebik sambil mengentakkan kaki kesal. Padahal aku yang akan menikah, tetapi mengapa justru persetujuanku seolah tidak diperukan? Memangnya yang menjalani kehidupan rumah tangga nanti Bapak, Pakde, atau Paklik Manan?! Karena tidak mendapat hasil yang kuinginkan, aku memutuskan untuk berbalik dan mengurung diri di kamar. Sepanjang aku berpapasan dengan orang-orang, tidak ada yang berani bertatapan mata denganku. Semuanya langsung menyingkir, pura-pura sibuk dan tidak sadar dengan kehadiranku. Mungkin khawatir akan aku ajak berdebat lagi soal ketidakmungkinan Bayu dan aku menikah. Huh! Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya kencang. Sesampainya di depan pintu kamar, tanganku terulur meraih kenop, tetapi aku tidak langsung memutar dan mendorongnya supaya terbuka. Langkahku turut terhenti. Apa sekarang ganti aku aja yang kabur, ya? Dengan begitu tidak mungkin pernikahan ini dilanjutkan. Namun, sebelum rencana lebih lanjut tersusun, aku segera menepis ide konyol itu sendiri. Bagaimana mungkin aku akan kabur, sebab tidak ada tempat yang akan aku tuju. Lagi pula, aku juga tidak punya uang sepeser pun untuk melakukan pelarian. Ya kalau si Anggara budur itu, dia pergi sambil membawa kabur uangku, mungkin untuk dibawa pulang ke kampung halamannya. Aku mendesah frustrasi. Kali ini sambil benar-benar menyorong pintu kamar dan bergegas memasukinya. Neni … Neni, nasibmu! Udah nyaris jadi perawan tua, kena tipu cowok, uang dibawa kabur, jadi beban aib keluarga, sekarang bikin sohib kentel jadi ikutan susah! Tepat saat memikirkan hal itu, mataku menatap lurus ke jendela yang masih terbuka. Tepat di seberangnya adalah kamar Bayu. Dia menutup rapat kaca jendelanya dan menurunkan tirai. Apa mungkin Bayu sudah tidur? Refleks bola mataku bergulir memeriksa angka yang ditunjuk jarum jam yang menempel di dinding. Masih pukul delapan malam kurang. Tidak mungkin cowok itu sudah tidur. Lagi pula, kamarnya masih terang. Aku hafal Bayu selalu mematikan lampu kamarnya sebelum tidur. Kuayunkan kaki cepat menuju ke jendela. Angin dari luar terasa sejuk membelai kulitku. “Sssshhh … Yu!” Aku mencoba memaggilnya dengan suara yang tidak terlalu keras. Jarak antar kedua jendela ini tidak terlalu jauh. Jadi, kalau dia berada di kamar seharusnya dia bisa mendengarnya. “Yu! Bayu!” Aku menaikkan sedikit volume suaraku, tidak ingin ada orang lain di rumah ini yang mendengar. Namun, tetap saja tidak ada respons. “Sebenarnya ini anak di mana, sih?” gerutuku. Tidak habis akal, aku pun berbalik menuju meja rias dan membuka laci paling atasnya. Di sana tampak banyak sekali kapur papan tulis yang memang kusediakan untuk saat-saat seperti ini. Dibandingkan lewat WA atau telepon, aku memang lebih suka mengobrol langsung sambil bertatap muka dengan Bayu. Lebih efektif dan minim kesalahpahaman, toh jendela kamar kita juga berhadap-hadapan! Aku mengambil satu batang dan membawanya kembali ke dekat jendela. Kupatahkan kapur itu dengan jemari, lalu 1 potongan kecilnya kulemparkan ke arah jendela kamar Bayu. Takk! Berhasil! Namun, setelah beberapa saat belum ada tanda-tanda cowok itu akan muncul. Aku kembali mematahkan kapur dan mengulangi lemparan. Kali ini 2 tembakan berturut-turut. Takk! Takk! Aku diam, menunggu. Namun, karena sejak pagi kesabaranku sudah seperti tisu yang dirobek-robek, aku sudah keburu kesal dan tidak memberi waktu sampai satu menit agar jendela itu terbuka. Tanpa mematahkannya lagi, aku melempar kapur sepanjang 2 Senti yang masih tersisa kuat-kuat ke jendela. Aku