Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!
"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu. "Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?" Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling terkenal dari negeri gajah putih. "Yu, ingat, ya. Kalau kamu sampai bergerak satu senti pun dari tempat ini ..." Aku menatap matanya lekat-lekat. "Lo-gue-end!" ancamku penuh penekanan sambil menggesekkan tangan kanan di leher dengan dramatis, menirukan gerakan seperti kang jagal yang menggorok korbannya. Glek! Bayu tampak susah payah menelan ludah. Meski berat, aku yakin dia tidak akan membiarkan ikatan di antara kami yang terjalin sejak orok putus begitu saja. Aku kembali memfokuskan pandangan ke depan. Obrolan absurd singkat dengan Bayu barusan rupanya bisa membuatku tanpa sadar sedikit rileks. Tidak bisa kubayangkan jika aku terus duduk tegang seperti tadi selama berjam-jam. Bisa-bisa saat bangkit nanti encok pinggangku! Maklum, tulang-belulang jompo! Sayangnya, di saat yang hampir bersamaan Bapak muncul tanpa pemberitahuan, seperti tukang parkir yang suka tiba-tiba nongol saat kita mau kembali ke jalanan. Punggungku langsung menegak dengan cepat. Sampai-sampai terdengar bunyi 'krek' diikuti ekspresiku yang meringis kesakitan. Astaga, semoga saja tidak ada sarafku yang kecetit! "Neni. Kamu tahu kalau kamu sudah bikin masalah besar?" Bapak yang sudah duduk di sofa berhadapan dengan kami bertanya dengan suara berat sambil memijit keningnya. "Siap, tahu, Pak!" "Calon suami yang kamu bawa itu ternyata bukan pria baik-baik dan malah bikin kacau rumah ini." "Siap, betul, Pak!" "Coba kalau kamu lebih selektif dan hati-hati ..." Bapak masih terlihat marah, lelah, dan kesal. Tangannya tak henti memijit. Jadi, aku kembali menjawab dengan suara lantang, "Siap, salah, Pak Mendadak gerakan tangan Bapak terhenti. Beliau lantas melirikku tajam. "Kamu ini dibilangin malah 'siap-siap ' terus! Memangnya militer?" "Siap—eh." Buru-buru aku merevisi ucapan. "Maaf, Pak. Kebawa suasana. Habisnya dari tadi duduk tegang rasanya kayak mau dikirim ke medan perang aja," terangku sambil menyengir. "Ppfft!" Bayu tampaknya tidak bisa menahan rasa geli mendengar alasan konyolku. Untung saja dia masih bisa menahan tawa sehingga tidak sampai menyembur di depan muka Bapak. Bapak hanya geleng-geleng kepala. Beliau kemudian menarik napas dalam. "Kita lagi nggak dalam posisi bercanda, Nen. Ini masalah serius." Nada bicaranya berubah, tidak lagi naik. "Iya, Neni tahu, Pak," sahutku yang langsung dapat sodokan di siku dan pelototan dari Bayu. "Sst! Dengerin dulu, Nek! Jangan nyahut mulu kayak kabel korslet!" tegurnya dengan volume rendah, tetapi aku masih bisa mendengar konsentrasi kekesalan yang pekat dalam suara Bayu. Wajah Bapak terlihat sangat frustrasi. "Lalu, gimana kalau ternyata dia kabur kayak gini? Pernikahannya batal? Aku mengangkat bahu tak acuh. "Ya mau gimana lagi." Bukannya senang mendengar jawabanku yang tidak lagi memakai kata "siap-siap", Bapak malah semakin memelototkan mata seperti singa jantan hendak menerkam mangsa. "Terus undangan, katering, segala macem yang udah disiapkan gimana?! Ya Allah Gusti, Neniii!" Usai melolong seperti itu sambil menepuk jidat, bahu Bapak merosot lemas. Begitu pula dengan tubuhnya yang langsung ambruk ke sandaran sofa. Aku sampai khawatir kalau Bapak pingsan juga seperti Ibu. Nanti siapa yang mau memindahkan ke kasur? Orang bapakku badannya sebelas-dua belas sama Mat Solar saat main di sitkom Bajaj Bajuri! "Pak, kan masih bisa dibatalin," ujarku lembut, berusaha meredakan amarahnya. "Nanti bisa minta uangnya dibalikin, kok. Meski