“Selamat pagi, Nyonya Angel. Kami dari kepolisian,” suara tegas polisi mengawali pagi yang baru saja ia harapkan tenang, namun kini berubah menjadi mimpi buruk yang tak terduga. “Kami mendapat laporan atas pencemaran nama baik dan kerjasama untuk merugikan pihak korban. Ikut kami ke kantor polisi untuk proses selanjutnya.”Mata Angel membulat seketika, tubuhnya terasa lemas ketika tangan terborgol dingin merenggut kebebasannya. Kepalanya menggeleng dalam penolakan yang penuh dengan rasa tak percaya. “Tidak. Aku tidak salah. Itu tidak benar!” pekiknya, suaranya bergetar antara kemarahan dan kepanikan yang berputar menjadi satu.Namun, tatapan polisi yang mengawalnya tetap datar, tak menunjukkan tanda simpati sedikit pun. “Anda bisa menyampaikan semuanya di ruang investigasi,” jawab petugas kepolisian, tak tergoyahkan oleh jeritan penuh emosi Angel. Jeritannya terus menggema, namun petugas hanya bertukar pandang, seolah pekikan itu hanyalah sekadar suara latar yang terhapus oleh ketuk
Malam telah melarutkan dirinya dalam keheningan, jarum jam sudah menunjuk angka sembilan, dan langit di luar begitu pekat.Mark melangkah mendekati Dania, yang tengah duduk tenggelam dalam lembaran-lembaran diary usangnya, tatapan matanya seperti menembus halaman-halaman itu, kembali ke masa lalu yang ia pegang erat dalam ingatannya.“Masih belum bosan, membaca bukunya?” tanyanya lembut, suaranya nyaris berbisik, seakan takut mengusik keheningan yang mendalam.Dania menoleh, senyum tipis merekah di wajahnya. “Bagaimana bisa bosan, sementara cerita di sini begitu indah,” gumamnya.“Kau mencatat setiap momen yang kita lewati, Mark. Setiap rasa, setiap tawa—semuanya masih terasa hangat di sini.”Mark menghela napas panjang, matanya memandangnya dengan campuran nostalgia dan ketulusan yang menawan.Dari balik punggungnya, ia mengeluarkan kotak hitam kecil, memberikannya pada Dania. “Aku tidak yakin kalau kau sudah membuka semuanya, Dania,” ucapnya pelan. “Isi kotak ini mungkin masih menyi
Pagi itu perlahan menyelimuti langit dengan lembayung yang masih tersisa, menyambut Mark dan Dania dalam ketenangan yang hanya sejenak, sebelum hari membawa mereka ke arah yang berbeda.Jam telah menunjukkan angka tujuh pagi, dan Dania baru saja keluar dari kamar mandi, dengan sisa embun yang seolah menempel pada kulitnya, membawa aroma segar yang memenuhi ruangan.Rambutnya yang masih basah ia sisir perlahan, menyiapkan dirinya untuk pergi ke butik, mencoba mencari jawab atas cerita yang telah lama terkubur.Di sisi lain, Mark sedang berdiri di depan cermin, merapikan dasinya dengan raut wajah yang sedikit serius, ketika ponselnya bergetar, memecah suasana tenang pagi itu.Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat panggilan tersebut. “Ada apa, Vicky?” tanyanya dengan nada yang penuh perhatian.Suara Vicky terdengar jelas di seberang sana, sedikit tergesa namun terukur. “Selamat pagi, Tuan. Saya ingin memberitahu perihal Tuan Jonas. Beliau bersedia bertemu hari ini, dan kemungkinan besar
