Ruangan itu dipenuhi keheningan yang berat, suasana antara ibu dan anak yang terisi dengan percikan percakapan terjaga. Sarah dan Sesyl duduk di sofa ruang tengah, menunggu dengan sabar. Sesekali mata mereka saling bertaut, namun tak ada kata yang terucap. Langit malam di luar jendela tampak gelap, seolah menggambarkan suasana hati yang tegang.Tak lama kemudian, Mark keluar dari kamarnya. Penampilannya sederhana—celana pendek dan kaus polos, tanpa sedikit pun menyiratkan kesan bahwa ia tengah menyimpan rahasia besar di balik sikap dinginnya. Wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun saat ia duduk di hadapan ibu dan adiknya, hanya sesekali tangan kasarnya memutar-mutar cincin pernikahannya."Ada apa malam-malam begini ingin bertemu denganku?" tanya Mark dengan nada datar, seolah tak ingin membuang banyak waktu untuk basa-basi.Sarah menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. "Aku dengar dari Sesyl bahwa Dania sedang hamil. Apa itu benar, Mark?" Suaranya lembut, penuh p
Sarah menelan ludahnya, terhantam oleh kata-kata Mark yang begitu tajam dan langsung menghunjam. Matanya menatap anaknya, penuh dengan penyesalan yang tak terucapkan. Ia tahu bahwa Mark memendam amarah yang luar biasa. Amarah yang sudah lama tertahan, akhirnya meledak. Mata anaknya, yang dulunya penuh cinta, kini menyala dengan kemarahan yang sulit dipadamkan.“Maafkan aku, Mark...” suara Sarah terdengar pelan, nyaris seperti bisikan, tercekik oleh rasa bersalah yang begitu besar. "Aku tidak pernah bermaksud memisahkanmu dengan Dania. Ayahmu hanya… dia hanya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan saat itu." Kalimatnya terdengar seperti pembelaan yang rapuh, seolah berusaha mencari pengampunan atas dosa yang begitu berat.Mark tersenyum, tetapi senyum itu jauh dari kebahagiaan. Senyum itu dipenuhi dengan kepahitan yang mendalam. “Ya, kalian memang egois,” katanya dengan nada getir. “Meskipun aku sudah meminta untuk tetap tinggal di sana bersama Nenek, kalian tak pernah mendengarnya. K
Kegelapan malam yang pekat dan angin yang dingin merayap di sudut-sudut gudang tua itu, membuat seluruh tubuh Mark menggigil. Ia duduk meringkuk di sudut ruangan, memeluk lututnya dengan erat, mencoba menahan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang.Bibirnya membiru, wajahnya pucat seperti kehilangan kehidupan. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia terkurung di sana, namun waktu terasa begitu lambat, seolah setiap detik menjadi derita yang tak tertahankan."Dania... tolong aku..." lirih suara Mark, suaranya begitu lemah, nyaris tak terdengar di tengah keheningan malam yang mengerikan itu. Matanya yang sayu terpejam, seolah mencoba mencari sedikit kehangatan dalam bayang-bayang sosok yang ia rindukan."Dania... aku ingin bertemu denganmu..." bisiknya lagi, namun tak ada jawaban, hanya sunyi yang menjawab permohonannya.Tubuhnya semakin lemas. Mark merasa tidak mampu lagi bertahan. Dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, ia terbaring di atas lantai dingin dan keras itu, tubuhnya gemetar h
