“Sshh! Kenapa kepalaku semakin sering sakit seperti ini?” lirih Dania saat merasakan kepalanya mendadak terasa berat. Rasa pening yang tiba-tiba menyerangnya membuatnya harus menghentikan gerakannya.Ia segera duduk di kursi dapur, memegangi pelipisnya dengan tangan gemetar. Aliran pikirannya terhenti oleh rasa nyeri yang menjalar, membuat dunianya terasa sejenak berputar."Hamil... mungkin ini karena aku sedang hamil," bisik Dania dalam hati, mencoba menenangkan dirinya sendiri.Sejak mengetahui kehamilannya, gejala seperti ini sering datang tanpa peringatan, membuatnya merasa lemah dalam beberapa saat, sebelum akhirnya hilang begitu saja.Meski begitu, setiap kali rasa sakit itu datang, ia tidak bisa menyingkirkan kekhawatiran yang diam-diam merayap di pikirannya.Mark, yang baru saja keluar dari kamar, melihat Dania terdiam dengan wajah pucat. Dalam sekejap, ia menghampirinya, langkah kakinya cepat namun penuh perhatian. Kekhawatiran terpancar jelas di matanya.“Dania, ada apa? Kep
Dania menelan salivanya, merasakan kegelisahan yang menjalari tubuhnya. Pertanyaan yang menggantung di udara begitu berat, memenuhi ruang kecil di antara mereka.Ia menatap suaminya, Mark, yang duduk dengan tubuh tegap namun wajahnya tegang, menunggu jawaban yang sepertinya tak mudah diutarakan."Katakan saja, Dania. Jangan ragu," suara Mark terdengar lembut, namun ada nada ketegasan di balik bisikannya. Matanya yang tajam memperhatikan setiap gerakan Dania seolah ia takut melewatkan sesuatu.Dania menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Rasa penasarannya telah tumbuh menjadi kegelisahan yang tak tertahankan."Terima kasih sudah kembali. Itu yang kau ucapkan setelah mengalami mimpi buruk semalam," ucap Dania pelan, suaranya hampir bergetar.Mark menelan ludahnya, matanya membulat seketika. Kata-kata Dania menyentak kesadarannya, membawa kembali memori mimpi yang seharusnya tetap tersembunyi.Lidahnya mendadak terasa kelu, berat untuk digerakkan. Ia me
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Sore itu, awan kelabu menggantung rendah di langit, seakan mencerminkan perasaan yang berkecamuk di hati Mark.Ia menatap Dania yang duduk di kursi penumpang dengan wajah tenang, meski dalam hati, kekhawatiran terus merayapi pikirannya.Langkah mereka menuju rumah sakit seolah menjadi perjalanan yang panjang dan penuh kecemasan bagi Mark. Ia ingin memastikan segalanya baik-baik saja—terutama untuk Dania dan bayi yang sedang dikandungnya.“Kita harus memastikan semuanya normal. Aku tidak bisa membiarkan kehamilan ini membuatmu tersiksa,” ucap Mark, memecah keheningan. Nada suaranya lembut, namun sarat dengan kecemasan yang tak dapat ia sembunyikan.Dania menoleh, senyum kecil tersungging di bibirnya. Mendengar kekhawatiran suaminya yang begitu mendalam, ia tak bisa menahan tawa ringan yang terdengar dari balik bibirnya. “Kau selalu khawatir berlebihan, Mark. Aku baik-baik saja,” katanya, matanya berbinar dengan kehangatan.Mark menoleh sesaat, meli
