Rumah besar itu berdiri megah, namun sepi dan dingin seperti benteng yang tak lagi dihuni oleh kehangatan. Sean melangkah masuk, derap langkahnya terdengar tegas di sepanjang lantai marmer yang memantulkan bayangannya.Amarah yang menggelegak di dalam dadanya membuat setiap gerakannya tampak tajam dan penuh emosi yang ditekan. Tatapannya menusuk ketika ia memasuki ruang tamu, di mana adiknya, Sarah, menunggunya.Sarah berdiri di sudut ruangan, tampak ragu namun berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Wajahnya pucat, seolah ia sudah tahu apa yang akan datang.Matanya bertemu dengan mata Sean yang penuh dengan kemarahan yang hanya ia kenal terlalu baik. Sebelum Sean sempat bicara, Sarah mencoba untuk menenangkan suasana dengan suara lembutnya.“Aku baru saja hendak menjenguk Mark di kantor polisi,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.Sean berhenti di depannya, tatapannya dingin, dan suaranya keluar dengan kegetiran yang tidak bisa ditahan lagi. “Dan ini, yang kau inginkan?” tanya Sea
Kevin duduk di kursi kulit mewahnya, tubuhnya bersandar santai, tetapi senyum licik yang menghiasi wajahnya menyiratkan kemenangan besar yang baru saja ia raih.Layar komputer di hadapannya menampilkan berita utama yang menghantam nama Mark tanpa henti—bulir-bulir penghinaan, tuduhan, dan skandal bertebaran di media, membuat Mark seolah-olah sudah divonis sebagai penjahat meski persidangan belum dimulai.Suasana ruang kerja Kevin yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan aura kemenangan yang mendidih, seolah menegaskan bahwa momen yang ia tunggu selama ini akhirnya tiba.“Kau sengaja bermain-main denganku, Mark,” gumam Kevin pelan namun penuh kebencian, matanya memicing tajam menatap nama Mark yang terpampang di layar. “Maka akan kubuat dirimu hancur ... hancur sehancur-hancurnya karena telah membuatku malu!”Ucapan itu disertai tawa kecil yang getir, bibirnya menyunggingkan senyum licik. Dalam pikirannya, Mark bukan hanya musuh biasa—dia adalah penghalang besar dalam hidupnya, orang
Ruang rapat V-One Group terasa sunyi, meski diisi oleh beberapa orang penting. Aura ketegangan menggantung di udara, menekan setiap individu yang hadir.Semua mata tertuju pada Sean, yang duduk di ujung meja besar dengan sikap tenang namun tegas. Kegentingan situasi sudah cukup jelas, bahkan sebelum pertemuan ini dimulai.Mark, sang CEO, keponakan kesayangan Sean, kini sedang dipenjara, dan desakan dari berbagai pihak agar perusahaan mengganti direksi semakin tak terbendung.Sean menghela napas pelan, menyatukan jemarinya di atas meja. Ia memahami kekhawatiran yang melanda para investor, kolega, dan rekan bisnis lainnya. Namun, Sean tidak akan membiarkan kepercayaan terhadap Mark hancur begitu saja hanya karena satu tuduhan keji.“Aku sudah mendengar permintaan dari investor, customer, dan kolega lainnya mengenai masalah ini,” Sean memulai dengan suara tenang namun mantap.Matanya menyapu wajah-wajah di depannya, satu per satu. “Dan tujuh puluh persen dari mereka tidak percaya jika Ma
Dania membuka pintu perpustakaan besar di rumah megah suaminya, Mark. Langkahnya terhenti sejenak, mengamati ruangan yang asing baginya, meskipun ia telah tinggal di rumah itu hampir setengah tahun.Rak-rak tinggi berisi deretan buku tebal tentang bisnis dan investasi, buku-buku yang selama ini menjadi dunia Mark. Namun baginya, semua itu hanya tumpukan kata-kata yang tidak ia pahami.“Hampir setengah tahun aku tinggal di sini, tapi baru kali ini aku menginjakkan kaki di perpustakaan ini,” gumamnya, lalu menghela napas panjang. Ruangan ini begitu sunyi, menciptakan atmosfer yang mendalam dan penuh kenangan.Dania melangkah ke meja di tengah ruangan, penuh dengan buku dan catatan yang tampak baru saja disentuh.Tangannya terulur, mengusap pelan lembaran-lembaran tulisan tangan Mark, seolah ingin merasakan kehadiran suaminya melalui coretan tinta itu. Perasaannya campur aduk; kerinduan yang mendalam dan kekosongan yang tak bisa ia isi tanpa kehadiran Mark.Sebuah buku kecil di antara tu