kena biaya charge. Toh masih kurang seminggu lagi." Daripada nggak sama sekali! sambungku dalam hati. Andai saja aku tidak tertipu si Anggara curut itu, pasti dengan sukarela aku akan memberikan seluruh tabunganku untuk menambal kerugian materiil akibat kegagalan pernikahan ini. Apalah daya, saat ini pun saldo rekeningku dalam kondisi mengenaskan. "Bukan perkara duitnya aduh, Neeen!" Bapak berseru. Suaranya seperti hampir ingin menangis. "Mau ditaruh di mana muka Ibu dan Bapak?! Kamu itu udah hampir 30 tahun! Keluarga besar udah pada seneng akhirnya kamu mau nikah. Tapi kok ... aduh, aduh!" "Sabar, Pak. Sabar ...." Bayu berinisiatif bangkit dan beranjak merangkul Bapak, serta menepuk-nepuk bahu beliau yang tampak bergetar. Sementara aku hanya mematung di tempat, menyaksikan Bapak yang biasanya tegar dan kuat seperti arca Gajah Mada, kini terlihat begitu rapuh seperti bisa pecah kapan saja. "Mmm ... gini, mohon maaf sebelumnya kalau kesannya saya ikut campur. Tapi biar Pak Bambang dan Bu Ani nggak malu, terus vendor, katering, dan segala macamnya nggak rugi-rugi amat, gimana kalau diganti aja acaranya?" saran Bayu takut-takut. Mungkin khawatir kalau tiba-tiba Bapak kalap dan menelannya karena murka. "Acaranya diganti gimana maksud kamu?" tanya Bapak sambil melempar lirikan tajam. "Anu, yaaa ... mungkin ada saudara atau sepupunya Neni yang sudah punya calon dan mau nikah dalam waktu dekat." Bayu menoleh ke arahku saat menyampaikan ide itu, tetapi aku menggeleng karena di keluarga besar kami sama sekali tidak ada yang memenuhi kriteria itu. "Atau ganti acara sunat?" Bayu menyarankan lagi. Bapak langsung menegakkan badan. "Siapa yang mau disunat? Kamu?" Refleks Bayu menutupi bagian bawah perutnya dengan kedua tangan. "Eits, jangan dong, Pak! Wah ...." Dia lalu garuk-garuk kepala, bingung. Setelah beberapa saat, kami terdiam, berusaha mencari jalan keluar lewat pikiran masing-masing. Sebenarnya apa yang disarankan Bayu adalah ide yang bagus. Selain menyelamatkan wajah Bapak dan Ibu dari tamu undangan, tidak rugi dan mubazir juga uang yang sudah dikeluarkan untuk membiayai ini dan itu. Hanya saja yang jadi masalah, siapa objek yang mau ditumbalkan? Memikirkan jawaban dari pertanyaan itu seperti berlari-lari dalam labirin yang ujungnya buntu. Aku merasa lelah dan haus, apalagi Bayu tidak membelikan minum apa pun usai mengajak makan cilok tadi. Lantas tanganku bergerak meraih air gelasan yang selalu disediakan Ibu di meja tamu, tidak ketinggalan juga dengan sedotannya. Bunyi renyah ujung tajam sedotan yang menembus plastik tipis penutup gelas mengusik sejenak keheningan yang ada. Aku pun menyeruput air dengan nikmat, melupakan sejenak keruwetan yang membelit hidupku. "Yu." Tiba-tiba Bapak memanggil Bayu yang sudah kembali duduk di sebelahku dengan suara berat dan pandangan lekat. Jika sudah dalam mode seperti ini, aku bisa memastikan kalau Bapak sedang serius. "Ya, Pak?" Bayu masih bisa menjawab enteng tanpa beban. "Gimana kalau kamu?" "Ya? Apa? Tapi kan saya sudah su—" Bapak dengan cepat memotong, "Bukan! Maksud saya, gimana kalau kamu yang jadi mempelai prianya?" Buuurr!! Seketika air yang hendak kutelan menyembur keluar mengenai muka Bapak.“Yu! Bayu! Tunggu!”Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.“Bayu! Berhen–”Brukk!!Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yan
“Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”“Li
