Tiga hari kemudian ….
Ketegangan semakin terasa menyesakkan di rumah besar tempat Dania menunggu. Pagi itu, matahari bersembunyi di balik awan kelabu, seakan ikut merasakan kecemasan yang menghantui hati Dania. Di dalam kamarnya yang luas, Dania duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong memandang langit-langit, sementara pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang tak kunjung mereda.Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak dari lamunannya. Vicky melangkah masuk dengan langkah cepat, raut wajahnya tegang namun penuh determinasi. “Permisi, Nona Dania. Apakah Anda akan menghadiri sidang putusan hari ini?” tanyanya dengan nada hati-hati, seakan tidak ingin memaksa.Dania menoleh, tatapannya dingin dan sedikit getir. “Aku lihat di TV saja, Vicky,” jawabnya, suaranya terdengar lelah. “Terlalu ramai, aku malas menghadapi media. Mereka hanya akan memojokanku untuk menceraikannya. Tahu apa mereka tentang perasaanku.&Ruangan sidang penuh sesak dengan keheningan yang mencekam, hanya suara hakim yang bergema di seluruh ruangan.Setiap kalimat yang keluar dari mulut hakim seolah membawa beban ribuan ton yang menghantam dada Mark, yang duduk dengan tenang di bangku terdakwa, berhadapan langsung dengan Angel dan Kevin yang memandangnya dengan tatapan penuh kebencian."Kejadian kecelakaan terjadi pada pukul lima lewat lima belas menit sore," suara hakim memecah keheningan, menyampaikan dakwaan dengan nada yang tak berperasaan."Tersangka, Mark, mengendarai sebuah Mercedes-Benz SL-Classic berwarna putih dengan kecepatan hampir dua ratus kilometer per jam, menyebabkan hilangnya kendali hingga menabrak mobil yang dikemudikan oleh Mendiang Nyonya Famela Chornelia. Akibatnya, korban Famela meninggal di tempat, sementara Dania mengalami koma selama satu minggu."Mark merasakan tubuhnya menegang, jari-jarinya yang kurus mencengkeram meja di hadapannya.Pandangannya beralih
Dua minggu yang lalu .…Sean baru saja tiba di rumahnya saat matanya menangkap sosok tak terduga di ruang tengah.Sarah, saudara perempuannya, duduk dengan resah di sofa, wajahnya terlihat lebih tua dari terakhir kali dia melihatnya. Di sampingnya, Amy, istri Sean, tampak cemas, menghindari tatapan suaminya.“Sarah ingin bicara denganmu, Sean,” bisik Amy sebelum dia berdiri, memberi Sean ruang untuk bicara empat mata.Dengan alis berkerut dan rasa penasaran yang mulai merayap, Sean duduk di hadapan Sarah. "Ada apa?" tanyanya, langsung ke inti permasalahan.Sarah menggigit bibirnya, tampak enggan namun sudah tak bisa menahan diri. “Bellary Hospital,” ujarnya pelan, hampir berbisik.“Mark dirawat di rumah sakit itu saat mengalami kecelakaan bersama Famela. Sudah dua belas tahun berlalu, tapi aku yakin... masih ada bukti yang bisa kau cari di sana.”Kata-kata Sarah menggantung, seperti mempersilakan Sean untuk mengisi kekosongan dengan bayang-bayang hitam dari masa lalu. Sean menyandarka
Bernard dan Sean tiba di Bellary Hospital tepat pada saat matahari sore yang keemasan menyinari gedung rumah sakit tua itu.Langit tampak berkilau dengan warna lembut oranye dan merah, menyelimuti suasana di sekitar mereka dengan perasaan tenang yang semu.Keduanya berjalan melewati koridor rumah sakit yang sepi, langkah mereka terpantul di lantai marmer yang mengilap.Saat mencapai ruang direksi, pintu terbuka, dan sosok seorang pria tinggi dengan senyum hangat menyambut mereka.“Sean! Sudah lama sekali tidak bertemu,” sapa Stevan, direktur utama rumah sakit tersebut.Matanya berbinar penuh antusias saat ia memeluk Sean, menepuk-nepuk punggungnya seolah merayakan pertemuan sahabat lama yang sudah terlalu lama tertunda.Sean tersenyum dan membalas tepukan hangat itu. “Ya, Stevan. Hidupku cukup sibuk belakangan ini. Bagaimana kabarmu, Stevan?” tanyanya dengan nada akrab yang penuh kehangatan masa lalu.Stevan mengisyaratkan mereka untuk duduk, senyumnya tak luntur sedetik pun. “Oh, aku
