Ruang sidang itu terasa sunyi, seperti ditelan oleh aura ketegangan yang mendalam. Suara detak jam di dinding dan gemuruh samar bisikan para hadirin yang menunggu akhirnya tertelan saat pintu ruang sidang terbuka.
Hakim ketua, bersama dua hakim anggota, memasuki ruangan, dan suasana langsung berubah menjadi penuh perhatian.
Wajah-wajah tegang dan ekspresi was-was tergambar di wajah mereka, terlebih bagi Mark yang duduk di kursi terdakwa, menantikan sidang yang akan menentukan nasibnya.
Hakim ketua duduk dan mengetuk palu kayu di tangannya, lalu membuka sidang dengan suara tenang namun berwibawa, “Sidang kembali dimulai. Saudara-saudara sekalian, harap tenang.” Setiap kata yang diucapkannya membawa getaran ketegasan yang langsung mengalir ke seluruh penjuru ruangan.
Ketiga hakim itu kemudian mulai membuka lembar demi lembar dokumen yang telah mereka pelajari dan kaji ulang.
Mereka merangkum kasus ini dengan teliti, mencari celah dan kesa
Dania menatap layar televisi dengan mata yang membelalak, tangannya terangkat menutup mulutnya seakan tak percaya dengan berita yang terpampang di depan matanya.Berita tentang kebebasan Mark kini menguasai layar, tersebar cepat bagaikan angin liar yang berhembus tanpa arah, menyebar ke setiap media televisi dan sosial media.Setiap kata dari siaran itu terdengar begitu nyata, namun tak sepenuhnya ia mampu pahami di tengah perasaan yang menggelegak di dadanya."Mark..." ucapnya lirih, suaranya tertahan oleh air mata yang mulai menggenang di kelopak matanya.Nama itu mengalir dari bibirnya bagai mantra yang selama ini terkurung dalam batinnya, menunggu saat yang tepat untuk keluar.“Kau bebas! Kau benar-benar bebas, Mark!” Air matanya pun mulai mengalir, jatuh berurutan, menggambarkan betapa lama ia menunggu, betapa besar harapannya selama ini.Lalu, suara ketukan pintu menggema lembut, dan Dania segera menoleh. Tubuhnya terasa di
Mark membuka matanya, merasakan kedamaian yang jarang ia dapatkan dalam tidurnya akhir-akhir ini. Tumpukan mimpi buruk, kekhawatiran, dan rasa bersalah seakan terkikis dalam delapan jam tidur lelapnya.Udara pagi meresap perlahan ke dalam paru-parunya saat ia menarik napas dalam, menghidupkan kembali semangat yang sempat padam. Lalu, ia menoleh ke arah kiri—tempat yang seharusnya ditempati oleh istrinya.Namun, di sana kosong.“Hm! Ke mana kau, pagi-pagi sudah tidak ada di kamar?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur, diiringi senyum kecil yang muncul tanpa ia sadari.Sambil memandang langit-langit kamar, Mark berbisik pada dirinya sendiri, seolah-olah mencoba merangkum perjalanan panjang emosional yang telah ia lalui.“Aku benar-benar telah kembali,” katanya, kali ini dengan suara penuh kepastian, seakan ia ingin meyakinkan dirinya bahwa semua ini nyata.Jemarinya bergerak perlahan, mengusap wajahnya dengan gerakan lembut, seakan ingin menghapus sisa-sisa kebingungan yang se
“Argh! Mark sialan!”Kevin menghempaskan tubuhnya ke kursi dengan kasar, tangannya gemetar, kemarahan terpancar dari matanya. Seolah-olah dunia telah menentangnya dengan membiarkan Mark bebas dari tuduhan.Meja yang berantakan dengan dokumen berserakan di lantai adalah bukti ledakan amarah yang baru saja terjadi.Ia menatap ke arah Alex yang duduk di seberang, menyilangkan kakinya dengan wajah datar namun terlihat lelah, jemarinya memijat kening yang terasa berat.“Ini tidak masuk akal! Jelas-jelas Mark bersalah, tapi hakim malah memutuskan untuk membebaskannya!” Kevin berteriak penuh frustrasi.Suaranya menggema di ruangan, namun Alex hanya menghela napas panjang, seakan-akan kebisingan itu tidak mampu mengusik ketenangannya.Alex menggeleng perlahan, sejenak membiarkan keheningan menggantung di udara sebelum berbicara dengan nada pelan, hampir tanpa emosi.“Angel akan dilaporkan balik atas pencemaran nama baik. Dan aku yakin, wanita itu akan membawa namaku dalam kasus ini.” Ia menga
Mark berdiri di ambang pintu rumahnya, menatap Dania dengan pandangan penuh kasih yang tak pernah pudar meskipun badai sudah berlalu dan bahaya masih mengintai.Dua hari setelah kebebasannya, dan kini ia akan menghadapi kenyataan yang telah menantinya di kantor, beban pekerjaan yang selama ini tertunda karena jeruji besi yang memisahkannya dari dunia luar."Sayang," ucapnya lembut seraya menggenggam kedua tangan Dania. "Kalau ada sesuatu, segera hubungi aku. Ingat, semuanya belum selesai. Aku memang bebas, tapi bahaya di luar sana masih mengintai. Mereka bisa datang kapan saja." Tatapannya serius, bibirnya mengulas senyum tipis, namun matanya memancarkan kekhawatiran.Dania mengangguk, mencoba menenangkan suaminya. "Jangan khawatir, Mark. Aku baik-baik saja. Selama kau di penjara, aku selalu ditemani pengawal dan para pelayan di rumah ini. Tidak akan ada yang berani datang ke sini," balasnya, nada suaranya mantap meski jauh di dalam hatinya ada sedikit kekhawatiran. Ia tahu, dunia Mar
