Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Orang yang sudah sangat ditunggu oleh Dania akhirnya tiba. Dania dengan cepat menghampiri sang suami dan berdiri di depannya. Mark menaikan alisnya menatap Dania yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. “Ada apa? Kau ingin menyambutku tapi dengan cara berbeda?” tanya Mark seraya membuka dasinya ketika Dania menghampirinya, wajahnya penuh kebingungan. "Mark, aku baru saja melihat berita tentang Kevin dan Marsha," katanya perlahan, matanya menatap Mark yang terlihat lelah tapi tenang. "Mereka hampir batal menikah karena skandal Marsha."Mark menatapnya, mengangguk pelan sambil merapikan kemejanya. "Ya, aku juga baru dengar tadi," jawabnya datar, tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan. Seolah skandal itu bukan hal yang mengejutkan baginya.Namun, Dania merasa ada sesuatu yang harus ia pastikan. Rasa penasaran yang sejak tadi menghantuinya memaksa dirinya untuk bertanya. "Mark ... apakah ini ada hubungannya denganmu? Maksudku ... apakah kau yang
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Dania menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri, mengernyitkan dahinya hingga mengeluarkan keringat yang berlebih. Napasnya tersengal, matanya terbelalak penuh ketakutan.“Ibu!” jeritnya, suara itu serak, seperti baru saja keluar dari mimpi buruk yang mencekik. Tangannya gemetar, jantungnya berdebar tak karuan. Seluruh tubuhnya terasa dingin, seolah-olah baru saja ia kembali ke masa kelam itu—kecelakaan yang merenggut nyawa ibunya tiga belas tahun lalu.Mark, yang tidur di sampingnya, langsung terbangun mendengar suara Dania yang penuh kecemasan. Wajahnya menunjukkan kepanikan. “Dania, ada apa?” tanyanya, segera memeluk Dania, merasakan tubuh istrinya yang gemetar dalam dekapannya.“Apa yang terjadi? Kau … mimpi buruk?” tanya Mark dengan raut wajah penuh kecemasan.Dania mulai menangis, suara tangisannya pecah, penuh kesedihan yang sudah lama ia pendam. “Aku ... aku memimpikannya lagi,” ucapnya dengan suara bergetar. “Kecelakaan itu ... ibuku ... i
Pagi sudah merekah dengan sinar matahari yang hangat menembus jendela, menunjuk angka tujuh tepat. Dania bangun lebih dulu dari suaminya, dan kini dia sudah berada di dapur, mengenakan gaun rumah sederhana namun elegan.Bau harum kopi dan roti panggang memenuhi udara saat ia dengan cekatan menyiapkan sarapan untuk Mark, yang sebentar lagi akan berangkat kerja.Mark, yang baru saja mengenakan setelan jas abu-abunya, berjalan pelan menuju dapur. Langkahnya terdengar ringan di lantai kayu, hingga akhirnya ia tiba di belakang Dania, memandangi punggung istrinya yang sibuk mengurus sarapan.Dia tersenyum tipis, rasa syukur karena memiliki istri seperti Dania terlintas di benaknya.“Sudah membaik, hm?” tanya Mark dengan suara lembut.Dania menoleh, bibirnya mengulas senyum hangat yang mampu meredakan kekhawatiran di hati Mark. “Ya. Sudah. Lagi pula, itu kan hanya mimpi saja. Aku tak ingin terlalu mengingatnya, Mark,” jawabnya, suaranya terdengar lebih ringan, seolah mimpi buruk yang sempat
