Share

Protes Keras

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-16 17:59:42

“Yu! Bayu! Tunggu!”

Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.

Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.

“Bayu! Berhen–”

Brukk!!

Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.

Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yang menyalakan kompor gas dengan posisi nyala api paling besar untuk membakar emosi. Segera kulepas salah satu sandal yang sudah terpasang di kaki sambil bangkit. Tanpa perlu menghitung sampai tiga, aku langsung mengayunkan tangan dan melemparkan sandal kuat-kuat ke arah Bayu yang sudah hampir mencapai pintu pagar.

Bletakk!!

Nice shoot! Tepat sasaran! Kalau begini nggak rugi kan, dulu aku ikut ekstrakulikuler lempar cakram di sekolah meski sebenarnya cuma buat genapin anggota biar bisa diikutkan lomba di luar?

“Aduh!” Bayu menggosok-gosok bagian belakang kepalanya. Tentu saja itu pasti sakit, sebab yang kulempar ternyata adalah sandal model bakiak milik Bude Sri. Namun, yang terpenting akhirnya laki-laki itu berhenti juga.

Tanpa perlu ribet mengurus per-sandal-an lagi, aku segera mencincing rok dan berlari menghampirinya.

“Bayu! Kamu udah sinting apa? Bisa-bisanya nge-iya-in permintaan ngawur Bapak!” semburku tanpa diawali dengan intro.

Bayu berhenti mengusap kepalanya. Bibir yang tadinya meringis sambil mengeluarkan desis kesakitan pun ikut turun. “Sinting apanya? Menurut kamu, apa ada cara yang lebih waras dari itu?”

Aku berdecak sambil melipat kedua tangan di depan dada dan menjejak tanah kesal. Aku tidak suka cara Bayu menekankan kata ‘waras’ seolah menyindirku, tetapi aku lebih tidak suka lagi dengan fakta kalau aku tidak bisa membantah ucapannya. Dia seperti menyodorkan kebenaran mutlak tepat di depan lubang hidungku.

“Tapi apa kamu udah mikirin konsekuensinya? Ini nikah, lo! NIKAH!”

Ganti aku yang menekankan kata keramat itu dengan mata melotot dan cuping hidung kembang-kempis. Kedua alis dan keningku turut berkerut bersamaan dengan mulut yang menyeringai nyeri, seolah dengan mengucapkan kata ‘nikah’ bisa membuat para jin dan makhluk halus berwajah seram langsung datang mengepung kami.

“Iya, aku tahu. Memang kamu pikir, aku ngiranya diajak main gundu sama bapak kamu?” Alih-alih memasang raut tersiksa seperti aku, Bayu justru menanggapinya dengan ringan.

Kedua mataku semakin melebar. Bisa-bisanya dia ….

“Ya udah kalau nggak ada lagi yang mau kamu omongin. Aku mau balik dulu, nih! Bentar lagi azan Asar. Mau mandi dan siap-siap dulu sebelum ke masjid. Bye maksimal! Assalaamu’alaikum!”

Belum sempat aku mencegah, Bayu sudah lebih dulu kabur duluan. Dia langsung menstarter motornya dan tancap gas dengan mesin menderu. Tidak sampai satu menit kemudian, suara berisik itu berhenti karena Bayu sudah memarkir motor di garasi rumahnya, tepat di sebelah halaman rumahku.

“Bayu! Bayu!”

Aku masih mencoba mengajaknya bicara, tetapi cowok sedeng itu malah menoleh sebentar kepadaku sambil melontarkan kiss bye dengan gaya menjijikkan. Lalu dia pun tertawa terbahak-bahak dan menghilang di balik pintu rumahnya.

Aku mencak-mencak sendiri di halaman. “Aaaarrrgghhh!!!” jeritku penuh kesal.

***

Tidak berhasil bernegosiasi dengan Bayu, aku pun kembali masuk ke rumah dengan langkah gontai. Aku bahkan berjalan dengan tubuh melengkung ke depan dan wajah tertunduk lesu, lengkap dengan dua tangan menjuntai tak berdaya, persis seperti tokoh kartun Spongebob saat kehilangan spatula kesayangannya untuk memasak Krabby Patty.

