Malam itu begitu sunyi. Sel-sel penjara yang dingin dan suram seolah memenjarakan lebih dari sekadar tubuh Mark. Kegelapan di ruangan kecil itu seperti mencerminkan kekosongan yang merongrong jiwanya.Hanya suara napasnya yang terdengar, berat dan tergesa-gesa, ketika tiba-tiba ia terbangun dari tidurnya dengan mata terbelalak, keringat dingin membasahi keningnya.“Dania!” pekiknya, penuh kecemasan yang membuncah, suaranya menggema di dalam ruang sempit tersebut. Ia terdiam beberapa saat, mencoba mengumpulkan kesadaran yang terserak.Napasnya terengah-engah, matanya berkedip cepat seolah berusaha membedakan antara mimpi dan kenyataan. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, merasakan dingin yang merambat dari telapak tangannya ke wajah yang pucat.Mark memejamkan matanya sejenak, memikirkan mimpi yang barusan menghantamnya. Di sana, ia melihat Dania, terbaring tak berdaya dengan tubuh yang menggigil, kesakitan.Darah mengalir deras dari perutnya, memenuhi pandangannya dengan horo
Kantor Bernard selalu terasa begitu megah namun dingin, dipenuhi dinding kaca dan rak buku yang tersusun rapi dengan volume hukum tebal dan penuh debu pengetahuan.Ruangan itu tak pernah sepi dari gemuruh langkah para staf yang sibuk, namun bagi Sean, hanya ada satu hal yang memenuhi pikirannya saat ini: Mark harus bebas.Ia mengayunkan langkah dengan cepat, membuka pintu ruang kerja Bernard dengan mendesak.“Bagaimana, Bernard? Kau bisa membebaskan Mark?” tanya Sean tanpa basa-basi. Ekspresinya keras, penuh ketegangan yang telah menguasai dirinya sejak Mark pertama kali ditangkap.Bernard, yang baru saja selesai meninjau dokumen di tangannya, mendongak dan tersenyum samar, seolah sudah menunggu kedatangan sahabatnya itu.Bernard mengangguk pelan, lalu menekan beberapa tombol di laptopnya. Layar monitor besar yang ada di ruangan itu mulai menampilkan rekaman CCTV yang menjadi inti dari permasalahan.Itu adalah rekaman kecelakaan yang terjadi dua belas tahun lalu—saat Mark terlibat dal
Mark duduk di ruang kerjanya yang lapang, dikelilingi oleh rak-rak buku berisi dokumen hukum dan laporan bisnis yang tertata rapi. Ia sedang memeriksa email di iPad-nya, wajahnya serius dan fokus, seolah tak ada yang bisa mengganggu konsentrasinya.Namun, suara lembut Dania memecah keheningan yang nyaman itu, mengalun seperti angin lembut yang membawa aroma nostalgia.“Mark? Kau tahu, apa yang aku harapkan di dunia ini?” tanyanya dengan suara yang tenang namun sarat kerinduan.Mark menurunkan iPad-nya, menatap istrinya dengan tatapan datar namun penuh perhatian. “Apa?” jawabnya, suaranya terdengar datar, tapi ada sebersit kehangatan yang tak bisa disembunyikan dalam sorot matanya.Dania menghela napas panjang, seakan mencoba mencari keberanian dalam setiap tarikan napasnya. Ia menatap jauh ke dalam mata Mark, berharap menemukan jawaban yang selama ini tak pernah terucap.“Aku berharap … suatu saat nanti aku bisa mengingat kembali kenangan-kenangan kita saat kita bersama. Meskipun itu
“Dania? Akhirnya kau siuman juga,” suara Sarah terdengar parau karena menahan emosi, tangannya terulur untuk mengusap lembut air mata yang tadi sempat jatuh membasahi pipinya.Ia tersenyum penuh haru saat melihat Dania mulai membuka matanya perlahan, mengerjap-ngerjap seakan tak percaya bahwa ia telah terbangun dari kegelapan yang panjang.Dania menoleh perlahan ke kanan dan ke kiri, matanya tampak buram, mencari sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang.Ada rasa gelisah yang terpancar di sorot matanya yang sayu, mencari sosok yang sudah lama ia rindukan, sosok yang tak pernah meninggalkan hatinya meski kini tak berada di sisinya.Namun, ingatan itu tiba-tiba menyeruak, membawanya kembali pada percakapan terakhir mereka.Kata-kata Sarah yang mengungkapkan keinginan Mark untuk bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Air matanya menggenang lagi di sudut matanya, berkilau di bawah sorot lampu rumah sakit yang terang.“Aku harus bertemu dengan Mark,” ucap Dania dengan suara serak, su