“Aduh, Neen! Kira-kira dong kalau ngelempar! Kamu pikir kepalaku ini garis pendaratan cakram apa?!” omel Bayu sambil menggosok-gosok keningnya yang kini memerah akibat kapur yang tadi melesat dengan kecepatan penuh.Aku nyengir, mencoba menutupi rasa bersalah yang lebih banyak jadi hiburan buatku. “Hehe, maaf. Nggak sengaja.”Bayu mendengus, ekspresi mukanya seperti aktor drama yang gagal memenangkan penghargaan. “Nggak sengaja? Tadi aku kena timpuk sendal, sekarang kapur. Besok-besok lagi apa? Kompor gas? Blender? Atau kulkas sekalian biar langsung KO?”Aku berusaha menahan tawa, tapi gagal total. “Kalau kamu nggak segera jawab, mungkin aja,” kataku santai sambil menyeringai. “Kamu sendiri yang bikin aku harus ambil tindakan ekstrem. Dipanggilin kayak patung.”“Maksud kamu aku ini patung Liberty apa patung Pancoran?” jawab Bayu dengan ekspresi sewot yang malah bikin aku makin pengen ngakak.“Patung Pancoran juga mending, Yu. Setidaknya d
Bayu adalah seorang duda. Dia menikah sekitar 4 tahun lalu dengan seorang wanita yang dikenalnya dari tempat kerjanya dulu. Namanya Risma. Sejak mengumumkan akan menikah, dengan sendirinya Bayu menjaga jarak denganku. Kebetulan aku pun saat itu sedang sibuk melanjutkan S2 di luar kota sehingga jarang sekali berada di rumah. Risma yang ada di ingatanku adalah sosoknya dalam balutan gaun pengantin berwarna putih yang indah. Dia terlihat sangat cantik dan anggun. Tampak serasi sekali berdiri di sebelah Bayu yang di hari pernikahannya juga terlihat gagah. Namun, siapa sangka rumah tangga mereka hanya bertahan tiga bulan? Kabar itu tentu langsung menggemparkan desa. Tidak jelas siapa yang meminta berpisah terlebih dahulu. Namun, dari pihak Risma yang kebetulan memiliki keluarga di desa sebelah menyebarkan desas-desus bahwa Bayu-lah bermasalah. Dia yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai suami—ehem, if you know what I mean. Namun, Bayu s
Semalaman aku memikirkan soal rencana pernikahanku dan Bayu. Namun, mau dicari bagaimanapun sepertinya aku tidak akan pernah menemukan titik temu penyelesaiannya. Seluruh keluarga besarku menganggap masalah aku-yang-hampir-gagal-nikah-karena-ditinggal-kabur sudah selesai. Dan Bayu, tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Dia justru seolah menerima pernikahan dadakan ini dengan tangan terbuka. Aku sampai punya pikiran, apa sebaiknya kuterima saja pernikahan ini tanpa banyak komentar, ya? Namun, aku tidak sampai hati jika hanya gara-gara menyelamatkan mukaku saja, aku lantas mengorbankan masa depan dan kebahagiaan orang lain. Apalagi jika itu adalah Bayu, sahabatku sendiri. “Gimana ya? Kalau Bayu nggak benar-benar mau, gimana?” gumamku dalam hati, tapi pertanyaan itu sepertinya nggak punya jawaban pasti, sebab aku bukan Bayu dan aku tidak punya kemampuan super membaca pikiran orang lain. Aku lantas menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi. Tapi t
“Lha memang kamu mau bilang ‘nggak’, Non?” Mitha bertanya heran menanggapi pernyataanku. Dia lalu menekankan lagi, “Serius?”“Yaa nggak tahu. Aku sendiri juga bingung, Mit. Itu sebabnya aku nelepon kamu,” kataku berterus terang. “Menurut kamu aku harus gimana?”“Tunggu-tunggu! Memangnya yang bikin kamu bingung apa?” Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Sejujurnya, aku merasa sudah berada di jalan buntu. “Aku benar-benar nggak tega, Mit, kalau harus menyeret Bayu ke permasalahanku. Apalagi urusan nikah nggak sebercanda itu, lho. Tapi di sisi lain, aku juga udah buntu harus gimana nanganin permasalahan ini.” Suaraku bergetar di akhir kalimat. Rasanya hampir menangis hanya karena meluapkan kebingungan yang selama ini terpendam. “Menurut kamu aku harus gimana, Mit?”Mitha terdiam sejenak. Aku bisa membayangkan di seberang sana, dia sedang memutar otak mencari jawaban yang tepat untukku. Suara berderak kecil terdengar dari ponselnya, mungkin dia
