Irma mendengus, nada suaranya penuh ketidakpercayaan dan sinis. "Tentu saja Dania bisa mendapatkan Mark Evander. Pasti dia sudah menyerahkan tubuhnya lebih dulu pada Mark. Pria sebesar itu tidak akan tertarik kalau tidak ada yang spesial dari Dania," katanya, sembari memandang Kevin dengan tatapan yang tajam, seolah ucapan itu sudah menjadi kebenaran yang tak terbantahkan.Kevin tertegun. Kata-kata itu seperti tombak yang menancap di hatinya. Ia menatap ibunya, matanya dipenuhi rasa tidak percaya.Benarkah ini yang ada di benak ibunya selama ini? Bagaimana bisa wanita yang melahirkannya menaruh prasangka seburuk itu pada seseorang yang dulu pernah sangat dekat dengannya?Kevin ingin membantah, ingin menolak tuduhan tak berdasar itu, namun bibirnya terkunci. Diam adalah pilihan yang diambilnya, meskipun hatinya bergejolak.Dalam batinnya, Kevin tahu bahwa ibunya salah besar. “Tidak, Bu," bisik Kevin dalam pikirannya. "Dania bahkan tidak pernah membiarkanku menyentuhnya, sekalipun ketik
Sementara di kediaman Dania.Wanita itu sedang merapikan ruang kerja Mark, menyapu debu yang menempel di rak-rak buku dan meja kerjanya.“Ruangan seseorang memang mencerminkan siapa pemiliknya. Dan ruangan ini … sangat Mark sekali,” gumam Dania sembari terus membersihkan ruang kerja suaminya itu.Semua terlihat begitu rapi, sampai pandangannya tertuju pada sebuah laci yang sedikit terbuka. Dengan rasa penasaran yang tak tertahankan, Dania membuka laci tersebut lebih lebar.“Apa ini? Kenapa Mark menyimpan benda seperti ini di sini?”Matanya terhenti pada sebuah bingkai lusuh, catnya sudah mulai mengelupas di sudut-sudutnya, tapi yang paling mengejutkan adalah bahwa bingkai itu kosong—tidak ada foto di dalamnya."Kenapa ada bingkai foto tanpa foto di sini?" gumam Dania, mengernyitkan dahi. Di samping bingkai itu, ia menemukan sebuah gantungan kunci yang sudah sangat kuno.Keduanya berwarna putih, ses
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Dania sedang sibuk merapikan rambutnya di depan cermin setelah membersihkan diri di kamar mandi. Tak berselang lama, Mark menghampirinya dengan langkah ringan.Tanpa basa-basi, Mark duduk di tepi ranjang dan menatap Dania yang terlihat masih sedikit kesal. “Dania?” panggil Mark."Kau masih marah padaku?" tanya Mark dengan nada lembut, berusaha membaca ekspresi wajah istrinya. "Kau cemburu pada masa laluku?"Dania berhenti sejenak, menatap bayangan dirinya di cermin, kemudian memutar matanya dengan santai. "Siapa juga yang cemburu?" jawabnya cepat. "Biasa saja. Lagipula, wanita itu sudah menikah, kan?"Mark mengangguk pelan, seolah-olah mempercayai kata-kata Dania. “Baiklah,” gumamnya sambil tersenyum kecil, meski ia tahu, jauh di dalam hati Dania, perasaan cemburu itu tetap ada. Namun, ia memilih untuk tidak memperpanjang masalah ini.“Jika memang tidak marah apalagi cemburu, seharusnya kau bersikap seperti biasa, Dania.”Dania menghela napas kas
‘Jadi, Mark tahu … kalau aku menguping pembicaraannya?’ Dania memejamkan matanya. Wajahnya sedikit memerah setelah ketahuan menguping percakapan telepon Mark.‘Aku malu sekali. Kenapa aku bodoh sekali, kalau Mark menyadari aku menguping pembicaraannya?’ Dania tampak frustasi karena harus menahan malu di depan suaminya itu.Mark menatap Dania yang masih menundukkan kepalanya karena malu. Melihat tingkah laku istrinya yang lucu itu, Mark hanya terkekeh pelan. Ia mendekati Dania, mengusap lembut kepalanya sebelum beranjak menuju pintu."Aku harus ke kantor," katanya, suaranya penuh kehangatan. "Jangan banyak gerak dulu. Lututmu masih lebam.”Dania hanya mengangguk pelan tanpa berani menatap mata Mark. Perasaannya campur aduk, antara malu dan bingung.Setelah Mark pergi, Dania masih tetap duduk di sofa, hatinya dipenuhi perasaan yang tak biasa. Ada sesuatu yang menjalar di hatinya, tapi ia tak bisa sepenuhnya mengerti."Apakah aku mulai mencintainya?" gumamnya pelan, memeluk lututnya yang
