Usai mengantarkan Mark dan Dania ke rumah, Vicky pamit dengan wajah yang menyiratkan kelelahan, namun ada tekad yang tertanam kuat dalam tatapannya.Saat malam semakin larut, ia melangkah menuju rumah Sean dengan pikiran yang penuh, menyiapkan kata-kata yang akan disampaikannya."Selamat malam, Tuan Sean. Maaf mengganggu di malam hari," ucapnya setiba di rumah Sean, suaranya lirih namun tegas.Sean menatapnya dalam, menahan kelegaan kecil di matanya. "Aku akan marah jika kau tidak memberitahuku, Vicky. Jam berapa pun itu, jika tentang Mark, kau harus segera menemuiku."Vicky mengangguk patuh, sorot matanya penuh rasa hormat dan kesungguhan. "Baik, Tuan. Saya baru saja mendapat kabar dari Dokter Hans, dokter yang menangani psikolog Tuan Mark."Sean menarik napas panjang, berusaha menyembunyikan kecemasannya yang mendalam. "Bagaimana kondisinya, Vicky?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik, seolah takut menghadapi kenyataan yang mungkin terlalu berat.Vicky menghela napasnya dalam-dala
Pagi yang lembut merayap masuk melalui tirai jendela, membanjiri kamar dengan cahaya hangat. Waktu sudah menunjukkan angka tujuh, dan Mark membuka matanya perlahan, mencari sosok yang sudah menjadi nyawanya.Namun, tatapan pertamanya hanya menemukan ruang kosong di sampingnya, sepi yang meninggalkan helaan napas pelan dari bibirnya.“Kau selalu membiarkanku tidur sendirian, Dania,” gumamnya dengan suara berat, setengah bergurau namun sarat kerinduan.Tak lama, suara lembut menyapanya. “Selamat pagi, Mark.” Dania berdiri di ambang kamar mandi, rambutnya digulung handuk, bathrobe menutupi tubuhnya yang kini membawa kehidupan baru.Pemandangan itu membuat mata Mark berkilat, tak bisa menahan kekaguman yang membuncah dalam diam.“Seksi sekali ibu hamil satu ini,” pujinya sambil menyandarkan punggungnya di headboard, senyum kecil menghiasi wajahnya yang penuh cinta.Dania terkekeh, tawa kecilnya seperti musik yang mengalun lembut, lalu melepas gulungan handuk dari rambutnya, membiarkan hel
Mark menatap Dania dengan tatapan berat, seolah kata-katanya mengandung seribu beban yang tak bisa diungkapkan begitu saja.“Apa kau yakin, Dania?” tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar, seakan-akan ia takut jawaban Dania akan membawanya pada sesuatu yang tak ingin ia hadapi.Dania menganggukkan kepalanya, matanya bersinar penuh keyakinan. “Ya, aku yakin, Mark. Kau tahu? Saat kau di penjara, aku sering membaca diary-mu. Anehnya, kenangan yang kau tulis di sana… entah bagaimana mulai muncul dalam bayanganku. Seolah-olah, sedikit demi sedikit, aku bisa merasakan momen itu bersamamu.”Mark terdiam, menyerap kata-kata itu dengan hati yang tak tenang. Matanya menelusuri wajah Dania, mencari-cari tanda bahwa ia kuat untuk menghadapi kenangan itu.“Aku tahu,” ucapnya pelan, hampir dalam bisikan. “Lalu, kau kehilangan kesadaran setelah membaca diary itu,” katanya lebih lirih, mengenang bagaimana rapuhnya kondisi istrinya setiap kali bayangan masa lalu merayap masuk.Dania tersenyum
Mark melangkah masuk ke kantornya, bayang-bayang kerutan di dahi dan sorot tajam matanya menunjukkan segala beban yang bertumpu di pundaknya.Saat pintu tertutup di belakangnya, Vicky sudah siap dengan agenda penuh jadwal yang menantinya—daftar panjang yang terasa seakan tak ada ujung.Mark mengambil napas dalam, kemudian menghela napas berat yang terdengar jelas di ruangan yang sepi. “Kenapa banyak sekali tugas yang harus aku selesaikan?” keluhnya, tangan terulur ke dahi, mengusap pelipisnya dengan frustasi.Suaranya penuh lelah, tapi matanya tetap fokus, menyapu agenda yang dipegang Vicky, mencoba merangkai setiap baris dengan kesadaran penuh.Sambil membaca, ia bertanya, “Apakah kau sudah mendapat jawaban dari Tuan Richard tentang investasinya?” Pandangannya tak lepas dari halaman demi halaman agenda yang tebal, menelusuri setiap rincian tugas yang harus dipenuhi hingga minggu depan.“Sudah, Tuan,” jawab Vicky dengan senyum samar, berusaha membawakan secercah kabar baik di tengah r