Berbeda 180 derajat dengan kondisiku yang seperti tanaman kecambah yang seminggu tidak disiram, orang-orang di dalam rumah tampak semringah dengan wajah full senyum, ngalah-ngalahin fotonya Rafathar, anaknya artis Raffi Ahmad, yang dipajang di baliho dan brosur PPDB sekolahnya. Suasana sedih, galau, bingung, cemas, dan beragam perasaan negatif lain yang beberapa jam lalu menyelimuti pekat di dalam rumah seolah hilang tak berjejak. Dan aku tahu jelas siapa yang punya andil besar untuk hal ini. Siapa lagi kalau bukan Bayu dan … Bapak?!

Oleh karena itulah aku langsung menghampiri Bapak yang tengah bercakap-cakap di ruang keluarga bersama para pakde dan paklik. Suara tawanya bahkan menggema sampai ke ruang tamu.

“Bapak, Neni mau bicara,” ucapku singkat dengan wajah serius. Bapak langsung menoleh.

“Eh, Neni! Sini, sini, Nen! Ada apa?” Anehnya Bapak masih menyambut dengan wajah cerah ceria. Beliau melambaikan tangan, memberi isyarat agar aku duduk di kursi sebelahnya.

Aku sempat melirik sekilas ke arah kerabatku yang lain. Padahal aku berniat membicarakan masalah ini berdua saja dengan Bapak. Namun, tampaknya beliau tidak menangkap maksudku. Apa saking bahagianya Bapak jadi seperti itu?

Buru-buru aku mengenyahkan pikiranku yang lain dan berjalan menghampiri Bapak. Aku menurut untuk duduk di sampingnya.

“Pak, tadi itu nggak serius. Mana mungkin Bayu mau nikah sama aku,” ucapku selembut mungkin sambil menggenggam kedua tangannya.

Berhadapan dengan Bapak seperti ini membuat kejadian tidak terduga yang terjadi beberapa saat lalu kembali berkelebat dalam ingatanku. Usai aku tidak sengaja menyembur Bapak dengan air putih dari mulut, buru-buru aku bangun dan membantu menyeka wajahnya dengan tisu.

“Duuuh … maaf, maaf, Pak! Neni nggak sengaja! Bapak sih, aneh-aneh aja ngomongnya!” tukasku bercampur antara menyesal dan kesal. Lagian bisa-bisanya Bapak meminta Bayu untuk menjadi mempelai penggantiku!

“Sudah, sudah!” Bapak berkata sambil menepis tanganku, mungkin beliau kesulitan membuka mata atau bernapas akibat mukanya digosok-gosok dengan tisu. “Bapak ini nggak aneh-aneh! Kamu baru boleh bilang Bapak aneh kalau nyuruh si Bayu sunat lagi.”

Aku memonyongkan bibir, tidak menganggap lucu pada ucapannya. Lantas beringsut mundur untuk kembali ke tempat dudukku.

“Lagi pula tidak ada salahnya, kan? Bayu juga statusnya bujang, nggak ada istri. Bukan masalah kalau kalian nanti menikah.”

“Bapak!” Aku langsung menyahut dengan cepat ketika Bapak kembali mengangkat topik itu. Keningku sudah berkerut-kerut seperti pinggiran dimsum kukus. Duh, bisa-bisa migrain aku kalau terus-menerus berdebat dengan Bapak soal urusan ini! Bapak jelas tidak mau kalah.

Benar saja apa dugaanku. Seolah tidak mendengar dan melihat segala gelagat keberatanku, Bapak justru beralih ke arah Bayu. “Gimana menurut kamu, Nak Bayu, solusi dari Bapak? Kamu bisa menikahi Neni tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun. Bahkan kalau perlu, mas kawinnya juga biar kami saja yang siapkan. Cukup adil bukan?”