Kata-katanya menusuk, menghancurkan atmosfer yang sebelumnya penuh dengan ketegangan. Sarah menatap suaminya dengan tatapan nanar, seluruh tubuhnya bergetar karena amarah dan kekecewaan.“Alex!” pekik Sarah, suaranya gemetar namun dipenuhi oleh luka yang dalam.“Apa?” Alex menatapnya dengan tatapan dingin, tidak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah.“Kau sendiri yang menggodaku dan membuatmu hamil. Mark tidak pernah aku harapkan lahir ke dunia ini, Sarah. Gara-gara kau, aku harus kehilangan wanita yang kucintai!”Sarah tersentak. Kata-kata Alex menamparnya keras. Rasa sakit itu seperti racun yang mengalir dalam darahnya, menghancurkan setiap serpihan harapan yang pernah ia miliki.“Jadi... itu alasanmu membencinya? Hanya karena aku?” suaranya hampir tak terdengar, seolah sisa kekuatannya terserap oleh rasa bersalah yang tiba-tiba menghantam dirinya.“Seharusnya kau paham, kenapa aku memisahkan dia dengan Dania,” lanjut Alex tanpa belas kasihan. “Karena Mark harus merasakan apa yang a
Mark membuka matanya perlahan, tatapannya masih terselubung sisa-sisa mimpi yang mengguncang jiwanya. Namun, begitu ia menoleh, pandangannya tertuju pada sosok yang begitu ia cintai—Dania. Ia menatapnya dengan senyum tipis di bibir yang selalu membuat hatinya tenang, meski badai amarah dan kekecewaan kerap berkecamuk di dalam dirinya.“Kau bermimpi buruk lagi?” bisik Dania dengan suara lembut, seakan tak ingin memecah kesunyian yang menyelimuti mereka.Mark tersenyum, namun senyum itu lebih mirip garis tipis kesedihan yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. “Hanya kembali ke masa lalu setelah kita berpisah,” jawabnya pelan, nadanya penuh dengan kegetiran. “Setiap kali ibuku menemuiku, bayangan itu selalu datang. Seakan-akan semua yang sudah kukubur dalam-dalam kembali menghantui.”Dania menatapnya dengan penuh kasih, matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. Ia meraih tangan Mark, mengusap punggung tangannya yang terasa dingin, seperti baru saja keluar dari lemari pendingin. “A
Setelah menandatangani beberapa dokumen yang sempat tertunda, Mark memberikan file tersebut kepada Vicky, asisten setianya yang selalu siap melaksanakan perintah dengan cepat dan teliti.Cahaya dari jendela ruang kerjanya memantulkan bayang-bayang lelah di wajah Mark yang tak pernah benar-benar tersenyum lepas, meskipun segalanya tampak berjalan sempurna di hidupnya yang terkesan mewah.“Kosongkan jadwal siang ini,” ucap Mark sembari menghela napas panjang, "karena aku harus menemui Hans jam dua siang nanti."Vicky mengangguk patuh, seperti biasa, penuh kesungguhan dan tanpa banyak pertanyaan. "Baik, Tuan. Akan saya re-schedule kembali pertemuan untuk hari ini."Suaranya datar, namun tersirat perhatian di balik nada resminya. Setelah berpikir sejenak, Vicky memberanikan diri bertanya, meski dengan nada yang lebih pelan, "Apakah Anda ingin saya temani?"Mark menggeleng, sedikit senyum terbit di wajahnya, meski tidak bisa menyembunyikan ketegangan yang tersirat di matanya. "Tidak perlu.
