Sarah menatap Alex dengan tatapan lembut, namun tegas. "Aku tidak membela siapa pun, Alex. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Dania telah membuat Mark kembali menemukan dirinya sendiri, setelah bertahun-tahun kita membuatnya tersesat. Jika kau benar-benar mencintai putramu, kau harus belajar menerima bahwa dia telah memilih jalannya sendiri."Alex mengepalkan tangannya, jemarinya menggenggam kuat seakan-akan bisa menghancurkan apa pun yang ada di genggamannya. Matanya yang gelap menatap lurus ke arah Sarah dengan tatapan dingin yang penuh amarah.“Mark akan semakin besar kepala karena berhasil keluar dari perusahaanku, Sarah. Dan sekarang, perusahaanku terancam gulung tikar karena ulah Mark!” Suaranya meledak-ledak, seperti api yang baru saja disulut bensin, menyala penuh kebencian yang tak tertahankan.Sarah, yang berdiri beberapa langkah di hadapannya, menatap Alex dengan sorot mata tajam. Wajahnya tidak lagi menyimpan sisa kelembutan yang biasa ia tunjukkan.Kali ini, kesabarann
Setelah perdebatan sengit dengan Alex, Sarah merasa lelah, baik fisik maupun batin. Ia duduk terdiam di ruang tamu yang sunyi, hanya ditemani oleh suara detik jam yang berirama lambat, seakan mempermainkan waktu yang berlarut-larut.Di depannya, ponselnya tergeletak di meja, tak lagi aktif. Ia sudah mencoba menghubungi Dania, namun hingga dering terakhir, panggilan itu tak pernah diangkat."Ke mana kalian? Dania, kau di mana?" gumam Sarah pelan, frustrasi. Ia tahu, Mark pasti juga tidak akan menerima panggilan darinya. “Mark juga pasti sedang tidak ingin bicara denganku...,” lanjutnya lirih, matanya menerawang kosong, seolah-olah mencari jawaban di udara.Tak lama kemudian, suara langkah ringan terdengar dari arah pintu. Sesyl, putri satu-satunya yang masih tinggal bersamanya, masuk ke ruangan itu dengan wajah penuh keheranan. Ia langsung duduk di samping ibunya, menggenggam tangan Sarah yang dingin dan penuh beban.“Ibu? Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Sesyl dengan nada khawatir. M
Ruangan itu dipenuhi keheningan yang berat, suasana antara ibu dan anak yang terisi dengan percikan percakapan terjaga. Sarah dan Sesyl duduk di sofa ruang tengah, menunggu dengan sabar. Sesekali mata mereka saling bertaut, namun tak ada kata yang terucap. Langit malam di luar jendela tampak gelap, seolah menggambarkan suasana hati yang tegang.Tak lama kemudian, Mark keluar dari kamarnya. Penampilannya sederhana—celana pendek dan kaus polos, tanpa sedikit pun menyiratkan kesan bahwa ia tengah menyimpan rahasia besar di balik sikap dinginnya. Wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun saat ia duduk di hadapan ibu dan adiknya, hanya sesekali tangan kasarnya memutar-mutar cincin pernikahannya."Ada apa malam-malam begini ingin bertemu denganku?" tanya Mark dengan nada datar, seolah tak ingin membuang banyak waktu untuk basa-basi.Sarah menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. "Aku dengar dari Sesyl bahwa Dania sedang hamil. Apa itu benar, Mark?" Suaranya lembut, penuh p
Sarah menelan ludahnya, terhantam oleh kata-kata Mark yang begitu tajam dan langsung menghunjam. Matanya menatap anaknya, penuh dengan penyesalan yang tak terucapkan. Ia tahu bahwa Mark memendam amarah yang luar biasa. Amarah yang sudah lama tertahan, akhirnya meledak. Mata anaknya, yang dulunya penuh cinta, kini menyala dengan kemarahan yang sulit dipadamkan.“Maafkan aku, Mark...” suara Sarah terdengar pelan, nyaris seperti bisikan, tercekik oleh rasa bersalah yang begitu besar. "Aku tidak pernah bermaksud memisahkanmu dengan Dania. Ayahmu hanya… dia hanya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan saat itu." Kalimatnya terdengar seperti pembelaan yang rapuh, seolah berusaha mencari pengampunan atas dosa yang begitu berat.Mark tersenyum, tetapi senyum itu jauh dari kebahagiaan. Senyum itu dipenuhi dengan kepahitan yang mendalam. “Ya, kalian memang egois,” katanya dengan nada getir. “Meskipun aku sudah meminta untuk tetap tinggal di sana bersama Nenek, kalian tak pernah mendengarnya. K