Mataku melotot selebar-lebarnya mendengar ucapan Bapak. Aku merasa seperti barang lelang yang sedang ditawarkan dengan harga semiring-miringnya karena tidak ada satu pun yang berminat. Namun, yang bikin bola mataku benar-benar akan meloncat, justru jawaban Bayu setelah itu.

“Baik, Pak Bambang. Saya setuju.”

Bab terkait

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Siapa yang Salah, Siapa yang Tanggung Jawab?

    “Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”“Li

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Alasan Bayu

    “Aduh, Neen! Kira-kira dong kalau ngelempar! Kamu pikir kepalaku ini garis pendaratan cakram apa?!” omel Bayu sambil menggosok-gosok keningnya yang kini memerah akibat kapur yang tadi melesat dengan kecepatan penuh.Aku nyengir, mencoba menutupi rasa bersalah yang lebih banyak jadi hiburan buatku. “Hehe, maaf. Nggak sengaja.”Bayu mendengus, ekspresi mukanya seperti aktor drama yang gagal memenangkan penghargaan. “Nggak sengaja? Tadi aku kena timpuk sendal, sekarang kapur. Besok-besok lagi apa? Kompor gas? Blender? Atau kulkas sekalian biar langsung KO?”Aku berusaha menahan tawa, tapi gagal total. “Kalau kamu nggak segera jawab, mungkin aja,” kataku santai sambil menyeringai. “Kamu sendiri yang bikin aku harus ambil tindakan ekstrem. Dipanggilin kayak patung.”“Maksud kamu aku ini patung Liberty apa patung Pancoran?” jawab Bayu dengan ekspresi sewot yang malah bikin aku makin pengen ngakak.“Patung Pancoran juga mending, Yu. Setidaknya d

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Duda 'Ting-Ting'

    Bayu adalah seorang duda. Dia menikah sekitar 4 tahun lalu dengan seorang wanita yang dikenalnya dari tempat kerjanya dulu. Namanya Risma. Sejak mengumumkan akan menikah, dengan sendirinya Bayu menjaga jarak denganku. Kebetulan aku pun saat itu sedang sibuk melanjutkan S2 di luar kota sehingga jarang sekali berada di rumah. Risma yang ada di ingatanku adalah sosoknya dalam balutan gaun pengantin berwarna putih yang indah. Dia terlihat sangat cantik dan anggun. Tampak serasi sekali berdiri di sebelah Bayu yang di hari pernikahannya juga terlihat gagah. Namun, siapa sangka rumah tangga mereka hanya bertahan tiga bulan? Kabar itu tentu langsung menggemparkan desa. Tidak jelas siapa yang meminta berpisah terlebih dahulu. Namun, dari pihak Risma yang kebetulan memiliki keluarga di desa sebelah menyebarkan desas-desus bahwa Bayu-lah bermasalah. Dia yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai suami—ehem, if you know what I mean. Namun, Bayu s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Dibuat Pusing Sendiri

    Semalaman aku memikirkan soal rencana pernikahanku dan Bayu. Namun, mau dicari bagaimanapun sepertinya aku tidak akan pernah menemukan titik temu penyelesaiannya. Seluruh keluarga besarku menganggap masalah aku-yang-hampir-gagal-nikah-karena-ditinggal-kabur sudah selesai. Dan Bayu, tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Dia justru seolah menerima pernikahan dadakan ini dengan tangan terbuka. Aku sampai punya pikiran, apa sebaiknya kuterima saja pernikahan ini tanpa banyak komentar, ya? Namun, aku tidak sampai hati jika hanya gara-gara menyelamatkan mukaku saja, aku lantas mengorbankan masa depan dan kebahagiaan orang lain. Apalagi jika itu adalah Bayu, sahabatku sendiri. “Gimana ya? Kalau Bayu nggak benar-benar mau, gimana?” gumamku dalam hati, tapi pertanyaan itu sepertinya nggak punya jawaban pasti, sebab aku bukan Bayu dan aku tidak punya kemampuan super membaca pikiran orang lain. Aku lantas menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi. Tapi t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Keputusan yang Tak Mudah