Mata Marsha melebar mendengar ancaman halus yang terlontar dari mulut Mark. Untuk pertama kalinya, ia terdiam. Amarahnya masih membara, tapi ada sesuatu dalam nada suara Mark yang membuatnya merasa ragu. Mungkin ini bukan pria yang bisa dia hadapi dengan cara yang sama seperti yang biasa ia lakukan dengan orang lain.“Kau benar-benar... tidak punya hati, ya?” gumam Marsha, meskipun lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Mark. “Kini, aku dan Kevin harus berpisah. Pernikahan kami batal karena semua ini. Dan kau tidak peduli sedikit pun?”Mark tersenyum tipis, tetapi senyum itu jauh dari keramahan. “Ya. Aku tidak peduli,” jawabnya dengan dingin. “Pernikahanmu batal karena perbuatanmu sendiri, Marsha. Bukan karena aku atau siapa pun. Kau yang menghancurkan hubunganmu dengan Kevin, bukan aku.”Marsha menggeram, matanya berkilat penuh amarah. “Kau pikir kau sudah menang, Mark? Kau pikir ini sudah selesai?”Mark menatapnya tanpa berkedip, menunjukkan bahwa ia tak terintimidasi sedikit
Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Begitu melihat nama Dania muncul di layar, Mark dengan cepat menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan itu. Ada nada kecemasan dalam dirinya yang sulit dijelaskan."Ya, kenapa, Dania?" tanya Mark cepat, suaranya terdengar penuh perhatian."Mark … bisakah kau pulang sekarang?" Suara Dania terdengar bergetar, sangat lirih hingga nyaris tak terdengar.Mark mengerutkan kening, kebingungan muncul seketika. "Dania, ada apa? Kau … mimpi buruk lagi?"“Tidak, Mark. Aku … aku menerima paket dari orang tidak dikenal. Isinya … dokumen tentang kematian ibuku,” jawab Dania terisak, membuat Mark terpaku beberapa detik."Apa?" Mark tercekat, otaknya bekerja cepat mencerna informasi yang tak diduganya. "Ba—baik. Aku segera pulang."Dengan satu gerakan cepat, Mark menutup panggilan tersebut dan menyambar kunci mobilnya. Tangannya bergerak cepat merapikan jas yang ia kenakan."Vicky, cancel semua pertemuan hari ini. Aku harus pulang," ucapnya tegas tanpa penj
Sudah hampir dua jam lamanya ia menemani Dania yang kini sudah terlelap dalam tidurnya. Namun, ia harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan sesuatu di sana.Namun, saat Mark bangkit dari tempat tidur, suara lembut selimut yang bergeser membangunkan Dania. Mata cokelatnya yang hangat terbuka perlahan, memancarkan kilatan bingung namun lembut di bawah cahaya sore hari.“Kau mau ke mana?” suara Dania terdengar serak, menggantung di udara, penuh rasa ingin tahu dan kekhawatiran yang terbungkus rapi dalam bisikannya.Mark menatapnya sejenak, senyum tipis tersungging di bibirnya yang terlihat lelah. "Aku harus kembali ke kantor, Dania. Ada yang harus kuselesaikan," jawabnya datar namun penuh ketegasan.Dania mengangguk perlahan, walaupun dadanya terasa sedikit berat. “Oh, baiklah. Ini baru jam tiga sore. Kau memang masih bekerja,” ucapnya dengan pelan. Merasa bersalah telah mengganggu waktu kerja Mark.Dia tidak ingin menghalang
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Mark kembali ke rumah setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Ia membuka pintu rumah, membawa udara dingin malam itu bersamanya.Dania menunggunya di ruang makan, senyumnya hangat saat dia menatap Mark, meski sedikit lelah di matanya. “Kau pulang tepat waktu,” katanya lembut, sambil menarik kursi untuknya. Di atas meja, makan malam sudah siap, tetapi Mark tahu pikirannya jauh dari makanan itu.“Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu,” kata Dania lagi.Mark duduk di depan Dania dengan senyum tipis melengkung di bibirnya. “Wangi makanannya tercium enak,” katanya dengan pelan.“Tentu saja. Aku memasaknya dengan hati. Sudah pasti akan enak.”Mark terkekeh mendengarnya. “Selamat makan, Dania.”“Selamat makan, Mark.” Dania menerbitkan senyumnya kembali kepada suaminya yang selalu pintar menyembunyikan sesuatu darinya.Bahkan hingga saat ini Dania masih berpikir jika Mark disibukkan dengan pekerjaannya yang menggunung. Tak pernah ia berpikir ji