Waktu sudah menunjuk pukul tujuh malam, malam yang terasa lebih mencekam dari biasanya. Di balik tembok-tembok penjara yang dingin dan suram, Alex datang menghampiri Mark seorang diri, tanpa penjaga atau pengawal yang biasanya mengiringinya.Wajahnya menampilkan senyum licik, seolah ia telah memenangkan permainan yang selama ini ia ciptakan dengan cermat. Di hadapan Mark, ia duduk dengan santai, memancarkan aura superioritas yang memuakkan.Mark, duduk di sisi lain, tak sedikit pun menoleh pada ayahnya. Ia menatap kosong ke dinding di depannya, memandang kebebasan yang kian jauh dari jangkauannya. Sementara itu, Alex menatap putranya dengan penuh rasa bangga palsu.“Sangat mudah untuk keluar dari sini, Mark,” ucap Alex perlahan, nadanya penuh tipu daya. “Tinggal patuh saja padaku, maka semuanya akan kembali seperti semula. Namamu akan bersih, seolah ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.”Sebuah senyum sinis terlukis di wajah Mark. Ia mendengar tawaran itu, tetapi baginya
Mark duduk di sudut gelap selnya, tangannya terkulai di atas lutut, sementara tatapannya kosong, menembus dinding yang dingin dan lembab.Kata-kata Alex masih terngiang di kepalanya, seperti belati yang berulang kali menghujam. Kebenaran itu datang menghancurkan dunianya—bukan CCTV palsu yang disodorkan Alex kepada polisi, tetapi kenyataan pahit yang selama ini tersembunyi dari ingatannya.Kenyataan bahwa dialah yang menyebabkan kematian Famela, ibu mertuanya sendiri.Malam yang panjang dan sunyi berlalu tanpa tidur. Mata Mark sembab, dipenuhi air mata yang tak henti-hentinya mengalir sepanjang malam. Hatinya diliputi rasa bersalah yang membara, menghantamnya tanpa ampun."Ini benar-benar di luar kendaliku," gumam Mark dengan suara parau, hampir tanpa tenaga. Tatapannya tetap kosong, seolah mencari jawaban di antara bayangan-bayangan malam."Aku tidak pernah menyangka bahwa kecelakaan itu akan membawa Dania padaku... hanya saja, aku malah men
Sarah melangkah melewati halaman rumah Dania, seolah setiap langkahnya membawa beban yang semakin berat di dadanya. Jantungnya berdegup tidak beraturan, semakin kencang saat ia mendekati pintu depan.Rasa takut dan gelisah menyelimuti dirinya. Apa yang akan ia katakan kepada Dania? Mampukah Dania menerima kebenaran yang begitu menyakitkan? Sarah tahu, apapun hasilnya, ia tak bisa lagi menunda. Kebenaran harus diungkapkan, bagaimanapun pahitnya.“Ibu?”Dania menyambut Sarah dengan senyuman lembut yang selalu dipancarkannya. Tanpa ragu, ia langsung memeluk mertuanya itu, erat dan penuh kehangatan, seperti seorang anak yang bertemu ibunya setelah sekian lama terpisah.Sarah membalas pelukan itu, namun ada ketegangan di tubuhnya, seolah pelukan itu adalah pelukan terakhir sebelum badai besar menghantam mereka berdua.Di antara detik-detik yang berlalu, Sarah menghirup aroma tubuh Dania, aroma yang selalu mengingatkannya pada kebaikan dan kelembutan, dan tanpa disadari, matanya mulai meman
“Kenapa Ibu berbicara seperti ini?” tanya Dania dengan nada getir, suaranya gemetar di ujung kalimat. Mata cokelatnya yang biasanya penuh kehangatan kini tampak berkilat dengan kekecewaan dan ketidakpahaman.“Mark akan bebas. Walaupun Mark dipenjara, apa bisa dia menghidupkan ibuku lagi? Tidak, kan?”Kalimat itu jatuh seperti pukulan di antara mereka, membuat suasana semakin mencekam. Dalam hati Dania, perasaan terombang-ambing antara cinta dan kepedihan membuat setiap kata Sarah terasa seperti jarum yang menusuk kulitnya.Sarah menghela napas panjang, merasakan kesedihan yang semakin berat. “Mark ingin bertanggung jawab atas apa yang telah dia lakukan padamu dan ibumu, Dania,” ujarnya dengan suara lirih, hampir tak terdengar.Ia mengulurkan tangannya, namun Dania hanya bisa menatapnya dengan sorot mata tak percaya. “Mark akan menerima hukuman itu. Entah hukuman seumur hidup atau hukuman mati, Mark siap untuk menerimanya.”Mata Dania membola. Pernyataan itu seperti petir yang menyamba