    “Lha memang kamu mau bilang ‘nggak’, Non?” Mitha bertanya heran menanggapi pernyataanku. Dia lalu menekankan lagi, “Serius?”“Yaa nggak tahu. Aku sendiri juga bingung, Mit. Itu sebabnya aku nelepon kamu,” kataku berterus terang. “Menurut kamu aku harus gimana?”“Tunggu-tunggu! Memangnya yang bikin kamu bingung apa?” Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Sejujurnya, aku merasa sudah berada di jalan buntu. “Aku benar-benar nggak tega, Mit, kalau harus menyeret Bayu ke permasalahanku. Apalagi urusan nikah nggak sebercanda itu, lho. Tapi di sisi lain, aku juga udah buntu harus gimana nanganin permasalahan ini.” Suaraku bergetar di akhir kalimat. Rasanya hampir menangis hanya karena meluapkan kebingungan yang selama ini terpendam. “Menurut kamu aku harus gimana, Mit?”Mitha terdiam sejenak. Aku bisa membayangkan di seberang sana, dia sedang memutar otak mencari jawaban yang tepat untukku. Suara berderak kecil terdengar dari ponselnya, mungkin dia

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Dipingit

    “Ya mana aku tahu! Coba kamu tanya Bayu sendiri.”Jawaban Mitha sungguh sangat tidak menjawab kebingunganku. Namun, dari curhat dengannya aku bisa menarik satu kesimpulan: memang tidak ada pilihan lain yang lebih baik untukku kecuali menikah dengan Bayu. Aku terdiam dengan posisi tetap membiarkan ponsel di telinga. Pandanganku menatap lurus, membayangkan Mitha seolah-olah duduk di hadapanku sekarang dan sedang menikmati secangkir teh dengan nyaman. Sementara aku memasang wajah murung dengan kepala penuh kekacauan. “Kamu yakin nggak ada jalan lain?” tanyaku, berharap Mitha mendadak berubah pikiran dan memberiku solusi lain. Kudengar Mitha yang menghela napas panjang di seberang. “Non, kalau aku jadi kamu, aku juga pasti milih Bayu. Dia udah jelas orangnya, kamu udah kenal sejak kecil. Dan yang paling penting, dia nggak akan lari kayak Anggara.” Kalimat itu menusukku tepat di ulu hati. M

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Membobol Kamar Bayu

    Aku mengeluarkan ponsel lagi dari saku dan melihat pesan di ponselku yang masih tetap belum dibaca. Bayu, apa sih yang sedang kamu lakukan? Kenapa lama sekali? Jantungku berdebar semakin kencang. Aku tahu ini bukan perkara main-main, tapi sepertinya Bayu tidak menyadari betapa pentingnya pembicaraan ini bagiku. Tidak bisa begini! Padahal kami harus segera bicara. Kupandangi layar ponsel untuk kesekian kalinya, berharap tanda centang dua abu-abu itu berubah biru. Namun, tidak ada perubahan. Aku menggigit bibir bawahku, bingung harus berbuat apa. Kalau aku terus menunggu, rasanya aku bisa gila. Tapi kalau aku memaksakan diri menemuinya lewat pintu depan, aku tahu aku melanggar aturan 'pingitan' dadakan yang dibuat Bude Sri dan keluarga besar tadi. “Aduh, Nen, apa sih yang kamu lakukan?” Aku memarahi diri sendiri pelan sambil mondar-mandir di dalam kamar. Bayangan keluarga besar di ruang tengah tadi masih melekat jelas di pikiranku. Wajah-wajah p

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Sesuatu yang Seharusnya Tidak Dilihat