“Tangkap wanita itu!”Perintah seseorang yang menggema di seluruh lorong hotel, membuat para petugas keamanan segera bergerak ke arah Dania. Tanpa ragu, Dania melesat lari, meninggalkan orang-orang yang mengejarnya di belakang. Dia sudah menduga ini akan terjadi, tapi kali ini, ada satu kesalahan fatal yang ia buat.Dania datang ke acara pertunangan mantan kekasihnya, Kevin dengan sahabatnya, Marsha. Mereka berdua berselingkuh di belakang Dania. Selama ini, Kevin berpacaran dengan Dania hanya karena Dania cerdas dan bisa membuat para klien Kevin kagum dengan kinerja Dania sebagai manager pemasaran di kantor Kevin. Dania memang dengan sengaja ingin menghancurkan pesta pertunangan Kevin dan Marsha, akan tetapi rencananya sedikit meleset, karena Dania harus berhadapan dengan orang-orang suruhan Marsha untuk mengejarnya.Dania masih terus berlari, ia merasakan merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat rencana pelariannya. Dania memaki dirinya
"Maksudmu?" tanya Dania, alisnya terangkat, nada suaranya mulai dipenuhi rasa curiga. “Apa yang sebenarnya kau inginkan atas pertolongan yang kau berikan tadi?” Pikirannya berputar, mencoba mencari alasan di balik tindakan Mark yang penuh teka-teki ini.Mark, pria dengan postur tegap dan wajah dingin, menatap Dania dengan pandangan yang sulit ditebak. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum yang nyaris tidak terlihat, lebih menyerupai garis lurus yang tanpa emosi. "Kau harus membayar utangmu sekarang juga," katanya dengan nada yang datar, tanpa sedikit pun intonasi yang menunjukkan emosi.Dania terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata pria di hadapannya. "Utang?" gumamnya dalam hati. Namun, sebelum ia sempat mempertanyakan lebih jauh, Mark melanjutkan kalimatnya, membuat dada Dania semakin sesak oleh kecemasan yang menekan.“Apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan suara yang bergetar, meskipun ia berusaha keras untuk terdengar tenang.Tanpa menjawab pertanyaan Dania, Mark tiba-t
"Apa?!" Suara Alex seperti guntur yang menggema di langit yang gelap. Matanya, penuh keterkejutan, menatap tak percaya pada putra sulungnya. "Bagaimana bisa? Apa kau yakin, Mark?""Ya Tuhan, Mark ... kenapa kau tidak memberitahu kami sebelumnya?" ucap Sarah, suaranya penuh dengan kegelisahan dan ketidakpercayaan. Matanya, yang selalu penuh kasih, kini menatap anaknya dengan campuran perasaan yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata.Mark mengangkat tangan kirinya. Memperlihatkan cincin di jarinya, simbol ikatan yang tak terbantahkan."Ya, aku serius. Kalian tidak melihat, kami mengenakan cincin ini," katanya dengan nada dingin yang memotong udara seperti belati.Sarah tertegun, sorot matanya yang biasa lembut kini dipenuhi kebingungan. "Tapi ... kenapa? Maksudku, kenapa kau tidak memberitahu kami jika kau sudah menikah, Mark?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan.Dania, yang sedari tadi hanya menjadi bayangan yang setia di sis
Malam sudah semakin larut ketika pesta yang penuh keriuhan dan tawa itu akhirnya usai. Semua tamu telah pulang, meninggalkan keheningan yang perlahan menguasai setiap sudut rumah mewah itu. Mark dan Dania akhirnya pamit untuk pulang dari rumah tersebut.Mark, yang sudah sejak lama tidak tinggal di rumah orang tuanya sejak lima tahun yang lalu. Kemudian mengajak Dania menuju mobil yang terparkir rapi di halaman. “Mulai malam ini, kau tinggal di rumahku,” ucap Mark tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh dengan kepastian yang tak terbantahkan.Dania yang mendengarnya sontak menoleh, matanya membelalak dengan tatapan tak percaya. Mereka masih berada di dalam mobil yang kini telah berhenti di halaman sebuah rumah yang tidak kalah megahnya dari rumah orang tua Mark.“Apa? Bagaimana bisa? Antarkan aku pulang ke rumahku, Tuan Mark,” desis Dania dengan nada yang lebih menyerupai perintah daripada permintaan.Mark menoleh sekilas ke arah Dania dengan tatapan yang sulit diartikan. “Jangan pangg