Mark akhirnya memecah keheningan yang sejenak menguasai ruangan. “Bibi, titip Dania. Aku harus bertemu dengan klienku,” ujarnya, suaranya rendah namun tegas, seolah menyadari setiap detik yang berlalu dalam keheningan.Amy menganggukkan kepalanya dengan senyum penuh arti. “Jangan khawatir, Mark. Istrimu tidak akan kukenalkan pada pria lain.”Mark mengernyit, tatapan tajamnya membalas pernyataan Amy yang mengundang tawa pelan dari bibinya.“Berani-beraninya Bibi mengatakan hal itu di depanku,” katanya, dengan nada setengah menggoda, setengah mengancam. “Ingin kubakar butikmu ini, huh?”Amy hanya terkekeh, gelengan kepala lembut menampakkan rasa sayang yang tak berkurang sedikit pun. “Sudahlah. Aku dan Dania akan menghabiskan waktu sampai kau kembali.”“Ya sudah kalau begitu,” Mark membalas. Matanya beralih pada Dania, tatapan lembutnya terasa bagai embun pagi yang menyentuh dedaunan, segar dan penuh perhatian.“Sayang, aku akan segera kembali. Segera hubungi aku jika Bibi Amy macam-mac
“Kau telah dibuang oleh keluargamu, dan kau baru memberitahuku jika kau sudah bukan bagian dari keluarga itu lagi!” Pekik Yonas penuh amarah, menggema di seluruh ruangan hingga membuat udara terasa menyesakkan, seolah dinding-dinding itu sendiri menolak untuk menerima kenyataan pahit yang baru saja terungkap.Mata Yonas menyala-nyala dengan api amarah, sementara di hadapannya, Famela hanya mampu tertunduk dalam, menahan air mata yang kini membasahi pipinya seperti hujan yang tak kunjung reda.Dia pikir, selama ini Yonas mencintainya, mencintai dirinya apa adanya. Tapi harapan itu runtuh dalam sekejap, remuk berkeping-keping bersama luka yang menusuk hatinya. Rupanya, ia salah.Teramat salah. Yonas tak pernah mencintainya—hanya cinta akan kekayaan keluarganya yang selama ini membutakan pria itu.“Mulai detik ini kau bukan lagi istriku! Kita bercerai!” suaranya menggelegar penuh penegasan, seperti palu yang mengetuk akhir dari sebuah ikatan yang dulu ia yakini abadi.Yonas melangkah per
Satu minggu kemudian …“Famela? Aku rasa sejak pagi tadi kau terlihat murung. Ada apa?” tanya Amy, matanya menelisik wajah Famela yang tampak redup di balik senyum tipisnya.Famela menghela napas panjang, seolah melepaskan beban yang tak terlihat namun teramat berat di dadanya. “Tidak ada, Amy. Aku hanya… sedikit lelah saja,” jawabnya, suaranya pelan seperti bisikan yang ditelan angin.Amy menggelengkan kepala, menatap Famela dengan penuh perhatian. “Kalau lelah, sebaiknya istirahat dulu, Famela. Jangan memaksakan diri untuk tetap bekerja,” ucapnya, seraya menempatkan telapak tangan hangatnya di bahu Famela.Namun, sebelum sempat Famela menanggapi, dering teleponnya memecah keheningan.Nama yang tertera di layar adalah Sheira, sahabat lama yang kini tinggal di dekat rumah yang Famela yakini sebagai tempat tinggal Mark dengan orang tuanya.Jantung Famela berdegup cepat, rasa cemas dan harapan
Jonas menandatangani kontrak kerjasama tersebut dengan seulas senyum puas di wajahnya, seolah bisa melihat masa depan penuh keuntungan yang terbentang di hadapannya. Jemarinya yang gemetar sedikit oleh antusiasme menari di atas tinta yang baru saja mengesahkan perjanjian di antara mereka. “Senang berbisnis dengan Anda, Tuan Jonas,” ucap Mark dengan nada formal, tangannya menjabat tangan Jonas dengan erat, menegaskan komitmen yang baru terjalin. Di balik matanya yang tajam, tergurat ketenangan seorang visioner yang tahu betul ke mana arah masa depan bisnis mereka. Jonas tersenyum, menatap Mark dengan kagum. “Jika melihat perkembangan yang begitu pesat dari tahun ke tahun, saya yakin tidak salah memilih perusahaan ini, apalagi di bidang teknologi terkini. Anda benar-benar membawa arus baru yang mengguncang industri.” Mark hanya tersenyum tipis, penuh percaya diri, seolah kehadirannya membawa magnet yang menarik perhatian siapa pun yang mendengarnya. “Setelah iklan ini dipublikasikan,
