Mata Marsha melebar mendengar ancaman halus yang terlontar dari mulut Mark. Untuk pertama kalinya, ia terdiam. Amarahnya masih membara, tapi ada sesuatu dalam nada suara Mark yang membuatnya merasa ragu. Mungkin ini bukan pria yang bisa dia hadapi dengan cara yang sama seperti yang biasa ia lakukan dengan orang lain.“Kau benar-benar... tidak punya hati, ya?” gumam Marsha, meskipun lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Mark. “Kini, aku dan Kevin harus berpisah. Pernikahan kami batal karena semua ini. Dan kau tidak peduli sedikit pun?”Mark tersenyum tipis, tetapi senyum itu jauh dari keramahan. “Ya. Aku tidak peduli,” jawabnya dengan dingin. “Pernikahanmu batal karena perbuatanmu sendiri, Marsha. Bukan karena aku atau siapa pun. Kau yang menghancurkan hubunganmu dengan Kevin, bukan aku.”Marsha menggeram, matanya berkilat penuh amarah. “Kau pikir kau sudah menang, Mark? Kau pikir ini sudah selesai?”Mark menatapnya tanpa berkedip, menunjukkan bahwa ia tak terintimidasi sedikit
Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Begitu melihat nama Dania muncul di layar, Mark dengan cepat menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan itu. Ada nada kecemasan dalam dirinya yang sulit dijelaskan."Ya, kenapa, Dania?" tanya Mark cepat, suaranya terdengar penuh perhatian."Mark … bisakah kau pulang sekarang?" Suara Dania terdengar bergetar, sangat lirih hingga nyaris tak terdengar.Mark mengerutkan kening, kebingungan muncul seketika. "Dania, ada apa? Kau … mimpi buruk lagi?"“Tidak, Mark. Aku … aku menerima paket dari orang tidak dikenal. Isinya … dokumen tentang kematian ibuku,” jawab Dania terisak, membuat Mark terpaku beberapa detik."Apa?" Mark tercekat, otaknya bekerja cepat mencerna informasi yang tak diduganya. "Ba—baik. Aku segera pulang."Dengan satu gerakan cepat, Mark menutup panggilan tersebut dan menyambar kunci mobilnya. Tangannya bergerak cepat merapikan jas yang ia kenakan."Vicky, cancel semua pertemuan hari ini. Aku harus pulang," ucapnya tegas tanpa penj
Sudah hampir dua jam lamanya ia menemani Dania yang kini sudah terlelap dalam tidurnya. Namun, ia harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan sesuatu di sana.Namun, saat Mark bangkit dari tempat tidur, suara lembut selimut yang bergeser membangunkan Dania. Mata cokelatnya yang hangat terbuka perlahan, memancarkan kilatan bingung namun lembut di bawah cahaya sore hari.“Kau mau ke mana?” suara Dania terdengar serak, menggantung di udara, penuh rasa ingin tahu dan kekhawatiran yang terbungkus rapi dalam bisikannya.Mark menatapnya sejenak, senyum tipis tersungging di bibirnya yang terlihat lelah. "Aku harus kembali ke kantor, Dania. Ada yang harus kuselesaikan," jawabnya datar namun penuh ketegasan.Dania mengangguk perlahan, walaupun dadanya terasa sedikit berat. “Oh, baiklah. Ini baru jam tiga sore. Kau memang masih bekerja,” ucapnya dengan pelan. Merasa bersalah telah mengganggu waktu kerja Mark.Dia tidak ingin menghalang
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Mark kembali ke rumah setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Ia membuka pintu rumah, membawa udara dingin malam itu bersamanya.Dania menunggunya di ruang makan, senyumnya hangat saat dia menatap Mark, meski sedikit lelah di matanya. “Kau pulang tepat waktu,” katanya lembut, sambil menarik kursi untuknya. Di atas meja, makan malam sudah siap, tetapi Mark tahu pikirannya jauh dari makanan itu.“Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu,” kata Dania lagi.Mark duduk di depan Dania dengan senyum tipis melengkung di bibirnya. “Wangi makanannya tercium enak,” katanya dengan pelan.“Tentu saja. Aku memasaknya dengan hati. Sudah pasti akan enak.”Mark terkekeh mendengarnya. “Selamat makan, Dania.”“Selamat makan, Mark.” Dania menerbitkan senyumnya kembali kepada suaminya yang selalu pintar menyembunyikan sesuatu darinya.Bahkan hingga saat ini Dania masih berpikir jika Mark disibukkan dengan pekerjaannya yang menggunung. Tak pernah ia berpikir ji
