“Nona Dania? Nona Dania?” Vicky memanggil dengan nada cemas, telapak tangannya menepuk-nepuk lembut pipi Dania yang terbaring tak sadarkan diri di lantai perpustakaan.
Cahaya remang-remang dari lampu yang tergantung di sudut ruangan memperlihatkan wajah Vicky yang tegang, alisnya berkerut dalam kekhawatiran mendalam.
Dania perlahan membuka matanya, bayang-bayang samar di pelupuk matanya mulai memudar. Kepalanya terasa berat, namun wajah Vicky yang cemas di hadapannya mulai jelas.
“Vicky?” bisiknya lemah, mencoba meraba kembali kesadarannya yang sempat hilang. Dengan gemetar, Dania duduk, menatap ke arah kanan dan kiri, kebingungan menyelimuti wajahnya.
"Kenapa aku ada di sini? Bukankah aku sedang berada di perpustakaan Mark?" tanyanya, suaranya nyaris tak lebih dari desahan.
Vicky mengangguk perlahan, mata penuh keprihatinan menatap Dania yang terlihat begitu rapuh. “Nona Dania tidak sadarkan diri lagi,” jawabnya
Dania mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih dilanda kebingungan dan kecemasan. Tangannya yang dingin menggenggam erat tangan Vicky, mencari kekuatan dalam hangatnya sentuhan itu. "Aku tidak akan menyerah," ucapnya dengan suara yang sedikit lebih tegas, meskipun masih terdengar rapuh."Aku tidak akan membiarkan ini menjadi akhir dari segalanya. Mark pantas mendapatkan keadilan, dan aku akan melakukan apa pun untuk memastikan bahwa dia tidak dihukum karena sesuatu yang tidak dia lakukan."Vicky tersenyum tipis, matanya berbinar oleh kekaguman pada kekuatan yang mulai terlihat dari Dania. “Saya di sini bersama Anda, Nona Dania. Anda tidak sendirian dalam perjuangan ini.”Dania mengangguk lagi, menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Walaupun hatinya masih terluka dan pikirannya penuh dengan ketidakpastian, ada secercah harapan yang mulai muncul di sana, berpendar dalam gelapnya malam yang kelam.Harapan bahwa cinta yang ia dan Mark
Tiga hari kemudian ….Ketegangan semakin terasa menyesakkan di rumah besar tempat Dania menunggu. Pagi itu, matahari bersembunyi di balik awan kelabu, seakan ikut merasakan kecemasan yang menghantui hati Dania.Di dalam kamarnya yang luas, Dania duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong memandang langit-langit, sementara pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang tak kunjung mereda.Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak dari lamunannya. Vicky melangkah masuk dengan langkah cepat, raut wajahnya tegang namun penuh determinasi.“Permisi, Nona Dania. Apakah Anda akan menghadiri sidang putusan hari ini?” tanyanya dengan nada hati-hati, seakan tidak ingin memaksa.Dania menoleh, tatapannya dingin dan sedikit getir. “Aku lihat di TV saja, Vicky,” jawabnya, suaranya terdengar lelah. “Terlalu ramai, aku malas menghadapi media. Mereka hanya akan memojokanku untuk menceraikannya. Tahu apa mereka tentang perasaanku.&
Ruangan sidang penuh sesak dengan keheningan yang mencekam, hanya suara hakim yang bergema di seluruh ruangan.Setiap kalimat yang keluar dari mulut hakim seolah membawa beban ribuan ton yang menghantam dada Mark, yang duduk dengan tenang di bangku terdakwa, berhadapan langsung dengan Angel dan Kevin yang memandangnya dengan tatapan penuh kebencian."Kejadian kecelakaan terjadi pada pukul lima lewat lima belas menit sore," suara hakim memecah keheningan, menyampaikan dakwaan dengan nada yang tak berperasaan."Tersangka, Mark, mengendarai sebuah Mercedes-Benz SL-Classic berwarna putih dengan kecepatan hampir dua ratus kilometer per jam, menyebabkan hilangnya kendali hingga menabrak mobil yang dikemudikan oleh Mendiang Nyonya Famela Chornelia. Akibatnya, korban Famela meninggal di tempat, sementara Dania mengalami koma selama satu minggu."Mark merasakan tubuhnya menegang, jari-jarinya yang kurus mencengkeram meja di hadapannya.Pandangannya beralih
