Linda menganggukkan kepala, mencatat instruksi tersebut. Ruangan kembali hening, semua mata tertuju pada Mark yang kini membuka folder berisi berbagai laporan keuangan dan data investor. Setelah sejenak mempelajarinya, ia menghela napas panjang.“Selanjutnya, kita perlu memulihkan kepercayaan para investor,” lanjut Mark, suaranya kini terdengar sedikit lebih lembut, namun tetap berwibawa.“Saham perusahaan telah turun drastis karena adanya keraguan dari pihak eksternal, tapi kita akan mulai dengan proyek pengembangan yang telah tertunda. Saya ingin laporan tentang seluruh aset yang bisa segera kita manfaatkan.”Salah seorang direktur keuangan, Jonathan, angkat bicara, mencoba memberikan analisis yang lebih rinci. “Tuan Mark, kita memiliki beberapa proyek yang berpotensi memberikan keuntungan besar, terutama yang sedang berjalan di sektor properti.“Jika kita bisa menambah modal dari penjualan sebagian saham yang masih kita miliki, itu akan menjadi langkah awal yang baik untuk memulihk
Wajah Vicky menegang, pandangannya menunduk. Ia tahu bahwa menjawab dengan alasan apa pun bukanlah pilihan yang bijak, namun ia harus jujur. “Saya… saya tidak ingin mengganggu Anda dengan kabar yang mungkin akan membebani pikiran Anda, Tuan. Nona Dania sendiri juga meminta agar saya tidak mengatakannya. Dia khawatir jika Anda tahu, Anda akan semakin terbebani di tempat ini.”Mark terdiam, kembali menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Di satu sisi, ia memahami niat baik Vicky dan Dania yang ingin melindunginya. Namun, di sisi lain, perasaan bersalah yang mulai menyusup di hatinya membuatnya marah pada dirinya sendiri. Ia merasa tak berdaya, terkurung dalam ruangan ini sementara wanita yang ia cintai harus menanggung beban sendirian.“Dania…” gumamnya dengan nada pelan, hampir tak terdengar. Tatapannya tetap tertuju pada layar, memperhatikan momen-momen ketika Dania berusaha keras menghadapi masa-masa sulit itu sendirian. Betapa ia ingin berada di sana, memeluk Dania dan mema
Tiga puluh menit telah berlalu sejak panggilan itu, dan kini Sean telah tiba di kantor Mark. Mark duduk di kursi kebesarannya, tampak khusyuk mengutak-atik laptopnya dengan pandangan tajam yang tak ingin lepas dari layar.Di hadapannya, video CCTV rumahnya terputar, memperlihatkan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh Dania selama ia berada di penjara.“Mark?” Sean membuka suara setelah menempatkan dirinya di kursi di depan meja Mark. Ia memerhatikan keponakannya yang begitu serius dengan layar laptopnya. “Kau sedang sibuk?”Mark menoleh sebentar ke arah Sean, lalu pandangannya kembali tertuju ke layar. “Aku hanya sedang memastikan kalau Kevin tidak sempat masuk ke rumahku selama aku dipenjara kemarin,” jawabnya dengan nada datar, namun jelas mengandung ketidakpercayaan yang masih membara.Sean mendengar itu dengan seulas senyum yang sinis. Ia mengangkat tangan, menggaruk alisnya, dan kemudian tertawa kecil. “Tentu saja tidak, Mark. Dia tidak akan berani datang mengganggu Dania. Ta
Sembilan bulan yang lalu…Mark duduk di tepi tempat tidur kamar hotelnya, menutup matanya sejenak sambil mencoba meredakan kelelahan yang terasa menjalar ke seluruh tubuh.Pertemuan bisnis yang berlangsung sepanjang hari itu baru saja selesai, dan ia terlalu letih untuk merayakan apa pun—bahkan ulang tahun perusahaannya yang jatuh tepat malam itu. Ia mendesah, menatap kosong ke arah bayangan dirinya di cermin besar di sisi kamar.Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Vicky, asisten setianya, muncul di ambang pintu dengan sedikit ragu.“Selamat siang, Tuan,” ucap Vicky. “Aula hotel ini sudah dipakai untuk acara pertunangan. Jika Anda ingin, saya bisa mencarikan tempat lain untuk merayakan ulang tahun perusahaan Anda.”Mark menggeleng pelan, nadanya nyaris tak terdengar. “Tidak perlu, Vicky. Aku tidak ingin membuat pesta ulang tahun perusahaanku lagi,” jawabnya, suaranya berbisik diiringi keletihan yang mendalam.Vicky mengangguk kaku, menyembunyikan kekhawatirannya. “Baik, Tua