Linda menganggukkan kepala, mencatat instruksi tersebut. Ruangan kembali hening, semua mata tertuju pada Mark yang kini membuka folder berisi berbagai laporan keuangan dan data investor. Setelah sejenak mempelajarinya, ia menghela napas panjang.“Selanjutnya, kita perlu memulihkan kepercayaan para investor,” lanjut Mark, suaranya kini terdengar sedikit lebih lembut, namun tetap berwibawa.“Saham perusahaan telah turun drastis karena adanya keraguan dari pihak eksternal, tapi kita akan mulai dengan proyek pengembangan yang telah tertunda. Saya ingin laporan tentang seluruh aset yang bisa segera kita manfaatkan.”Salah seorang direktur keuangan, Jonathan, angkat bicara, mencoba memberikan analisis yang lebih rinci. “Tuan Mark, kita memiliki beberapa proyek yang berpotensi memberikan keuntungan besar, terutama yang sedang berjalan di sektor properti.“Jika kita bisa menambah modal dari penjualan sebagian saham yang masih kita miliki, itu akan menjadi langkah awal yang baik untuk memulihk
Wajah Vicky menegang, pandangannya menunduk. Ia tahu bahwa menjawab dengan alasan apa pun bukanlah pilihan yang bijak, namun ia harus jujur. “Saya… saya tidak ingin mengganggu Anda dengan kabar yang mungkin akan membebani pikiran Anda, Tuan. Nona Dania sendiri juga meminta agar saya tidak mengatakannya. Dia khawatir jika Anda tahu, Anda akan semakin terbebani di tempat ini.”Mark terdiam, kembali menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Di satu sisi, ia memahami niat baik Vicky dan Dania yang ingin melindunginya. Namun, di sisi lain, perasaan bersalah yang mulai menyusup di hatinya membuatnya marah pada dirinya sendiri. Ia merasa tak berdaya, terkurung dalam ruangan ini sementara wanita yang ia cintai harus menanggung beban sendirian.“Dania…” gumamnya dengan nada pelan, hampir tak terdengar. Tatapannya tetap tertuju pada layar, memperhatikan momen-momen ketika Dania berusaha keras menghadapi masa-masa sulit itu sendirian. Betapa ia ingin berada di sana, memeluk Dania dan mema
Tiga puluh menit telah berlalu sejak panggilan itu, dan kini Sean telah tiba di kantor Mark. Mark duduk di kursi kebesarannya, tampak khusyuk mengutak-atik laptopnya dengan pandangan tajam yang tak ingin lepas dari layar.Di hadapannya, video CCTV rumahnya terputar, memperlihatkan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh Dania selama ia berada di penjara.“Mark?” Sean membuka suara setelah menempatkan dirinya di kursi di depan meja Mark. Ia memerhatikan keponakannya yang begitu serius dengan layar laptopnya. “Kau sedang sibuk?”Mark menoleh sebentar ke arah Sean, lalu pandangannya kembali tertuju ke layar. “Aku hanya sedang memastikan kalau Kevin tidak sempat masuk ke rumahku selama aku dipenjara kemarin,” jawabnya dengan nada datar, namun jelas mengandung ketidakpercayaan yang masih membara.Sean mendengar itu dengan seulas senyum yang sinis. Ia mengangkat tangan, menggaruk alisnya, dan kemudian tertawa kecil. “Tentu saja tidak, Mark. Dia tidak akan berani datang mengganggu Dania. Ta
Sembilan bulan yang lalu…Mark duduk di tepi tempat tidur kamar hotelnya, menutup matanya sejenak sambil mencoba meredakan kelelahan yang terasa menjalar ke seluruh tubuh.Pertemuan bisnis yang berlangsung sepanjang hari itu baru saja selesai, dan ia terlalu letih untuk merayakan apa pun—bahkan ulang tahun perusahaannya yang jatuh tepat malam itu. Ia mendesah, menatap kosong ke arah bayangan dirinya di cermin besar di sisi kamar.Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Vicky, asisten setianya, muncul di ambang pintu dengan sedikit ragu.“Selamat siang, Tuan,” ucap Vicky. “Aula hotel ini sudah dipakai untuk acara pertunangan. Jika Anda ingin, saya bisa mencarikan tempat lain untuk merayakan ulang tahun perusahaan Anda.”Mark menggeleng pelan, nadanya nyaris tak terdengar. “Tidak perlu, Vicky. Aku tidak ingin membuat pesta ulang tahun perusahaanku lagi,” jawabnya, suaranya berbisik diiringi keletihan yang mendalam.Vicky mengangguk kaku, menyembunyikan kekhawatirannya. “Baik, Tua