Dua minggu yang lalu .…Sean baru saja tiba di rumahnya saat matanya menangkap sosok tak terduga di ruang tengah.Sarah, saudara perempuannya, duduk dengan resah di sofa, wajahnya terlihat lebih tua dari terakhir kali dia melihatnya. Di sampingnya, Amy, istri Sean, tampak cemas, menghindari tatapan suaminya.“Sarah ingin bicara denganmu, Sean,” bisik Amy sebelum dia berdiri, memberi Sean ruang untuk bicara empat mata.Dengan alis berkerut dan rasa penasaran yang mulai merayap, Sean duduk di hadapan Sarah. "Ada apa?" tanyanya, langsung ke inti permasalahan.Sarah menggigit bibirnya, tampak enggan namun sudah tak bisa menahan diri. “Bellary Hospital,” ujarnya pelan, hampir berbisik.“Mark dirawat di rumah sakit itu saat mengalami kecelakaan bersama Famela. Sudah dua belas tahun berlalu, tapi aku yakin... masih ada bukti yang bisa kau cari di sana.”Kata-kata Sarah menggantung, seperti mempersilakan Sean untuk mengisi kekosongan dengan bayang-bayang hitam dari masa lalu. Sean menyandarka
Bernard dan Sean tiba di Bellary Hospital tepat pada saat matahari sore yang keemasan menyinari gedung rumah sakit tua itu.Langit tampak berkilau dengan warna lembut oranye dan merah, menyelimuti suasana di sekitar mereka dengan perasaan tenang yang semu.Keduanya berjalan melewati koridor rumah sakit yang sepi, langkah mereka terpantul di lantai marmer yang mengilap.Saat mencapai ruang direksi, pintu terbuka, dan sosok seorang pria tinggi dengan senyum hangat menyambut mereka.“Sean! Sudah lama sekali tidak bertemu,” sapa Stevan, direktur utama rumah sakit tersebut.Matanya berbinar penuh antusias saat ia memeluk Sean, menepuk-nepuk punggungnya seolah merayakan pertemuan sahabat lama yang sudah terlalu lama tertunda.Sean tersenyum dan membalas tepukan hangat itu. “Ya, Stevan. Hidupku cukup sibuk belakangan ini. Bagaimana kabarmu, Stevan?” tanyanya dengan nada akrab yang penuh kehangatan masa lalu.Stevan mengisyaratkan mereka untuk duduk, senyumnya tak luntur sedetik pun. “Oh, aku
Bernard menatap Mark dengan senyum penuh keyakinan. “Stevan berhasil mengumpulkan bukti-bukti selama dua hari. Kami menyusunnya dengan teliti, dan semua ini akan menjadi bukti kuat di persidangan hari ini,” katanya meyakinkan, menjawab pertanyaan tak terucap Mark tentang kenapa mereka memiliki begitu banyak bukti yang tersusun rapi.Mark hanya mengangguk pelan, tatapannya terpaku pada benda kecil berwarna hitam yang berada di tangan Bernard.Ia tahu, sekecil apa pun, benda itu memegang kunci masa depannya—masa depan yang mungkin bisa mengembalikan kebebasannya, juga kebahagiaan yang telah lama ia dambakan.Bernard tersenyum penuh percaya diri, memperlihatkan sebuah ekspresi tegas yang hampir membuat Mark merasa tenang.“Well, Mark,” katanya dengan nada rendah namun tegas. “Aku tidak akan membiarkan citraku sebagai kuasa hukum terbaik di kotaku tercoreng hanya karena gagal membebaskan seseorang yang sama sekali tidak ber
