Share

Protes Keras

last update Last Updated: 2025-01-16 17:59:42

“Yu! Bayu! Tunggu!”

Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.

Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.

“Bayu! Berhen–”

Brukk!!

Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.

Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yang menyalakan kompor gas dengan posisi nyala api paling besar untuk membakar emosi. Segera kulepas salah satu sandal yang sudah terpasang di kaki sambil bangkit. Tanpa perlu menghitung sampai tiga, aku langsung mengayunkan tangan dan melemparkan sandal kuat-kuat ke arah Bayu yang sudah hampir mencapai pintu pagar.

Bletakk!!

Nice shoot! Tepat sasaran! Kalau begini nggak rugi kan, dulu aku ikut ekstrakulikuler lempar cakram di sekolah meski sebenarnya cuma buat genapin anggota biar bisa diikutkan lomba di luar?

“Aduh!” Bayu menggosok-gosok bagian belakang kepalanya. Tentu saja itu pasti sakit, sebab yang kulempar ternyata adalah sandal model bakiak milik Bude Sri. Namun, yang terpenting akhirnya laki-laki itu berhenti juga.

Tanpa perlu ribet mengurus per-sandal-an lagi, aku segera mencincing rok dan berlari menghampirinya.

“Bayu! Kamu udah sinting apa? Bisa-bisanya nge-iya-in permintaan ngawur Bapak!” semburku tanpa diawali dengan intro.

Bayu berhenti mengusap kepalanya. Bibir yang tadinya meringis sambil mengeluarkan desis kesakitan pun ikut turun. “Sinting apanya? Menurut kamu, apa ada cara yang lebih waras dari itu?”

Aku berdecak sambil melipat kedua tangan di depan dada dan menjejak tanah kesal. Aku tidak suka cara Bayu menekankan kata ‘waras’ seolah menyindirku, tetapi aku lebih tidak suka lagi dengan fakta kalau aku tidak bisa membantah ucapannya. Dia seperti menyodorkan kebenaran mutlak tepat di depan lubang hidungku.

“Tapi apa kamu udah mikirin konsekuensinya? Ini nikah, lo! NIKAH!”

Ganti aku yang menekankan kata keramat itu dengan mata melotot dan cuping hidung kembang-kempis. Kedua alis dan keningku turut berkerut bersamaan dengan mulut yang menyeringai nyeri, seolah dengan mengucapkan kata ‘nikah’ bisa membuat para jin dan makhluk halus berwajah seram langsung datang mengepung kami.

“Iya, aku tahu. Memang kamu pikir, aku ngiranya diajak main gundu sama bapak kamu?” Alih-alih memasang raut tersiksa seperti aku, Bayu justru menanggapinya dengan ringan.

Kedua mataku semakin melebar. Bisa-bisanya dia ….

“Ya udah kalau nggak ada lagi yang mau kamu omongin. Aku mau balik dulu, nih! Bentar lagi azan Asar. Mau mandi dan siap-siap dulu sebelum ke masjid. Bye maksimal! Assalaamu’alaikum!”

Belum sempat aku mencegah, Bayu sudah lebih dulu kabur duluan. Dia langsung menstarter motornya dan tancap gas dengan mesin menderu. Tidak sampai satu menit kemudian, suara berisik itu berhenti karena Bayu sudah memarkir motor di garasi rumahnya, tepat di sebelah halaman rumahku.

“Bayu! Bayu!”

Aku masih mencoba mengajaknya bicara, tetapi cowok sedeng itu malah menoleh sebentar kepadaku sambil melontarkan kiss bye dengan gaya menjijikkan. Lalu dia pun tertawa terbahak-bahak dan menghilang di balik pintu rumahnya.

Aku mencak-mencak sendiri di halaman. “Aaaarrrgghhh!!!” jeritku penuh kesal.

***

Tidak berhasil bernegosiasi dengan Bayu, aku pun kembali masuk ke rumah dengan langkah gontai. Aku bahkan berjalan dengan tubuh melengkung ke depan dan wajah tertunduk lesu, lengkap dengan dua tangan menjuntai tak berdaya, persis seperti tokoh kartun Spongebob saat kehilangan spatula kesayangannya untuk memasak Krabby Patty.