tidak peduli jika nanti kacanya akan pecah. Biar saja Bayu yang mengurusnya sendiri! Tepat saat kapur itu sudah melesat cepat, daun jendela terdorong dari dalam. Sudah terlalu terlambat untuk menghindar. Bletakk!! Bunyi pendaratan kapur yang keras disusul suara kesakitan Bayu. Refleks aku langsung membekap mulut. Ups![Nen, maaf sebelumnya. Tapi kayaknya hubungan kita nggak bisa dilanjut lagi. Aku bener-bener menyesal dan mohon maaf sebesar-besarnya. Kamu wanita yang baik. Kamu pasti bisa dapat pendamping yang lebih baik dari aku. Sekali lagi maaf, kita putus. Salam —Anggara]"APA?! PUTUS???!"Gara-gara terlalu fokus dengan ponsel, tanpa sadar aku menjerit. Lupa kalau di sekelilingku ada bude, bulik, dan kerabat lain yang sedang duduk melingkar sambil memasukkan bungkusan kacang telur ke dalam stoples."Ada apa tho, Nduk? Kok teriak-teriak begitu?" tanya Bude Sri, saudara tertua Ibu."Iya, nih! Untung Bulik nggak njingkat terus toplesnya kelempar. Nanti morat-marit semua!" Sekarang ganti Bulik Narni yang berkomentar. Bungkusan kacang telur dan stoples-stoples itu rencananya akan dibagikan sebagai suvenir di resepsi pernikahanku nanti."Memang siapa yang putus, Mbak? Kok sampai histeris begitu?" Dina, anak Bulik Narni yang tertua menatapku penasaran. Begitu pun dengan orang-orang lain di sekitar, te
"SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"Jantungku seolah melorot ke perut. Dengan gerakan patah-patah bak robot dan ekspresi ngeri bukan main, aku memutar kepala. Di sana, di depan pintu kamar, sudah berdesakan Bapak, Ibu, para Bude dan Bulik, entah sejak kapan. Apa jangan-jangan mereka dengar semua curhatanku ke Bayu?"Itu ...""Bicara yang jelas, Naini Ritta!"Mataku refleks terpejam erat mendengar suara menggelegar Bapak. Apalagi beliau memanggil dengan nama lengkap, sudah pasti aku tidak bisa memakai alasan konyol untuk berkelit.Kupandangi wajah yang menanti jawabanku satu per satu. Mereka seperti peserta acara reality show Super Deal 2 Miliar yang sedang harap-harap cemas menantikan apa yang ada di balik tirai—akankah aku membawa pulang hadiah atau tidak. Sayangnya, aku yang menjadi peserta terpilih justru sudah mendapat spill kalau tirai yang kupilih ternyata isinya zonk.Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Pandanganku terakhir berhenti di sosok Ibu yang paling terli
"Maaf, Mbak siapa, ya? Ribut-ribut di depan rumah saya," tanya wanita cantik itu sambil menatapku tajam dengan kedua tangan bersedekap, membuat dadanya kian tampak menonjol.Bayu berusaha menurunkan tanganku, tetapi aku mati-matian menepisnya agar dia diam saja."Saya mau cari cowok yang namanya Anggara," jawabku tak gentar. Meski ada kemungkinan wanita di hadapanku ini adalah selingkuhan atau justru istrinya.Alis wanita itu tampak menukik saat dia berpikir sejenak. "Anggara? Ooh ... Mas-mas sales selang gas yang dari Sumatera itu, ya?"Ha? Sales selang gas? Perasaan Anggara bilang padaku kalau dia kerja di perusahaan minyak, deh!Namun, aku mengabaikan rasa keterkejutanku itu dan kembali ke fokus utama sebelum Bayu mencuri-curi lihat dari sela jariku. "I-iya, Mbak. Mbak-nya tahu?""Tuh, kamarnya paling pojok! Tapi kayaknya udah pindah, deh. Kelihatan kosong sejak 3 hari yang lalu," terangnya membuatku terkejut.Aku segera memutar tubuh, berniat mengecek dengan mata kepala sendiri ka
Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu."Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?"Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling
“Yu! Bayu! Tunggu!”Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.“Bayu! Berhen–”Brukk!!Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yan
“Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”“Li
“Yu! Bayu! Tunggu!”Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.“Bayu! Berhen–”Brukk!!Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yan
Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu."Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?"Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling
"Maaf, Mbak siapa, ya? Ribut-ribut di depan rumah saya," tanya wanita cantik itu sambil menatapku tajam dengan kedua tangan bersedekap, membuat dadanya kian tampak menonjol.Bayu berusaha menurunkan tanganku, tetapi aku mati-matian menepisnya agar dia diam saja."Saya mau cari cowok yang namanya Anggara," jawabku tak gentar. Meski ada kemungkinan wanita di hadapanku ini adalah selingkuhan atau justru istrinya.Alis wanita itu tampak menukik saat dia berpikir sejenak. "Anggara? Ooh ... Mas-mas sales selang gas yang dari Sumatera itu, ya?"Ha? Sales selang gas? Perasaan Anggara bilang padaku kalau dia kerja di perusahaan minyak, deh!Namun, aku mengabaikan rasa keterkejutanku itu dan kembali ke fokus utama sebelum Bayu mencuri-curi lihat dari sela jariku. "I-iya, Mbak. Mbak-nya tahu?""Tuh, kamarnya paling pojok! Tapi kayaknya udah pindah, deh. Kelihatan kosong sejak 3 hari yang lalu," terangnya membuatku terkejut.Aku segera memutar tubuh, berniat mengecek dengan mata kepala sendiri ka
"SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"Jantungku seolah melorot ke perut. Dengan gerakan patah-patah bak robot dan ekspresi ngeri bukan main, aku memutar kepala. Di sana, di depan pintu kamar, sudah berdesakan Bapak, Ibu, para Bude dan Bulik, entah sejak kapan. Apa jangan-jangan mereka dengar semua curhatanku ke Bayu?"Itu ...""Bicara yang jelas, Naini Ritta!"Mataku refleks terpejam erat mendengar suara menggelegar Bapak. Apalagi beliau memanggil dengan nama lengkap, sudah pasti aku tidak bisa memakai alasan konyol untuk berkelit.Kupandangi wajah yang menanti jawabanku satu per satu. Mereka seperti peserta acara reality show Super Deal 2 Miliar yang sedang harap-harap cemas menantikan apa yang ada di balik tirai—akankah aku membawa pulang hadiah atau tidak. Sayangnya, aku yang menjadi peserta terpilih justru sudah mendapat spill kalau tirai yang kupilih ternyata isinya zonk.Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Pandanganku terakhir berhenti di sosok Ibu yang paling terli
[Nen, maaf sebelumnya. Tapi kayaknya hubungan kita nggak bisa dilanjut lagi. Aku bener-bener menyesal dan mohon maaf sebesar-besarnya. Kamu wanita yang baik. Kamu pasti bisa dapat pendamping yang lebih baik dari aku. Sekali lagi maaf, kita putus. Salam —Anggara]"APA?! PUTUS???!"Gara-gara terlalu fokus dengan ponsel, tanpa sadar aku menjerit. Lupa kalau di sekelilingku ada bude, bulik, dan kerabat lain yang sedang duduk melingkar sambil memasukkan bungkusan kacang telur ke dalam stoples."Ada apa tho, Nduk? Kok teriak-teriak begitu?" tanya Bude Sri, saudara tertua Ibu."Iya, nih! Untung Bulik nggak njingkat terus toplesnya kelempar. Nanti morat-marit semua!" Sekarang ganti Bulik Narni yang berkomentar. Bungkusan kacang telur dan stoples-stoples itu rencananya akan dibagikan sebagai suvenir di resepsi pernikahanku nanti."Memang siapa yang putus, Mbak? Kok sampai histeris begitu?" Dina, anak Bulik Narni yang tertua menatapku penasaran. Begitu pun dengan orang-orang lain di sekitar, te