“Ya mana aku tahu! Coba kamu tanya Bayu sendiri.”Jawaban Mitha sungguh sangat tidak menjawab kebingunganku. Namun, dari curhat dengannya aku bisa menarik satu kesimpulan: memang tidak ada pilihan lain yang lebih baik untukku kecuali menikah dengan Bayu. Aku terdiam dengan posisi tetap membiarkan ponsel di telinga. Pandanganku menatap lurus, membayangkan Mitha seolah-olah duduk di hadapanku sekarang dan sedang menikmati secangkir teh dengan nyaman. Sementara aku memasang wajah murung dengan kepala penuh kekacauan. “Kamu yakin nggak ada jalan lain?” tanyaku, berharap Mitha mendadak berubah pikiran dan memberiku solusi lain. Kudengar Mitha yang menghela napas panjang di seberang. “Non, kalau aku jadi kamu, aku juga pasti milih Bayu. Dia udah jelas orangnya, kamu udah kenal sejak kecil. Dan yang paling penting, dia nggak akan lari kayak Anggara.” Kalimat itu menusukku tepat di ulu hati. M
Aku mengeluarkan ponsel lagi dari saku dan melihat pesan di ponselku yang masih tetap belum dibaca. Bayu, apa sih yang sedang kamu lakukan? Kenapa lama sekali? Jantungku berdebar semakin kencang. Aku tahu ini bukan perkara main-main, tapi sepertinya Bayu tidak menyadari betapa pentingnya pembicaraan ini bagiku. Tidak bisa begini! Padahal kami harus segera bicara. Kupandangi layar ponsel untuk kesekian kalinya, berharap tanda centang dua abu-abu itu berubah biru. Namun, tidak ada perubahan. Aku menggigit bibir bawahku, bingung harus berbuat apa. Kalau aku terus menunggu, rasanya aku bisa gila. Tapi kalau aku memaksakan diri menemuinya lewat pintu depan, aku tahu aku melanggar aturan 'pingitan' dadakan yang dibuat Bude Sri dan keluarga besar tadi. “Aduh, Nen, apa sih yang kamu lakukan?” Aku memarahi diri sendiri pelan sambil mondar-mandir di dalam kamar. Bayangan keluarga besar di ruang tengah tadi masih melekat jelas di pikiranku. Wajah-wajah p
Aku terdiam sejenak, masih mencerna kehadirannya yang tiba-tiba.“Eh, Ris... ini...” Aku menunjuk kotak bekal di mejaku. “Punya kamu?”"Iya. Aku bawain buat kamu," jawabnya ringan.Aku hampir tersedak udara. "Buat aku? Kok bisa?"Risma tertawa kecil. "Aku sering lihat kamu nggak pernah bawa bekal makan siang. Selalu beli di kantin, kan? Jadi aku pikir, nggak ada salahnya kalau aku bawain bekal. Lagian, aku masaknya banyak."Aku menatapnya dengan waspada. Ini aneh. Mantan istri suamiku tiba-tiba bawain aku bekal? Apa ini semacam misi terselubung? Mungkin Risma udah nonton terlalu banyak drama Korea dan sekarang mau berteman baik sama istri suaminya yang dulu?Atau... mungkin ini trik khas mantan yang masih punya agenda tersembunyi?Tapi kalau iya, kenapa harus dimulai dengan bekal? Apa dia berharap aku luluh dengan lauk ayam goreng dan sambal?"T-terima kasih ya..." Aku mencoba bersikap sopan. "Tapi nggak usah repot-repot gitu, Ris. Aku nggak enak.""Nggak apa-apa, aku senang kok." Ris
Malam itu, aku duduk di ruang tamu sambil melamun. Setelah berkunjung ke rumah Risma siang tadi, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku nggak bisa berhenti memikirkan suasana rumahnya yang terasa terlalu sepi.Di meja makan, Bayu sedang asyik mengetik sesuatu di laptopnya. Dari tadi dia nggak banyak bicara, hanya sesekali mendengus kesal saat mengetik. Entah apa yang dikerjakannya, tapi aku yakin itu bukan tugas kantor. Mungkin dia lagi ribut di forum jual beli telur asin atau debat online soal harga pakan bebek.Aku berdehem, mencoba menarik perhatiannya."Yu.""Hmm?" Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Aku menghela napas. "Kamu nggak merasa ada yang aneh tadi waktu kita di rumah Risma?"Bayu akhirnya mendongak sebentar. "Aneh kenapa? Karena kamu dibikinin siomai? Atau karena aku jadi tukang servis gratis?"Aku melotot. "Bukan itu, Bayu! Serius, deh!"Dia menutup laptopnya dan menyandarkan punggung ke kursi. "Terus, apanya yang aneh?""Rumahnya itu, loh. Sepi