Berbeda 180 derajat dengan kondisiku yang seperti tanaman kecambah yang seminggu tidak disiram, orang-orang di dalam rumah tampak semringah dengan wajah full senyum, ngalah-ngalahin fotonya Rafathar, anaknya artis Raffi Ahmad, yang dipajang di baliho dan brosur PPDB sekolahnya. Suasana sedih, galau, bingung, cemas, dan beragam perasaan negatif lain yang beberapa jam lalu menyelimuti pekat di dalam rumah seolah hilang tak berjejak. Dan aku tahu jelas siapa yang punya andil besar untuk hal ini. Siapa lagi kalau bukan Bayu dan … Bapak?!

Oleh karena itulah aku langsung menghampiri Bapak yang tengah bercakap-cakap di ruang keluarga bersama para pakde dan paklik. Suara tawanya bahkan menggema sampai ke ruang tamu.

“Bapak, Neni mau bicara,” ucapku singkat dengan wajah serius. Bapak langsung menoleh.

“Eh, Neni! Sini, sini, Nen! Ada apa?” Anehnya Bapak masih menyambut dengan wajah cerah ceria. Beliau melambaikan tangan, memberi isyarat agar aku duduk di kursi sebelahnya.

Aku sempat melirik sekilas ke arah kerabatku yang lain. Padahal aku berniat membicarakan masalah ini berdua saja dengan Bapak. Namun, tampaknya beliau tidak menangkap maksudku. Apa saking bahagianya Bapak jadi seperti itu?

Buru-buru aku mengenyahkan pikiranku yang lain dan berjalan menghampiri Bapak. Aku menurut untuk duduk di sampingnya.

“Pak, tadi itu nggak serius. Mana mungkin Bayu mau nikah sama aku,” ucapku selembut mungkin sambil menggenggam kedua tangannya.

Berhadapan dengan Bapak seperti ini membuat kejadian tidak terduga yang terjadi beberapa saat lalu kembali berkelebat dalam ingatanku. Usai aku tidak sengaja menyembur Bapak dengan air putih dari mulut, buru-buru aku bangun dan membantu menyeka wajahnya dengan tisu.

“Duuuh … maaf, maaf, Pak! Neni nggak sengaja! Bapak sih, aneh-aneh aja ngomongnya!” tukasku bercampur antara menyesal dan kesal. Lagian bisa-bisanya Bapak meminta Bayu untuk menjadi mempelai penggantiku!

“Sudah, sudah!” Bapak berkata sambil menepis tanganku, mungkin beliau kesulitan membuka mata atau bernapas akibat mukanya digosok-gosok dengan tisu. “Bapak ini nggak aneh-aneh! Kamu baru boleh bilang Bapak aneh kalau nyuruh si Bayu sunat lagi.”

Aku memonyongkan bibir, tidak menganggap lucu pada ucapannya. Lantas beringsut mundur untuk kembali ke tempat dudukku.

“Lagi pula tidak ada salahnya, kan? Bayu juga statusnya bujang, nggak ada istri. Bukan masalah kalau kalian nanti menikah.”

“Bapak!” Aku langsung menyahut dengan cepat ketika Bapak kembali mengangkat topik itu. Keningku sudah berkerut-kerut seperti pinggiran dimsum kukus. Duh, bisa-bisa migrain aku kalau terus-menerus berdebat dengan Bapak soal urusan ini! Bapak jelas tidak mau kalah.

Benar saja apa dugaanku. Seolah tidak mendengar dan melihat segala gelagat keberatanku, Bapak justru beralih ke arah Bayu. “Gimana menurut kamu, Nak Bayu, solusi dari Bapak? Kamu bisa menikahi Neni tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun. Bahkan kalau perlu, mas kawinnya juga biar kami saja yang siapkan. Cukup adil bukan?”

Mataku melotot selebar-lebarnya mendengar ucapan Bapak. Aku merasa seperti barang lelang yang sedang ditawarkan dengan harga semiring-miringnya karena tidak ada satu pun yang berminat. Namun, yang bikin bola mataku benar-benar akan meloncat, justru jawaban Bayu setelah itu.