Ruang sidang itu terasa sunyi, seperti ditelan oleh aura ketegangan yang mendalam. Suara detak jam di dinding dan gemuruh samar bisikan para hadirin yang menunggu akhirnya tertelan saat pintu ruang sidang terbuka.Hakim ketua, bersama dua hakim anggota, memasuki ruangan, dan suasana langsung berubah menjadi penuh perhatian.Wajah-wajah tegang dan ekspresi was-was tergambar di wajah mereka, terlebih bagi Mark yang duduk di kursi terdakwa, menantikan sidang yang akan menentukan nasibnya.Hakim ketua duduk dan mengetuk palu kayu di tangannya, lalu membuka sidang dengan suara tenang namun berwibawa, “Sidang kembali dimulai. Saudara-saudara sekalian, harap tenang.” Setiap kata yang diucapkannya membawa getaran ketegasan yang langsung mengalir ke seluruh penjuru ruangan.Ketiga hakim itu kemudian mulai membuka lembar demi lembar dokumen yang telah mereka pelajari dan kaji ulang.Mereka merangkum kasus ini dengan teliti, mencari celah dan kesa
Dania menatap layar televisi dengan mata yang membelalak, tangannya terangkat menutup mulutnya seakan tak percaya dengan berita yang terpampang di depan matanya.Berita tentang kebebasan Mark kini menguasai layar, tersebar cepat bagaikan angin liar yang berhembus tanpa arah, menyebar ke setiap media televisi dan sosial media.Setiap kata dari siaran itu terdengar begitu nyata, namun tak sepenuhnya ia mampu pahami di tengah perasaan yang menggelegak di dadanya."Mark..." ucapnya lirih, suaranya tertahan oleh air mata yang mulai menggenang di kelopak matanya.Nama itu mengalir dari bibirnya bagai mantra yang selama ini terkurung dalam batinnya, menunggu saat yang tepat untuk keluar.“Kau bebas! Kau benar-benar bebas, Mark!” Air matanya pun mulai mengalir, jatuh berurutan, menggambarkan betapa lama ia menunggu, betapa besar harapannya selama ini.Lalu, suara ketukan pintu menggema lembut, dan Dania segera menoleh. Tubuhnya terasa di
Tidak membutuhkan waktu lama. Persis dua jam kemudian. Konferensi pers di gelar mendadak.Kilatan lampu kamera menyilaukan, memenuhi ruangan konferensi pers yang penuh sesak.Wartawan dari berbagai media berebut posisi terbaik, mikrofon teracung ke depan, siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Randy. Ketika langkah Rendy menuju meja konferensi."Pak Randy, apa benar Anda mengakui telah mencuri desain Stevan?" seru seorang reporter, suaranya nyaring menembus hiruk-pikuk saat Randy melangkah tergesa menuju meja utama konferensi pers."Apakah ini berarti semua tuduhan terhadap Stevan tidak benar?" tanya yang lain, matanya berbinar, mencium aroma skandal besar.Randy menelan ludah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia mencoba membuka mulut, tetapi suara gemuruh kamera dan bisik-bisik wartawan membuat dadanya semakin sesak.Ia bukan lagi penguasa ruangan. Sekarang ia hanya seorang pria yang terpojok di bawah sorotan lampu.Randy berdiri di depan puluhan mic dari berbagai m
"Siapa yang mengizinkanmu memasuki ruanganku, Mark?" pekik Randy, suaranya melengking, dipenuhi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan.Matanya membulat, seperti seekor tikus yang baru saja menemukan dirinya terperangkap dalam sarang ular."Kenapa?" Mark menjawab dengan nada sedingin es yang menetes perlahan-lahan, menusuk hingga ke tulang."Bukankah kau selalu menantangku di media? Kenapa setelah aku datang, kau malah terkejut seperti itu?" Matanya menatap Randy tajam, bagaikan elang yang mengintai mangsanya dari ketinggian, siap untuk menerkam tanpa ampun.Tatapan itu membuat Randy tersentak. Nyali yang sebelumnya membara di layar media kini menciut, redup seperti lilin di tengah badai.Kata-kata penuh keberanian yang biasa ia lontarkan berubah menjadi gumaman yang kehilangan arah."Bukan kau yang aku singgung, tapi Stevan!" ujar Randy, suaranya masih mencoba terdengar tegas, meski jelas ada getaran kecil yang mencemari nada itu."Baik aku maupun Stevan, sama saja," ujar Mark, s