Dania menghela napasnya dengan panjang mendengar ucapan Mark tadi.“Aku harap semuanya baik-baik saja, Mark. Jangan terlalu memikirkan hal yang belum tentu terjadi.”Mark menatap Dania dengan tatapan datarnya. “Semuanya sudah terjadi, Dania. Bisa jadi orang itu sebenarnya mengincarmu, tapi malah ibumu yang meninggal.”Dania hanya diam. Mungkin yang dikatakan oleh ada benarnya. Karena hingga saat ini, Dania masih mendapat terror dari orang tersebut.Dania kemudian duduk di hadapan Mark. Kedua tangannya bersandar lembut di meja, sementara pandangannya terfokus pada mata tajam suaminya yang selalu membuatnya tenggelam dalam keheningan.Sorot mata Mark, meski kerap dipenuhi amarah atau kecemasan yang tersembunyi, tetap memiliki kilauan yang membuatnya tak bisa berpaling.“Ada apa?” tanya Mark pelan. “Kenapa melihatku seperti itu?” sambungnya.Dania menelengkan kepalanya, membiarkan kenangan masa lalu menyelinap masuk ke dalam pikirannya. Ada sesuatu yang samar, seolah-olah dia pernah meng
Pukul sembilan pagi, suasana di ruangan kerja Stevan terasa hangat dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar di belakang meja kerjanya. Ia baru saja duduk dan membuka laptop ketika suara pintu diketuk ringan. Mark masuk dengan langkah santai, menyapa adik iparnya.“Selamat pagi, Stevan,” ucap Mark sambil menarik kursi di depan meja kerja.Stevan menoleh dan tersenyum. “Selamat pagi, Kak. Padahal aku yang berencana datang menemuimu. Ternyata aku kalah start,” balasnya sambil tertawa kecil. Tangannya langsung menekan interkom, memanggil asistennya. “Tolong buatkan dua cangkir kopi, ya,” pintanya singkat.Mark mengeluarkan iPad miliknya, meletakkannya di meja, lalu membuka salah satu file. “Aku sudah memutuskan desain yang akan aku gunakan untuk produk terbaru V-One,” katanya sambil menunjukkan layar iPad itu kepada Stevan.Stevan memandangi desain yang dipilih Mark, dan senyumnya merekah lebar. “Aku senang kau mau memakai desain yang aku buat, Kak,” ucapnya dengan tulus.“
Malam itu suasana rumah terasa hangat, tetapi sedikit riuh dengan suara percakapan yang mengisi ruang tengah.Clara masih berdiri di tempatnya, tangan terlipat di dada dengan ekspresi serius yang belum juga memudar.Di depannya, Mark hanya bisa menghela napas, mencoba memahami sikap putrinya yang tampaknya tak mau mundur.“Tidak! Biarkan Mommy saja yang peduli padamu,” ujar Clara dengan nada tegas, matanya menatap tajam ke arah ayahnya. “Untuk saat ini, aku sedang ingin memarahimu.”Mark mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sambil mengembungkan pipinya seperti anak kecil. Namun, di dalam hatinya, ia tidak benar-benar marah.Ia tahu Clara sedang meluapkan emosinya, dan sebagai seorang ayah, ia memilih untuk bersabar. Toh, ia pun pernah berada di posisi Clara—jatuh cinta dan begitu peduli pada seseorang.Mark pun hanya menghela napas dan mengangkat tangan seolah menyerah. “Baiklah, Tuan Putri. Daddy akan menerima semua kemarahanmu dengan lapang dada,” ujarnya dengan nada bercanda,
