Waktu telah berjalan seminggu sejak Mark dan Dania memulai bulan madu mereka, namun bagi Dania, perasaan campur aduk yang ia alami belum juga mereda.Setiap harinya, Dania merasa seperti berada di ambang sesuatu yang besar namun tak terlihat, sebuah ketidakpastian yang mengendap-endap di hatinya.Pagi itu, seperti biasa, ia duduk di bangku panjang yang menghadap langsung ke pantai, menikmati hembusan angin laut yang sejuk dan menenangkan.Suara deburan ombak yang tak henti-henti menghantam pantai memberikan irama konstan yang tak pernah berubah, kontras dengan pikirannya yang terus berputar.Matanya menerawang, sementara jemarinya menggenggam erat sandaran kursi di sebelahnya.Mark, di sisi lain, sibuk di dekatnya, berdiri sambil berbicara di telepon dengan Vicky, asistennya, tentang urusan kantor yang tak bisa ditunda. Meskipun mereka sedang dalam bulan madu, Mark masih terhubung erat dengan dunia bisnisnya.“Ya, aku tahu. Mereka sedang menungguku pulang. Tapi, jangan beri aku waktu
Hari terakhir di villa yang tenang dan penuh kenangan.Mark menghampiri Dania yang sedang duduk di gazebo sembari menikmati cokelat panas miliknya.“Aku baru saja menyewa dua sepeda. Ayo, bersepeda di sana,” ajak Mark kepada sang istri.“Bersepeda? Woah! Sudah lama juga aku tidak bersepeda. Ayo!” ucap Dania penuh antusias.Mark mengulas senyum dan menggenggam tangan Dania menuju pesisir di mana dia menaruh dua buah sepeda tersebut di sana.Sinar matahari yang hangat terasa menyentuh kulit, membuat setiap detik terasa begitu sempurna. Roda sepeda mereka berderak lembut di atas pasir yang masih basah oleh deburan ombak.Dania tersenyum lebar, merasakan angin laut yang menerpa rambutnya. Ada kebahagiaan sederhana yang terpancar dari setiap langkah kaki dan putaran roda sepeda. "Ini menyenangkan sekali," gumamnya dalam hati, perasaan ringan dan bebas seperti ketika masih anak-anak.Namun, sejenak kemudian, kebahagiaan itu tiba-tiba diselimuti perasaan aneh. Deja vu. Semua ini—bersepeda di
Kata-kata itu membuat Dania terdiam. Ia menatap Mark dengan hati yang berdebar-debar, merasakan kehangatan yang memancar dari pria yang berdiri di hadapannya. Kata-kata itu sederhana, namun penuh makna.Ada sesuatu dalam tatapan Mark yang membuatnya percaya—untuk pertama kalinya, mungkin, ia merasa bahwa Mark benar-benar tulus."Aku tidak menikahimu hanya untuk melupakan seseorang," lanjut Mark dengan nada yang lebih lembut. "Aku menikahimu karena aku ingin bersamamu. Bukan karena masa lalu, tapi karena masa depan yang kita miliki bersama."Dania menatap Mark yang kini menatap ke laut seraya meneguk air mineralnya. Pun dengan Dania. Akhirnya menoleh ke arah depan.“Kau pasti paham kenapa aku berpikir seperti itu, Mark,” kata Dania pelan.Mark mengangguk. “Ya. Aku paham,” ucapnya dengan pelan.Dania menoleh kemudian menghela napasnya dengan panjang. Sebenarnya ia ingin bertanya lagi, apakah Mark telah menaruh hati untuknya. Namun, ia tahan karena terlalu dini menanyakan hal tersebut.“
Mark merasakan amarah yang bergejolak di dalam dadanya. Wajahnya memerah, dan matanya berkilat tajam, memancarkan kemarahan yang selama ini ia pendam. Suara Alex, penuh dengan keyakinan dan otoritas, menggema di dalam ruangan. Namun kali ini, Mark tidak bisa lagi menahan dirinya."Apa yang kau katakan tadi semuanya salah!" suara Mark rendah namun menggigil penuh emosi. Ia menatap tajam ke arah ayahnya, seolah-olah menantang Alex untuk mengulanginya.Alex mengangkat alisnya, tetap tenang di tengah kemarahan putranya. "Apa yang aku katakan itu benar, Mark. Bahwa wanita itu bukan orang baik. Dia bukan untukmu, Mark. Kau buta oleh perasaannya. Kau tidak bisa melihat kenyataan."Sesyl yang berada di sudut ruangan tampak cemas, matanya berkali-kali bergeser dari Mark ke Alex, merasa ketegangan yang begitu kuat di antara keduanya. Ia tahu bahwa percakapan ini akan menjadi semakin buruk, dan ia merasa tak berdaya untuk menghentikannya.‘Kenapa Ayah berpikir seperti itu tentang Dania? Seperti
