Mark melangkah mantap ke ruang meeting, setiap gerakan tubuhnya memancarkan kepercayaan diri dan ketegasan. Begitu memasuki ruangan, matanya langsung tertuju pada James, yang duduk dengan gugup di ujung meja. Tatapan Mark dingin, seolah tidak ada ruang untuk belas kasih. Ketegangan meresap ke dalam ruangan seperti kabut tebal, dan James terlihat semakin gelisah di bawah tatapan tajam Mark.Tanpa basa-basi, Mark menarik kursi dan duduk di hadapan James, tubuhnya bersandar sedikit ke belakang dengan lengan menyilang di depan dada. Dia menatap pria di depannya dengan penuh kewaspadaan. “Langsung pada intinya saja. Ada apa?” suara Mark terdengar dingin dan datar, tak ada sedikit pun nada keramahan di dalamnya. "Apakah bukti yang kuberikan kemarin masih belum cukup?"James menelan ludah, tangannya bergetar pelan saat ia mencoba menenangkan diri. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan sisi Mark yang begitu dingin dan tanpa kompromi. "Aku... aku ke sini bukan untuk berdebat lagi, M
Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Dania kembali mengalami mual dan muntah. Usia kandungannya yang kini memasuki delapan minggu membuat setiap paginya penuh dengan perjuangan, tetapi kali ini terasa sedikit berbeda.Dania terduduk di tepi tempat tidur, wajahnya pucat sementara Mark menatapnya dari ambang pintu dengan ekspresi penuh kecemasan.Mark mendekat dengan langkah hati-hati, membawa segelas air putih di tangan kanannya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya penuh kelembutan yang biasa tersembunyi di balik sikap dinginnya.“Sepertinya kau sangat tersiksa dengan kehamilanmu ini, Dania.”Dania tersenyum lemah sambil mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri setelah serangan mualnya. "Aku baik-baik saja, Mark," jawabnya sambil menerima air itu.Dia menyesapnya pelan-pelan, berharap cairan dingin itu bisa membantu menenangkan perutnya yang bergolak. “Ini akan segera berlalu. Tidak akan se
Mark menatap Dania dengan tatapan datar, berusaha mencari jawaban di balik tatapan istrinya yang kini terlihat ragu. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang membebani pikiran wanita itu, namun ia belum tahu apa.“Memangnya apa yang kau rasakan sampai-sampai bertanya seperti itu?” tanyanya dengan suara serius, mencoba menembus lapisan keraguan yang melingkupi pikiran Dania.Dania menghela napas panjang, seolah beban di dadanya semakin berat setiap kali ia mencoba berbicara. “Aku hanya merasa … ada sesuatu yang ingin aku ingat,” jawabnya perlahan. “Seperti ada bagian dari diriku yang hilang, dan aku ingin pergi ke suatu tempat.”Mark mengerutkan keningnya, menatap Dania lebih lekat. “Ke mana?” tanyanya, dengan mata penuh perhatian.“Taman kota dekat sekolah dasar Jarasi,” jawab Dania, suaranya penuh harap, seolah tempat itu adalah kunci untuk mengungkap misteri yang membebani pikirannya selama ini.
