Beranda / Romansa / Terjerat Cinta Duda Ting-Ting / Kaburnya Sang Calon Mempelai Pria

Share

Kaburnya Sang Calon Mempelai Pria

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-16 17:57:34

"Maaf, Mbak siapa, ya? Ribut-ribut di depan rumah saya," tanya wanita cantik itu sambil menatapku tajam dengan kedua tangan bersedekap, membuat dadanya kian tampak menonjol.

Bayu berusaha menurunkan tanganku, tetapi aku mati-matian menepisnya agar dia diam saja.

"Saya mau cari cowok yang namanya Anggara," jawabku tak gentar. Meski ada kemungkinan wanita di hadapanku ini adalah selingkuhan atau justru istrinya.

Alis wanita itu tampak menukik saat dia berpikir sejenak. "Anggara? Ooh ... Mas-mas sales selang gas yang dari Sumatera itu, ya?"

Ha? Sales selang gas? Perasaan Anggara bilang padaku kalau dia kerja di perusahaan minyak, deh!

Namun, aku mengabaikan rasa keterkejutanku itu dan kembali ke fokus utama sebelum Bayu mencuri-curi lihat dari sela jariku. "I-iya, Mbak. Mbak-nya tahu?"

"Tuh, kamarnya paling pojok! Tapi kayaknya udah pindah, deh. Kelihatan kosong sejak 3 hari yang lalu," terangnya membuatku terkejut.

Aku segera memutar tubuh, berniat mengecek dengan mata kepala sendiri kalau Anggara memang tidak sedang mengumpet di pojok kamarnya. Namun, belum juga kakiku melangkah, wanita tadi kembali bersuara, "Oh ya, Mbaknya ini ke sini ngapain cari Anggara? Mau nagih utang? Mending ikhlasin aja deh, Mbak. Orang dia juga nunggak bayar sewa 3 bulan di sini. Makanya terus kabur."

Seketika aku melongo. Bahkan aku tidak sadar jika tanganku dengan sendirinya melunglai, dan Bayu menatap wanita di hadapannya dengan bola mata yang hampir meloncat keluar.

***

"Hiks ... hiks ... hiks ..."

"Sudah, sudah, Nen. Jangan nangis terus-terusan gitu. Nggak enak dilihatnya."

Bayu menyodorkan tisu yang baru dimintakannya dari penjual cilok. Dia tidak langsung membawaku pulang usai berhasil menyeretku pergi dari kontrakan petak Anggara. Saking syoknya tadi, aku sampai tidak bisa bergerak dan menutup mulutku yang ternganga hingga nyaris dihinggapi lalat—begitu keterangan dari Bayu yang mengusir si lalat agar tidak berakhir menjadi makan siangku.

"Kamu cinta banget ya sama dia?" Bayu bertanya dengan suara hati-hati.

"Bukan gitu, Yu!" tukasku sambil menyusut ingus. Bunyi 'srot-srot' pada tisu yang diberi Bayu menjeda sejenak kalimatku.

"Kamu tahu sendiri minggu depan harusnya resepsi kami. Undangan beberapa udah disebar. Katering, terop, pelaminan, dan vendor-vendor lain juga sudah dibayar lunas. Terus kalau nikahannya nggak jadi, mau digimanain coba itu semua? Huaaaa!" Aku kembali menangis sejadi-jadinya. Tak peduli meski dijadikan tontonan orang yang lalu-lalang karena kami berada di pinggir jalan.

Bayu berusaha menenangkanku dengan mendaratkan tangan di kedua bahuku dan mengusapnya pelan. "Duh, udah, Nen, udah! Dari yang sama-sama pernah gagal nikah, bukannya lebih baik dibatalin aja sekarang? Paling nggak sebagian uangnya bisa balik, kan? Daripada nyesel pas udah telanjur kawin."

Sesungguhnya apa yang dikatakan Bayu memang benar, tapi ...

"M-masalahnya nggak cuma itu aja, Yu," ucapku sambil terisak.

Sebelah alis Bayu terangkat. "Terus? Jangan bilang kalau kamu udah di-DP duluan." Lantas ia melirik ke arah perutku.

Sekonyong-konyong aku menimpuk keras kepala Bayu dengan tas tangan berisi dompet dan ponsel.

"Lihat ke mana tuh mata! Udah dibilangin jangan ngomong sembarangan!" omelku kesal. "Aku tuh masih perawan ting-ting, tahu!"

Mulut Bayu membulat dan ia menggumamkan "oh ..." panjang, seolah kesaksianku barusan tidak ada artinya.

"Terus yang jadi masalah apa?"

