Tawa Mark yang mengejek memenuhi ruangan sempit itu, menggema dengan nada merendahkan yang membuat udara terasa semakin pengap.Senyuman sinis tersungging di bibirnya, matanya yang tajam menyala penuh kebencian. Ucapan Kevin barusan terasa baginya seperti sebuah lelucon yang tidak pantas.“Kau ingin menggunakan senjata seperti itu untuk membuat Dania pergi dariku? Jangan bermimpi!” Mark berbicara dengan nada penuh tantangan, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti belati tajam yang diarahkan ke dada Kevin.Sorot matanya semakin gelap, penuh dengan kebencian yang tak terselubung, seolah-olah seluruh dunia bersekongkol untuk menghancurkannya.Namun Kevin, dengan ketenangan yang kontras, hanya menggelengkan kepala perlahan, seolah mengejek betapa tidak masuk akalnya kemarahan Mark. Wajahnya tanpa ekspresi, dingin dan datar seperti batu karang yang tak tergoyahkan oleh ombak."Aku tidak menggunakan senjata itu, Mark. Tidak ada yang mengira hal ini akan terjadi, kan? Dan itulah yang
Mark menyunggingkan senyum tipis mendengar ucapan ayahnya, Alex. Senyum itu lebih seperti tameng dari serangan emosi yang mulai bergejolak di dalam hatinya.Dengan tenang namun tegas, dia berkata, “Wanita polos atau bukan, Dania tetap istriku. Seburuk apa pun dia di masa lalu, aku tidak peduli.”Tatapan matanya menyala, penuh determinasi, menembus ke arah Alex yang berusaha menyembunyikan kemarahannya di balik wajah tenangnya. Mark tahu betul, di balik sikap dingin itu, ada ledakan amarah yang sedang menunggu waktu untuk meledak.“Kau tidak perlu mencari tahu sampai ke akar-akarnya, Ayah. Baik Dania mantan kriminal pun, aku tidak peduli. Jadi, sekarang pergilah dari ruanganku!”Mark memalingkan wajahnya, enggan berlama-lama menatap sosok ayahnya. Setiap kali Alex hadir dengan wajah penuh keyakinan, selalu ada rasa muak yang menyeruak di dadanya.Kali ini, rasa itu semakin bertambah dengan informasi yang baru saja dilemparkan kepadanya. Informasi yang sebetulnya mengguncangnya, tapi Ma
Dania menganggukkan kepalanya, menatap dalam-dalam ke arah Mark, mencoba meresapi kata-katanya. “Ya, benar,” gumamnya pelan, suaranya bergetar tipis. “Kevin dan Marsha mengkhianatiku karena mereka gagal mendapatkan tender dari perusahaan raksasa itu.”Dania menelan salivanya dengan pelan menatap Mark dengan tatapan sayunya. “Mereka menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi selama tiga bulan lamanya sebelum akhirnya mengumumkan bahwa mereka akan menikah.”Mark menatap istrinya dengan rasa bersalah yang dalam. "Maafkan aku, Dania," katanya, suaranya penuh penyesalan. "Aku seharusnya tidak menuduhmu macam-macam. Aku terlalu cepat percaya pada apa yang dikatakan Ayah. Aku..."Dania tersenyum kecil, meskipun sorot matanya masih menyiratkan kesedihan. “Aku mengerti, Mark. Semua ini memang membingungkan. Aku pun mungkin akan bereaksi serupa kalau berada di posisimu.” Suaranya lembut, penuh pengertian.Namun, sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul di benaknya. Dania menatap Mark, kebingungan mun
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Gelap malam yang mengelilingi rumah itu terasa begitu tenang, seolah memberi napas baru setelah hari yang penuh dengan ketegangan.Mark baru tiba di rumah, bahunya sedikit menurun tanda kelelahan yang masih tersisa, namun ada sesuatu dalam langkahnya yang berbeda. Ada kelegaan yang terpantul dalam sorot matanya. Ketika ia membuka pintu, wangi rumah yang familiar menyambutnya.Di ambang pintu, Dania berdiri dengan senyum indah yang menghiasi bibirnya, seakan menunggu kepulangan yang selalu ditunggunya setiap hari."Mark?" Dania menyapa suaminya dengan nada lembut, penuh kasih sayang.Mark menghentikan langkahnya sejenak, membalas senyuman itu dengan senyum kecil yang lirih, namun penuh arti. "Aku sudah menyelesaikan semua masalah yang menghampiri kita, Dania," ucapnya perlahan, suaranya serak namun tegas, seolah meyakinkan dirinya sendiri sama seperti ia meyakinkan istrinya.Dania membelalakkan mata, terkejut dengan apa yang baru saja didengarn
