Dania menggigit bibirnya, tangan kanannya perlahan-lahan turun ke perutnya yang masih datar. Sensasi hangat yang terasa di sana membuatnya sedikit lega, tapi dia tahu, ini belum bisa dipastikan tanpa kepastian medis."Nyonya, apa Anda butuh sesuatu? Mungkin air putih?" Pelayan itu masih berdiri di dekatnya, matanya penuh perhatian.Dania tersenyum lemah, mengangguk. "Ya, air putih saja, terima kasih."“Sama-sama Nyonya. Jika memerlukan sesuatu lagi, jangan segan-segan memanggil saya,” kata Melly kemudian.Saat pelayan itu beranjak mengambilkan segelas air, Dania memegang ponselnya lagi.Ia berpikir untuk segera membeli alat tes kehamilan, tapi kemudian terlintas di pikirannya, apakah sebaiknya ia menunggu Mark kembali? Atau lebih baik ia memastikan semuanya sendiri sebelum memberitahu suaminya?“Um, Melly?” panggil Dania ketika Melly kembali membawakan air minum untuknya.“Ya, Nyonya? Ada yang bisa dibantu?” tanya Melly menatap Dania yang terlihat cemas.“Eum … tolong belikan aku alat
“Ini. Hasilnya garis dua. Itu artinya aku hamil.”Mark menggenggam erat alat tes kehamilan yang diberikan Dania, menatapnya seolah-olah dunia barunya baru saja terbuka lebar di depannya.Dua garis merah itu begitu nyata, begitu cepat menghantam dirinya dengan kenyataan bahwa ia akan menjadi seorang ayah. Sebuah senyum tipis, hampir tak terlihat, mulai terbentuk di bibirnya.“Ini benar-benar tidak terduga. Secepat ini kau akan memberiku gelar ayah, Dania,” gumamnya pelan, matanya terpaku pada alat tersebut, seolah tidak mampu memproses semuanya dalam sekejap.“Ya, Mark. Aku pun tidak menyangka akan secepat ini.”Namun, seketika, Mark bangkit dari duduknya dengan penuh semangat yang tak terduga. “Kita harus ke rumah sakit sekarang!” katanya tegas, memutuskan tanpa ragu-ragu.Dania terperanjat melihat sikap Mark yang tiba-tiba begitu terburu-buru. “Mark, tunggu—kenaoa secepat ini? Kita bisa periksa besok...”Namun, Mark sudah meraih kunci mobilnya, menggenggam tangan Dania, dan menarikny
Mark menatap Dania dengan penuh perhatian, sorot matanya yang tenang namun tajam seakan menembus ke dalam jiwa istrinya. "Bagaimana denganmu?" tanyanya dengan pelan.Dania terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan itu. Ada kekhawatiran di hatinya yang masih belum terjawab, tetapi ia juga tahu, ia tak bisa mengungkapkan semuanya begitu saja.“Aku … aku ….”Tatapannya jatuh ke lantai, jari-jarinya menggeliat di pangkuan. Ia merasa berat di dalam, seolah apa yang baru saja terjadi masih terlalu asing baginya.Mark, menyadari kegelisahan Dania, meraih tangan istrinya dengan lembut namun tegas. Ia menggenggamnya erat, memberikan rasa aman yang sulit digambarkan.“Apa yang kau pikirkan, hm?” tanya Mark menatap Dania dengan satu alisnya terangkat.Dania menggeleng dengan pelan. “Entahlah. Aku masih bingung harus menjawab apa. Aku tidak ingin kau berpikir jika aku sengaja membiarkan ini terjadi.Mark tersenyum mendengarnya. "Dania," katanya dengan suara rendah namun mantap, "Aku menyambut calon
Dania terdiam setelah mendengar pertanyaan Mark. Pikirannya berputar cepat, mencoba mencerna maksud di balik kata-kata suaminya."Apa tidak terlalu berlebihan jika harus menghancurkan Kevin sepenuhnya, Mark?" tanyanya dengan nada ragu, tatapannya mencari sesuatu di wajah Mark, seolah mengharapkan jawaban yang dapat menenangkan hatinya.“Jangan salah paham. Kau selalu berpikir jika aku masih mencintainya. Aku hanya ingin tahu,” kata Danie menjelaskan agar Mark tidak salah paham dengan apa yang dia katakan tadi.Namun, Mark hanya diam. Rahangnya mengeras, pikirannya sibuk dengan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar balas dendam.“Aku tahu,” ucapnya singkat. Hanya itu, sebab ia tidak ingin mengungkapkan bahwa Kevin berencana merebut Dania darinya.Meski ia tahu bahwa Dania tak akan pernah kembali pada Kevin, rasa waspada dalam dirinya tetap membara. Kevin terlalu berbahaya untuk diabaikan. Satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya.“Jika dibiarkan, Kevin akan semakin menjadi.