Mark tidak menjawab, namun tubuhnya gemetar menahan amarah. Mata gelapnya menatap Kevin penuh kebencian, seolah ingin menghancurkan pria itu hanya dengan tatapannya. Kevin tertawa kecil, menikmati penderitaan yang terpantul jelas di wajah Mark.Dengan langkah penuh kemenangan, Kevin berbalik meninggalkan sel, meninggalkan Mark yang kini tengah terbenam dalam lautan kegelapan yang ia ciptakan sendiri.Saat suara langkah Kevin semakin menjauh, Mark akhirnya membiarkan amarahnya meledak. Ia menghantam jeruji besi dengan kepalan tangan yang sekuat tenaga, suara dentuman itu bergema dalam keheningan ruangan.“Bajingan!” teriaknya, matanya penuh dengan kemarahan yang tak terukur. “Kau akan membayar untuk semua ini, Kevin. Aku bersumpah, kau akan membayarnya!”Tangannya berdarah karena hantaman keras pada besi yang dingin, namun rasa sakit itu tidak sebanding dengan luka yang menggores hatinya.Ingatan akan suara Dania, kalimat-k
Dania menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. “Kau salah besar, Kevin,” jawabnya dengan suara bergetar. “Kau tidak akan pernah bisa memiliki aku. Tidak sekarang, tidak selamanya.”Ia kemudian berbalik, berjalan keluar dari rumah itu tanpa melihat ke belakang. Hatinya hancur, namun ia tahu, ada sesuatu yang harus ia selesaikan. Ia harus membuktikan bahwa Mark tidak bersalah. Bahwa di balik semua kepalsuan ini, ada kebenaran yang menanti untuk diungkap.Saat Dania kembali masuk ke dalam mobil, bayangan Kevin dan Angel yang sedang bersulang masih melekat dalam benaknya.Suasana hati Dania yang kalut tergambar jelas di wajahnya yang pucat. Vicky menatapnya dengan cemas, rasa ingin tahu tercermin dari sorot matanya yang penuh perhatian.“Nona Dania, apa yang terjadi?” tanyanya, suaranya terdengar khawatir.Dania menghela napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dalam dadanya yang te
Dania kembali ke rumah dengan perasaan lelah yang begitu berat menekan hatinya. Pemandangan Mark yang begitu rapuh dan tak berdaya di balik jeruji penjara masih membayangi pikirannya, menggerogoti ketenangannya.Dia tahu, seharusnya dia ada di sana bersama Mark, menemaninya melewati malam-malam panjang yang dingin dan penuh kesendirian. Rasanya seperti ada kekosongan di hatinya yang tidak bisa diisi, meskipun dia tahu bahwa Mark membutuhkan dia lebih dari siapa pun.Sesampainya di rumah, Dania hanya berdiri di ruang tamu, memandangi sudut-sudut rumah yang terasa sunyi.Kepalanya masih terasa berat, seolah-olah beban dari kesedihan dan rasa bersalah menggantung di sana. "Biarkan aku sendiri, Vicky," ucapnya lirih, suaranya hampir tak terdengar, seperti embusan angin yang kehilangan kekuatan.Vicky hanya mengangguk, tatapannya penuh simpati namun ia tidak berkata apa-apa. Ia mengerti bahwa Dania butuh waktu untuk merenung, untuk menyusun kembali hatinya yan
“Nona Dania? Nona Dania?” Vicky memanggil dengan nada cemas, telapak tangannya menepuk-nepuk lembut pipi Dania yang terbaring tak sadarkan diri di lantai perpustakaan.Cahaya remang-remang dari lampu yang tergantung di sudut ruangan memperlihatkan wajah Vicky yang tegang, alisnya berkerut dalam kekhawatiran mendalam.Dania perlahan membuka matanya, bayang-bayang samar di pelupuk matanya mulai memudar. Kepalanya terasa berat, namun wajah Vicky yang cemas di hadapannya mulai jelas.“Vicky?” bisiknya lemah, mencoba meraba kembali kesadarannya yang sempat hilang. Dengan gemetar, Dania duduk, menatap ke arah kanan dan kiri, kebingungan menyelimuti wajahnya."Kenapa aku ada di sini? Bukankah aku sedang berada di perpustakaan Mark?" tanyanya, suaranya nyaris tak lebih dari desahan.Vicky mengangguk perlahan, mata penuh keprihatinan menatap Dania yang terlihat begitu rapuh. “Nona Dania tidak sadarkan diri lagi,” jawabnya