“Baik, Pak Bambang. Saya setuju.”

Related chapters

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Siapa yang Salah, Siapa yang Tanggung Jawab?

    “Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”“Li

    Last Updated : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Tiba-tiba Putus

    [Nen, maaf sebelumnya. Tapi kayaknya hubungan kita nggak bisa dilanjut lagi. Aku bener-bener menyesal dan mohon maaf sebesar-besarnya. Kamu wanita yang baik. Kamu pasti bisa dapat pendamping yang lebih baik dari aku. Sekali lagi maaf, kita putus. Salam —Anggara]"APA?! PUTUS???!"Gara-gara terlalu fokus dengan ponsel, tanpa sadar aku menjerit. Lupa kalau di sekelilingku ada bude, bulik, dan kerabat lain yang sedang duduk melingkar sambil memasukkan bungkusan kacang telur ke dalam stoples."Ada apa tho, Nduk? Kok teriak-teriak begitu?" tanya Bude Sri, saudara tertua Ibu."Iya, nih! Untung Bulik nggak njingkat terus toplesnya kelempar. Nanti morat-marit semua!" Sekarang ganti Bulik Narni yang berkomentar. Bungkusan kacang telur dan stoples-stoples itu rencananya akan dibagikan sebagai suvenir di resepsi pernikahanku nanti."Memang siapa yang putus, Mbak? Kok sampai histeris begitu?" Dina, anak Bulik Narni yang tertua menatapku penasaran. Begitu pun dengan orang-orang lain di sekitar, te

    Last Updated : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Memburu Calon Suami

    "SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"Jantungku seolah melorot ke perut. Dengan gerakan patah-patah bak robot dan ekspresi ngeri bukan main, aku memutar kepala. Di sana, di depan pintu kamar, sudah berdesakan Bapak, Ibu, para Bude dan Bulik, entah sejak kapan. Apa jangan-jangan mereka dengar semua curhatanku ke Bayu?"Itu ...""Bicara yang jelas, Naini Ritta!"Mataku refleks terpejam erat mendengar suara menggelegar Bapak. Apalagi beliau memanggil dengan nama lengkap, sudah pasti aku tidak bisa memakai alasan konyol untuk berkelit.Kupandangi wajah yang menanti jawabanku satu per satu. Mereka seperti peserta acara reality show Super Deal 2 Miliar yang sedang harap-harap cemas menantikan apa yang ada di balik tirai—akankah aku membawa pulang hadiah atau tidak. Sayangnya, aku yang menjadi peserta terpilih justru sudah mendapat spill kalau tirai yang kupilih ternyata isinya zonk.Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Pandanganku terakhir berhenti di sosok Ibu yang paling terli

    Last Updated : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kaburnya Sang Calon Mempelai Pria

    "Maaf, Mbak siapa, ya? Ribut-ribut di depan rumah saya," tanya wanita cantik itu sambil menatapku tajam dengan kedua tangan bersedekap, membuat dadanya kian tampak menonjol.Bayu berusaha menurunkan tanganku, tetapi aku mati-matian menepisnya agar dia diam saja."Saya mau cari cowok yang namanya Anggara," jawabku tak gentar. Meski ada kemungkinan wanita di hadapanku ini adalah selingkuhan atau justru istrinya.Alis wanita itu tampak menukik saat dia berpikir sejenak. "Anggara? Ooh ... Mas-mas sales selang gas yang dari Sumatera itu, ya?"Ha? Sales selang gas? Perasaan Anggara bilang padaku kalau dia kerja di perusahaan minyak, deh!Namun, aku mengabaikan rasa keterkejutanku itu dan kembali ke fokus utama sebelum Bayu mencuri-curi lihat dari sela jariku. "I-iya, Mbak. Mbak-nya tahu?""Tuh, kamarnya paling pojok! Tapi kayaknya udah pindah, deh. Kelihatan kosong sejak 3 hari yang lalu," terangnya membuatku terkejut.Aku segera memutar tubuh, berniat mengecek dengan mata kepala sendiri ka

    Last Updated : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Mengatasi Masalah dengan Masalah

    Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu."Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?"Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling

    Last Updated : 2025-01-16

Latest chapter

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Siapa yang Salah, Siapa yang Tanggung Jawab?