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Sinar mentari pagi menerobos tirai jendela kamar, menyelimuti wajah Mark yang masih terlelap dalam tidurnya.Udara sejuk menerpa kulitnya, memaksanya membuka mata dengan perlahan. Dengan helaan napas panjang, ia bangkit dari tempat tidur.Tatapannya langsung tertuju pada sosok Dania yang masih terlelap, mata Mark langsung tertuju pada perut Dania di mana kini telah hadir calon buah hati mereka di sana. Sebuah senyum kecil terukir di bibir Mark, lembut dan penuh arti.“Aku tidak menyangka akan menjadi seorang ayah. Tidak akan lama lagi, dalam waktu dekat ini,” gumam Mark begitu antusias menyambut kehadiran buah hatinya.Ia melangkah keluar dari kamar, menuruni tangga dengan hati-hati agar tidak membangunkan Dania. Sesampainya di dapur, Mark meraih kotak susu ibu hamil dari lemari dan menuangkannya ke dalam gelas kaca.Ia lalu mencampurkan susu itu dengan hati-hati, memastikan semuanya sempurna untuk istri dan anak mereka yang sedang berkembang di
Sarah menggenggam cangkir kopi yang sudah lama mendingin. Matanya menatap ke permukaan meja, tapi pikirannya jauh melayang.Suasana kafe yang tenang dengan alunan musik lembut terasa seolah menghilang, hanya menyisakan ketegangan di antara mereka. Jari-jarinya yang rapuh terus bergetar meski dia mencoba menenangkannya.Mark menatap ibunya dengan tajam, napasnya tertahan, menunggu jawaban yang tak kunjung datang. “Ibu,” suaranya datar tapi tegas, “kenapa kau menghindar dari pertanyaanku? Aku hanya ingin tahu. Pernah atau tidak aku mengalami kecelakaan tiga belas tahun yang lalu?”Sarah mengangkat pandangannya perlahan, menatap Mark dengan mata yang dipenuhi kecemasan. Jantungnya berdegup kencang, kata-kata tersangkut di tenggorokannya. "Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu, Nak?" tanyanya dengan suara bergetar, mencoba mengulur waktu.Mark menyandarkan tubuhnya ke kursi, menahan frustrasi. “Iya atau tidak? Hanya itu jawaban yang ingin aku dengar darimu, Ibu.”Kata-kata Mark menusu
Mark melangkah mantap ke ruang meeting, setiap gerakan tubuhnya memancarkan kepercayaan diri dan ketegasan. Begitu memasuki ruangan, matanya langsung tertuju pada James, yang duduk dengan gugup di ujung meja. Tatapan Mark dingin, seolah tidak ada ruang untuk belas kasih. Ketegangan meresap ke dalam ruangan seperti kabut tebal, dan James terlihat semakin gelisah di bawah tatapan tajam Mark.Tanpa basa-basi, Mark menarik kursi dan duduk di hadapan James, tubuhnya bersandar sedikit ke belakang dengan lengan menyilang di depan dada. Dia menatap pria di depannya dengan penuh kewaspadaan. “Langsung pada intinya saja. Ada apa?” suara Mark terdengar dingin dan datar, tak ada sedikit pun nada keramahan di dalamnya. "Apakah bukti yang kuberikan kemarin masih belum cukup?"James menelan ludah, tangannya bergetar pelan saat ia mencoba menenangkan diri. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan sisi Mark yang begitu dingin dan tanpa kompromi. "Aku... aku ke sini bukan untuk berdebat lagi, M
Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Dania kembali mengalami mual dan muntah. Usia kandungannya yang kini memasuki delapan minggu membuat setiap paginya penuh dengan perjuangan, tetapi kali ini terasa sedikit berbeda.Dania terduduk di tepi tempat tidur, wajahnya pucat sementara Mark menatapnya dari ambang pintu dengan ekspresi penuh kecemasan.Mark mendekat dengan langkah hati-hati, membawa segelas air putih di tangan kanannya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya penuh kelembutan yang biasa tersembunyi di balik sikap dinginnya.“Sepertinya kau sangat tersiksa dengan kehamilanmu ini, Dania.”Dania tersenyum lemah sambil mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri setelah serangan mualnya. "Aku baik-baik saja, Mark," jawabnya sambil menerima air itu.Dia menyesapnya pelan-pelan, berharap cairan dingin itu bisa membantu menenangkan perutnya yang bergolak. “Ini akan segera berlalu. Tidak akan se
Pukul sembilan pagi, suasana di ruangan kerja Stevan terasa hangat dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar di belakang meja kerjanya. Ia baru saja duduk dan membuka laptop ketika suara pintu diketuk ringan. Mark masuk dengan langkah santai, menyapa adik iparnya.“Selamat pagi, Stevan,” ucap Mark sambil menarik kursi di depan meja kerja.Stevan menoleh dan tersenyum. “Selamat pagi, Kak. Padahal aku yang berencana datang menemuimu. Ternyata aku kalah start,” balasnya sambil tertawa kecil. Tangannya langsung menekan interkom, memanggil asistennya. “Tolong buatkan dua cangkir kopi, ya,” pintanya singkat.Mark mengeluarkan iPad miliknya, meletakkannya di meja, lalu membuka salah satu file. “Aku sudah memutuskan desain yang akan aku gunakan untuk produk terbaru V-One,” katanya sambil menunjukkan layar iPad itu kepada Stevan.Stevan memandangi desain yang dipilih Mark, dan senyumnya merekah lebar. “Aku senang kau mau memakai desain yang aku buat, Kak,” ucapnya dengan tulus.“
Malam itu suasana rumah terasa hangat, tetapi sedikit riuh dengan suara percakapan yang mengisi ruang tengah.Clara masih berdiri di tempatnya, tangan terlipat di dada dengan ekspresi serius yang belum juga memudar.Di depannya, Mark hanya bisa menghela napas, mencoba memahami sikap putrinya yang tampaknya tak mau mundur.“Tidak! Biarkan Mommy saja yang peduli padamu,” ujar Clara dengan nada tegas, matanya menatap tajam ke arah ayahnya. “Untuk saat ini, aku sedang ingin memarahimu.”Mark mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sambil mengembungkan pipinya seperti anak kecil. Namun, di dalam hatinya, ia tidak benar-benar marah.Ia tahu Clara sedang meluapkan emosinya, dan sebagai seorang ayah, ia memilih untuk bersabar. Toh, ia pun pernah berada di posisi Clara—jatuh cinta dan begitu peduli pada seseorang.Mark pun hanya menghela napas dan mengangkat tangan seolah menyerah. “Baiklah, Tuan Putri. Daddy akan menerima semua kemarahanmu dengan lapang dada,” ujarnya dengan nada bercanda,
“Apa kau belum makan siang?” tanya Clara dengan nada lembut, tetapi ada kekhawatiran yang terselip di sana.Clara duduk berhadapan dengan Stevan, mengamati dengan penuh perhatian bagaimana pria itu begitu lahap menyantap makan siangnya.Wajah Stevan tampak sedikit lelah, tetapi matanya masih bersinar, mencerminkan semangat yang tak pernah luntur.Clara melirik jam di pergelangan tangannya. Jarum pendek sudah menunjuk angka dua, dan ia mengerutkan dahi kecilnya.Stevan, yang tengah sibuk dengan suapan nasi dan lauk di hadapannya, mendongak sejenak. Bibirnya membentuk senyum cengengesan khasnya.“Lebih tepatnya, belum makan sejak pagi tadi,” jawabnya santai. Ia kemudian mengusap mulutnya dengan tisu sebelum melanjutkan.“Aku lupa sarapan karena harus mengikuti meeting dengan ayahmu. Jadi, aku baru sempat mengisi perutku sekarang.”Clara mendesah pelan, matanya menatap Stevan dengan sedikit protes. “Bisa-bisanya kau bekerja dengan perut kosong. Memangnya otakmu bisa konsen?” tanyanya, me