“Apa kau belum makan siang?” tanya Clara dengan nada lembut, tetapi ada kekhawatiran yang terselip di sana.Clara duduk berhadapan dengan Stevan, mengamati dengan penuh perhatian bagaimana pria itu begitu lahap menyantap makan siangnya.Wajah Stevan tampak sedikit lelah, tetapi matanya masih bersinar, mencerminkan semangat yang tak pernah luntur.Clara melirik jam di pergelangan tangannya. Jarum pendek sudah menunjuk angka dua, dan ia mengerutkan dahi kecilnya.Stevan, yang tengah sibuk dengan suapan nasi dan lauk di hadapannya, mendongak sejenak. Bibirnya membentuk senyum cengengesan khasnya.“Lebih tepatnya, belum makan sejak pagi tadi,” jawabnya santai. Ia kemudian mengusap mulutnya dengan tisu sebelum melanjutkan.“Aku lupa sarapan karena harus mengikuti meeting dengan ayahmu. Jadi, aku baru sempat mengisi perutku sekarang.”Clara mendesah pelan, matanya menatap Stevan dengan sedikit protes. “Bisa-bisanya kau bekerja dengan perut kosong. Memangnya otakmu bisa konsen?” tanyanya, me
Clara duduk di bangku taman kampus, mengerutkan kening sambil menatap layar ponselnya yang sudah redup sejak tadi. Pesannya ke Stevan tak juga mendapat balasan. Ia melirik jam di sudut layar: pukul satu siang. Waktu sudah mepet, dan dalam satu jam lagi ia harus pulang.“Ke mana Uncle Stevan?” gumam Clara sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya ke layar ponsel. Ia menggigit bibir bawahnya, kebiasaan lamanya saat merasa gelisah. “Tumben sekali pesanku belum dia balas.”Ia bersandar di bangku dan memandangi awan yang berarak di langit. Kecurigaan mulai merayap di benaknya.“Sepertinya Daddy mulai membuat Uncle Stevan sibuk. Bisa-bisanya sudah pukul satu dan dia belum juga online,” keluhnya, memicing curiga. Ia tahu betul bagaimana ayahnya selalu menyeret Stevan ke dalam urusan kantor, bahkan di luar jam kerja.“Clara?” Sebuah suara laki-laki yang lembut namun tegas menyapanya, memecah lamunannya.Clara mengangkat kepala, mendapati Matthew berdiri beberapa langkah darinya. Pemuda itu terseny
“Kau serius, akan menikah dengan Uncle Stevan?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan.Clara menoleh, menatap Samuel dengan alis terangkat. “Kenapa?” tanyanya santai sambil meniup perlahan kukunya agar cepat kering.“Kau takut media mempermasalahkannya? Bukankah mereka sudah tahu yang sebenarnya?”Samuel menghela napas kasar, berjalan masuk dan menjatuhkan tubuhnya di kursi dekat meja rias Clara.“Tidak. Aku tidak mempermasalahkan itu,” ucapnya dengan nada datar. “Justru aku bingung, kenapa Uncle Stevan bisa mencintai wanita aneh sepertimu.”Clara sontak menyunggingkan senyum sinis. Ucapan Samuel selalu punya cara untuk membuat darahnya naik, meskipun ia tahu itu hanya cara Samuel menggoda.“Kau ingin tahu jawabannya, Sam?” Clara meletakkan kuas kuteksnya, menatap Samuel dengan ekspresi penuh tantangan.“Coba menjalin hubungan, biar kau tahu bahwa cinta itu nyata!” sengalnya dengan nada yang sengaja dibuat menusuk.Samuel malah mengangkat bahu, seolah tidak terpengaruh sedikit pun. “
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana pesta yang digelar untuk menyambut Stevan sebagai CEO baru Kv’s Group semakin meriah.Aula megah itu dipenuhi tamu-tamu berpakaian formal, dengan gelas-gelas anggur yang berkilau di bawah cahaya lampu kristal.Denting piano dari sudut ruangan menciptakan suasana elegan, sementara obrolan dan tawa memenuhi udara.Stevan berdiri di salah satu sisi ruangan, dikelilingi oleh beberapa eksekutif perusahaan yang memberikan ucapan selamat kepadanya. Wajahnya tetap tenang, meski malam itu sebenarnya menguras banyak energi emosinya.“Congrats, Uncle. Kau berhak mendapatkan ini semua,” suara Samuel memecah pikirannya. Pemuda itu menepuk pundaknya dengan senyum percaya diri yang khas.Stevan menoleh dan mengulas senyum kecil. “Terima kasih, Sam. Fokus belajar, kau harus masuk universitas terbaik untuk menggantikan posisi ayahmu suatu hari nanti.”Samuel menyeringai kecil, matanya memancarkan keyakinan. “Mudah bagiku, Uncle. Bahkan saat ini