Mark menatap layar ponselnya begitu tiba di dalam mobil, jemarinya menari di atas keyboard, mengetik pesan kepada Vicky.“Vicky, siapkan dokumen pernikahan yang pernah kubuat dulu. Tinggal kau ganti tanggalnya dan daftarkan segera ke catatan sipil,” tulisnya tegas. Ia menatap layar ponselnya, menunggu konfirmasi dari Vicky.Hanya butuh beberapa detik sebelum notifikasi masuk.Vicky: “Baik, Tuan. Akan segera saya siapkan.”Mark menghela napas lega, merasakan beban yang selama ini menggantung di hatinya sedikit demi sedikit mulai terangkat.Setelah bertahun-tahun mencari, setelah semua usaha tanpa hasil yang ia jalani, wanita yang selama ini ia rindukan dan ia cari mati-matian ternyata benar-benar ada di hadapannya.Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di benaknya—kenapa hanya dia yang mengingat segalanya? Kenapa Dania tidak mengenalinya sama sekali?Kebingungannya tak sempat ia telaah lebih dalam, karena suara lantang Dania memecah keheningan.“Tuan… apa sebenarnya yang kau ingink
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam, menyelimuti dunia dengan kilau temaram yang lembut, seakan alam sengaja memperlambat denyutnya untuk menyambut pulangnya sang suami yang tercinta.Langkah Mark berat namun tegas, melawan lelah yang menggurat dalam, setelah seharian bertarung dengan tuntutan pekerjaan yang membentang layaknya samudra tanpa tepi, dipenuhi ombak pertemuan dan arus deras panggilan dari para wajah-wajah penting.Namun, begitu membuka pintu rumah, semua kepenatan seakan sirna, tertelan senyum dan tatapan hangat dari wanita yang menantinya."Sayang?" panggil Mark, suaranya bagaikan angin lembut yang menerpa pelan, saat ia menarik Dania ke dalam pelukannya, menyentuh kelembutan yang hanya bisa ditemukan pada kekasih sejati. Dalam sekejap, lelahnya terasa bagai embun yang memudar di bawah sinar mentari.Dania menyambut pelukan itu dengan senyum penuh ketenangan yang menjalar sampai ke matanya. "Hari ini terlihat sangat lelah," ujarnya lembut, jemarinya menelusuri lembut
Keduanya tengah duduk di sofa panjang di kamar mereka, ruang itu terasa hangat dengan kehadiran mereka yang saling merapat. Lampu temaram mempertegas keintiman, menciptakan suasana tenang yang tak terganggu.Dania dan Mark memilih untuk menghabiskan malam dengan menonton film bersama, menikmati keheningan yang hanya terisi oleh suara lembut dari layar.Tangan Mark tak pernah berhenti mengusap perut buncit istrinya, gerakannya lembut dan penuh kasih, seolah mengukir setiap sentuhan dengan cinta yang tak terucap.Sesekali, ia menunduk, mencium pucuk kepala Dania, dan aroma lembut rambutnya menenangkan hatinya yang penuh dengan rindu dan kehangatan.“Mark?” panggil Dania pelan, suaranya nyaris berbisik, membangunkan suaminya dari lamunannya yang dalam.“Hm?” jawab Mark, matanya tak pernah lepas dari wajah istrinya, sorotnya penuh perhatian.“Aku ingin tahu. Apa yang kau lakukan selama kita berpisah dulu?” tanyanya, ada nada ragu yang tersirat, seolah takut membuka kembali lembaran yang m
Langit sore berpendar lembayung ketika waktu menunjukkan pukul lima sore, warna jingga melukis cakrawala seperti kanvas yang mengisyaratkan perubahan.Setelah pertemuan dengan klien di restoran yang hanya sepelemparan batu dari rumah psikolog Hans, Mark memutuskan untuk mampir, meski tubuhnya masih terasa dipenuhi kelelahan yang berat.Sesampainya di sana, Hans, yang sudah duduk di ruang tamu dengan tatapan prihatin, langsung menyambutnya. “Mark? Apa kau baik-baik saja? Aku menghubungimu sejak kemarin dan kau tidak menghubungiku balik!”Suara Hans terdengar serak, penuh perhatian, tatapannya mengamati setiap garis kelelahan di wajah sahabatnya yang kini duduk lesu di sofa.“Aku sedang sibuk,” jawab Mark datar, suaranya terdengar berat, seperti membawa beban tak terlihat.“Dan sebenarnya sekarang pun sedang sibuk. Tapi, obatku sudah habis, jadi aku menyempatkan waktu kemari,” lanjutnya, nadanya seakan menyerah pada kepenatan yang menyesakkan.Hans menghela napas panjang, tatapannya taj