Bernard menatap Mark dengan senyum penuh keyakinan. “Stevan berhasil mengumpulkan bukti-bukti selama dua hari. Kami menyusunnya dengan teliti, dan semua ini akan menjadi bukti kuat di persidangan hari ini,” katanya meyakinkan, menjawab pertanyaan tak terucap Mark tentang kenapa mereka memiliki begitu banyak bukti yang tersusun rapi.Mark hanya mengangguk pelan, tatapannya terpaku pada benda kecil berwarna hitam yang berada di tangan Bernard.Ia tahu, sekecil apa pun, benda itu memegang kunci masa depannya—masa depan yang mungkin bisa mengembalikan kebebasannya, juga kebahagiaan yang telah lama ia dambakan.Bernard tersenyum penuh percaya diri, memperlihatkan sebuah ekspresi tegas yang hampir membuat Mark merasa tenang.“Well, Mark,” katanya dengan nada rendah namun tegas. “Aku tidak akan membiarkan citraku sebagai kuasa hukum terbaik di kotaku tercoreng hanya karena gagal membebaskan seseorang yang sama sekali tidak ber
Ruang sidang itu terasa sunyi, seperti ditelan oleh aura ketegangan yang mendalam. Suara detak jam di dinding dan gemuruh samar bisikan para hadirin yang menunggu akhirnya tertelan saat pintu ruang sidang terbuka.Hakim ketua, bersama dua hakim anggota, memasuki ruangan, dan suasana langsung berubah menjadi penuh perhatian.Wajah-wajah tegang dan ekspresi was-was tergambar di wajah mereka, terlebih bagi Mark yang duduk di kursi terdakwa, menantikan sidang yang akan menentukan nasibnya.Hakim ketua duduk dan mengetuk palu kayu di tangannya, lalu membuka sidang dengan suara tenang namun berwibawa, “Sidang kembali dimulai. Saudara-saudara sekalian, harap tenang.” Setiap kata yang diucapkannya membawa getaran ketegasan yang langsung mengalir ke seluruh penjuru ruangan.Ketiga hakim itu kemudian mulai membuka lembar demi lembar dokumen yang telah mereka pelajari dan kaji ulang.Mereka merangkum kasus ini dengan teliti, mencari celah dan kesa
Dania menatap layar televisi dengan mata yang membelalak, tangannya terangkat menutup mulutnya seakan tak percaya dengan berita yang terpampang di depan matanya.Berita tentang kebebasan Mark kini menguasai layar, tersebar cepat bagaikan angin liar yang berhembus tanpa arah, menyebar ke setiap media televisi dan sosial media.Setiap kata dari siaran itu terdengar begitu nyata, namun tak sepenuhnya ia mampu pahami di tengah perasaan yang menggelegak di dadanya."Mark..." ucapnya lirih, suaranya tertahan oleh air mata yang mulai menggenang di kelopak matanya.Nama itu mengalir dari bibirnya bagai mantra yang selama ini terkurung dalam batinnya, menunggu saat yang tepat untuk keluar.“Kau bebas! Kau benar-benar bebas, Mark!” Air matanya pun mulai mengalir, jatuh berurutan, menggambarkan betapa lama ia menunggu, betapa besar harapannya selama ini.Lalu, suara ketukan pintu menggema lembut, dan Dania segera menoleh. Tubuhnya terasa di
Mark membuka matanya, merasakan kedamaian yang jarang ia dapatkan dalam tidurnya akhir-akhir ini. Tumpukan mimpi buruk, kekhawatiran, dan rasa bersalah seakan terkikis dalam delapan jam tidur lelapnya.Udara pagi meresap perlahan ke dalam paru-parunya saat ia menarik napas dalam, menghidupkan kembali semangat yang sempat padam. Lalu, ia menoleh ke arah kiri—tempat yang seharusnya ditempati oleh istrinya.Namun, di sana kosong.“Hm! Ke mana kau, pagi-pagi sudah tidak ada di kamar?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur, diiringi senyum kecil yang muncul tanpa ia sadari.Sambil memandang langit-langit kamar, Mark berbisik pada dirinya sendiri, seolah-olah mencoba merangkum perjalanan panjang emosional yang telah ia lalui.“Aku benar-benar telah kembali,” katanya, kali ini dengan suara penuh kepastian, seakan ia ingin meyakinkan dirinya bahwa semua ini nyata.Jemarinya bergerak perlahan, mengusap wajahnya dengan gerakan lembut, seakan ingin menghapus sisa-sisa kebingungan yang se
“Argh! Mark sialan!”Kevin menghempaskan tubuhnya ke kursi dengan kasar, tangannya gemetar, kemarahan terpancar dari matanya. Seolah-olah dunia telah menentangnya dengan membiarkan Mark bebas dari tuduhan.Meja yang berantakan dengan dokumen berserakan di lantai adalah bukti ledakan amarah yang baru saja terjadi.Ia menatap ke arah Alex yang duduk di seberang, menyilangkan kakinya dengan wajah datar namun terlihat lelah, jemarinya memijat kening yang terasa berat.“Ini tidak masuk akal! Jelas-jelas Mark bersalah, tapi hakim malah memutuskan untuk membebaskannya!” Kevin berteriak penuh frustrasi.Suaranya menggema di ruangan, namun Alex hanya menghela napas panjang, seakan-akan kebisingan itu tidak mampu mengusik ketenangannya.Alex menggeleng perlahan, sejenak membiarkan keheningan menggantung di udara sebelum berbicara dengan nada pelan, hampir tanpa emosi.“Angel akan dilaporkan balik atas pencemaran nama baik. Dan aku yakin, wanita itu akan membawa namaku dalam kasus ini.” Ia menga