"Itu ..." Aku memilin-milin ujung kerudung segiempatku sambil menunduk. Rasanya berat mengakui fakta ini yang kusembunyikan dari semua orang di hadapan Bayu.

"Aku minjemin dia duit 20 juta dan sekarang dibawa kabur!"

Mata Bayu terbelalak. "Apa?! Astaga, Neneeek!"

Bayu memijit kening di antara kedua pangkal alisnya. Aku jamin, saat ini dia sama pusingnya denganku yang dihadapkan dengan kaburnya Anggara.

"Kok bisa-bisanya kamu ketipu laki modelan begitu?!" cecarnya kemudian.

"Habisnya ... kamu nggak pernah tahu sih, rasanya didesak segera nikah sama orang sekampung!"

Tahun ini usiaku akan genap 30 tahun. Kata orang-orang kalau aku tak segera menikah, aku akan menjadi perawan tua. Dikata-katai seperti itu setiap saat dan hampir oleh setiap orang yang dikenal, lama-lama sudah seperti kutukan. Untung saja aku tidak sampai jadi gila karenanya.

Ralat, mungkin aku sudah gila karena tertipu mentah-mentah oleh pria yang baru saja kukenal dari situs perjodohan online. Bahkan sampai uangku puluhan juta dibawa kabur olehnya!

Kerut-kerut di dahi Bayu tampak semakin dalam. Sepertinya dia benar-benar memikirkan alasanku.

"Sebenarnya aku nggak pernah tahu, sih. Tapi ... emang iya orang sekampung desak kamu buat segera nikah? Perasaan aku nggak ada bilang apa-apa, tuh! Kan kita se-RT malah!"

Aku langsung menjambak rambut Bayu dengan kedua tangan dan meremas-remas kepalanya sambil berteriak kesal, "YUYUUUUU!!"

***

Usai menandaskan seporsi cilok dengan kunyahan ganas, aku dan Bayu kembali ke rumah. Meski sejujurnya aku takut menghadapi Bapak dan seluruh keluarga besarku, tetapi aku lebih takut jadi gelandangan dan dicoret dari KK karena tidak pulang.

Yah, walaupun tidak ada jaminan juga kalau setelah tahu aku ditipu pria Bapak tidak akan mencoretku dari KK!

"Yu, aku takut! Temenin aku masuk, ya," pintaku pada Bayu seraya menahan tangannya.

Motor yang kami naiki baru saja berhenti di depan pagar. Aku menatap rumah yang aku tinggali selama hampir 30 tahun dengan sorot ngeri, seolah bangunan itu adalah wahana rumah hantu yang berkamuflase menjadi tempat tinggal.

Bayu tampak keberatan. "Lha ngapain aku ikutan masuk?"

"Ayolah, please ... bantuin aku ngomong. Ya? Ya?" rengekku semelas mungkin. Akhirnya mau tak mau Bayu luluh. Barangkali dia sebenarnya juga merasa tidak tega kalau kawan senasib seperjuangannya sedari kecil dibantai habis-habisan di dalam nanti.

Sambil tetap bergandengan tangan, aku dan Bayu bersama-sama masuk ke rumah. Seperti yang kuduga. Bahkan baru saja kami mengucap salam dan melangkah satu jengkal ke ruang tamu, pemandangan Bapak, Ibu, dan seluruh bude-pakde, bulik-paklik, serta sepupu dan keponakan, menyambut di ruang tamu dengan campuran ekspresi menuntut, penasaran, dan juga berharap.

"Jadi?" Bapak yang biasanya kocak langsung bertanya to the point. Kedua alis tebalnya yang bak ulat bulu bahkan nyaris menyatu di tengah ujung pangkal hidung.

Aku merasakan keringat dingin tiba-tiba mengalir di telapak tangan. Belum juga kami dipersilakan duduk dan masih berdiri di ambang pintu, tetapi rasanya seperti pelaku kejahatan yang tertangkap basah dan diadili ramai-ramai.

Bayu menekan telapak tanganku lembut dengan ujung jari-jarinya, berusaha membuatku sedikit rileks. Namun, bagaimana mungkin aku tidak tegang di tengah kondisi yang menentukan hidup dan mati?

Aku menarik napas dalam-dalam. Sayangnya, itu belum cukup untuk mengumpulkan keberanian. Kutatap lantai di bawah kakiku saat menjawab lirih, "Anggara ... Anggara nggak ada di rumahnya. Dia kabur."

"APA?!"

Brukk!!

Tepat di ujung kalimatku dan teriakan Bapak, lagi-lagi Ibu jatuh pingsan.