"Argh! Sial!" seru Emma, suaranya melengking di tengah gemuruh musik yang menghentak.Cahaya neon ungu dan merah berkedip-kedip, membelah bayangan tubuhnya yang bergetar oleh frustrasi. Wajahnya yang memerah oleh amarah terlihat kontras dengan lipstik merah tua yang menghiasi bibirnya.Ia mencengkeram gelas koktail di tangannya hingga jari-jarinya memutih, seolah ingin menyalurkan kemarahan ke dalam benda mati itu.Sudah hampir dua bulan di New York, namun sosok Stevan yang diinginkannya masih saja tak tersentuh, bagai bayang-bayang yang terus menghindar dari cahaya."Sudahlah, Emma," ujar Rose lembut namun tajam, sambil menyandarkan tubuh rampingnya ke sofa empuk."Stevan tidak akan mau padamu. Jika dia menyukaimu, dia pasti sudah menyatakan cinta sejak kalian kuliah. Tapi itu tidak pernah terjadi, bukan?" Rose mengangkat alis, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil yang terasa seperti belati.Emma mendengus kasar, matanya menyipit dengan amarah yang membara. "Itu karena dia su
Stevan mengerutkan keningnya, sorot matanya tertuju pada Clara yang sedari tadi hanya memutar-mutar spaghettinya tanpa minat.Piring di depannya terlihat seperti kanvas yang hanya dilukis separuh hati, gerakan garpu yang berulang menciptakan pola tanpa arah, mencerminkan pikiran yang penuh gejolak.Mereka kini duduk di sebuah restoran kecil nan hangat, dindingnya dihiasi lukisan klasik yang seolah ingin membawa pengunjung ke era lampau.Di luar, matahari siang mengintip malu-malu dari balik awan kelabu, sinarnya yang redup memantul lembut di permukaan meja kayu tempat mereka duduk.“Honey?” panggil Stevan, suaranya penuh perhatian, seperti alunan nada piano yang lembut di tengah hening.“Are you okay?” tanyanya dengan nada sedikit cemas, matanya menatap Clara dengan intensitas yang sulit diabaikan.Clara mendongakkan kepala, memandang Stevan dengan mata yang tampak berkilau namun terselubung bayangan kegelisahan. “Ya. I’m okay,” ucapnya lirih, bibirnya yang pucat membentuk senyum tipi
"Clara? Apa kau tidak merasakan sesuatu?"Suara Mark memecah keheningan dengan nada yang tenang namun penuh teka-teki, seperti bisikan angin malam yang membawa rahasia gelap dari kejauhan.Tatapan matanya mengunci Clara, seolah mencari jawaban yang tak pernah terucap."Apa maksudmu, Dad? Aku tidak mengerti sedikit pun," jawab Clara dengan alis yang berkerut.Ia melanjutkan kunyahannya pada cokelat batang yang mulai meleleh di sudut bibirnya, sementara matanya terpaku pada lembaran buku yang baru saja dibelinya.Mark menghela napas panjang, mengangkat kepalanya perlahan seolah mencari kata-kata yang tepat di langit-langit ruang tamu yang redup. “Sudah berapa lama kau dan Stevan menjalin hubungan?”Pertanyaan itu melayang di udara seperti percikan api kecil di tengah kabut, membakar rasa penasaran dalam dada Clara.Clara melirik ke arah ayahnya dengan pandangan setengah penasaran, setengah jengkel. Jarinya mengetuk meja, menghitung pelan.“Sepertinya sudah mau lima bulan. Kenapa, Dad? A