Begitu mobil berhenti di depan butik, Mark melangkah keluar dengan gerakan penuh semangat, seperti seorang pria yang kembali kepada bagian dari jiwanya yang hilang.Langkah-langkahnya lebar dan mantap, seolah-olah ia tidak lagi bisa menahan hati yang meronta ingin segera menyentuh kehangatan yang telah ia nanti.Saat ia memasuki ruang kerja Amy, pandangannya langsung tertuju pada sosok Dania, yang sudah menunggunya dengan mata basah, wajahnya terpahat dalam kerinduan yang tak terungkapkan.“Dania…” suara Mark terdengar rendah dan dalam, penuh rasa kasih yang memenuhi setiap sudut ruangan.Secepat kilat, Dania bangkit dari duduknya, berlari kecil menghampirinya, dan dalam sekejap, tubuh mereka menyatu dalam pelukan yang seakan mampu menghapus segala duka.Air mata yang telah tertahan di pelupuk mata Dania kini tumpah ruah, membasahi bahu Mark, membasahi kesunyian yang selama ini bersemayam dalam hatinya.“Mark, aku merindukanmu. Aku benar-benar merindukanmu…” bisiknya, suaranya pecah o
“Mulai detik ini, aku yang akan menjadi pemimpin di kampus ini sesuai dengan perintah dari Daddy,” suara Emma menggema di ruang rapat seperti lonceng perak yang memancarkan kewibawaan.Tatapan tajamnya menyapu wajah-wajah di sekitarnya, memancarkan aura kepemimpinan yang tak terbantahkan. “Maka dari itu, beritahu aku apa pun yang terjadi di kampus ini.”Rapat pergantian pimpinan di Label’s University berlangsung dalam keheningan yang sarat dengan ketegangan.Emma telah menjejakkan langkahnya di New York, membawa ambisi dan tekad yang tak tertandingi untuk memimpin kampus itu.“Nyonya Aneth?” panggil Emma ketika rapat telah usai, suaranya dingin namun terukur, seperti angin musim dingin yang menyusup ke sela-sela jendela.“Ada yang bisa dibantu, Nona Emma?” Aneth menjawab dengan nada sopan, berdiri dengan tubuh tegap seperti seorang prajurit yang setia.“Anda mengenal mahasiswi bernama Clara Evander?” Tanya Emma, kali ini lebih menajamkan sorot matanya, seolah mencari jawaban yang lebi
Waktu telah beranjak menuju angka delapan malam. Langit malam yang pekat berhiaskan kerlip bintang terasa seperti tirai beludru yang membentang, mengawasi pesta megah di hotel mewah berbintang lima.Lampu-lampu kristal menggantung anggun di aula utama, memancarkan kilauan yang menyerupai serpihan berlian.Para tamu undangan, mengenakan pakaian terbaik mereka, bercengkerama dalam percakapan yang penuh senyuman dan gelak tawa, sementara aroma mawar segar menyatu dengan wangi parfum mahal yang menguar di udara.“Clara?”Clara menolehkan kepalanya, rambutnya yang tergerai indah berayun lembut, sebelum senyum tipis terbit di bibirnya. Di hadapannya berdiri Stevan, sosok lelaki yang ia nanti dengan hati berdebar.Tanpa ragu, ia melangkah maju dan memeluk lelaki itu erat, seolah ingin memastikan bahwa kehangatan tubuhnya nyata dan tak hanya sekadar bayangan dalam pikirannya.“Aku pikir kau tidak akan datang, Uncle,” katanya dengan suara lembut, sedikit bergetar oleh rasa bahagia yang tak ter