Sebenarnya aku sudah curiga sejak kami di jalan tadi.Begitu telepon dari Risma selesai, Bayu langsung menyuruh aku ikut. Tanpa basa-basi, dia nyalain motor dan melambaikan tangan ke arahku.“Cepetan, Nen. Risma bilang masalahnya urgent banget!”Aku tidak langsung naik. “Kamu tahu rumahnya?” tanyaku, memicingkan mata.“Dia shareloc,” jawabnya sambil menunjuk layar ponselnya yang terpampang di dashboard motor.“Oh,” kataku pendek. Tapi dalam hati aku nggak bisa berhenti mikir: kok dia kayak terlalu santai, ya? Seolah-olah ini hal biasa.Aku bahkan bisa melihat betapa tenangnya Bayu, seperti sudah pernah berkali-kali melakukan hal serupa. Sesuatu dalam diriku mulai merasakan ada yang janggal. Kenapa dia terlihat seperti tahu apa yang sedang terjadi? Atau lebih tepatnya, kenapa dia tidak terlihat khawatir sedikit pun?Dan sekarang, di depan pintu kamar Risma, aku merasa dugaan itu ada benarnya. Bayu sudah berdiri di depan pintu kamar yang sedikit terbuka, memegang senter dari ponselnya.
Pemandangan di depan rumah Risma sudah cukup bikin aku menelan ludah. Risma berdiri di sana dengan wajah yang… gimana ya? Kagok? Syok? Kayak dia nggak nyangka bakal lihat aku ikut nimbrung.Kerudung segiempat dengan kedua ujung tersampir di pundak menutup kepalanya, dan dia pakai piyama dengan gambar kelinci yang terlalu imut buat seorang perempuan dewasa. Aku menahan tawa melihatnya. Kayak bukan Risma yang biasa aku lihat di kantor. Atau mungkin ini sekadar triknya untuk terlihat imut? Bukankah kaum Adam suka dengan cewek-cewek kawaii macam di Anime?Aku, yang masih duduk di belakang Bayu di atas motor, memiringkan kepala. Kaget, Ris? Kirain cuma mau ngobrol sama Bayu aja?“Oh, Neni ikut juga?” tanya Risma dengan senyum kecil yang—menurutku—agak dipaksakan.“Ya dong, kami ke mana-mana bareng. Paket hemat,” jawabku dengan nada santai, meskipun dalam hati aku merasa agak puas.Risma tertawa kecil, tapi aku bisa melihat matanya sekilas melirik ke arah Bayu, seolah sedang menilai reaksin
Setelah istirahat beberapa saat, Bayu memaksaku untuk naik sepeda tandem lagi. Meski sebenarnya enggan, aku akhirnya menyerah karena dia mulai merengek seperti anak kecil. Dia pun mulai mengayuh dengan semangat, sementara aku berusaha menjaga keseimbangan di belakang.“Yu, pelan-pelan!” teriakku ketika dia mulai melaju lebih cepat.“Ayo, Nen! Ini asyik banget!”Aku berteriak histeris setiap kali kami melewati tikungan, sementara Bayu tertawa seperti orang gila. Beberapa orang di taman memandang kami dengan tatapan aneh, tapi Bayu sepertinya tidak peduli.“Yu, pelan-pelaaan!" teriakku di sela deru angin yang menampar-nampar.“Tenang aja, Nen! Aku udah pro!" sahutnya sambil tertawa kencang yang terdengar menyebalkan di telingaku. Dia lalu menambahkan dengan suara lantang, "Kamu aman di belakangku. Aku nggak bakal ninggalin kamu kok!”Aku mendengus kesal. “Gombal banget. Udah, pelan dikit, Bayu! Aku serius!”Bayu akhirnya mengurangi kecepatan sedikit, tapi masih dengan ekspresi puas di w