Bab terkait

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Mengatasi Masalah dengan Masalah

    Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu."Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?"Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Protes Keras

    “Yu! Bayu! Tunggu!”Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.“Bayu! Berhen–”Brukk!!Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Siapa yang Salah, Siapa yang Tanggung Jawab?

    “Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”“Li

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Tiba-tiba Putus

    [Nen, maaf sebelumnya. Tapi kayaknya hubungan kita nggak bisa dilanjut lagi. Aku bener-bener menyesal dan mohon maaf sebesar-besarnya. Kamu wanita yang baik. Kamu pasti bisa dapat pendamping yang lebih baik dari aku. Sekali lagi maaf, kita putus. Salam —Anggara]"APA?! PUTUS???!"Gara-gara terlalu fokus dengan ponsel, tanpa sadar aku menjerit. Lupa kalau di sekelilingku ada bude, bulik, dan kerabat lain yang sedang duduk melingkar sambil memasukkan bungkusan kacang telur ke dalam stoples."Ada apa tho, Nduk? Kok teriak-teriak begitu?" tanya Bude Sri, saudara tertua Ibu."Iya, nih! Untung Bulik nggak njingkat terus toplesnya kelempar. Nanti morat-marit semua!" Sekarang ganti Bulik Narni yang berkomentar. Bungkusan kacang telur dan stoples-stoples itu rencananya akan dibagikan sebagai suvenir di resepsi pernikahanku nanti."Memang siapa yang putus, Mbak? Kok sampai histeris begitu?" Dina, anak Bulik Narni yang tertua menatapku penasaran. Begitu pun dengan orang-orang lain di sekitar, te

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Memburu Calon Suami

    "SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"Jantungku seolah melorot ke perut. Dengan gerakan patah-patah bak robot dan ekspresi ngeri bukan main, aku memutar kepala. Di sana, di depan pintu kamar, sudah berdesakan Bapak, Ibu, para Bude dan Bulik, entah sejak kapan. Apa jangan-jangan mereka dengar semua curhatanku ke Bayu?"Itu ...""Bicara yang jelas, Naini Ritta!"Mataku refleks terpejam erat mendengar suara menggelegar Bapak. Apalagi beliau memanggil dengan nama lengkap, sudah pasti aku tidak bisa memakai alasan konyol untuk berkelit.Kupandangi wajah yang menanti jawabanku satu per satu. Mereka seperti peserta acara reality show Super Deal 2 Miliar yang sedang harap-harap cemas menantikan apa yang ada di balik tirai—akankah aku membawa pulang hadiah atau tidak. Sayangnya, aku yang menjadi peserta terpilih justru sudah mendapat spill kalau tirai yang kupilih ternyata isinya zonk.Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Pandanganku terakhir berhenti di sosok Ibu yang paling terli

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16

Bab terbaru

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Siapa yang Salah, Siapa yang Tanggung Jawab?

    “Astagaaa!!” Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak-acaknya gemas. Reka ulang kejadian di ruang tamu tadi membuat rasa frustrasiku seketika mencapai ubun-ubun.“Lhoo … Nen, Nen, tenang! Ada apa, tho?” Pakde Jamil, suami Bude Sri lekas mengulurkan tangan untuk menenangkanku, tetapi Bapak yang duduk paling dekat denganku sudah lebih dulu menahan kedua tanganku agar tidak semakin beringas.Kusapukan pandangan ke wajah orang-orang yang kini menatapku, termasuk Bapak. Padahal aku bukan anak kecil berumur 5 tahun, tetapi entah kenapa di saat seperti ini aku merasa mereka memandangiku seperti tengah berhadapan dengan bocah kecil yang tantrum.“Sssh … Nen, jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ibumu pingsan lagi,” tegur Bapak dengan suara rendah. “Kamu ini kenapa? Ada apa? Kan tadi Bayu sendiri yang bilang setuju mau menikahi kamu,” cecar Bapak kemudian.Lekas aku menggeleng menepis semua ucapannya. “Nggak, Pak. Dia itu cuma bingung. Linglung. Bapak kayak nggak tahu Bayu aja!”“Li