“Kau gagal membawa Stevan kemari?” Suara Randy terdengar seperti bara api yang siap menyulut percikan konflik. Tatapannya menusuk tajam ke arah Lisa yang baru saja memasuki ruang kerjanya.Lisa mengangguk pelan, meski ada jejak kehancuran di wajahnya yang mencoba ia sembunyikan di balik raut tenangnya. “Seharusnya kau paham, Randy,” ucapnya lirih namun tegas, seperti bisikan angin malam yang membawa pesan dingin.“Sudah pasti Stevan sangat kecewa dengan keputusanmu. Kau sudah menjanjikan jabatan itu untuknya, namun di hari-H, kau justru memberikannya kepada Mike.”Randy mengepalkan tangannya, kulitnya memutih di atas buku-buku jarinya. Bukannya merenungi kebenaran dari ucapan istrinya, ia malah merasa terpukul dalam kesombongannya. Tatapannya menjadi lebih gelap, penuh amarah yang seperti badai mengancam pecah.“Jadi, sekarang kau menyalahkanku, huh? Bukankah kau juga setuju dengan keputusanku?” suara Randy menggema, mengisi ruangan seperti suara petir yang mengguncang langit malam.“
Malam itu, Stevan kembali ke kotanya. Mobilnya melaju menembus dinginnya malam, sementara pikirannya berlarian seperti ombak yang tak henti-hentinya memecah pantai.Meskipun rasa penasaran sesekali mengusik—apa yang sebenarnya dilakukan Lisa di sana—Stevan memilih menepisnya. Baginya, itu hanya bayangan masa lalu yang tak perlu lagi dihidupkan.“Aku sudah memutus hubungan dengan mereka. Karena mereka sendiri yang menginginkan hal itu,” gumamnya pelan, suaranya tenggelam dalam keheningan saat ia memarkirkan mobilnya di basement apartemennya.Apartemen ini kini menjadi dunianya, sebuah ruang yang sederhana namun penuh arti. Tidak lagi ada beban kenangan yang melekat pada dinding rumah orang tua angkatnya.Tempat tinggal ini lebih dekat dengan gedung Kv’s Group dan juga kampus Clara, membuatnya merasa seperti merangkai hidup baru yang jauh dari bayang-bayang masa lalu.“Sedang apa wanita itu? Baru dua hari tidak bertemu saja aku sudah sangat merindukannya,” Stevan bergumam sambil mengamb
“Kami sangat terkesan dengan desain dan motif yang dibuat oleh Kv’s Group, Tuan Stevan. Padahal, sebelum Kv’s Group dipegang oleh Tuan Mark, motif yang dibuat terlalu monoton.”Pujian itu meluncur dari bibir Tuan Haris, seperti alunan biola yang lembut menyentuh hati.Stevan tersenyum, sebuah senyum yang mengembang perlahan seperti matahari pagi yang malu-malu menembus kabut. Rasa bangga melingkupi dirinya, hangat seperti selimut di malam dingin.“Selama hampir delapan belas tahun ini kami selalu mempertahankan kualitas dan juga kreasi kami, Tuan Haris. Karena jika tidak, semua customer kami akan kabur.”Nada bicaranya tegas namun penuh kehangatan, seperti seorang kapten kapal yang dengan percaya diri menenangkan para awaknya di tengah badai.Haris tertawa, tawa ringan seperti bunyi lonceng angin yang berayun lembut di depan jendela.“Anda benar, Tuan Stevan. Kalian memang selalu mengedepankan keinginan customer daripada ego masing-masing, dan ini yang kami suka bekerja sama dengan Kv
Clara tertawa mendengar kisah itu, bayangan ayah dan ibunya yang saling mencintai begitu kuat terasa dalam ingatannya. "Bagaimana dengan Daddy? Apa dia juga sama seperti Mommy?" tanyanya penuh rasa ingin tahu.Dania tersenyum penuh arti, matanya memancarkan kehangatan. "Apa Daddy belum cerita padamu bahwa dia pernah berniat menjadi pastor seumur hidupnya kalau tidak bisa menikah denganku?""What?" Clara hampir melonjak dari tempat duduknya, terkejut mendengar cerita yang baru pertama kali ia dengar. Matanya membulat, tak percaya. "Aku baru tahu darimu, Mommy. Daddy belum pernah menceritakan tentang itu."Dania tersenyum tipis, memandangi Clara dengan tatapan penuh kenangan. "Sebelum kami bertemu di hotel saat itu, ayahmu sedang memutuskan untuk menjadi pengabdi Tuhan selamanya," ujarnya lembut. "Kau tahu istilah, 'jika tidak denganmu, maka tidak dengan orang lain?' Itu benar-benar mencerminkan keadaan ayahmu saat itu."Clara mengangguk pelan, matanya berbinar mendengar cerita tentang
