Dua puluh tahun yang lalu, di bawah langit sore yang cerah, angin berbisik lembut di antara dedaunan pohon di taman kecil dekat sekolah dasar Jarasi. Taman itu sunyi, hanya diiringi suara sayup-sayup langkah anak-anak yang pulang dari sekolah.Di salah satu sudut taman, seorang anak laki-laki dengan tatapan tajam dan kaku duduk sendirian di bangku kayu tua. Matanya lurus menatap tanah, tubuhnya terlihat kaku, seolah ada beban yang tak terlihat di pundaknya. Itulah Mark, murid baru yang sejak sebulan lalu belum berbicara dengan siapa pun.Dania, seorang gadis kecil dengan rambut hitam yang terikat rapi, melangkah mendekati Mark. Wajahnya dipenuhi rasa penasaran, senyumnya begitu cerah, seolah membawa cahaya ke dalam kegelapan yang menyelimuti Mark."Hai," ucap Dania lembut, suaranya riang, penuh keramahan anak-anak yang polos. “Kau Mark, kan? Aku Dania. Kita satu kelas dan aku tahu kau murid baru di sekolah ini.”Mark mengangkat pandangannya sejenak, hanya sekilas, kemudian kembali men
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.Dua tahun berlalu, Dania dan Mark telah menyelesaikan sekolah dasar mereka dan bersiap melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama. Hari itu, suasana di rumah Mark dipenuhi ketegangan. Ayahnya, Alex, sibuk mempersiapkan perpindahan mereka ke kota besar untuk mengejar karier yang lebih menjanjikan. Tetapi, Mark tidak setuju dengan rencana itu. Ia merasa dunianya di desa ini, bersama neneknya, dan terutama bersama Dania, adalah satu-satunya tempat yang membuatnya merasa hidup."Aku tidak mau ikut dengan kalian! Aku mau tetap di sini saja!" teriak Mark dengan marah, matanya memancarkan pemberontakan yang tak terbendung. “Silakan kalian pergi, tapi aku akan tetap tinggal di sini!” Ia berdiri dengan tegas di depan pintu, menolak untuk masuk ke dalam mobil yang sudah diparkir di halaman.Alex, dengan wajah tegang dan amarah yang menggelegak, menghampiri Mark dengan langkah berat. “Tidak, Mark. Kau harus ikut dengan kami. Jika tidak, kau akan menye
Tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, melainkan karena kesedihan yang begitu dalam. Ia jatuh terduduk di kursi di samping ranjang Dania, tubuhnya tersungkur, air matanya mengalir deras. Rasanya seperti dunia telah menghukumnya tanpa ampun.Mata merahnya tak berhenti menatap wajah sang ayah, penuh kebencian. Sejak kecil, ia merasa tertekan oleh ayahnya, tapi hari ini, semua perasaan itu memuncak.Alex terdiam, lalu mengalihkan pandangannya. "Baiklah," gumamnya dengan nada rendah. "Aku akan memberimu waktu lima belas menit. Setelah itu, tidak ada alasan lagi untuk tetap di sini." Dengan wajah yang tak menunjukkan emosi apa pun, Alex melangkah pergi meninggalkan ruangan, membiarkan anaknya merasakan kesedihannya.Mark tak bergerak. Matanya tertuju pada wajah Dania yang kini mulai membuka matanya dengan perlahan. "Dania...," bisik suara lembut di sisi lain ruangan. Famela, ibu Dania, berdiri di tepi ranjang, menatap anak perempuannya dengan napas tertahan. “Dania, Nak, kau sudah siuma
Sudah satu jam lamanya Dania tak sadarkan diri, dan waktu terasa semakin lambat bagi Mark. Hatinya bergulat dengan perasaan bersalah, rindu, dan ketakutan yang meluap-luap. Setiap detik berlalu seperti pedang yang menusuk lebih dalam ke hatinya. Mark menatap wajah Dania yang tenang, namun dalam kesunyian itu, perasaannya tak tenang sama sekali.“Aku baru tahu jika kau mengalami amnesia saat kecelakaan bersama ibumu,” bisik Mark, suaranya bergetar, seolah berbicara kepada dirinya sendiri, tetapi ia berharap bahwa kata-katanya bisa menembus kegelapan yang kini menyelimuti kesadaran Dania.“Awalnya aku kecewa ...,” lanjutnya pelan, matanya masih tak lepas dari wajah wanita itu, “karena kau tidak mengenalku saat pertemuan pertama kita di hotel, saat takdir mempertemukan kita kembali setelah bertahun-tahun lamanya.”“Awalnya aku bahagia karena bisa bertemu denganmu lagi. Ingin rasanya aku memelukmu saat itu. Hanya saja, kau tidak mengenalku sama sekali.”Mark tersenyum tipis, meski senyum