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Protes Keras

    “Yu! Bayu! Tunggu!”Aku berusaha sekuat tenaga menyusul langkah Bayu yang lebar dan cepat. Dengan tinggi badan mencapai 185 sentimeter sedangkan aku 155 saja hasil dari pembulatan agar tidak susah ditulis, maka tak heran jika aku seperti marmut yang susah payah berlari mengejar jerapah yang kabur. Padahal jarak kami tidak sampai 10 meter, tetapi Bayu seolah menulikan telinga, tidak mau mengacuhkan panggilanku.Dengan tergopoh aku turun dari teras dan memakai sandal milik siapa pun yang berada paling dekat di bawah kakiku. Aku bahkan tidak melihat apakah pasangan dan kanan-kirinya benar atau tidak.“Bayu! Berhen–”Brukk!!Gara-gara terlalu buru-buru dan tidak memperhatikan, aku malah terbelit kaki sendiri. Alhasil, aku jatuh terjerembab alias nyungsep di halaman. Namun, sudah sampai seperti itu tetap saja Bayu tidak mau berhenti dan terus berjalan menuju motornya yang tadi diparkir di luar pagar.Keterlaluan! Bener-bener, ya! Aku mendengkus kesal. Teramat kesal. Rasanya seperti ada yan

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Mengatasi Masalah dengan Masalah

    Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu."Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?"Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kaburnya Sang Calon Mempelai Pria

    "Maaf, Mbak siapa, ya? Ribut-ribut di depan rumah saya," tanya wanita cantik itu sambil menatapku tajam dengan kedua tangan bersedekap, membuat dadanya kian tampak menonjol.Bayu berusaha menurunkan tanganku, tetapi aku mati-matian menepisnya agar dia diam saja."Saya mau cari cowok yang namanya Anggara," jawabku tak gentar. Meski ada kemungkinan wanita di hadapanku ini adalah selingkuhan atau justru istrinya.Alis wanita itu tampak menukik saat dia berpikir sejenak. "Anggara? Ooh ... Mas-mas sales selang gas yang dari Sumatera itu, ya?"Ha? Sales selang gas? Perasaan Anggara bilang padaku kalau dia kerja di perusahaan minyak, deh!Namun, aku mengabaikan rasa keterkejutanku itu dan kembali ke fokus utama sebelum Bayu mencuri-curi lihat dari sela jariku. "I-iya, Mbak. Mbak-nya tahu?""Tuh, kamarnya paling pojok! Tapi kayaknya udah pindah, deh. Kelihatan kosong sejak 3 hari yang lalu," terangnya membuatku terkejut.Aku segera memutar tubuh, berniat mengecek dengan mata kepala sendiri ka

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Memburu Calon Suami

    "SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"Jantungku seolah melorot ke perut. Dengan gerakan patah-patah bak robot dan ekspresi ngeri bukan main, aku memutar kepala. Di sana, di depan pintu kamar, sudah berdesakan Bapak, Ibu, para Bude dan Bulik, entah sejak kapan. Apa jangan-jangan mereka dengar semua curhatanku ke Bayu?"Itu ...""Bicara yang jelas, Naini Ritta!"Mataku refleks terpejam erat mendengar suara menggelegar Bapak. Apalagi beliau memanggil dengan nama lengkap, sudah pasti aku tidak bisa memakai alasan konyol untuk berkelit.Kupandangi wajah yang menanti jawabanku satu per satu. Mereka seperti peserta acara reality show Super Deal 2 Miliar yang sedang harap-harap cemas menantikan apa yang ada di balik tirai—akankah aku membawa pulang hadiah atau tidak. Sayangnya, aku yang menjadi peserta terpilih justru sudah mendapat spill kalau tirai yang kupilih ternyata isinya zonk.Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Pandanganku terakhir berhenti di sosok Ibu yang paling terli

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Tiba-tiba Putus

    [Nen, maaf sebelumnya. Tapi kayaknya hubungan kita nggak bisa dilanjut lagi. Aku bener-bener menyesal dan mohon maaf sebesar-besarnya. Kamu wanita yang baik. Kamu pasti bisa dapat pendamping yang lebih baik dari aku. Sekali lagi maaf, kita putus. Salam —Anggara]"APA?! PUTUS???!"Gara-gara terlalu fokus dengan ponsel, tanpa sadar aku menjerit. Lupa kalau di sekelilingku ada bude, bulik, dan kerabat lain yang sedang duduk melingkar sambil memasukkan bungkusan kacang telur ke dalam stoples."Ada apa tho, Nduk? Kok teriak-teriak begitu?" tanya Bude Sri, saudara tertua Ibu."Iya, nih! Untung Bulik nggak njingkat terus toplesnya kelempar. Nanti morat-marit semua!" Sekarang ganti Bulik Narni yang berkomentar. Bungkusan kacang telur dan stoples-stoples itu rencananya akan dibagikan sebagai suvenir di resepsi pernikahanku nanti."Memang siapa yang putus, Mbak? Kok sampai histeris begitu?" Dina, anak Bulik Narni yang tertua menatapku penasaran. Begitu pun dengan orang-orang lain di sekitar, te

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status