Dania menghela napasnya dengan panjang mendengar ucapan Mark tadi.“Aku harap semuanya baik-baik saja, Mark. Jangan terlalu memikirkan hal yang belum tentu terjadi.”Mark menatap Dania dengan tatapan datarnya. “Semuanya sudah terjadi, Dania. Bisa jadi orang itu sebenarnya mengincarmu, tapi malah ibumu yang meninggal.”Dania hanya diam. Mungkin yang dikatakan oleh ada benarnya. Karena hingga saat ini, Dania masih mendapat terror dari orang tersebut.Dania kemudian duduk di hadapan Mark. Kedua tangannya bersandar lembut di meja, sementara pandangannya terfokus pada mata tajam suaminya yang selalu membuatnya tenggelam dalam keheningan.Sorot mata Mark, meski kerap dipenuhi amarah atau kecemasan yang tersembunyi, tetap memiliki kilauan yang membuatnya tak bisa berpaling.“Ada apa?” tanya Mark pelan. “Kenapa melihatku seperti itu?” sambungnya.Dania menelengkan kepalanya, membiarkan kenangan masa lalu menyelinap masuk ke dalam pikirannya. Ada sesuatu yang samar, seolah-olah dia pernah meng
Mark mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak teratur, matanya tak lepas dari layar komputer di depannya. Ucapan Dania tadi masih terngiang-ngiang di telinganya, walau kini gadis itu sudah terlelap di kamarnya, terlalu lelah dan mengantuk untuk melanjutkan obrolan mereka.Sesaat, keheningan yang memenuhi ruangan terasa mencekam. Mark tahu, waktu terus berjalan, dan ancaman yang membayangi Dania tak bisa menunggu.Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, mengetik satu nama yang sudah sejak lama berada di benaknya—Kevin.Nama itu kini masuk dalam daftar tersangka baru, orang yang mungkin terlibat dalam teror terhadap Dania."Jika bukan Kevin yang telah melakukan ini," gumamnya perlahan, menatap layar yang terus mencari informasi, "orang yang paling aku curigai selanjutnya adalah Alex." Alisnya terangkat, otaknya memutar berbagai kemungkinan. Ia tak bisa mengabaikan kemungkinan Alex terlibat, tapi seberapa besar pengetahuannya tentang Dania?Mark menghela napas panjang. "Tapi, apakah
Tawa Mark yang mengejek memenuhi ruangan sempit itu, menggema dengan nada merendahkan yang membuat udara terasa semakin pengap.Senyuman sinis tersungging di bibirnya, matanya yang tajam menyala penuh kebencian. Ucapan Kevin barusan terasa baginya seperti sebuah lelucon yang tidak pantas.“Kau ingin menggunakan senjata seperti itu untuk membuat Dania pergi dariku? Jangan bermimpi!” Mark berbicara dengan nada penuh tantangan, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti belati tajam yang diarahkan ke dada Kevin.Sorot matanya semakin gelap, penuh dengan kebencian yang tak terselubung, seolah-olah seluruh dunia bersekongkol untuk menghancurkannya.Namun Kevin, dengan ketenangan yang kontras, hanya menggelengkan kepala perlahan, seolah mengejek betapa tidak masuk akalnya kemarahan Mark. Wajahnya tanpa ekspresi, dingin dan datar seperti batu karang yang tak tergoyahkan oleh ombak."Aku tidak menggunakan senjata itu, Mark. Tidak ada yang mengira hal ini akan terjadi, kan? Dan itulah yang
Mark menyunggingkan senyum tipis mendengar ucapan ayahnya, Alex. Senyum itu lebih seperti tameng dari serangan emosi yang mulai bergejolak di dalam hatinya.Dengan tenang namun tegas, dia berkata, “Wanita polos atau bukan, Dania tetap istriku. Seburuk apa pun dia di masa lalu, aku tidak peduli.”Tatapan matanya menyala, penuh determinasi, menembus ke arah Alex yang berusaha menyembunyikan kemarahannya di balik wajah tenangnya. Mark tahu betul, di balik sikap dingin itu, ada ledakan amarah yang sedang menunggu waktu untuk meledak.“Kau tidak perlu mencari tahu sampai ke akar-akarnya, Ayah. Baik Dania mantan kriminal pun, aku tidak peduli. Jadi, sekarang pergilah dari ruanganku!”Mark memalingkan wajahnya, enggan berlama-lama menatap sosok ayahnya. Setiap kali Alex hadir dengan wajah penuh keyakinan, selalu ada rasa muak yang menyeruak di dadanya.Kali ini, rasa itu semakin bertambah dengan informasi yang baru saja dilemparkan kepadanya. Informasi yang sebetulnya mengguncangnya, tapi Ma