Sesyl melangkah keluar dari gedung perusahaan kakaknya dengan langkah cepat. Hembusan angin kota yang hangat menyambutnya ketika ia tiba di lobi, namun pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan berat yang baru saja terjadi di lantai atas.Tanpa berpikir panjang, ia meraih ponsel dari tasnya dan mulai mencari nama yang familiar dalam daftar kontak."Dania," gumamnya pelan sambil menekan tombol panggil.Beberapa detik kemudian, suara lembut dan akrab dari Dania terdengar di ujung sana. "Ya, Sesyl? Ada apa?" tanya Dania, suaranya terdengar heran mendapati panggilan tak terduga dari adik iparnya itu.Sesyl menarik napas panjang sebelum menjawab, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski pikirannya penuh dengan hal-hal yang ingin ia bicarakan."Dania, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Kau bisa menemuiku di Jizzi Café?" tanyanya, suaranya terdengar tegas namun tetap hangat."Huh? Kau ... ada di sini?" Dania terdengar terkejut. "Aku pikir kau masih di luar negeri, Sesyl."Sesyl
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat Mark melangkah masuk ke rumah dengan langkah berat. Pikirannya dipenuhi oleh tumpukan masalah yang ia hadapi sepanjang hari, seakan seluruh dunia sedang berada di atas pundaknya.Setiap langkahnya terasa lambat, menggambarkan beban mental yang tak tampak namun begitu nyata. Ketika pintu tertutup di belakangnya, ia menghela napas panjang, berharap suasana tenang di rumah akan memberi sedikit kelegaan.Namun, segala ketegangan itu luruh begitu saja ketika matanya menangkap sosok Dania yang berdiri di ruang tamu.Dengan senyum manis yang khas, Dania menyambutnya, mengenakan piyama satin hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambut panjangnya tergerai di bahu, menambah kesan sensual yang langsung mempengaruhi Mark. Sejenak, semua masalahnya terlupakan.“Hi, Mark. Kau baru pulang,” kata Dania lembut, menyambut kedatangan suaminya.Mark menatapnya dengan mata yang penuh hasrat, meski suaranya masih serak dan lelah. "Dania ...," bisikn
"Kenapa diam, Mark?" Dania akhirnya memecah kesunyian dengan suara lembutnya, penuh kehangatan namun sarat tanda tanya. Ia mendekat, matanya mencoba menangkap sedikit kebenaran yang mungkin tersembunyi di balik sorot mata Mark.Mark menggeleng pelan, namun sorot matanya tetap tajam, mengiris keheningan itu dengan ketegasan yang tak terucapkan. "Tidak ada rahasia yang kusembunyikan dari mereka, Dania," jawabnya akhirnya, suaranya tetap tenang, meskipun ada sesuatu yang terasa getir di ujung kalimatnya.Sejenak, keheningan kembali merayap di antara mereka. Mark menatap ke arah jendela, seolah mencari pelarian dari dunia yang tak pernah bisa ia pahami sepenuhnya. Ia menghela napas panjang, suara napasnya begitu berat, seakan ia mengusir segala kepedihan yang tertahan di dalam dadanya."Aku hanya muak dengan sikap egois mereka," ucap Mark dengan nada yang kini lebih tegas, ada kemarahan yang perlahan merayap keluar dari dalam dirinya. "Mereka seperti bukan keluargak
Kevin duduk di sudut ruang tamu yang sunyi, lampu-lampu yang redup menyapu ruang itu dengan cahaya lembut. Ia memandangi langit-langit, melamun, seolah mencari jawaban di antara guratan-guratan cat yang tampak menari-nari di atas sana.Pikiran-pikiran yang tidak diinginkan menyelip masuk ke dalam kesadarannya, memaksa dirinya untuk bergumul dengan rasa yang menyesakkan—rasa yang jauh melebihi sekadar keraguan yang mengganggu.Pernikahan Kevin dengan Marsha semakin dekat, namun hatinya seperti terbelah dua antara dua dunia yang berbeda.Sejak hampir sebulan yang lalu, setelah Dania menikah dengan Mark Evander—salah satu konglomerat paling terkemuka di negeri ini—Kevin merasa seperti terjebak dalam sebuah labirin emosional yang tak berujung.Setiap hari, saat matahari terbenam dan langit menjadi gelap, Kevin menemukan dirinya terjebak dalam pikiran tentang Dania.Dia merasa seolah ada bagian dari dirinya yang terpecah—dalam satu sisi adalah Marsha, wanita yang diharapkan bisa memberinya