Kegelapan malam yang pekat dan angin yang dingin merayap di sudut-sudut gudang tua itu, membuat seluruh tubuh Mark menggigil. Ia duduk meringkuk di sudut ruangan, memeluk lututnya dengan erat, mencoba menahan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang.Bibirnya membiru, wajahnya pucat seperti kehilangan kehidupan. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia terkurung di sana, namun waktu terasa begitu lambat, seolah setiap detik menjadi derita yang tak tertahankan."Dania... tolong aku..." lirih suara Mark, suaranya begitu lemah, nyaris tak terdengar di tengah keheningan malam yang mengerikan itu. Matanya yang sayu terpejam, seolah mencoba mencari sedikit kehangatan dalam bayang-bayang sosok yang ia rindukan."Dania... aku ingin bertemu denganmu..." bisiknya lagi, namun tak ada jawaban, hanya sunyi yang menjawab permohonannya.Tubuhnya semakin lemas. Mark merasa tidak mampu lagi bertahan. Dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, ia terbaring di atas lantai dingin dan keras itu, tubuhnya gemetar h
Kata-katanya menusuk, menghancurkan atmosfer yang sebelumnya penuh dengan ketegangan. Sarah menatap suaminya dengan tatapan nanar, seluruh tubuhnya bergetar karena amarah dan kekecewaan.“Alex!” pekik Sarah, suaranya gemetar namun dipenuhi oleh luka yang dalam.“Apa?” Alex menatapnya dengan tatapan dingin, tidak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah.“Kau sendiri yang menggodaku dan membuatmu hamil. Mark tidak pernah aku harapkan lahir ke dunia ini, Sarah. Gara-gara kau, aku harus kehilangan wanita yang kucintai!”Sarah tersentak. Kata-kata Alex menamparnya keras. Rasa sakit itu seperti racun yang mengalir dalam darahnya, menghancurkan setiap serpihan harapan yang pernah ia miliki.“Jadi... itu alasanmu membencinya? Hanya karena aku?” suaranya hampir tak terdengar, seolah sisa kekuatannya terserap oleh rasa bersalah yang tiba-tiba menghantam dirinya.“Seharusnya kau paham, kenapa aku memisahkan dia dengan Dania,” lanjut Alex tanpa belas kasihan. “Karena Mark harus merasakan apa yang a
Mark membuka matanya perlahan, tatapannya masih terselubung sisa-sisa mimpi yang mengguncang jiwanya. Namun, begitu ia menoleh, pandangannya tertuju pada sosok yang begitu ia cintai—Dania. Ia menatapnya dengan senyum tipis di bibir yang selalu membuat hatinya tenang, meski badai amarah dan kekecewaan kerap berkecamuk di dalam dirinya.“Kau bermimpi buruk lagi?” bisik Dania dengan suara lembut, seakan tak ingin memecah kesunyian yang menyelimuti mereka.Mark tersenyum, namun senyum itu lebih mirip garis tipis kesedihan yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. “Hanya kembali ke masa lalu setelah kita berpisah,” jawabnya pelan, nadanya penuh dengan kegetiran. “Setiap kali ibuku menemuiku, bayangan itu selalu datang. Seakan-akan semua yang sudah kukubur dalam-dalam kembali menghantui.”Dania menatapnya dengan penuh kasih, matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. Ia meraih tangan Mark, mengusap punggung tangannya yang terasa dingin, seperti baru saja keluar dari lemari pendingin. “A
Setelah menandatangani beberapa dokumen yang sempat tertunda, Mark memberikan file tersebut kepada Vicky, asisten setianya yang selalu siap melaksanakan perintah dengan cepat dan teliti.Cahaya dari jendela ruang kerjanya memantulkan bayang-bayang lelah di wajah Mark yang tak pernah benar-benar tersenyum lepas, meskipun segalanya tampak berjalan sempurna di hidupnya yang terkesan mewah.“Kosongkan jadwal siang ini,” ucap Mark sembari menghela napas panjang, "karena aku harus menemui Hans jam dua siang nanti."Vicky mengangguk patuh, seperti biasa, penuh kesungguhan dan tanpa banyak pertanyaan. "Baik, Tuan. Akan saya re-schedule kembali pertemuan untuk hari ini."Suaranya datar, namun tersirat perhatian di balik nada resminya. Setelah berpikir sejenak, Vicky memberanikan diri bertanya, meski dengan nada yang lebih pelan, "Apakah Anda ingin saya temani?"Mark menggeleng, sedikit senyum terbit di wajahnya, meski tidak bisa menyembunyikan ketegangan yang tersirat di matanya. "Tidak perlu.