Mark mengundang Stevan, Sean, Amy, dan juga Lisa untuk makan malam di rumahnya. Clara sendiri tidak tahu jika Mark mengadakan makan malam ini, sehingga suasana di meja makan terasa lebih intim, namun ada juga ketegangan yang menggantung di udara.“Terima kasih atas kehadirannya di acara makan malam ini,” ucap Mark dengan suara berat, matanya menyapu ke seluruh wajah yang hadir, memberikan kesan bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya tidak bisa dianggap remeh.Clara menoleh ke arah Samuel, merasakan kegelisahan yang mulai tumbuh di dada. Pria itu hanya mengendikan bahunya, tanda bahwa dia pun tak tahu jika Mark mengundang orang tuanya dan ibu Stevan ke rumah mereka malam ini.“Terima kasih juga sudah mengundangku pada acara ini, Mark,” ucap Lisa dengan nada lembutnya, namun ada nada yang agak dipaksakan dalam suaranya, seperti yang sering terlihat pada orang yang berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyaman.Mark tersenyum tip
“Apa yang kau bawa dari London? Aku sudah tidak sabar melihatnya.” Clara, yang sebelumnya bersumpah tidak akan memaafkan Stevan, justru merasa seolah tak bisa menjauh dari pria itu.Pertahanannya luluh, begitu cepat dan begitu tiba-tiba, saat tatapan Stevan menyentuhnya dengan kekuatan yang tak terungkapkan.Ada sesuatu dalam mata pria itu yang begitu memikat, seakan ia menarik Clara ke dalam pusaran perasaan yang sulit ditolak.Stevan menatap wajah Clara dengan intensitas yang dalam, seakan ingin membaca setiap jejak emosi yang bersembunyi di dalamnya.Dengan gerakan yang begitu lembut namun penuh tekad, ia menarik wajah Clara mendekat.Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang begitu mendalam, tak terduga, dan penuh gairah. Ciuman itu bukan sekadar pertanda rindu, melainkan sebuah ledakan emosi yang membakar seluruh penahanan mereka.Clara terkejut, hatinya berdebar dengan cepat dan hampir tak teratur. Ciuman itu datang tanpa aba-
Dua minggu kemudian...Perpisahan Lisa dan Randy akhirnya resmi selesai, menyisakan babak baru yang dimulai dengan rasa lega bercampur keraguan.Di bawah langit kelabu New York yang seolah mengerti beratnya perjalanan ini, Lisa mengikuti langkah Stevan memasuki rumah sederhana yang telah disiapkan untuknya.“Ini rumahmu selama di sini,” ucap Stevan singkat, suaranya datar, tetapi ada sekilas kelembutan yang sulit disembunyikan.Lisa melangkah perlahan, matanya mengamati setiap sudut rumah dengan sorot yang sarat makna.Dinding putih bersih, perabotan minimalis, dan suasana hangat rumah itu memberi rasa nyaman yang sudah lama ia rindukan. Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya, seolah menghapus jejak beban dari masa lalunya.“Terima kasih, Nak. Aku tidak akan merepotkanmu selama di sini,” ucapnya lembut, namun suaranya mengandung getar haru.Stevan hanya mengangguk tipis, wajahnya sulit dibaca. Hatinya terbelah&
Ketika pintu apartemen terbuka dengan suara berderit yang berat, Randy berdiri di ambang pintu, tatapan matanya seperti kilatan petir yang menyambar langit malam.Udara di dalam ruangan mendadak terasa dingin, menciptakan suasana tegang yang mengancam meledak kapan saja.“Kau,” desis Randy dengan suara serak yang dipenuhi kemarahan, langkahnya mendekati Stevan dengan berat seperti membawa dendam yang membara. “Kau yang telah menghasut ibumu untuk bercerai denganku, huh?”Stevan berdiri tegak di sisi ruangan, wajahnya tenang namun matanya menyala dengan amarah terpendam.“Memangnya kau masih mengharapkan ibuku?” tanyanya, suaranya tegas seperti pisau yang menusuk ke dalam.“Selama ini kau hanya memanfaatkan ibuku agar mau membujukku untuk membangun perusahaanmu, Tuan Randy yang terhormat.”Randy menggeram, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. “Kurang ajar!” ia men