Dania duduk di tepi tempat tidur, menatap layar ponselnya yang seolah menjadi jendela kecil yang membuka pintu komunikasi antara dirinya dan suaminya, Mark.Setiap detik berlalu terasa lambat, seperti alunan waktu yang terhenti di tengah ketidakpastian. Pesan yang ia kirimkan beberapa menit lalu masih terlihat tanpa balasan, membuat perasaannya sedikit gusar."Mark. Hari ini kau akan pulang pukul berapa? Aku ingin memasak sesuatu untukmu. Apakah kau akan makan malam bersama denganku?" tulisnya di pesan singkat yang dikirim dengan penuh harapan.Ia menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan yang muncul ketika kegelisahan menghampiri.Jari-jari halusnya menyusuri layar ponsel, berharap ada tanda dari Mark—tanda bahwa ia membaca dan segera membalas. Namun, yang didapatinya hanyalah hening yang tak terjawab."Kenapa lama sekali," gumamnya pelan, suara lembutnya nyaris tersapu oleh suara angin yang datang dari jendela yang sedikit terbuka.Matanya terarah pada pintu kamar, dan seiring wakt
Dania membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan yang merembes dari tubuh sang suami yang masih memeluknya erat.Ruangan remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu tidur, membuat suasana terasa hening dan damai. Di sampingnya, Mark telah terlelap dalam tidur yang lelap, beberapa saat setelah mereka tenggelam dalam keintiman yang begitu menggairahkan.Dania bisa merasakan napas Mark yang teratur, tubuhnya bergerak lembut seirama dengan alunan napas tidur yang damai. Ia terjaga, tidak mampu melepas pandangan dari wajah suaminya yang begitu dekat.Dengan hati-hati, Dania mengusap lembut sisi wajah Mark, jemarinya menelusuri garis rahang yang tegas dan kulit yang terasa hangat di bawah sentuhannya. Mark tetap terlelap, tidak menyadari sentuhan lembut istrinya.Dania tersenyum kecil, bibirnya melengkung dengan kehangatan yang penuh cinta. “Kau pasti sangat lelah, Mark. Raut wajahmu tidak bisa berbohong jika sebenarnya kau sangat letih,” bisiknya pelan, suaranya nyaris
Di sebuah apartemen mewah dengan jendela kaca besar menghadap cakrawala, Emma berdiri dengan tangan terlipat di dada, rahangnya mengatup keras.Di belakangnya, Mike menghempaskan tubuh ke sofa, kepalanya terbenam di kedua telapak tangan."Hanya kau yang bisa menolongku, Mike?" Suara Emma lembut, memohon. Ia sengaja memilih bersikap selembut kapas agar Mike akhirnya luluh.Mike menggeleng. "Tidak. Sekali tidak tetap tidak. Silakan pergi. Kau tahu di mana letak pintunya, bukan?"Mike meninggikan suara dan menunjuk pintu apartemennya"Mike, apa kau sebodoh itu? Semua belum hancur, Mike!" Emma menatap Mike dengan tajam, mencoba meyakinkannya.Tangannya menggenggam lengan pria itu, seolah ingin menyalurkan keberanian.Mike mendongak, matanya berkilat marah. "Aku tidak punya pilihan! Nama keluargaku hancur. Daddy telah membuat aku tidak dipercaya lagi di dunia bisnis.“Perusahaan kami sekarat, dan kau ingin aku mengejar perempuan yang bahkan tak peduli padaku? Kau egois, Emma!"Emma mendeca
Kabut tipis menggantung di puncak-puncak pegunungan yang menjulang tinggi di depan mereka.Suara angin yang lembut berdesir melalui pepohonan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan segar.Di kejauhan, suara lonceng sapi terdengar pelan, menyatu dengan kedamaian pedesaan Swiss.Stevan dan Clara berdiri di depan sebuah rumah kayu kecil, dikelilingi ladang hijau yang terbentang luas, tak terganggu oleh hiruk-pikuk dunia luar.Liburan semester ini Stevan membawa Clara liburan di Swiss menikmati udara pedesaan yang asri.Clara menyeka ujung hidungnya dengan jaket tebal yang ia kenakan, matanya berbinar menatap panorama yang terbentang.“Stevan ... ini begitu indah,” katanya dengan nada lembut, suaranya hampir tenggelam dalam kesunyian alam.Stevan tersenyum, menatap Clara dengan penuh perhatian. “Aku tahu kau akan suka di sini. Swiss selalu punya cara untuk membuat hati terasa tenang,” jawabnya, sambil meletakkan tangan di bahu Clara, merasakan kedekatan mereka yang begitu kuat.Tak ada k