    "Aaaaa—pppffmm—"Pekikan yang keluar dari mulutku terhenti seketika ketika tangan Bayu membekap mulut dan hidungku dengan kasar. Mataku membelalak, terkejut dan panik. Bibirku terasa tertekan, dan udara di dalam paru-paruku semakin menipis. Instingku untuk melawan segera muncul, namun tubuhku seakan terhenti begitu saja. Semua yang ada di pikiranku hanyalah bagaimana bisa keluar dari cengkeramannya yang tak terduga.Sambil berusaha melepaskan diri, bola mataku melotot, berusaha melihat wajah Bayu yang masih ada di depanku. Tidak! Bukan seperti ini yang aku inginkan! Ini bukan saat yang tepat untuk bertengkar atau berteriak, tapi—aaakh! Apa yang dia pikirkan? Dengan sedikit tenaga yang tersisa, aku menarik tangan Bayu yang menempel erat di wajahku, berharap bisa meraih kebebasanku. Rasanya dingin sekali saat telapak tanganku bertemu dengan kulit tubuhnya yang panas. Hal ini justru membuatku semakin bingung. Kenapa aku merasa canggung? Ken

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20

Bab terbaru

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Ada Undang di Balik Kotak Bekal

    Aku terdiam sejenak, masih mencerna kehadirannya yang tiba-tiba.“Eh, Ris... ini...” Aku menunjuk kotak bekal di mejaku. “Punya kamu?”"Iya. Aku bawain buat kamu," jawabnya ringan.Aku hampir tersedak udara. "Buat aku? Kok bisa?"Risma tertawa kecil. "Aku sering lihat kamu nggak pernah bawa bekal makan siang. Selalu beli di kantin, kan? Jadi aku pikir, nggak ada salahnya kalau aku bawain bekal. Lagian, aku masaknya banyak."Aku menatapnya dengan waspada. Ini aneh. Mantan istri suamiku tiba-tiba bawain aku bekal? Apa ini semacam misi terselubung? Mungkin Risma udah nonton terlalu banyak drama Korea dan sekarang mau berteman baik sama istri suaminya yang dulu?Atau... mungkin ini trik khas mantan yang masih punya agenda tersembunyi?Tapi kalau iya, kenapa harus dimulai dengan bekal? Apa dia berharap aku luluh dengan lauk ayam goreng dan sambal?"T-terima kasih ya..." Aku mencoba bersikap sopan. "Tapi nggak usah repot-repot gitu, Ris. Aku nggak enak.""Nggak apa-apa, aku senang kok." Ris

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Cuek Vs Si Kepo

    Malam itu, aku duduk di ruang tamu sambil melamun. Setelah berkunjung ke rumah Risma siang tadi, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku nggak bisa berhenti memikirkan suasana rumahnya yang terasa terlalu sepi.Di meja makan, Bayu sedang asyik mengetik sesuatu di laptopnya. Dari tadi dia nggak banyak bicara, hanya sesekali mendengus kesal saat mengetik. Entah apa yang dikerjakannya, tapi aku yakin itu bukan tugas kantor. Mungkin dia lagi ribut di forum jual beli telur asin atau debat online soal harga pakan bebek.Aku berdehem, mencoba menarik perhatiannya."Yu.""Hmm?" Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Aku menghela napas. "Kamu nggak merasa ada yang aneh tadi waktu kita di rumah Risma?"Bayu akhirnya mendongak sebentar. "Aneh kenapa? Karena kamu dibikinin siomai? Atau karena aku jadi tukang servis gratis?"Aku melotot. "Bukan itu, Bayu! Serius, deh!"Dia menutup laptopnya dan menyandarkan punggung ke kursi. "Terus, apanya yang aneh?""Rumahnya itu, loh. Sepi

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Jangan Ada 'Siomai' Di Antara Kita

    Sebenarnya aku sudah curiga sejak kami di jalan tadi.Begitu telepon dari Risma selesai, Bayu langsung menyuruh aku ikut. Tanpa basa-basi, dia nyalain motor dan melambaikan tangan ke arahku.“Cepetan, Nen. Risma bilang masalahnya urgent banget!”Aku tidak langsung naik. “Kamu tahu rumahnya?” tanyaku, memicingkan mata.“Dia shareloc,” jawabnya sambil menunjuk layar ponselnya yang terpampang di dashboard motor.“Oh,” kataku pendek. Tapi dalam hati aku nggak bisa berhenti mikir: kok dia kayak terlalu santai, ya? Seolah-olah ini hal biasa.Aku bahkan bisa melihat betapa tenangnya Bayu, seperti sudah pernah berkali-kali melakukan hal serupa. Sesuatu dalam diriku mulai merasakan ada yang janggal. Kenapa dia terlihat seperti tahu apa yang sedang terjadi? Atau lebih tepatnya, kenapa dia tidak terlihat khawatir sedikit pun?Dan sekarang, di depan pintu kamar Risma, aku merasa dugaan itu ada benarnya. Bayu sudah berdiri di depan pintu kamar yang sedikit terbuka, memegang senter dari ponselnya.