Dua puluh tahun yang lalu, di bawah langit sore yang cerah, angin berbisik lembut di antara dedaunan pohon di taman kecil dekat sekolah dasar Jarasi. Taman itu sunyi, hanya diiringi suara sayup-sayup langkah anak-anak yang pulang dari sekolah.Di salah satu sudut taman, seorang anak laki-laki dengan tatapan tajam dan kaku duduk sendirian di bangku kayu tua. Matanya lurus menatap tanah, tubuhnya terlihat kaku, seolah ada beban yang tak terlihat di pundaknya. Itulah Mark, murid baru yang sejak sebulan lalu belum berbicara dengan siapa pun.Dania, seorang gadis kecil dengan rambut hitam yang terikat rapi, melangkah mendekati Mark. Wajahnya dipenuhi rasa penasaran, senyumnya begitu cerah, seolah membawa cahaya ke dalam kegelapan yang menyelimuti Mark."Hai," ucap Dania lembut, suaranya riang, penuh keramahan anak-anak yang polos. “Kau Mark, kan? Aku Dania. Kita satu kelas dan aku tahu kau murid baru di sekolah ini.”Mark mengangkat pandangannya sejenak, hanya sekilas, kemudian kembali men
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.Dua tahun berlalu, Dania dan Mark telah menyelesaikan sekolah dasar mereka dan bersiap melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama. Hari itu, suasana di rumah Mark dipenuhi ketegangan. Ayahnya, Alex, sibuk mempersiapkan perpindahan mereka ke kota besar untuk mengejar karier yang lebih menjanjikan. Tetapi, Mark tidak setuju dengan rencana itu. Ia merasa dunianya di desa ini, bersama neneknya, dan terutama bersama Dania, adalah satu-satunya tempat yang membuatnya merasa hidup."Aku tidak mau ikut dengan kalian! Aku mau tetap di sini saja!" teriak Mark dengan marah, matanya memancarkan pemberontakan yang tak terbendung. “Silakan kalian pergi, tapi aku akan tetap tinggal di sini!” Ia berdiri dengan tegas di depan pintu, menolak untuk masuk ke dalam mobil yang sudah diparkir di halaman.Alex, dengan wajah tegang dan amarah yang menggelegak, menghampiri Mark dengan langkah berat. “Tidak, Mark. Kau harus ikut dengan kami. Jika tidak, kau akan menye
Tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, melainkan karena kesedihan yang begitu dalam. Ia jatuh terduduk di kursi di samping ranjang Dania, tubuhnya tersungkur, air matanya mengalir deras. Rasanya seperti dunia telah menghukumnya tanpa ampun.Mata merahnya tak berhenti menatap wajah sang ayah, penuh kebencian. Sejak kecil, ia merasa tertekan oleh ayahnya, tapi hari ini, semua perasaan itu memuncak.Alex terdiam, lalu mengalihkan pandangannya. "Baiklah," gumamnya dengan nada rendah. "Aku akan memberimu waktu lima belas menit. Setelah itu, tidak ada alasan lagi untuk tetap di sini." Dengan wajah yang tak menunjukkan emosi apa pun, Alex melangkah pergi meninggalkan ruangan, membiarkan anaknya merasakan kesedihannya.Mark tak bergerak. Matanya tertuju pada wajah Dania yang kini mulai membuka matanya dengan perlahan. "Dania...," bisik suara lembut di sisi lain ruangan. Famela, ibu Dania, berdiri di tepi ranjang, menatap anak perempuannya dengan napas tertahan. “Dania, Nak, kau sudah siuma
Sudah satu jam lamanya Dania tak sadarkan diri, dan waktu terasa semakin lambat bagi Mark. Hatinya bergulat dengan perasaan bersalah, rindu, dan ketakutan yang meluap-luap. Setiap detik berlalu seperti pedang yang menusuk lebih dalam ke hatinya. Mark menatap wajah Dania yang tenang, namun dalam kesunyian itu, perasaannya tak tenang sama sekali.“Aku baru tahu jika kau mengalami amnesia saat kecelakaan bersama ibumu,” bisik Mark, suaranya bergetar, seolah berbicara kepada dirinya sendiri, tetapi ia berharap bahwa kata-katanya bisa menembus kegelapan yang kini menyelimuti kesadaran Dania.“Awalnya aku kecewa ...,” lanjutnya pelan, matanya masih tak lepas dari wajah wanita itu, “karena kau tidak mengenalku saat pertemuan pertama kita di hotel, saat takdir mempertemukan kita kembali setelah bertahun-tahun lamanya.”“Awalnya aku bahagia karena bisa bertemu denganmu lagi. Ingin rasanya aku memelukmu saat itu. Hanya saja, kau tidak mengenalku sama sekali.”Mark tersenyum tipis, meski senyum
