Keduanya tengah duduk di sofa panjang di kamar mereka, ruang itu terasa hangat dengan kehadiran mereka yang saling merapat. Lampu temaram mempertegas keintiman, menciptakan suasana tenang yang tak terganggu.Dania dan Mark memilih untuk menghabiskan malam dengan menonton film bersama, menikmati keheningan yang hanya terisi oleh suara lembut dari layar.Tangan Mark tak pernah berhenti mengusap perut buncit istrinya, gerakannya lembut dan penuh kasih, seolah mengukir setiap sentuhan dengan cinta yang tak terucap.Sesekali, ia menunduk, mencium pucuk kepala Dania, dan aroma lembut rambutnya menenangkan hatinya yang penuh dengan rindu dan kehangatan.âMark?â panggil Dania pelan, suaranya nyaris berbisik, membangunkan suaminya dari lamunannya yang dalam.âHm?â jawab Mark, matanya tak pernah lepas dari wajah istrinya, sorotnya penuh perhatian.âAku ingin tahu. Apa yang kau lakukan selama kita berpisah dulu?â tanyanya, ada nada ragu yang tersirat, seolah takut membuka kembali lembaran yang m
Langit sore berpendar lembayung ketika waktu menunjukkan pukul lima sore, warna jingga melukis cakrawala seperti kanvas yang mengisyaratkan perubahan.Setelah pertemuan dengan klien di restoran yang hanya sepelemparan batu dari rumah psikolog Hans, Mark memutuskan untuk mampir, meski tubuhnya masih terasa dipenuhi kelelahan yang berat.Sesampainya di sana, Hans, yang sudah duduk di ruang tamu dengan tatapan prihatin, langsung menyambutnya. âMark? Apa kau baik-baik saja? Aku menghubungimu sejak kemarin dan kau tidak menghubungiku balik!âSuara Hans terdengar serak, penuh perhatian, tatapannya mengamati setiap garis kelelahan di wajah sahabatnya yang kini duduk lesu di sofa.âAku sedang sibuk,â jawab Mark datar, suaranya terdengar berat, seperti membawa beban tak terlihat.âDan sebenarnya sekarang pun sedang sibuk. Tapi, obatku sudah habis, jadi aku menyempatkan waktu kemari,â lanjutnya, nadanya seakan menyerah pada kepenatan yang menyesakkan.Hans menghela napas panjang, tatapannya taj
Sesi terapi pertama itu seolah menguliti setiap lapisan perasaan yang selama ini Mark tutupi. Butuh dua jam yang terasa seperti seumur hidup bagi Mark, menelusuri sudut-sudut tergelap dari hatinya.Saat sesi berakhir, ia hanya bisa duduk dalam keheningan, tatapannya kosong, memancarkan ketidakpercayaan yang menggantung di wajahnyaâmenyadari bahwa kondisi ini bukan sekadar ketakutan dalam benaknya, melainkan sesuatu yang nyata, menghantuinya.Di luar, Dania dan Vicky sudah menunggu dengan kecemasan yang tergurat di mata mereka. Hans, yang mengenali kesetiaan dua sosok tersebut, segera memberi isyarat agar mereka masuk.âDania, Vicky. Silakan masuk,â katanya dengan suara yang hangat, tapi berwibawa.Dania bergegas mendekati Mark, melihat suaminya duduk di atas bangsal dengan sorot mata yang tampak rapuh.Dengan lembut, ia menggenggam tangan Mark, seakan memberinya kekuatan yang selalu dirindukannya. âMark?â bisiknya lembut sambil mengulas senyum yang menyejukkan.âAku di sini.â Dania me
Usai mengantarkan Mark dan Dania ke rumah, Vicky pamit dengan wajah yang menyiratkan kelelahan, namun ada tekad yang tertanam kuat dalam tatapannya.Saat malam semakin larut, ia melangkah menuju rumah Sean dengan pikiran yang penuh, menyiapkan kata-kata yang akan disampaikannya."Selamat malam, Tuan Sean. Maaf mengganggu di malam hari," ucapnya setiba di rumah Sean, suaranya lirih namun tegas.Sean menatapnya dalam, menahan kelegaan kecil di matanya. "Aku akan marah jika kau tidak memberitahuku, Vicky. Jam berapa pun itu, jika tentang Mark, kau harus segera menemuiku."Vicky mengangguk patuh, sorot matanya penuh rasa hormat dan kesungguhan. "Baik, Tuan. Saya baru saja mendapat kabar dari Dokter Hans, dokter yang menangani psikolog Tuan Mark."Sean menarik napas panjang, berusaha menyembunyikan kecemasannya yang mendalam. "Bagaimana kondisinya, Vicky?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik, seolah takut menghadapi kenyataan yang mungkin terlalu berat.Vicky menghela napasnya dalam-dala