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kunjungan ke Rumah Mantan

    Pemandangan di depan rumah Risma sudah cukup bikin aku menelan ludah. Risma berdiri di sana dengan wajah yang… gimana ya? Kagok? Syok? Kayak dia nggak nyangka bakal lihat aku ikut nimbrung.Kerudung segiempat dengan kedua ujung tersampir di pundak menutup kepalanya, dan dia pakai piyama dengan gambar kelinci yang terlalu imut buat seorang perempuan dewasa. Aku menahan tawa melihatnya. Kayak bukan Risma yang biasa aku lihat di kantor. Atau mungkin ini sekadar triknya untuk terlihat imut? Bukankah kaum Adam suka dengan cewek-cewek kawaii macam di Anime?Aku, yang masih duduk di belakang Bayu di atas motor, memiringkan kepala. Kaget, Ris? Kirain cuma mau ngobrol sama Bayu aja?“Oh, Neni ikut juga?” tanya Risma dengan senyum kecil yang—menurutku—agak dipaksakan.“Ya dong, kami ke mana-mana bareng. Paket hemat,” jawabku dengan nada santai, meskipun dalam hati aku merasa agak puas.Risma tertawa kecil, tapi aku bisa melihat matanya sekilas melirik ke arah Bayu, seolah sedang menilai reaksin

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Perusak Suasana

    Setelah istirahat beberapa saat, Bayu memaksaku untuk naik sepeda tandem lagi. Meski sebenarnya enggan, aku akhirnya menyerah karena dia mulai merengek seperti anak kecil. Dia pun mulai mengayuh dengan semangat, sementara aku berusaha menjaga keseimbangan di belakang.“Yu, pelan-pelan!” teriakku ketika dia mulai melaju lebih cepat.“Ayo, Nen! Ini asyik banget!”Aku berteriak histeris setiap kali kami melewati tikungan, sementara Bayu tertawa seperti orang gila. Beberapa orang di taman memandang kami dengan tatapan aneh, tapi Bayu sepertinya tidak peduli.“Yu, pelan-pelaaan!" teriakku di sela deru angin yang menampar-nampar.“Tenang aja, Nen! Aku udah pro!" sahutnya sambil tertawa kencang yang terdengar menyebalkan di telingaku. Dia lalu menambahkan dengan suara lantang, "Kamu aman di belakangku. Aku nggak bakal ninggalin kamu kok!”Aku mendengus kesal. “Gombal banget. Udah, pelan dikit, Bayu! Aku serius!”Bayu akhirnya mengurangi kecepatan sedikit, tapi masih dengan ekspresi puas di w

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Cara Melupakan Beban

    Hari Sabtu. Harusnya ini jadi hari buat istirahat, tapi kenyataannya aku malah tergeletak di sofa ruang tamu seperti ikan asin dijemur. Energi rasanya terkuras habis, bukan cuma buat kerjaan di perpustakaan, tapi juga buat berhadapan sama Risma setiap hari.Mungkin aku harus menulis surat pengunduran diri sebagai manusia normal dan resmi jadi karpet saja.“Bangun, Nen.”Suara Bayu memaksaku membuka mata. Dia berdiri di depan sofa dengan kaus oblong dan celana pendek, membawa kantong plastik yang sepertinya penuh dengan camilan. Aku sempat berpikir kalau dia baru saja merampok minimarket.“Ngapain sih bawa-bawa plastik kayak mau dagang keliling?” tanyaku lemas.“Ini buat nyemil kalau kamu mau merenung di sini sepanjang hari,” jawabnya santai sambil menjatuhkan dirinya ke sofa sebelahku. “Tapi aku lebih suka kalau kamu bangun dan kita jalan-jalan.”Aku mendesah panjang, menutup wajah dengan bantal. “Nggak ah, aku capek. Lagian mau jalan ke mana?”Dia menepuk lututku dengan plastik camil