Ruangan itu kembali hening. Hanya suara isakan kecil Mark yang terdengar di antara detak mesin monitor yang terus berdetak dalam irama monoton. Waktu seolah beku di dalam ruang itu, sementara Mark hanya bisa berharap dan berdoa agar Dania membuka matanya, agar wanita itu kembali padanya, agar mereka bisa memulai kembali kisah yang pernah tertinggal di masa lalu.“Mark?” Suara Dania terdengar lirih, namun cukup untuk membuat jantung Mark berdegup lebih kencang. Ia mendongakkan kepalanya yang sejak tadi tertunduk, menatap wanita yang selama ini ia tunggu-tunggu untuk membuka mata.“Dania ... kau sudah siuman?” Senyum lirih perlahan mengembang di bibir Mark, penuh rasa syukur dan lega. Matanya berkaca-kaca, namun ia menahan air mata yang sejak tadi tertahan agar tidak jatuh.Dania tampak masih lemah, namun matanya mulai terbuka sepenuhnya, menatap ke arah suaminya dengan ekspresi campur aduk. "Aku ... aku bermimpi," ucapnya pelan, suara seraknya memecah keheningan ruangan. "Kau menyela
Tidak membutuhkan waktu lama. Persis dua jam kemudian. Konferensi pers di gelar mendadak.Kilatan lampu kamera menyilaukan, memenuhi ruangan konferensi pers yang penuh sesak.Wartawan dari berbagai media berebut posisi terbaik, mikrofon teracung ke depan, siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Randy. Ketika langkah Rendy menuju meja konferensi."Pak Randy, apa benar Anda mengakui telah mencuri desain Stevan?" seru seorang reporter, suaranya nyaring menembus hiruk-pikuk saat Randy melangkah tergesa menuju meja utama konferensi pers."Apakah ini berarti semua tuduhan terhadap Stevan tidak benar?" tanya yang lain, matanya berbinar, mencium aroma skandal besar.Randy menelan ludah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia mencoba membuka mulut, tetapi suara gemuruh kamera dan bisik-bisik wartawan membuat dadanya semakin sesak.Ia bukan lagi penguasa ruangan. Sekarang ia hanya seorang pria yang terpojok di bawah sorotan lampu.Randy berdiri di depan puluhan mic dari berbagai m
"Siapa yang mengizinkanmu memasuki ruanganku, Mark?" pekik Randy, suaranya melengking, dipenuhi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan.Matanya membulat, seperti seekor tikus yang baru saja menemukan dirinya terperangkap dalam sarang ular."Kenapa?" Mark menjawab dengan nada sedingin es yang menetes perlahan-lahan, menusuk hingga ke tulang."Bukankah kau selalu menantangku di media? Kenapa setelah aku datang, kau malah terkejut seperti itu?" Matanya menatap Randy tajam, bagaikan elang yang mengintai mangsanya dari ketinggian, siap untuk menerkam tanpa ampun.Tatapan itu membuat Randy tersentak. Nyali yang sebelumnya membara di layar media kini menciut, redup seperti lilin di tengah badai.Kata-kata penuh keberanian yang biasa ia lontarkan berubah menjadi gumaman yang kehilangan arah."Bukan kau yang aku singgung, tapi Stevan!" ujar Randy, suaranya masih mencoba terdengar tegas, meski jelas ada getaran kecil yang mencemari nada itu."Baik aku maupun Stevan, sama saja," ujar Mark, s
