Waktu sudah menunjuk angka sembilan malam, dan suasana di rumah terasa begitu sunyi. Dania duduk di tepi tempat tidur, ponselnya tergenggam erat di tangan.Ia menatap layar yang berkedip, berharap nama Mark muncul di sana. Namun, panggilan yang ia buat sejak tadi belum juga dijawab. Hatinya dilanda kegelisahan yang sulit dijelaskan.Perutnya terasa sakit, meskipun ia yakin tidak memakan apapun yang bisa memicunya. Sejak siang, rasa cemas ini mulai menyelubungi pikirannya, semakin lama semakin tak tertahankan.“Mark... di mana kau? Kenapa teleponku tidak juga kau angkat?” lirihnya, suaranya hampir pecah dalam ketidakpastian yang menghantui setiap pikirannya.Dania mengingat betapa sibuknya dirinya sejak tadi siang. Ia tidak sempat menyalakan televisi, sibuk dengan latihan yoga dan belajar memasak bersama Sarah hingga sore.Semua kegiatan itu sejenak mampu mengalihkan pikirannya dari kecemasan, namun sekarang, di tengah sunyi malam, rasa
Tiga puluh menit setelah teleponnya dengan Dania, Vicky tiba di rumah. Malam semakin larut, tetapi suasana di dalam rumah terasa semakin tegang.Dengan langkah cepat, ia menuju kamar Dania, mengetahui bahwa saat ini wanita itu membutuhkan penjelasan dan kehadirannya lebih dari apa pun."Nona Dania," panggil Vicky dengan lembut, membuka pintu kamar dengan hati-hati. Mata Vicky segera menangkap sosok Dania yang duduk di tepi tempat tidur, menangis dalam diam. Mata Dania merah dan bengkak, penuh kesedihan yang mendalam.Dania mengangkat kepalanya perlahan, matanya yang sembab menatap Vicky. Dengan suara lirih, penuh dengan getaran emosi, ia bertanya, "Apa benar, Mark ditangkap polisi karena tuduhan pembunuhan ibuku dalam kecelakaan dua belas tahun lalu?"Pertanyaan itu menggantung di udara, seperti duri yang menusuk jantung. Vicky menelan salivanya dengan susah payah. Ini adalah saat yang tidak ingin ia hadapi, tetapi ia tahu cepat atau lambat, kebenaran har
Vicky berdiri di tengah ruangan, pandangannya tertuju pada Dania yang masih tampak terguncang. Kata "Bibi" yang terlontar dari mulut Dania beberapa saat lalu terus berputar di benaknya.Jadi, Angel adalah bibi Dania? pikirnya dengan kebingungan yang tak terhindarkan. Ada begitu banyak simpul yang terikat dalam kisah ini, dan semuanya tampak semakin kusut. Namun, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum merespons."Ya," Vicky akhirnya mengangguk, suaranya lembut namun penuh kehati-hatian. "Atas nama Angel. Dia yang melaporkan kasus ini dua belas tahun lalu. Tapi sepertinya, kasus ini baru dinaikkan kembali setelah seseorang menyerahkan bukti tambahan."Dania mengusap keningnya dengan tangan yang gemetar, seolah ingin menghapus semua kekacauan yang mengerubunginya. Dia memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan badai yang berputar dalam pikirannya."Aku harus bertemu dengan Bibi Angel," ucapnya, suaranya terdengar dingin dan tegas. "Dia
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Matahari telah lama menyapa, tetapi sinar yang lembut tak mampu menghangatkan hati Mark yang kini duduk di ruang interogasi, menanti hasil dari pertemuan dengan pengacaranya.Ruangan kecil itu terasa sempit dan penuh tekanan, meski di luar tampak cerah. Mark duduk dengan tenang, punggungnya tegap, meskipun beban yang ia pikul kini jauh lebih berat dari yang bisa dilihat.Sorot matanya tajam, mencerminkan kedewasaan dan ketenangan yang menjadi ciri khasnya, bahkan dalam situasi sesulit ini.Langkah Vicky yang tegas dan cepat akhirnya terdengar memasuki ruangan. Mark langsung menatapnya, seolah menunggu kabar yang ia sudah tahu takkan mudah didengar.Begitu Vicky mendekat, Mark mengajukan pertanyaan yang pertama kali muncul di benaknya."Bagaimana kondisi Dania?" tanya Mark dengan nada rendah namun penuh perhatian. Ada kecemasan yang tak dapat ia sembunyikan.Meski ia sendiri sedang dalam masalah be