Ruangan itu kembali hening. Hanya suara isakan kecil Mark yang terdengar di antara detak mesin monitor yang terus berdetak dalam irama monoton. Waktu seolah beku di dalam ruang itu, sementara Mark hanya bisa berharap dan berdoa agar Dania membuka matanya, agar wanita itu kembali padanya, agar mereka bisa memulai kembali kisah yang pernah tertinggal di masa lalu.“Mark?” Suara Dania terdengar lirih, namun cukup untuk membuat jantung Mark berdegup lebih kencang. Ia mendongakkan kepalanya yang sejak tadi tertunduk, menatap wanita yang selama ini ia tunggu-tunggu untuk membuka mata.“Dania ... kau sudah siuman?” Senyum lirih perlahan mengembang di bibir Mark, penuh rasa syukur dan lega. Matanya berkaca-kaca, namun ia menahan air mata yang sejak tadi tertahan agar tidak jatuh.Dania tampak masih lemah, namun matanya mulai terbuka sepenuhnya, menatap ke arah suaminya dengan ekspresi campur aduk. "Aku ... aku bermimpi," ucapnya pelan, suara seraknya memecah keheningan ruangan. "Kau menyela
Mark mengangguk pelan, matanya menatap dalam-dalam ke mata Dania, seolah-olah kata-kata yang ia simpan selama ini tak akan pernah cukup untuk menjelaskan semuanya. “Aku tidak ingin kau terluka lagi, Dania,” ucapnya lembut. “Aku sudah kehilanganmu sekali, dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Aku mencintaimu lebih dari yang bisa kukatakan, lebih dari apa pun.”Kata-kata itu menembus jauh ke dalam hati Dania, menelusup ke dalam relung-relung perasaan yang selama ini tersembunyi. Air mata perlahan membasahi sudut matanya, namun ia menahannya, mencoba tetap kuat di hadapan pria yang sudah berkorban begitu banyak untuknya.“Sebenarnya, aku ingin tahu apa saja yang kita lewati saat itu, Mark,” kata Dania dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku ingin tahu semua yang terjadi antara kita, kenangan-kenangan yang aku lupa... Aku ingin mendengarnya darimu."Mark menggenggam erat tangan Dania, jemarinya yang kokoh terasa hangat di atas kulit dingin istrinya. Dia mengusap pungg
Alex melangkahkan kakinya dengan berat, gerakannya lamban namun penuh penekanan, menghampiri Sarah yang duduk dengan anggun di sofa ruang tamu.Di tangannya, Sarah menggenggam sebuah majalah, namun jarinya sibuk menyempurnakan cat kuku berwarna biru gelap yang baru saja ia kenakan.Sesekali ia meniup pelan permukaan kuku yang berkilauan, sembari matanya melirik sekilas ke arah sang suami yang mulai mendekat.Namun, ia tidak berhenti membaca. Ia tetap fokus pada halaman di depannya, seolah tidak terganggu oleh kehadiran Alex yang kian mendekat."Kau sudah tahu kan," suara Alex pecah, keras namun mengandung kemarahan yang terkekang. "Bahwa Dania yang Mark nikahi adalah Dania kecil yang telah membuat anak itu jadi membenci kita?" Nada suaranya penuh penekanan, sarat dengan dendam yang belum sirna oleh waktu.Sarah, yang awalnya tidak menghiraukan suaminya, tiba-tiba terdiam sejenak. Perlahan, ia menutup majalah tersebut dan meletakkannya di atas meja, lalu menatap Alex.Wajahnya tetap da
Sarah menatap Alex dengan tatapan lembut, namun tegas. "Aku tidak membela siapa pun, Alex. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Dania telah membuat Mark kembali menemukan dirinya sendiri, setelah bertahun-tahun kita membuatnya tersesat. Jika kau benar-benar mencintai putramu, kau harus belajar menerima bahwa dia telah memilih jalannya sendiri."Alex mengepalkan tangannya, jemarinya menggenggam kuat seakan-akan bisa menghancurkan apa pun yang ada di genggamannya. Matanya yang gelap menatap lurus ke arah Sarah dengan tatapan dingin yang penuh amarah.“Mark akan semakin besar kepala karena berhasil keluar dari perusahaanku, Sarah. Dan sekarang, perusahaanku terancam gulung tikar karena ulah Mark!” Suaranya meledak-ledak, seperti api yang baru saja disulut bensin, menyala penuh kebencian yang tak tertahankan.Sarah, yang berdiri beberapa langkah di hadapannya, menatap Alex dengan sorot mata tajam. Wajahnya tidak lagi menyimpan sisa kelembutan yang biasa ia tunjukkan.Kali ini, kesabarann