New York, langit biru cerah yang sedikit tercemar oleh kabut tipis menyambut kedatangan Mark di bandara.Ia melangkah keluar dari terminal dengan langkah cepat, meninggalkan keramaian yang masih sibuk mengejar barang-barang mereka.Tak lama, Stevan sudah menunggu di luar, berdiri dengan punggung tegak dan wajah penuh tekad. Begitu mata mereka bertemu, Stevan langsung menghampiri Mark.“Stevan, apa kabarmu?” Suara Mark terdengar berat, tetapi ada ketenangan di sana.“Kabar baik. Aku melihat pemberitaan media bahwa Randy sudah membuat pernyataan.”Mark mengangguk pasti. “Itu berarti semuanya selesai.”“Ya, selesai. Rasanya begitu lega namun masih tak percaya, Mark.” jawab Randy menatap Mark dalam.“Randy sudah mengakui perbuatannya di depan media. Semua yang kita bicarakan kemarin sudah tuntas. Namamu bersih mulai dari sekarang.” Mark meyakinkan lagi.Stevan terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Terima kasih, Dad. Aku ... aku tidak tahu harus berkata apa lagi.” Suaranya terdeng
Tidak membutuhkan waktu lama. Persis dua jam kemudian. Konferensi pers di gelar mendadak.Kilatan lampu kamera menyilaukan, memenuhi ruangan konferensi pers yang penuh sesak.Wartawan dari berbagai media berebut posisi terbaik, mikrofon teracung ke depan, siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Randy. Ketika langkah Rendy menuju meja konferensi."Pak Randy, apa benar Anda mengakui telah mencuri desain Stevan?" seru seorang reporter, suaranya nyaring menembus hiruk-pikuk saat Randy melangkah tergesa menuju meja utama konferensi pers."Apakah ini berarti semua tuduhan terhadap Stevan tidak benar?" tanya yang lain, matanya berbinar, mencium aroma skandal besar.Randy menelan ludah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia mencoba membuka mulut, tetapi suara gemuruh kamera dan bisik-bisik wartawan membuat dadanya semakin sesak.Ia bukan lagi penguasa ruangan. Sekarang ia hanya seorang pria yang terpojok di bawah sorotan lampu.Randy berdiri di depan puluhan mic dari berbagai m
"Siapa yang mengizinkanmu memasuki ruanganku, Mark?" pekik Randy, suaranya melengking, dipenuhi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan.Matanya membulat, seperti seekor tikus yang baru saja menemukan dirinya terperangkap dalam sarang ular."Kenapa?" Mark menjawab dengan nada sedingin es yang menetes perlahan-lahan, menusuk hingga ke tulang."Bukankah kau selalu menantangku di media? Kenapa setelah aku datang, kau malah terkejut seperti itu?" Matanya menatap Randy tajam, bagaikan elang yang mengintai mangsanya dari ketinggian, siap untuk menerkam tanpa ampun.Tatapan itu membuat Randy tersentak. Nyali yang sebelumnya membara di layar media kini menciut, redup seperti lilin di tengah badai.Kata-kata penuh keberanian yang biasa ia lontarkan berubah menjadi gumaman yang kehilangan arah."Bukan kau yang aku singgung, tapi Stevan!" ujar Randy, suaranya masih mencoba terdengar tegas, meski jelas ada getaran kecil yang mencemari nada itu."Baik aku maupun Stevan, sama saja," ujar Mark, s