Merry berdiri di ambang pintu, wajahnya tampak bimbang namun penuh tekad saat dia menatap Dania yang tengah bersiap. "Nona Dania. Nona mau pergi ke mana?" suaranya terdengar seperti bisikan angin lembut yang mencoba menghentikan badai.Dania yang tengah memegang tas tangannya, menoleh dengan sorot mata yang tak terbaca. Bibirnya mengulas senyum tipis, namun ada sesuatu di dalam matanya yang seolah hendak berteriak dalam diam."Aku harus pergi ke rumah Bibi Angel, Merry. Aku sudah memberitahu Vicky. Tapi, dia sedang berada di kantor polisi. Jadi, aku pergi sendiri saja."Nada bicara Dania terdengar tegas, tapi tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang menggelayut di hatinya.Merry menggelengkan kepalanya perlahan, bibirnya mengatup rapat sebelum ia kembali berbicara, suaranya rendah dan penuh permohonan, seakan-akan sedang melawan ketakutan yang hanya dirinya yang mengerti."Sebaiknya tunggu Tuan Vicky datang dulu, Nona. Saya dilarang membiarkan Anda pergi sendiri. Mohon, Nona, jangan m
Matahari sore yang menyelinap dari balik jendela rumah Angel tampak redup, seakan tahu betapa suramnya pertemuan yang sedang terjadi di dalam.Dania tidak menunggu lama setelah mobil berhenti di depan rumah. Dengan langkah cepat dan penuh tekad, dia memasuki rumah itu, diikuti oleh Vicky yang tetap setia mendampinginya.Sejak hari pertama ia mengenal Mark, Vicky selalu ada, dan kini pria itu menjadi sandaran yang bisa diandalkan di tengah badai yang menimpa keluarganya.Dania menatap ruangan itu dengan dingin, kenangan masa kecilnya yang pernah bahagia di tempat ini terasa begitu jauh.Semuanya kini berubah menjadi puing-puing perasaan yang tertinggal. Sesosok wanita duduk di sofa ruang tengah, menanti dengan sikap yang penuh ketenangan, seolah sudah tahu badai apa yang akan datang menghampirinya.“Bibi Angel.” Suara Dania terdengar serak, dipenuhi dengan amarah yang sudah lama tertahan. Ia menatap bibinya dengan datar, tidak ada sedikit pun kehangatan dalam tatapan itu.Angel mengang
Ruang investigasi itu terasa dingin, sepi, dan menekan. Hanya deru napas Mark yang terdengar di tengah ketegangan yang menggantung di udara.Sean duduk di hadapan keponakannya, menatapnya dengan ekspresi datar namun penuh kehati-hatian, seolah ia sedang menimbang-nimbang kata-kata yang harus ia ucapkan."Apakah semua ini ada hubungannya dengan ayahmu?" Sean memulai, suaranya terdengar pelan namun langsung menusuk inti permasalahan. "Apakah dia belum bisa menerima kenyataan?"Mark mengangkat kepalanya, menatap pamannya dengan mata yang penuh kemarahan yang terpendam. "Kumpulkan saja bukti-bukti validnya, Sean," jawabnya tanpa basa-basi. "Agar kau tahu apa yang diinginkan Ayah dengan memenjarakanku."Sean menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya masih tertuju pada Mark, mencoba membaca ekspresi yang tersirat di wajahnya."Bukti yang Alex layangkan ke polisi benar-benar palsu, kan, Mark?" tanyanya, meskipun jauh di dalam hatinya ia sudah tahu jawabannya.Mark mengangguk perlahan, kelel
Rumah besar itu berdiri megah, namun sepi dan dingin seperti benteng yang tak lagi dihuni oleh kehangatan. Sean melangkah masuk, derap langkahnya terdengar tegas di sepanjang lantai marmer yang memantulkan bayangannya.Amarah yang menggelegak di dalam dadanya membuat setiap gerakannya tampak tajam dan penuh emosi yang ditekan. Tatapannya menusuk ketika ia memasuki ruang tamu, di mana adiknya, Sarah, menunggunya.Sarah berdiri di sudut ruangan, tampak ragu namun berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Wajahnya pucat, seolah ia sudah tahu apa yang akan datang.Matanya bertemu dengan mata Sean yang penuh dengan kemarahan yang hanya ia kenal terlalu baik. Sebelum Sean sempat bicara, Sarah mencoba untuk menenangkan suasana dengan suara lembutnya.“Aku baru saja hendak menjenguk Mark di kantor polisi,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.Sean berhenti di depannya, tatapannya dingin, dan suaranya keluar dengan kegetiran yang tidak bisa ditahan lagi. “Dan ini, yang kau inginkan?” tanya Sea