Tidak membutuhkan waktu lama. Persis dua jam kemudian. Konferensi pers di gelar mendadak.Kilatan lampu kamera menyilaukan, memenuhi ruangan konferensi pers yang penuh sesak.Wartawan dari berbagai media berebut posisi terbaik, mikrofon teracung ke depan, siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Randy. Ketika langkah Rendy menuju meja konferensi."Pak Randy, apa benar Anda mengakui telah mencuri desain Stevan?" seru seorang reporter, suaranya nyaring menembus hiruk-pikuk saat Randy melangkah tergesa menuju meja utama konferensi pers."Apakah ini berarti semua tuduhan terhadap Stevan tidak benar?" tanya yang lain, matanya berbinar, mencium aroma skandal besar.Randy menelan ludah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia mencoba membuka mulut, tetapi suara gemuruh kamera dan bisik-bisik wartawan membuat dadanya semakin sesak.Ia bukan lagi penguasa ruangan. Sekarang ia hanya seorang pria yang terpojok di bawah sorotan lampu.Randy berdiri di depan puluhan mic dari berbagai m
"Siapa yang mengizinkanmu memasuki ruanganku, Mark?" pekik Randy, suaranya melengking, dipenuhi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan.Matanya membulat, seperti seekor tikus yang baru saja menemukan dirinya terperangkap dalam sarang ular."Kenapa?" Mark menjawab dengan nada sedingin es yang menetes perlahan-lahan, menusuk hingga ke tulang."Bukankah kau selalu menantangku di media? Kenapa setelah aku datang, kau malah terkejut seperti itu?" Matanya menatap Randy tajam, bagaikan elang yang mengintai mangsanya dari ketinggian, siap untuk menerkam tanpa ampun.Tatapan itu membuat Randy tersentak. Nyali yang sebelumnya membara di layar media kini menciut, redup seperti lilin di tengah badai.Kata-kata penuh keberanian yang biasa ia lontarkan berubah menjadi gumaman yang kehilangan arah."Bukan kau yang aku singgung, tapi Stevan!" ujar Randy, suaranya masih mencoba terdengar tegas, meski jelas ada getaran kecil yang mencemari nada itu."Baik aku maupun Stevan, sama saja," ujar Mark, s
"Argh! Sial!" seru Emma, suaranya melengking di tengah gemuruh musik yang menghentak.Cahaya neon ungu dan merah berkedip-kedip, membelah bayangan tubuhnya yang bergetar oleh frustrasi. Wajahnya yang memerah oleh amarah terlihat kontras dengan lipstik merah tua yang menghiasi bibirnya.Ia mencengkeram gelas koktail di tangannya hingga jari-jarinya memutih, seolah ingin menyalurkan kemarahan ke dalam benda mati itu.Sudah hampir dua bulan di New York, namun sosok Stevan yang diinginkannya masih saja tak tersentuh, bagai bayang-bayang yang terus menghindar dari cahaya."Sudahlah, Emma," ujar Rose lembut namun tajam, sambil menyandarkan tubuh rampingnya ke sofa empuk."Stevan tidak akan mau padamu. Jika dia menyukaimu, dia pasti sudah menyatakan cinta sejak kalian kuliah. Tapi itu tidak pernah terjadi, bukan?" Rose mengangkat alis, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil yang terasa seperti belati.Emma mendengus kasar, matanya menyipit dengan amarah yang membara. "Itu karena dia su
Stevan mengerutkan keningnya, sorot matanya tertuju pada Clara yang sedari tadi hanya memutar-mutar spaghettinya tanpa minat.Piring di depannya terlihat seperti kanvas yang hanya dilukis separuh hati, gerakan garpu yang berulang menciptakan pola tanpa arah, mencerminkan pikiran yang penuh gejolak.Mereka kini duduk di sebuah restoran kecil nan hangat, dindingnya dihiasi lukisan klasik yang seolah ingin membawa pengunjung ke era lampau.Di luar, matahari siang mengintip malu-malu dari balik awan kelabu, sinarnya yang redup memantul lembut di permukaan meja kayu tempat mereka duduk.“Honey?” panggil Stevan, suaranya penuh perhatian, seperti alunan nada piano yang lembut di tengah hening.“Are you okay?” tanyanya dengan nada sedikit cemas, matanya menatap Clara dengan intensitas yang sulit diabaikan.Clara mendongakkan kepala, memandang Stevan dengan mata yang tampak berkilau namun terselubung bayangan kegelisahan. “Ya. I’m okay,” ucapnya lirih, bibirnya yang pucat membentuk senyum tipi