"Argh! Sial!" seru Emma, suaranya melengking di tengah gemuruh musik yang menghentak.Cahaya neon ungu dan merah berkedip-kedip, membelah bayangan tubuhnya yang bergetar oleh frustrasi. Wajahnya yang memerah oleh amarah terlihat kontras dengan lipstik merah tua yang menghiasi bibirnya.Ia mencengkeram gelas koktail di tangannya hingga jari-jarinya memutih, seolah ingin menyalurkan kemarahan ke dalam benda mati itu.Sudah hampir dua bulan di New York, namun sosok Stevan yang diinginkannya masih saja tak tersentuh, bagai bayang-bayang yang terus menghindar dari cahaya."Sudahlah, Emma," ujar Rose lembut namun tajam, sambil menyandarkan tubuh rampingnya ke sofa empuk."Stevan tidak akan mau padamu. Jika dia menyukaimu, dia pasti sudah menyatakan cinta sejak kalian kuliah. Tapi itu tidak pernah terjadi, bukan?" Rose mengangkat alis, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil yang terasa seperti belati.Emma mendengus kasar, matanya menyipit dengan amarah yang membara. "Itu karena dia su
Stevan mengerutkan keningnya, sorot matanya tertuju pada Clara yang sedari tadi hanya memutar-mutar spaghettinya tanpa minat.Piring di depannya terlihat seperti kanvas yang hanya dilukis separuh hati, gerakan garpu yang berulang menciptakan pola tanpa arah, mencerminkan pikiran yang penuh gejolak.Mereka kini duduk di sebuah restoran kecil nan hangat, dindingnya dihiasi lukisan klasik yang seolah ingin membawa pengunjung ke era lampau.Di luar, matahari siang mengintip malu-malu dari balik awan kelabu, sinarnya yang redup memantul lembut di permukaan meja kayu tempat mereka duduk.“Honey?” panggil Stevan, suaranya penuh perhatian, seperti alunan nada piano yang lembut di tengah hening.“Are you okay?” tanyanya dengan nada sedikit cemas, matanya menatap Clara dengan intensitas yang sulit diabaikan.Clara mendongakkan kepala, memandang Stevan dengan mata yang tampak berkilau namun terselubung bayangan kegelisahan. “Ya. I’m okay,” ucapnya lirih, bibirnya yang pucat membentuk senyum tipi
"Clara? Apa kau tidak merasakan sesuatu?"Suara Mark memecah keheningan dengan nada yang tenang namun penuh teka-teki, seperti bisikan angin malam yang membawa rahasia gelap dari kejauhan.Tatapan matanya mengunci Clara, seolah mencari jawaban yang tak pernah terucap."Apa maksudmu, Dad? Aku tidak mengerti sedikit pun," jawab Clara dengan alis yang berkerut.Ia melanjutkan kunyahannya pada cokelat batang yang mulai meleleh di sudut bibirnya, sementara matanya terpaku pada lembaran buku yang baru saja dibelinya.Mark menghela napas panjang, mengangkat kepalanya perlahan seolah mencari kata-kata yang tepat di langit-langit ruang tamu yang redup. “Sudah berapa lama kau dan Stevan menjalin hubungan?”Pertanyaan itu melayang di udara seperti percikan api kecil di tengah kabut, membakar rasa penasaran dalam dada Clara.Clara melirik ke arah ayahnya dengan pandangan setengah penasaran, setengah jengkel. Jarinya mengetuk meja, menghitung pelan.“Sepertinya sudah mau lima bulan. Kenapa, Dad? A