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Overthinking

    Sore itu, aku merasa harus meluruskan semuanya ke Bayu. Setelah kerja, aku langsung pulang dan menemukan dia sedang duduk santai di ruang tamu dengan kaus lusuh favoritnya. Aku berdiri di ambang pintu, mengamati pemandangan di depanku. Bayu tampak begitu santai, kakinya selonjor di atas meja kecil, satu tangan menopang kepala, sementara tangan satunya lagi mengetik di laptop dengan ekspresi serius. Aku diam sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya melangkah mendekat. “Yu,” panggilku, berdiri di depannya dengan tangan bersedekap. Bayu hanya menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke layar laptopnya. “Hmm?” Aku menatapnya tajam, tapi dia tetap tak terpengaruh. Aku berdehem, memastikan suaraku lebih tegas. “Risma tadi bilang kalau kita kelihatan kompak. Menurut kamu, itu artinya apa?” Bayu akhirnya mengalihkan perhatiannya dariku dan menatapku dengan ekspresi bingung. “Itu artinya, kamu terlalu overthinking.” Aku mengembuskan napas panjang, berusaha tetap tenang. “Bayu!” Ak

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kopi yang Terlalu Pahit

    Minggu pertama kerja di perpustakaan. Harusnya ini menyenangkan, ya? Dikelilingi rak-rak tinggi berisi buku, suasana hening yang menenangkan, dan aroma kertas yang khas. Tapi kenyataannya, sejak aku melihat wajah Risma pagi ini, rasanya perutku seperti diaduk-aduk.Bukannya apa-apa, dia terlihat terlalu... ramah. Ramah yang, hmm, gimana ya? Kayak lagi ngasih kode tanpa ngomong langsung.“Neni, kamu kelihatan serius banget.”Aku mendongak dari buku katalog yang sedang kubaca. Ternyata Risma sudah berdiri di sebelah meja, membawa dua cangkir kopi. Bibirnya melengkung dalam senyuman manis yang terlihat terlalu sempurna.“Aku bawain latte. Kamu suka, kan?”“Oh, iya. Makasih.” Aku mengambil cangkir itu dengan senyum yang sedikit dipaksakan.Risma duduk di kursi sebelahku, meletakkan kopinya dengan gerakan anggun sebelum menyandarkan tubuhnya di kursi. Tatapannya terfokus padaku, seolah ingin menginterogasiku dengan cara halus.“Jadi, gimana? Udah mulai betah?”Aku mengangguk sambil menyeru

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Menjadi Curigaan

    Ketika akhirnya jam pulang, Bayu menepati ucapannya dengan menungguku di luar. Aku melihatnya bersandar di motor, mengenakan jaket hitam favoritnya, sambil sesekali melihat ke layar ponselnya. Rasanya lega melihatnya di sana, tetapi sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, Risma yang sejak tadi terus menempel kepadaku tentu saja ikut menyadari kehadiran Bayu.“Bayu! Udah di sini aja?” katanya sambil melambai ceria, seolah-olah mereka sudah lama tidak bertemu dan sangat akrab.Bayu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Iya, tadi langsung ke sini pas Neni kirim WhatsApp. Gimana, Nen? Udah selesai?”Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya masih ada beberapa hal yang mengganjal pikiranku. “Udah. Kayaknya aku bisa lanjut sendiri sekarang.”Risma terkekeh kecil, melirikku sekilas sebelum kembali menatap Bayu. “Wah, Bayu. Kamu bisa tenang sekarang. Neni kan anak mandiri. Tapi jangan lupa mampir-mampir lagi ke sini, ya.”Nada suaranya santai, tetapi entah kenapa terdengar seperti pesan tersembunyi. Ak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status