Clara duduk di bangku taman kampus, mengerutkan kening sambil menatap layar ponselnya yang sudah redup sejak tadi. Pesannya ke Stevan tak juga mendapat balasan. Ia melirik jam di sudut layar: pukul satu siang. Waktu sudah mepet, dan dalam satu jam lagi ia harus pulang.“Ke mana Uncle Stevan?” gumam Clara sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya ke layar ponsel. Ia menggigit bibir bawahnya, kebiasaan lamanya saat merasa gelisah. “Tumben sekali pesanku belum dia balas.”Ia bersandar di bangku dan memandangi awan yang berarak di langit. Kecurigaan mulai merayap di benaknya.“Sepertinya Daddy mulai membuat Uncle Stevan sibuk. Bisa-bisanya sudah pukul satu dan dia belum juga online,” keluhnya, memicing curiga. Ia tahu betul bagaimana ayahnya selalu menyeret Stevan ke dalam urusan kantor, bahkan di luar jam kerja.“Clara?” Sebuah suara laki-laki yang lembut namun tegas menyapanya, memecah lamunannya.Clara mengangkat kepala, mendapati Matthew berdiri beberapa langkah darinya. Pemuda itu terseny
“Kau serius, akan menikah dengan Uncle Stevan?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan.Clara menoleh, menatap Samuel dengan alis terangkat. “Kenapa?” tanyanya santai sambil meniup perlahan kukunya agar cepat kering.“Kau takut media mempermasalahkannya? Bukankah mereka sudah tahu yang sebenarnya?”Samuel menghela napas kasar, berjalan masuk dan menjatuhkan tubuhnya di kursi dekat meja rias Clara.“Tidak. Aku tidak mempermasalahkan itu,” ucapnya dengan nada datar. “Justru aku bingung, kenapa Uncle Stevan bisa mencintai wanita aneh sepertimu.”Clara sontak menyunggingkan senyum sinis. Ucapan Samuel selalu punya cara untuk membuat darahnya naik, meskipun ia tahu itu hanya cara Samuel menggoda.“Kau ingin tahu jawabannya, Sam?” Clara meletakkan kuas kuteksnya, menatap Samuel dengan ekspresi penuh tantangan.“Coba menjalin hubungan, biar kau tahu bahwa cinta itu nyata!” sengalnya dengan nada yang sengaja dibuat menusuk.Samuel malah mengangkat bahu, seolah tidak terpengaruh sedikit pun. “
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana pesta yang digelar untuk menyambut Stevan sebagai CEO baru Kv’s Group semakin meriah.Aula megah itu dipenuhi tamu-tamu berpakaian formal, dengan gelas-gelas anggur yang berkilau di bawah cahaya lampu kristal.Denting piano dari sudut ruangan menciptakan suasana elegan, sementara obrolan dan tawa memenuhi udara.Stevan berdiri di salah satu sisi ruangan, dikelilingi oleh beberapa eksekutif perusahaan yang memberikan ucapan selamat kepadanya. Wajahnya tetap tenang, meski malam itu sebenarnya menguras banyak energi emosinya.“Congrats, Uncle. Kau berhak mendapatkan ini semua,” suara Samuel memecah pikirannya. Pemuda itu menepuk pundaknya dengan senyum percaya diri yang khas.Stevan menoleh dan mengulas senyum kecil. “Terima kasih, Sam. Fokus belajar, kau harus masuk universitas terbaik untuk menggantikan posisi ayahmu suatu hari nanti.”Samuel menyeringai kecil, matanya memancarkan keyakinan. “Mudah bagiku, Uncle. Bahkan saat ini