"Argh! Sial!" seru Emma, suaranya melengking di tengah gemuruh musik yang menghentak.Cahaya neon ungu dan merah berkedip-kedip, membelah bayangan tubuhnya yang bergetar oleh frustrasi. Wajahnya yang memerah oleh amarah terlihat kontras dengan lipstik merah tua yang menghiasi bibirnya.Ia mencengkeram gelas koktail di tangannya hingga jari-jarinya memutih, seolah ingin menyalurkan kemarahan ke dalam benda mati itu.Sudah hampir dua bulan di New York, namun sosok Stevan yang diinginkannya masih saja tak tersentuh, bagai bayang-bayang yang terus menghindar dari cahaya."Sudahlah, Emma," ujar Rose lembut namun tajam, sambil menyandarkan tubuh rampingnya ke sofa empuk."Stevan tidak akan mau padamu. Jika dia menyukaimu, dia pasti sudah menyatakan cinta sejak kalian kuliah. Tapi itu tidak pernah terjadi, bukan?" Rose mengangkat alis, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil yang terasa seperti belati.Emma mendengus kasar, matanya menyipit dengan amarah yang membara. "Itu karena dia su
Stevan mengerutkan keningnya, sorot matanya tertuju pada Clara yang sedari tadi hanya memutar-mutar spaghettinya tanpa minat.Piring di depannya terlihat seperti kanvas yang hanya dilukis separuh hati, gerakan garpu yang berulang menciptakan pola tanpa arah, mencerminkan pikiran yang penuh gejolak.Mereka kini duduk di sebuah restoran kecil nan hangat, dindingnya dihiasi lukisan klasik yang seolah ingin membawa pengunjung ke era lampau.Di luar, matahari siang mengintip malu-malu dari balik awan kelabu, sinarnya yang redup memantul lembut di permukaan meja kayu tempat mereka duduk.“Honey?” panggil Stevan, suaranya penuh perhatian, seperti alunan nada piano yang lembut di tengah hening.“Are you okay?” tanyanya dengan nada sedikit cemas, matanya menatap Clara dengan intensitas yang sulit diabaikan.Clara mendongakkan kepala, memandang Stevan dengan mata yang tampak berkilau namun terselubung bayangan kegelisahan. “Ya. I’m okay,” ucapnya lirih, bibirnya yang pucat membentuk senyum tipi
"Clara? Apa kau tidak merasakan sesuatu?"Suara Mark memecah keheningan dengan nada yang tenang namun penuh teka-teki, seperti bisikan angin malam yang membawa rahasia gelap dari kejauhan.Tatapan matanya mengunci Clara, seolah mencari jawaban yang tak pernah terucap."Apa maksudmu, Dad? Aku tidak mengerti sedikit pun," jawab Clara dengan alis yang berkerut.Ia melanjutkan kunyahannya pada cokelat batang yang mulai meleleh di sudut bibirnya, sementara matanya terpaku pada lembaran buku yang baru saja dibelinya.Mark menghela napas panjang, mengangkat kepalanya perlahan seolah mencari kata-kata yang tepat di langit-langit ruang tamu yang redup. “Sudah berapa lama kau dan Stevan menjalin hubungan?”Pertanyaan itu melayang di udara seperti percikan api kecil di tengah kabut, membakar rasa penasaran dalam dada Clara.Clara melirik ke arah ayahnya dengan pandangan setengah penasaran, setengah jengkel. Jarinya mengetuk meja, menghitung pelan.“Sepertinya sudah mau lima bulan. Kenapa, Dad? A
Mark mengundang Stevan, Sean, Amy, dan juga Lisa untuk makan malam di rumahnya. Clara sendiri tidak tahu jika Mark mengadakan makan malam ini, sehingga suasana di meja makan terasa lebih intim, namun ada juga ketegangan yang menggantung di udara.“Terima kasih atas kehadirannya di acara makan malam ini,” ucap Mark dengan suara berat, matanya menyapu ke seluruh wajah yang hadir, memberikan kesan bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya tidak bisa dianggap remeh.Clara menoleh ke arah Samuel, merasakan kegelisahan yang mulai tumbuh di dada. Pria itu hanya mengendikan bahunya, tanda bahwa dia pun tak tahu jika Mark mengundang orang tuanya dan ibu Stevan ke rumah mereka malam ini.“Terima kasih juga sudah mengundangku pada acara ini, Mark,” ucap Lisa dengan nada lembutnya, namun ada nada yang agak dipaksakan dalam suaranya, seperti yang sering terlihat pada orang yang berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyaman.Mark tersenyum tip