Waktu sudah merayap melewati angka delapan malam, membawa serta bayangan gelap yang berlapis di balik jendela rumah. Mark akhirnya tiba, setelah seharian terkurung dalam rutinitas meeting dan pembicaraan yang seolah tak ada ujungnya.Langkahnya berat, dan jemarinya sibuk melonggarkan dasi yang terasa seakan mencekik tenggorokannya sendiri. Wajahnya lelah, kusut, namun di sana selalu ada semburat ketenangan yang ia rasakan setiap kali sampai di rumah.“Hi, Mark. Akhirnya kau pulang juga. Aku sudah membuatkan kue muffin untukmu,” suara lembut Dania menyambutnya, menyingkirkan sejenak segala kerutan di dahinya.Senyum di wajah wanita itu tulus, tapi Mark menangkap kilasan kesalahan yang bersembunyi di sana.Seperti sebuah teka-teki yang ia ingin pecahkan, terlebih saat ia teringat betapa Dania telah melanggar batas—batas yang ia tetapkan sendiri.“Oh, ya?” Mark mendekat, matanya menyorotkan tanya yang terselubung. “Kau tahu aku suka kue muffin, hm?” ucapnya, nadanya ringan namun menggant
Mark perlahan merebahkan tubuh Dania di atas ranjang dengan gerakan yang penuh kesabaran namun mengintimidasi. Sorot matanya memancarkan kilat liar, seolah-olah Dania adalah mangsanya malam ini.Mata yang tak kenal lelah itu menatapnya dalam-dalam, menghanyutkan, hingga Dania hanya mampu menelan ludah, merasa jantungnya berdebar cepat di bawah tatapan sang suami yang penuh ketenangan yang menipu.Mark menggeserkan wajahnya, bibirnya mengecup lembut di lekuk leher Dania, gerakannya seperti angin yang membelai daun, namun begitu tajam, menyesakkan dada Dania hingga ia menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan aliran darah yang semakin terasa mendidih.“Um, Mark …,” bisik Dania lirih, suaranya hampir tak terdengar di antara napasnya yang pendek.Ada ketakutan kecil namun manis dalam bisikannya, tanda bahwa ia belum sepenuhnya siap untuk sepenuhnya menyerahkan diri.Mark menahan senyuman, bibirnya dekat di telinganya saat ia berbisik dengan suara berat yang seperti petir menggelegar dalam
“Selamat pagi, Nyonya Angel. Kami dari kepolisian,” suara tegas polisi mengawali pagi yang baru saja ia harapkan tenang, namun kini berubah menjadi mimpi buruk yang tak terduga. “Kami mendapat laporan atas pencemaran nama baik dan kerjasama untuk merugikan pihak korban. Ikut kami ke kantor polisi untuk proses selanjutnya.”Mata Angel membulat seketika, tubuhnya terasa lemas ketika tangan terborgol dingin merenggut kebebasannya. Kepalanya menggeleng dalam penolakan yang penuh dengan rasa tak percaya. “Tidak. Aku tidak salah. Itu tidak benar!” pekiknya, suaranya bergetar antara kemarahan dan kepanikan yang berputar menjadi satu.Namun, tatapan polisi yang mengawalnya tetap datar, tak menunjukkan tanda simpati sedikit pun. “Anda bisa menyampaikan semuanya di ruang investigasi,” jawab petugas kepolisian, tak tergoyahkan oleh jeritan penuh emosi Angel. Jeritannya terus menggema, namun petugas hanya bertukar pandang, seolah pekikan itu hanyalah sekadar suara latar yang terhapus oleh ketuk
Malam telah melarutkan dirinya dalam keheningan, jarum jam sudah menunjuk angka sembilan, dan langit di luar begitu pekat.Mark melangkah mendekati Dania, yang tengah duduk tenggelam dalam lembaran-lembaran diary usangnya, tatapan matanya seperti menembus halaman-halaman itu, kembali ke masa lalu yang ia pegang erat dalam ingatannya.“Masih belum bosan, membaca bukunya?” tanyanya lembut, suaranya nyaris berbisik, seakan takut mengusik keheningan yang mendalam.Dania menoleh, senyum tipis merekah di wajahnya. “Bagaimana bisa bosan, sementara cerita di sini begitu indah,” gumamnya.“Kau mencatat setiap momen yang kita lewati, Mark. Setiap rasa, setiap tawa—semuanya masih terasa hangat di sini.”Mark menghela napas panjang, matanya memandangnya dengan campuran nostalgia dan ketulusan yang menawan.Dari balik punggungnya, ia mengeluarkan kotak hitam kecil, memberikannya pada Dania. “Aku tidak yakin kalau kau sudah membuka semuanya, Dania,” ucapnya pelan. “Isi kotak ini mungkin masih menyi