“Setelah delapan belas tahun lamanya Kv’s Group berada di bawah naungan Tuan Mark Louis Evander,” ujarnya, menghentikan kalimatnya sejenak untuk memberi waktu pada hadirin yang kembali bertepuk tangan.“Kita semua mengakui dan sangat mengagumi keberhasilan yang telah beliau berikan pada Kv’s Group. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan ini tidak hanya bertahan tetapi berkembang menjadi salah satu konglomerasi terbesar di dunia.”Suasana ruang rapat utama Kv’s Group dipenuhi oleh para jajaran eksekutif, investor, dan awak media yang sudah siap dengan kamera dan mikrofon.Sorotan lampu terang menerangi podium yang berdiri megah di tengah ruangan, tempat Mark Louis Evander berdiri dengan karisma khasnya, tersenyum tipis di tengah riuh tepuk tangan yang membahana.Seorang pembawa memulai pidato dengan suara yang lantang dan penuh wibawa.Mark mengangguk pelan sebagai tanda terima kasih, tetapi senyumnya tidak memudar sedikit pun.Pembawa acara melanjutkan, “Karena beliau telah mendapatkan
Stevan berdiri di samping mobilnya, melipat lengan di depan dada sambil mengamati gerbang megah kampus tempat Clara menuntut ilmu.Langit sore mulai memerah, memberikan nuansa hangat yang kontras dengan suasana hatinya yang tengah diliputi beragam pikiran. Langkah cepat Clara yang mendekatinya menariknya kembali ke kenyataan.“Sudah lama, menunggu?” tanya Stevan seraya melirik ke arah wanita muda itu.Clara mendengus kecil, kedua tangannya terlipat di dada, matanya menatapnya tajam. “Ya! Setengah jam lamanya aku menunggumu, Uncle!” protes Clara dengan nada setengah manja, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang sedang merajuk.Stevan hanya terkekeh menanggapi. Dengan lembut, ia mengusap pucuk kepala Clara, membuat rambut panjangnya sedikit berantakan.“Maafkan aku. Jalanan macet,” balasnya dengan nada menggoda.Clara mendengus lagi, tapi kali ini dengan nada menyerah. “Huh, alasanmu selalu macet.”Setelah itu, keduanya masuk ke dalam mobil. Stevan memutar kunci, dan suara mesin ya
Gedung Kv’s Group berdiri megah dengan desain modern nan elegan, mencerminkan kesuksesan yang telah dibangun selama bertahun-tahun.Di salah satu ruangan di lantai tertinggi, Stevan duduk di hadapan Mark, kakaknya, yang kini memimpin perusahaan itu.Di tangannya, sebuah dokumen tebal dengan kop surat resmi Kv’s Group tampak mencolok. Wajah Stevan dipenuhi kebingungan.“Apa ini, Kak?” tanya Stevan, keningnya mengerut saat membaca baris pertama dokumen tersebut. Ia melirik Mark yang duduk tenang di kursinya, dengan ekspresi penuh percaya diri.Mark melipat tangannya di atas meja kaca besar. “Sudah satu bulan lamanya kami berunding untuk posisi CEO di Kv’s Group yang sudah hampir tujuh belas tahun ini masih aku pegang,” katanya pelan namun tegas, menatap adiknya dengan tatapan tajam.Stevan mengangkat wajahnya dari dokumen itu, menatap Mark yang terlihat begitu serius.“Menunggu Samuel masih lama,” lanjut Mark, menyebut nama putra sulungnya. “Mungkin tujuh sampai delapan tahun baru bisa