Hari Sabtu. Harusnya ini jadi hari buat istirahat, tapi kenyataannya aku malah tergeletak di sofa ruang tamu seperti ikan asin dijemur. Energi rasanya terkuras habis, bukan cuma buat kerjaan di perpustakaan, tapi juga buat berhadapan sama Risma setiap hari.Mungkin aku harus menulis surat pengunduran diri sebagai manusia normal dan resmi jadi karpet saja.“Bangun, Nen.”Suara Bayu memaksaku membuka mata. Dia berdiri di depan sofa dengan kaus oblong dan celana pendek, membawa kantong plastik yang sepertinya penuh dengan camilan. Aku sempat berpikir kalau dia baru saja merampok minimarket.“Ngapain sih bawa-bawa plastik kayak mau dagang keliling?” tanyaku lemas.“Ini buat nyemil kalau kamu mau merenung di sini sepanjang hari,” jawabnya santai sambil menjatuhkan dirinya ke sofa sebelahku. “Tapi aku lebih suka kalau kamu bangun dan kita jalan-jalan.”Aku mendesah panjang, menutup wajah dengan bantal. “Nggak ah, aku capek. Lagian mau jalan ke mana?”Dia menepuk lututku dengan plastik camil
Sore itu, aku merasa harus meluruskan semuanya ke Bayu. Setelah kerja, aku langsung pulang dan menemukan dia sedang duduk santai di ruang tamu dengan kaus lusuh favoritnya. Aku berdiri di ambang pintu, mengamati pemandangan di depanku. Bayu tampak begitu santai, kakinya selonjor di atas meja kecil, satu tangan menopang kepala, sementara tangan satunya lagi mengetik di laptop dengan ekspresi serius. Aku diam sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya melangkah mendekat. “Yu,” panggilku, berdiri di depannya dengan tangan bersedekap. Bayu hanya menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke layar laptopnya. “Hmm?” Aku menatapnya tajam, tapi dia tetap tak terpengaruh. Aku berdehem, memastikan suaraku lebih tegas. “Risma tadi bilang kalau kita kelihatan kompak. Menurut kamu, itu artinya apa?” Bayu akhirnya mengalihkan perhatiannya dariku dan menatapku dengan ekspresi bingung. “Itu artinya, kamu terlalu overthinking.” Aku mengembuskan napas panjang, berusaha tetap tenang. “Bayu!” Ak
Minggu pertama kerja di perpustakaan. Harusnya ini menyenangkan, ya? Dikelilingi rak-rak tinggi berisi buku, suasana hening yang menenangkan, dan aroma kertas yang khas. Tapi kenyataannya, sejak aku melihat wajah Risma pagi ini, rasanya perutku seperti diaduk-aduk.Bukannya apa-apa, dia terlihat terlalu... ramah. Ramah yang, hmm, gimana ya? Kayak lagi ngasih kode tanpa ngomong langsung.“Neni, kamu kelihatan serius banget.”Aku mendongak dari buku katalog yang sedang kubaca. Ternyata Risma sudah berdiri di sebelah meja, membawa dua cangkir kopi. Bibirnya melengkung dalam senyuman manis yang terlihat terlalu sempurna.“Aku bawain latte. Kamu suka, kan?”“Oh, iya. Makasih.” Aku mengambil cangkir itu dengan senyum yang sedikit dipaksakan.Risma duduk di kursi sebelahku, meletakkan kopinya dengan gerakan anggun sebelum menyandarkan tubuhnya di kursi. Tatapannya terfokus padaku, seolah ingin menginterogasiku dengan cara halus.“Jadi, gimana? Udah mulai betah?”Aku mengangguk sambil menyeru
Ketika akhirnya jam pulang, Bayu menepati ucapannya dengan menungguku di luar. Aku melihatnya bersandar di motor, mengenakan jaket hitam favoritnya, sambil sesekali melihat ke layar ponselnya. Rasanya lega melihatnya di sana, tetapi sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, Risma yang sejak tadi terus menempel kepadaku tentu saja ikut menyadari kehadiran Bayu.“Bayu! Udah di sini aja?” katanya sambil melambai ceria, seolah-olah mereka sudah lama tidak bertemu dan sangat akrab.Bayu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Iya, tadi langsung ke sini pas Neni kirim WhatsApp. Gimana, Nen? Udah selesai?”Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya masih ada beberapa hal yang mengganjal pikiranku. “Udah. Kayaknya aku bisa lanjut sendiri sekarang.”Risma terkekeh kecil, melirikku sekilas sebelum kembali menatap Bayu. “Wah, Bayu. Kamu bisa tenang sekarang. Neni kan anak mandiri. Tapi jangan lupa mampir-mampir lagi ke sini, ya.”Nada suaranya santai, tetapi entah kenapa terdengar seperti pesan tersembunyi. Ak