Alex melangkah ke dapur dengan langkah yang berat, pandangannya terpaku pada punggung istrinya, Sarah, yang tengah sibuk menyiapkan makanan di meja.Ada tumpukan makanan di depan Sarah, yang terlihat berlebihan untuk sekadar makan malam sederhana. Rasa curiga mulai merayapi benak Alex, membuat amarah yang sudah lama ia tahan kembali mencuat.Ia menyipitkan matanya, memperhatikan setiap gerakan Sarah, dan akhirnya mengajukan pertanyaan dengan nada dingin, yang mencerminkan ketidakpuasan yang telah lama ia pendam."Kau mau pergi ke mana? Kenapa membawa makanan sebanyak ini?" tanyanya, suaranya terdengar lebih seperti tuduhan daripada pertanyaan.Sarah, yang masih memunggungi Alex, tidak menoleh sedikit pun. Dia tetap fokus pada pekerjaannya, memasukkan makanan ke dalam keranjang.Wajahnya tenang, seolah-olah kehadiran Alex di dapur tidak mempengaruhinya sama sekali.Dengan nada yang dingin namun tajam, ia menjawab, "Mau pergi ke mana pun bukan urusanmu, Alex. Lagi pula, sejak kapan kau
Sarah melangkah dengan riang menuju kediaman anaknya, Mark, dan menantunya, Dania. Udara sore yang hangat menemani setiap langkahnya, membawa aroma segar masakan yang ia bawa dalam keranjang.Di depan pintu rumah, ia berhenti sejenak, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena angin. Ia tersenyum lembut, membayangkan betapa bahagianya bisa menghabiskan waktu bersama Dania dan Mark, terutama dengan kehadiran cucunya yang masih dalam kandungan.Pintu terbuka, dan senyum sumringah segera menyambutnya. Dania berdiri di sana, matanya membulat terkejut saat melihat keranjang penuh makanan di tangan mertuanya."Oh, Ibu. Kenapa harus repot-repot membawa banyak makanan seperti ini?" tanya Dania, nada suaranya terdengar lembut namun penuh kekaguman.Sarah terkekeh kecil, matanya menyiratkan kebahagiaan. "Mark mengirim pesan padaku, katanya istri tercintanya ini ingin menyantap masakan mertuanya. Ya sudah, aku segera belanja dan memasak untukmu," jawab Sarah, menyembunyikan senyum geli y
Waktu telah menunjuk angka tujuh malam. Suasana di meja makan kediaman Mark dan Dania terasa hangat, meskipun di balik keheningan yang melingkupi mereka, ada sesuatu yang tersimpan.Ketiganya—Mark, Dania, dan Sarah—tampak sibuk menyantap hidangan yang telah dimasak dengan penuh kasih oleh Sarah. Aroma makanan memenuhi ruangan, membalut mereka dalam kehangatan yang sulit didapat dalam hari-hari yang penuh ketegangan.Sarah menatap piring di depannya, memandangi masakan yang telah ia buat dengan cermat. Ia tahu, tentu saja, bahwa Mark lah yang sebenarnya menginginkan masakan dari tangannya. Bukan Dania.Namun, dia memilih diam dan menikmati kebersamaan yang langka ini, seolah tak ada badai yang tengah mendekat dalam hidup mereka.Dania mengangkat wajah dari piringnya, lalu tersenyum manis ke arah mertuanya. "Ibu, masakanmu sangat enak. Terima kasih sudah membuatkannya untukku," katanya dengan tulus, memecah kesunyian yang ada di antara mereka.Senyum lebar muncul di bibir Sarah, senyum
Dania merasakan jantungnya berhenti sejenak, udara serasa lenyap dari paru-parunya saat nama Kevin disebut. Wajahnya memucat, seolah darah dalam tubuhnya mengalir lambat.Bayangan-bayangan kabur dari masa lalu berkelebat di benaknya, samar namun menyakitkan, meninggalkan sensasi ketakutan yang menggigil di tulang punggungnya."Jadi... Kevin dan ayah Mark..." suaranya serak, terhenti di tenggorokan. Kalimat itu seolah tercekik sebelum benar-benar keluar.Sarah menatap menantunya dengan ekspresi penuh empati, mengangguk pelan, seolah menyampaikan beban yang sama beratnya. “Iya,” jawabnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan yang ditelan keheningan malam.“Mereka bekerja sama. Aku tidak tahu detailnya, tapi ada sesuatu yang besar sedang mereka rencanakan.”Dania menunduk, bibir bawahnya tergigit pelan, seolah menahan gelombang perasaan yang mulai merangsek masuk. Jantungnya berdetak tak beraturan, seperti mencoba meresapi kenyataan pahit yang tak pernah ia bayangkan akan muncul di