Mark mengundang Stevan, Sean, Amy, dan juga Lisa untuk makan malam di rumahnya. Clara sendiri tidak tahu jika Mark mengadakan makan malam ini, sehingga suasana di meja makan terasa lebih intim, namun ada juga ketegangan yang menggantung di udara.“Terima kasih atas kehadirannya di acara makan malam ini,” ucap Mark dengan suara berat, matanya menyapu ke seluruh wajah yang hadir, memberikan kesan bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya tidak bisa dianggap remeh.Clara menoleh ke arah Samuel, merasakan kegelisahan yang mulai tumbuh di dada. Pria itu hanya mengendikan bahunya, tanda bahwa dia pun tak tahu jika Mark mengundang orang tuanya dan ibu Stevan ke rumah mereka malam ini.“Terima kasih juga sudah mengundangku pada acara ini, Mark,” ucap Lisa dengan nada lembutnya, namun ada nada yang agak dipaksakan dalam suaranya, seperti yang sering terlihat pada orang yang berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyaman.Mark tersenyum tip
“Apa yang kau bawa dari London? Aku sudah tidak sabar melihatnya.” Clara, yang sebelumnya bersumpah tidak akan memaafkan Stevan, justru merasa seolah tak bisa menjauh dari pria itu.Pertahanannya luluh, begitu cepat dan begitu tiba-tiba, saat tatapan Stevan menyentuhnya dengan kekuatan yang tak terungkapkan.Ada sesuatu dalam mata pria itu yang begitu memikat, seakan ia menarik Clara ke dalam pusaran perasaan yang sulit ditolak.Stevan menatap wajah Clara dengan intensitas yang dalam, seakan ingin membaca setiap jejak emosi yang bersembunyi di dalamnya.Dengan gerakan yang begitu lembut namun penuh tekad, ia menarik wajah Clara mendekat.Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang begitu mendalam, tak terduga, dan penuh gairah. Ciuman itu bukan sekadar pertanda rindu, melainkan sebuah ledakan emosi yang membakar seluruh penahanan mereka.Clara terkejut, hatinya berdebar dengan cepat dan hampir tak teratur. Ciuman itu datang tanpa aba-
Dua minggu kemudian...Perpisahan Lisa dan Randy akhirnya resmi selesai, menyisakan babak baru yang dimulai dengan rasa lega bercampur keraguan.Di bawah langit kelabu New York yang seolah mengerti beratnya perjalanan ini, Lisa mengikuti langkah Stevan memasuki rumah sederhana yang telah disiapkan untuknya.“Ini rumahmu selama di sini,” ucap Stevan singkat, suaranya datar, tetapi ada sekilas kelembutan yang sulit disembunyikan.Lisa melangkah perlahan, matanya mengamati setiap sudut rumah dengan sorot yang sarat makna.Dinding putih bersih, perabotan minimalis, dan suasana hangat rumah itu memberi rasa nyaman yang sudah lama ia rindukan. Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya, seolah menghapus jejak beban dari masa lalunya.“Terima kasih, Nak. Aku tidak akan merepotkanmu selama di sini,” ucapnya lembut, namun suaranya mengandung getar haru.Stevan hanya mengangguk tipis, wajahnya sulit dibaca. Hatinya terbelah&
Ketika pintu apartemen terbuka dengan suara berderit yang berat, Randy berdiri di ambang pintu, tatapan matanya seperti kilatan petir yang menyambar langit malam.Udara di dalam ruangan mendadak terasa dingin, menciptakan suasana tegang yang mengancam meledak kapan saja.“Kau,” desis Randy dengan suara serak yang dipenuhi kemarahan, langkahnya mendekati Stevan dengan berat seperti membawa dendam yang membara. “Kau yang telah menghasut ibumu untuk bercerai denganku, huh?”Stevan berdiri tegak di sisi ruangan, wajahnya tenang namun matanya menyala dengan amarah terpendam.“Memangnya kau masih mengharapkan ibuku?” tanyanya, suaranya tegas seperti pisau yang menusuk ke dalam.“Selama ini kau hanya memanfaatkan ibuku agar mau membujukku untuk membangun perusahaanmu, Tuan Randy yang terhormat.”Randy menggeram, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. “Kurang ajar!” ia men