Dania duduk di sofa ruang tengah, mangkuk es krim vanila di tangannya, pandangannya terfokus pada layar TV yang memutar film favoritnya. Namun, pikirannya melayang jauh, kembali pada sosok Mark. Selalu, ketika ia mencoba menggali lebih dalam tentang masa lalu suaminya, Mark akan dengan lihai mengalihkan pembicaraan, membuat Dania semakin penasaran. Sebuah rasa ingin tahu yang terus menggelitik pikirannya. Mengapa Mark begitu tertutup soal masa lalunya? Apakah ada sesuatu yang ia sembunyikan? “Mark tidak akan mau bicara jika bukan aku sendiri yang mencari tahu,” gumam Dania kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Masih saja tak mau jujur. Aku semakin tidak paham dengan sikap Mark. Apa yang dia sembunyikan dariku? Tidak mungkin jika masih menjalin hubungan dengan wanita itu.” Dania menggaruk rambutnya yang tidak gatal itu. “Aku akan mengadukan Mark pada suami wanita itu jika benar, mereka masih menjalin hubungan.” Dania menyunggingkan bibirnya membayangkan Mark dan wanita itu m
Sesyl terdiam mendengar ucapan itu. Tangannya yang sedari tadi menggenggam sendok kecil penuh dengan es krim vanila terasa begitu berat, seolah beban perasaan menelusup masuk ke dalam genggamannya. Perlahan, ia meletakkan sendok tersebut ke dalam mangkuk, seolah sedang menyerahkan rahasia yang selama ini terpendam di hatinya. Matanya cokelatnya tertuju pada Dania, menelusuri wajah sahabatnya itu dengan lirih, berusaha mencari celah untuk mengungkapkan sesuatu yang begitu lama terpendam.“Dania,” Sesyl akhirnya berbicara, suaranya terdengar berat, tenggelam dalam nada pilu yang tak tertahankan. “Ada yang harus kau tahu. Ada kisah kelam di balik semuanya. Sesuatu yang selama ini mungkin tak pernah kau duga.”Dania, yang sedang mengunyah es krimnya dengan perlahan, mendadak menghentikan gerakannya. Ia meletakkan sendoknya dengan hati-hati, tanpa suara, dan memandang Sesyl dengan alis yang sedikit terangkat, penuh tanda tanya. Di balik keheningan yang menyelimuti mereka, udara terasa p
Mark tidak memaksa Dania untuk berkata jujur. Ia hanya menatap istrinya itu dengan sorot mata yang tenang, seolah memahami bahwa di balik kepalanya yang berdenyut, ada lebih banyak hal yang berputar. Tanpa berkata-kata, Mark menggenggam tangan Dania dengan lembut, menuntunnya masuk ke kamar mereka. Langkah mereka terasa hening, hanya suara napas Dania yang terdengar pelan, disertai detak jantung yang masih berdebar kencang karena cerita masa lalu Mark yang baru saja diungkapkan oleh Sesyl."Dania," suara Mark terdengar lembut, hampir berbisik ketika mereka tiba di ambang pintu kamar. "Istirahatlah. Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang tidak penting. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Dania.” Dania menatapnya sejenak, mencoba membaca ekspresi di wajah pria di hadapannya ini. Apakah Mark benar-benar tidak ingin memberitahu semuanya padanya? “Baiklah,” jawab Dania dengan suara yang nyaris tenggelam. "Aku akan beristirahat."Mark tersenyum tipis. Tangan kekarnya terangkat, meng
Mark menatap Sesyl dengan mata yang dingin, tatapannya bagaikan lautan yang tak dapat terbaca. Udara di dalam ruangan itu terasa semakin tebal dengan ketegangan yang tak terucapkan. Sesyl berdiri di hadapannya, matanya masih berusaha menangkap secercah emosi dari kakaknya yang begitu rapat menutup dirinya. Namun, Mark tetap membungkus dirinya dalam keheningan yang dingin, membuat setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti bilah tajam.“Jawab pertanyaanku, Mark!” ucap Sesyl terus menekan Mark agar mau bicara jujur padanya. “Sesyl,” suara Mark akhirnya terdengar, berat dan rendah, seakan setiap kata diucapkan dengan penuh perhitungan. “Jangan pernah ikut campur dalam urusan rumah tanggaku dengan Dania. Apa yang terjadi di antara kami adalah urusan kami. Kau tidak perlu tahu apa pun selain Dania adalah istriku!” Sesyl terdiam sejenak, hatinya terasa tertusuk mendengar kata-kata itu. Ia tidak pernah bermaksud untuk mengganggu, apalagi menyakiti Dania. Ia hanya ingin membantu
Pagi hari tiba dengan lembutnya sinar matahari yang merayap masuk melalui celah tirai kamar. Udara terasa tenang, namun bagi Dania, ada keheningan yang lebih dalam, sesuatu yang mengganjal di pikirannya.Ia bangun lebih dulu dari Mark, pria yang masih terbaring dengan napasnya yang sedikit berat. Dania menatap wajahnya yang pucat, dan perlahan, ia meraba kening Mark dengan lembut.“Dia demam…” gumam Dania pelan, nada suaranya penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.Pikirannya melayang kembali pada kejadian semalam. Mimpi buruk yang mengganggu tidur Mark, keringat yang membasahi tubuhnya, dan suara yang ia dengar setelahnya—terima kasih sudah kembali.Kalimat itu terus berulang dalam benaknya, seperti gema yang tak bisa ia hilangkan. Apa yang dimaksud Mark? Apa yang terjadi dalam mimpinya hingga membuatnya berucap demikian?Dania menarik tangannya perlahan dari kening Mark, berusaha untuk tidak membangunkannya. Ia tahu, pria itu butuh istirahat, terutama setelah semalam