    “Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”“Li

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Protes Keras

    “Yu! Bayu! Tunggu!”Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.“Bayu! Berhen–”Brukk!!Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yan

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Mengatasi Masalah dengan Masalah

    Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu."Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?"Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kaburnya Sang Calon Mempelai Pria

    "Maaf, Mbak siapa, ya? Ribut-ribut di depan rumah saya," tanya wanita cantik itu sambil menatapku tajam dengan kedua tangan bersedekap, membuat dadanya kian tampak menonjol.Bayu berusaha menurunkan tanganku, tetapi aku mati-matian menepisnya agar dia diam saja."Saya mau cari cowok yang namanya Anggara," jawabku tak gentar. Meski ada kemungkinan wanita di hadapanku ini adalah selingkuhan atau justru istrinya.Alis wanita itu tampak menukik saat dia berpikir sejenak. "Anggara? Ooh ... Mas-mas sales selang gas yang dari Sumatera itu, ya?"Ha? Sales selang gas? Perasaan Anggara bilang padaku kalau dia kerja di perusahaan minyak, deh!Namun, aku mengabaikan rasa keterkejutanku itu dan kembali ke fokus utama sebelum Bayu mencuri-curi lihat dari sela jariku. "I-iya, Mbak. Mbak-nya tahu?""Tuh, kamarnya paling pojok! Tapi kayaknya udah pindah, deh. Kelihatan kosong sejak 3 hari yang lalu," terangnya membuatku terkejut.Aku segera memutar tubuh, berniat mengecek dengan mata kepala sendiri ka

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Memburu Calon Suami

    "SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"Jantungku seolah melorot ke perut. Dengan gerakan patah-patah bak robot dan ekspresi ngeri bukan main, aku memutar kepala. Di sana, di depan pintu kamar, sudah berdesakan Bapak, Ibu, para Bude dan Bulik, entah sejak kapan. Apa jangan-jangan mereka dengar semua curhatanku ke Bayu?"Itu ...""Bicara yang jelas, Naini Ritta!"Mataku refleks terpejam erat mendengar suara menggelegar Bapak. Apalagi beliau memanggil dengan nama lengkap, sudah pasti aku tidak bisa memakai alasan konyol untuk berkelit.Kupandangi wajah yang menanti jawabanku satu per satu. Mereka seperti peserta acara reality show Super Deal 2 Miliar yang sedang harap-harap cemas menantikan apa yang ada di balik tirai—akankah aku membawa pulang hadiah atau tidak. Sayangnya, aku yang menjadi peserta terpilih justru sudah mendapat spill kalau tirai yang kupilih ternyata isinya zonk.Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Pandanganku terakhir berhenti di sosok Ibu yang paling terli

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Tiba-tiba Putus

    [Nen, maaf sebelumnya. Tapi kayaknya hubungan kita nggak bisa dilanjut lagi. Aku bener-bener menyesal dan mohon maaf sebesar-besarnya. Kamu wanita yang baik. Kamu pasti bisa dapat pendamping yang lebih baik dari aku. Sekali lagi maaf, kita putus. Salam —Anggara]"APA?! PUTUS???!"Gara-gara terlalu fokus dengan ponsel, tanpa sadar aku menjerit. Lupa kalau di sekelilingku ada bude, bulik, dan kerabat lain yang sedang duduk melingkar sambil memasukkan bungkusan kacang telur ke dalam stoples."Ada apa tho, Nduk? Kok teriak-teriak begitu?" tanya Bude Sri, saudara tertua Ibu."Iya, nih! Untung Bulik nggak njingkat terus toplesnya kelempar. Nanti morat-marit semua!" Sekarang ganti Bulik Narni yang berkomentar. Bungkusan kacang telur dan stoples-stoples itu rencananya akan dibagikan sebagai suvenir di resepsi pernikahanku nanti."Memang siapa yang putus, Mbak? Kok sampai histeris begitu?" Dina, anak Bulik Narni yang tertua menatapku penasaran. Begitu pun dengan orang-orang lain di sekitar, te

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status