Pagi yang lembut merayap masuk melalui tirai jendela, membanjiri kamar dengan cahaya hangat. Waktu sudah menunjukkan angka tujuh, dan Mark membuka matanya perlahan, mencari sosok yang sudah menjadi nyawanya.Namun, tatapan pertamanya hanya menemukan ruang kosong di sampingnya, sepi yang meninggalkan helaan napas pelan dari bibirnya.âKau selalu membiarkanku tidur sendirian, Dania,â gumamnya dengan suara berat, setengah bergurau namun sarat kerinduan.Tak lama, suara lembut menyapanya. âSelamat pagi, Mark.â Dania berdiri di ambang kamar mandi, rambutnya digulung handuk, bathrobe menutupi tubuhnya yang kini membawa kehidupan baru.Pemandangan itu membuat mata Mark berkilat, tak bisa menahan kekaguman yang membuncah dalam diam.âSeksi sekali ibu hamil satu ini,â pujinya sambil menyandarkan punggungnya di headboard, senyum kecil menghiasi wajahnya yang penuh cinta.Dania terkekeh, tawa kecilnya seperti musik yang mengalun lembut, lalu melepas gulungan handuk dari rambutnya, membiarkan hel
Mark menatap Dania dengan tatapan berat, seolah kata-katanya mengandung seribu beban yang tak bisa diungkapkan begitu saja.âApa kau yakin, Dania?â tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar, seakan-akan ia takut jawaban Dania akan membawanya pada sesuatu yang tak ingin ia hadapi.Dania menganggukkan kepalanya, matanya bersinar penuh keyakinan. âYa, aku yakin, Mark. Kau tahu? Saat kau di penjara, aku sering membaca diary-mu. Anehnya, kenangan yang kau tulis di sana⊠entah bagaimana mulai muncul dalam bayanganku. Seolah-olah, sedikit demi sedikit, aku bisa merasakan momen itu bersamamu.âMark terdiam, menyerap kata-kata itu dengan hati yang tak tenang. Matanya menelusuri wajah Dania, mencari-cari tanda bahwa ia kuat untuk menghadapi kenangan itu.âAku tahu,â ucapnya pelan, hampir dalam bisikan. âLalu, kau kehilangan kesadaran setelah membaca diary itu,â katanya lebih lirih, mengenang bagaimana rapuhnya kondisi istrinya setiap kali bayangan masa lalu merayap masuk.Dania tersenyum
Mark melangkah masuk ke kantornya, bayang-bayang kerutan di dahi dan sorot tajam matanya menunjukkan segala beban yang bertumpu di pundaknya.Saat pintu tertutup di belakangnya, Vicky sudah siap dengan agenda penuh jadwal yang menantinyaâdaftar panjang yang terasa seakan tak ada ujung.Mark mengambil napas dalam, kemudian menghela napas berat yang terdengar jelas di ruangan yang sepi. âKenapa banyak sekali tugas yang harus aku selesaikan?â keluhnya, tangan terulur ke dahi, mengusap pelipisnya dengan frustasi.Suaranya penuh lelah, tapi matanya tetap fokus, menyapu agenda yang dipegang Vicky, mencoba merangkai setiap baris dengan kesadaran penuh.Sambil membaca, ia bertanya, âApakah kau sudah mendapat jawaban dari Tuan Richard tentang investasinya?â Pandangannya tak lepas dari halaman demi halaman agenda yang tebal, menelusuri setiap rincian tugas yang harus dipenuhi hingga minggu depan.âSudah, Tuan,â jawab Vicky dengan senyum samar, berusaha membawakan secercah kabar baik di tengah r
Waktu sudah merayap melewati angka delapan malam, membawa serta bayangan gelap yang berlapis di balik jendela rumah. Mark akhirnya tiba, setelah seharian terkurung dalam rutinitas meeting dan pembicaraan yang seolah tak ada ujungnya.Langkahnya berat, dan jemarinya sibuk melonggarkan dasi yang terasa seakan mencekik tenggorokannya sendiri. Wajahnya lelah, kusut, namun di sana selalu ada semburat ketenangan yang ia rasakan setiap kali sampai di rumah.âHi, Mark. Akhirnya kau pulang juga. Aku sudah membuatkan kue muffin untukmu,â suara lembut Dania menyambutnya, menyingkirkan sejenak segala kerutan di dahinya.Senyum di wajah wanita itu tulus, tapi Mark menangkap kilasan kesalahan yang bersembunyi di sana.Seperti sebuah teka-teki yang ia ingin pecahkan, terlebih saat ia teringat betapa Dania telah melanggar batasâbatas yang ia tetapkan sendiri.âOh, ya?â Mark mendekat, matanya menyorotkan tanya yang terselubung. âKau tahu aku suka kue muffin, hm?â ucapnya, nadanya ringan namun menggant