“Setelah delapan belas tahun lamanya Kv’s Group berada di bawah naungan Tuan Mark Louis Evander,” ujarnya, menghentikan kalimatnya sejenak untuk memberi waktu pada hadirin yang kembali bertepuk tangan.“Kita semua mengakui dan sangat mengagumi keberhasilan yang telah beliau berikan pada Kv’s Group. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan ini tidak hanya bertahan tetapi berkembang menjadi salah satu konglomerasi terbesar di dunia.”Suasana ruang rapat utama Kv’s Group dipenuhi oleh para jajaran eksekutif, investor, dan awak media yang sudah siap dengan kamera dan mikrofon.Sorotan lampu terang menerangi podium yang berdiri megah di tengah ruangan, tempat Mark Louis Evander berdiri dengan karisma khasnya, tersenyum tipis di tengah riuh tepuk tangan yang membahana.Seorang pembawa memulai pidato dengan suara yang lantang dan penuh wibawa.Mark mengangguk pelan sebagai tanda terima kasih, tetapi senyumnya tidak memudar sedikit pun.Pembawa acara melanjutkan, “Karena beliau telah mendapatkan
Stevan berdiri di samping mobilnya, melipat lengan di depan dada sambil mengamati gerbang megah kampus tempat Clara menuntut ilmu.Langit sore mulai memerah, memberikan nuansa hangat yang kontras dengan suasana hatinya yang tengah diliputi beragam pikiran. Langkah cepat Clara yang mendekatinya menariknya kembali ke kenyataan.“Sudah lama, menunggu?” tanya Stevan seraya melirik ke arah wanita muda itu.Clara mendengus kecil, kedua tangannya terlipat di dada, matanya menatapnya tajam. “Ya! Setengah jam lamanya aku menunggumu, Uncle!” protes Clara dengan nada setengah manja, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang sedang merajuk.Stevan hanya terkekeh menanggapi. Dengan lembut, ia mengusap pucuk kepala Clara, membuat rambut panjangnya sedikit berantakan.“Maafkan aku. Jalanan macet,” balasnya dengan nada menggoda.Clara mendengus lagi, tapi kali ini dengan nada menyerah. “Huh, alasanmu selalu macet.”Setelah itu, keduanya masuk ke dalam mobil. Stevan memutar kunci, dan suara mesin ya
Gedung Kv’s Group berdiri megah dengan desain modern nan elegan, mencerminkan kesuksesan yang telah dibangun selama bertahun-tahun.Di salah satu ruangan di lantai tertinggi, Stevan duduk di hadapan Mark, kakaknya, yang kini memimpin perusahaan itu.Di tangannya, sebuah dokumen tebal dengan kop surat resmi Kv’s Group tampak mencolok. Wajah Stevan dipenuhi kebingungan.“Apa ini, Kak?” tanya Stevan, keningnya mengerut saat membaca baris pertama dokumen tersebut. Ia melirik Mark yang duduk tenang di kursinya, dengan ekspresi penuh percaya diri.Mark melipat tangannya di atas meja kaca besar. “Sudah satu bulan lamanya kami berunding untuk posisi CEO di Kv’s Group yang sudah hampir tujuh belas tahun ini masih aku pegang,” katanya pelan namun tegas, menatap adiknya dengan tatapan tajam.Stevan mengangkat wajahnya dari dokumen itu, menatap Mark yang terlihat begitu serius.“Menunggu Samuel masih lama,” lanjut Mark, menyebut nama putra sulungnya. “Mungkin tujuh sampai delapan tahun baru bisa