"Clara? Apa kau tidak merasakan sesuatu?"Suara Mark memecah keheningan dengan nada yang tenang namun penuh teka-teki, seperti bisikan angin malam yang membawa rahasia gelap dari kejauhan.Tatapan matanya mengunci Clara, seolah mencari jawaban yang tak pernah terucap."Apa maksudmu, Dad? Aku tidak mengerti sedikit pun," jawab Clara dengan alis yang berkerut.Ia melanjutkan kunyahannya pada cokelat batang yang mulai meleleh di sudut bibirnya, sementara matanya terpaku pada lembaran buku yang baru saja dibelinya.Mark menghela napas panjang, mengangkat kepalanya perlahan seolah mencari kata-kata yang tepat di langit-langit ruang tamu yang redup. “Sudah berapa lama kau dan Stevan menjalin hubungan?”Pertanyaan itu melayang di udara seperti percikan api kecil di tengah kabut, membakar rasa penasaran dalam dada Clara.Clara melirik ke arah ayahnya dengan pandangan setengah penasaran, setengah jengkel. Jarinya mengetuk meja, menghitung pelan.“Sepertinya sudah mau lima bulan. Kenapa, Dad? A
Mark mengundang Stevan, Sean, Amy, dan juga Lisa untuk makan malam di rumahnya. Clara sendiri tidak tahu jika Mark mengadakan makan malam ini, sehingga suasana di meja makan terasa lebih intim, namun ada juga ketegangan yang menggantung di udara.“Terima kasih atas kehadirannya di acara makan malam ini,” ucap Mark dengan suara berat, matanya menyapu ke seluruh wajah yang hadir, memberikan kesan bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya tidak bisa dianggap remeh.Clara menoleh ke arah Samuel, merasakan kegelisahan yang mulai tumbuh di dada. Pria itu hanya mengendikan bahunya, tanda bahwa dia pun tak tahu jika Mark mengundang orang tuanya dan ibu Stevan ke rumah mereka malam ini.“Terima kasih juga sudah mengundangku pada acara ini, Mark,” ucap Lisa dengan nada lembutnya, namun ada nada yang agak dipaksakan dalam suaranya, seperti yang sering terlihat pada orang yang berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyaman.Mark tersenyum tip
“Apa yang kau bawa dari London? Aku sudah tidak sabar melihatnya.” Clara, yang sebelumnya bersumpah tidak akan memaafkan Stevan, justru merasa seolah tak bisa menjauh dari pria itu.Pertahanannya luluh, begitu cepat dan begitu tiba-tiba, saat tatapan Stevan menyentuhnya dengan kekuatan yang tak terungkapkan.Ada sesuatu dalam mata pria itu yang begitu memikat, seakan ia menarik Clara ke dalam pusaran perasaan yang sulit ditolak.Stevan menatap wajah Clara dengan intensitas yang dalam, seakan ingin membaca setiap jejak emosi yang bersembunyi di dalamnya.Dengan gerakan yang begitu lembut namun penuh tekad, ia menarik wajah Clara mendekat.Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang begitu mendalam, tak terduga, dan penuh gairah. Ciuman itu bukan sekadar pertanda rindu, melainkan sebuah ledakan emosi yang membakar seluruh penahanan mereka.Clara terkejut, hatinya berdebar dengan cepat dan hampir tak teratur. Ciuman itu datang tanpa aba-
Dua minggu kemudian...Perpisahan Lisa dan Randy akhirnya resmi selesai, menyisakan babak baru yang dimulai dengan rasa lega bercampur keraguan.Di bawah langit kelabu New York yang seolah mengerti beratnya perjalanan ini, Lisa mengikuti langkah Stevan memasuki rumah sederhana yang telah disiapkan untuknya.“Ini rumahmu selama di sini,” ucap Stevan singkat, suaranya datar, tetapi ada sekilas kelembutan yang sulit disembunyikan.Lisa melangkah perlahan, matanya mengamati setiap sudut rumah dengan sorot yang sarat makna.Dinding putih bersih, perabotan minimalis, dan suasana hangat rumah itu memberi rasa nyaman yang sudah lama ia rindukan. Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya, seolah menghapus jejak beban dari masa lalunya.“Terima kasih, Nak. Aku tidak akan merepotkanmu selama di sini,” ucapnya lembut, namun suaranya mengandung getar haru.Stevan hanya mengangguk tipis, wajahnya sulit dibaca. Hatinya terbelah&
Ketika pintu apartemen terbuka dengan suara berderit yang berat, Randy berdiri di ambang pintu, tatapan matanya seperti kilatan petir yang menyambar langit malam.Udara di dalam ruangan mendadak terasa dingin, menciptakan suasana tegang yang mengancam meledak kapan saja.“Kau,” desis Randy dengan suara serak yang dipenuhi kemarahan, langkahnya mendekati Stevan dengan berat seperti membawa dendam yang membara. “Kau yang telah menghasut ibumu untuk bercerai denganku, huh?”Stevan berdiri tegak di sisi ruangan, wajahnya tenang namun matanya menyala dengan amarah terpendam.“Memangnya kau masih mengharapkan ibuku?” tanyanya, suaranya tegas seperti pisau yang menusuk ke dalam.“Selama ini kau hanya memanfaatkan ibuku agar mau membujukku untuk membangun perusahaanmu, Tuan Randy yang terhormat.”Randy menggeram, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. “Kurang ajar!” ia men