Dania menggigit bibirnya, tangan kanannya perlahan-lahan turun ke perutnya yang masih datar. Sensasi hangat yang terasa di sana membuatnya sedikit lega, tapi dia tahu, ini belum bisa dipastikan tanpa kepastian medis."Nyonya, apa Anda butuh sesuatu? Mungkin air putih?" Pelayan itu masih berdiri di dekatnya, matanya penuh perhatian.Dania tersenyum lemah, mengangguk. "Ya, air putih saja, terima kasih."“Sama-sama Nyonya. Jika memerlukan sesuatu lagi, jangan segan-segan memanggil saya,” kata Melly kemudian.Saat pelayan itu beranjak mengambilkan segelas air, Dania memegang ponselnya lagi.Ia berpikir untuk segera membeli alat tes kehamilan, tapi kemudian terlintas di pikirannya, apakah sebaiknya ia menunggu Mark kembali? Atau lebih baik ia memastikan semuanya sendiri sebelum memberitahu suaminya?“Um, Melly?” panggil Dania ketika Melly kembali membawakan air minum untuknya.“Ya, Nyonya? Ada yang bisa dibantu?” tanya Melly menatap Dania yang terlihat cemas.“Eum … tolong belikan aku alat
“Ini. Hasilnya garis dua. Itu artinya aku hamil.”Mark menggenggam erat alat tes kehamilan yang diberikan Dania, menatapnya seolah-olah dunia barunya baru saja terbuka lebar di depannya.Dua garis merah itu begitu nyata, begitu cepat menghantam dirinya dengan kenyataan bahwa ia akan menjadi seorang ayah. Sebuah senyum tipis, hampir tak terlihat, mulai terbentuk di bibirnya.“Ini benar-benar tidak terduga. Secepat ini kau akan memberiku gelar ayah, Dania,” gumamnya pelan, matanya terpaku pada alat tersebut, seolah tidak mampu memproses semuanya dalam sekejap.“Ya, Mark. Aku pun tidak menyangka akan secepat ini.”Namun, seketika, Mark bangkit dari duduknya dengan penuh semangat yang tak terduga. “Kita harus ke rumah sakit sekarang!” katanya tegas, memutuskan tanpa ragu-ragu.Dania terperanjat melihat sikap Mark yang tiba-tiba begitu terburu-buru. “Mark, tunggu—kenaoa secepat ini? Kita bisa periksa besok...”Namun, Mark sudah meraih kunci mobilnya, menggenggam tangan Dania, dan menarikny
Mark menatap Dania dengan penuh perhatian, sorot matanya yang tenang namun tajam seakan menembus ke dalam jiwa istrinya. "Bagaimana denganmu?" tanyanya dengan pelan.Dania terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan itu. Ada kekhawatiran di hatinya yang masih belum terjawab, tetapi ia juga tahu, ia tak bisa mengungkapkan semuanya begitu saja.“Aku … aku ….”Tatapannya jatuh ke lantai, jari-jarinya menggeliat di pangkuan. Ia merasa berat di dalam, seolah apa yang baru saja terjadi masih terlalu asing baginya.Mark, menyadari kegelisahan Dania, meraih tangan istrinya dengan lembut namun tegas. Ia menggenggamnya erat, memberikan rasa aman yang sulit digambarkan.“Apa yang kau pikirkan, hm?” tanya Mark menatap Dania dengan satu alisnya terangkat.Dania menggeleng dengan pelan. “Entahlah. Aku masih bingung harus menjawab apa. Aku tidak ingin kau berpikir jika aku sengaja membiarkan ini terjadi.Mark tersenyum mendengarnya. "Dania," katanya dengan suara rendah namun mantap, "Aku menyambut calon
Dania terdiam setelah mendengar pertanyaan Mark. Pikirannya berputar cepat, mencoba mencerna maksud di balik kata-kata suaminya."Apa tidak terlalu berlebihan jika harus menghancurkan Kevin sepenuhnya, Mark?" tanyanya dengan nada ragu, tatapannya mencari sesuatu di wajah Mark, seolah mengharapkan jawaban yang dapat menenangkan hatinya.“Jangan salah paham. Kau selalu berpikir jika aku masih mencintainya. Aku hanya ingin tahu,” kata Danie menjelaskan agar Mark tidak salah paham dengan apa yang dia katakan tadi.Namun, Mark hanya diam. Rahangnya mengeras, pikirannya sibuk dengan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar balas dendam.“Aku tahu,” ucapnya singkat. Hanya itu, sebab ia tidak ingin mengungkapkan bahwa Kevin berencana merebut Dania darinya.Meski ia tahu bahwa Dania tak akan pernah kembali pada Kevin, rasa waspada dalam dirinya tetap membara. Kevin terlalu berbahaya untuk diabaikan. Satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya.“Jika dibiarkan, Kevin akan semakin menjadi.