Dania memandang wajah Mark dengan hati yang berkecamuk. Tatapan suaminya begitu dingin dan penuh ketegasan, seolah tak ada ruang untuk keraguan di balik keputusannya.Di balik ekspresi itu, Dania bisa merasakan hasrat besar yang tersembunyi—hasrat untuk membalas dendam, untuk membuat Kevin menyesal karena berani mengganggu kehidupan mereka. Mark tampak begitu siap, seakan-akan sudah merencanakan setiap langkah dengan matang.Perlahan, Dania mengulurkan tangannya dan mengusap punggung tangan Mark dengan lembut, memberikan kehangatan yang ia harap bisa meredakan sedikit ketegangan di tubuh pria itu. Senyum tipis terulas di bibirnya, namun di dalam hatinya ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.“Apa pun yang ingin kau lakukan, Mark,” bisiknya lembut, penuh kasih sayang. “Aku hanya meminta padamu agar berhati-hati. Aku ingin kau baik-baik saja. Aku tidak ingin kehilanganmu.”Mark merespons dengan menggenggam erat tangan istrinya, tatapan tajamnya melembut sedikit saat ia memandang
Pagi yang dingin di sebuah kafe dekat kantor Marsha, suasana lengang membuat tempat itu terasa lebih intim, meski ada aura tegang yang tak terelakkan di antara dua orang yang kini duduk berhadap-hadapan.Marsha menatap Mark dengan tatapan datar, menyimpan rasa penasaran yang tak dapat ia sembunyikan.“Ada apa memanggilku? Tidak biasanya kau menghubungiku, apalagi ingin bertemu denganku,” suara Marsha terdengar jelas, namun ada nada terselubung yang menunjukkan bahwa ia berhati-hati.Mark menatapnya, dengan mata yang dingin dan tanpa ekspresi. “Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu,” jawabnya, suaranya terdengar berat dan datar, membuat Marsha mengernyit sedikit.Ia menaikkan alis, terkejut dengan pernyataan itu. “Tentang apa?” tanyanya lagi, kali ini dengan sedikit ketidaksabaran.Mark menghela napas panjang, tampak seperti seseorang yang sudah mengumpulkan banyak pikiran yang akan segera dilepaskan. “Aku tahu kau sedang mengandung,” katanya akhirnya, membuat Marsha terpaku se
Pagi itu, suasana kantor V-One Grup terasa sedikit berbeda. Suara langkah Mark yang tegas menggema di lorong-lorong, mengisyaratkan bahwa ia datang dengan amarah yang ditahan. Begitu tiba di ruang kerjanya, ia segera membuka pintu dengan kasar, melempar tasnya ke atas meja, dan dengan nada dingin memerintahkan, “Vicky, masuk ke ruanganku!”Vicky, yang sudah terbiasa dengan suasana tegang seperti ini, segera bergegas masuk. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Mark terlihat sangat serius, bahkan lebih dari biasanya. Ia duduk di kursi kebesarannya, mengetuk-ngetukkan jari-jari di atas meja seraya menghela napas panjang, seakan mencoba menenangkan gejolak di dalam dadanya.“Ada apa, Tuan?” tanya Vicky dengan hati-hati.Mark memandang Vicky tajam. Matanya berkilat penuh amarah yang ditekan. “Kevin akan memalsukan data tentang kecelakaan Dania dan ibunya,” ujar Mark, suaranya rendah dan penuh ketegangan. “Entah sudah selesai atau belum, dia akan melaporkanku pada polisi terkait hal
Waktu sudah menunjuk angka sembilan malam, dan suasana di rumah terasa begitu sunyi. Dania duduk di tepi tempat tidur, ponselnya tergenggam erat di tangan.Ia menatap layar yang berkedip, berharap nama Mark muncul di sana. Namun, panggilan yang ia buat sejak tadi belum juga dijawab. Hatinya dilanda kegelisahan yang sulit dijelaskan.Perutnya terasa sakit, meskipun ia yakin tidak memakan apapun yang bisa memicunya. Sejak siang, rasa cemas ini mulai menyelubungi pikirannya, semakin lama semakin tak tertahankan.“Mark... di mana kau? Kenapa teleponku tidak juga kau angkat?” lirihnya, suaranya hampir pecah dalam ketidakpastian yang menghantui setiap pikirannya.Dania mengingat betapa sibuknya dirinya sejak tadi siang. Ia tidak sempat menyalakan televisi, sibuk dengan latihan yoga dan belajar memasak bersama Sarah hingga sore.Semua kegiatan itu sejenak mampu mengalihkan pikirannya dari kecemasan, namun sekarang, di tengah sunyi malam, rasa