Clara memutar bola matanya, ekspresi jenaka menghiasi wajahnya. Meski dia tahu ucapan Stevan hanyalah gurauan, tetap saja lelaki itu selalu berhasil membuatnya ingin membalas, entah dengan kata-kata atau tatapan."Aku tahu kau bercanda, tapi tetap saja..." Clara menepuk pundak Stevan pelan, pandangannya serius namun hangat. "Kita bicarakan lagi nanti."Stevan mengangkat alis, memasang raut wajah penuh godaan. "Kapan? Jangan sampai nanti keburu tahun depan," ujarnya, menyunggingkan senyum nakal.Clara mendekatkan wajahnya ke arah Stevan, cukup hingga ia bisa melihat pantulan dirinya di mata pria itu. "Setelah kita menikah," bisiknya penuh percaya diri, seolah pernyataan itu sudah mutlak.Stevan menghela napas dramatis, memutar bola matanya seperti protes tak berdaya sebelum mengerucutkan bibir, membuat Clara tak kuasa menahan tawa."Kau itu lucu sekali, tahu tidak?" Clara berkomentar sambil terkekeh, menikmati momen sederhana yang selalu berhasil membuat harinya lebih ceria.Stevan ter
Clara melangkah keluar dari gerbang kampus dengan semangat yang terpancar di wajahnya.Matanya berbinar saat melihat Stevan berdiri bersandar di mobil hitamnya, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, terlihat santai namun tetap menawan.Ia tersenyum manis, melambaikan tangan, dan sedikit berlari menghampirinya. Tanpa ragu, ia memeluk pria itu erat.“Tumben sekali menjemputku? Bukankah kau sedang sibuk?” tanya Clara setelah melepas pelukan dan langsung masuk ke dalam mobil. Ia menyandarkan tubuhnya dengan nyaman, sementara Stevan mengitari mobil untuk duduk di kursi pengemudi.Stevan memasang sabuk pengamannya dengan tenang sebelum menoleh ke arah Clara. “Karena Samuel tidak bisa menjemputmu, dan kau juga malas membawa mobil sendiri. Daripada diantar pria lain, sebaiknya aku menyempatkan waktu untuk menjemputmu.”Clara terkekeh mendengar jawaban yang disampaikan dengan nada datar namun penuh sindiran itu. “Kau sangat lucu, Uncle—““Clara.” Stevan memotong dengan cepat, tata
Pukul sembilan pagi, suasana di ruangan kerja Stevan terasa hangat dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar di belakang meja kerjanya. Ia baru saja duduk dan membuka laptop ketika suara pintu diketuk ringan. Mark masuk dengan langkah santai, menyapa adik iparnya.“Selamat pagi, Stevan,” ucap Mark sambil menarik kursi di depan meja kerja.Stevan menoleh dan tersenyum. “Selamat pagi, Kak. Padahal aku yang berencana datang menemuimu. Ternyata aku kalah start,” balasnya sambil tertawa kecil. Tangannya langsung menekan interkom, memanggil asistennya. “Tolong buatkan dua cangkir kopi, ya,” pintanya singkat.Mark mengeluarkan iPad miliknya, meletakkannya di meja, lalu membuka salah satu file. “Aku sudah memutuskan desain yang akan aku gunakan untuk produk terbaru V-One,” katanya sambil menunjukkan layar iPad itu kepada Stevan.Stevan memandangi desain yang dipilih Mark, dan senyumnya merekah lebar. “Aku senang kau mau memakai desain yang aku buat, Kak,” ucapnya dengan tulus.“