Mark perlahan merebahkan tubuh Dania di atas ranjang dengan gerakan yang penuh kesabaran namun mengintimidasi. Sorot matanya memancarkan kilat liar, seolah-olah Dania adalah mangsanya malam ini.Mata yang tak kenal lelah itu menatapnya dalam-dalam, menghanyutkan, hingga Dania hanya mampu menelan ludah, merasa jantungnya berdebar cepat di bawah tatapan sang suami yang penuh ketenangan yang menipu.Mark menggeserkan wajahnya, bibirnya mengecup lembut di lekuk leher Dania, gerakannya seperti angin yang membelai daun, namun begitu tajam, menyesakkan dada Dania hingga ia menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan aliran darah yang semakin terasa mendidih.“Um, Mark …,” bisik Dania lirih, suaranya hampir tak terdengar di antara napasnya yang pendek.Ada ketakutan kecil namun manis dalam bisikannya, tanda bahwa ia belum sepenuhnya siap untuk sepenuhnya menyerahkan diri.Mark menahan senyuman, bibirnya dekat di telinganya saat ia berbisik dengan suara berat yang seperti petir menggelegar dalam
“Selamat pagi, Nyonya Angel. Kami dari kepolisian,” suara tegas polisi mengawali pagi yang baru saja ia harapkan tenang, namun kini berubah menjadi mimpi buruk yang tak terduga. “Kami mendapat laporan atas pencemaran nama baik dan kerjasama untuk merugikan pihak korban. Ikut kami ke kantor polisi untuk proses selanjutnya.”Mata Angel membulat seketika, tubuhnya terasa lemas ketika tangan terborgol dingin merenggut kebebasannya. Kepalanya menggeleng dalam penolakan yang penuh dengan rasa tak percaya. “Tidak. Aku tidak salah. Itu tidak benar!” pekiknya, suaranya bergetar antara kemarahan dan kepanikan yang berputar menjadi satu.Namun, tatapan polisi yang mengawalnya tetap datar, tak menunjukkan tanda simpati sedikit pun. “Anda bisa menyampaikan semuanya di ruang investigasi,” jawab petugas kepolisian, tak tergoyahkan oleh jeritan penuh emosi Angel. Jeritannya terus menggema, namun petugas hanya bertukar pandang, seolah pekikan itu hanyalah sekadar suara latar yang terhapus oleh ketuk
Malam telah melarutkan dirinya dalam keheningan, jarum jam sudah menunjuk angka sembilan, dan langit di luar begitu pekat.Mark melangkah mendekati Dania, yang tengah duduk tenggelam dalam lembaran-lembaran diary usangnya, tatapan matanya seperti menembus halaman-halaman itu, kembali ke masa lalu yang ia pegang erat dalam ingatannya.“Masih belum bosan, membaca bukunya?” tanyanya lembut, suaranya nyaris berbisik, seakan takut mengusik keheningan yang mendalam.Dania menoleh, senyum tipis merekah di wajahnya. “Bagaimana bisa bosan, sementara cerita di sini begitu indah,” gumamnya.“Kau mencatat setiap momen yang kita lewati, Mark. Setiap rasa, setiap tawa—semuanya masih terasa hangat di sini.”Mark menghela napas panjang, matanya memandangnya dengan campuran nostalgia dan ketulusan yang menawan.Dari balik punggungnya, ia mengeluarkan kotak hitam kecil, memberikannya pada Dania. “Aku tidak yakin kalau kau sudah membuka semuanya, Dania,” ucapnya pelan. “Isi kotak ini mungkin masih menyi
Pagi itu perlahan menyelimuti langit dengan lembayung yang masih tersisa, menyambut Mark dan Dania dalam ketenangan yang hanya sejenak, sebelum hari membawa mereka ke arah yang berbeda.Jam telah menunjukkan angka tujuh pagi, dan Dania baru saja keluar dari kamar mandi, dengan sisa embun yang seolah menempel pada kulitnya, membawa aroma segar yang memenuhi ruangan.Rambutnya yang masih basah ia sisir perlahan, menyiapkan dirinya untuk pergi ke butik, mencoba mencari jawab atas cerita yang telah lama terkubur.Di sisi lain, Mark sedang berdiri di depan cermin, merapikan dasinya dengan raut wajah yang sedikit serius, ketika ponselnya bergetar, memecah suasana tenang pagi itu.Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat panggilan tersebut. “Ada apa, Vicky?” tanyanya dengan nada yang penuh perhatian.Suara Vicky terdengar jelas di seberang sana, sedikit tergesa namun terukur. “Selamat pagi, Tuan. Saya ingin memberitahu perihal Tuan Jonas. Beliau bersedia bertemu hari ini, dan kemungkinan besar
Mark akhirnya memecah keheningan yang sejenak menguasai ruangan. “Bibi, titip Dania. Aku harus bertemu dengan klienku,” ujarnya, suaranya rendah namun tegas, seolah menyadari setiap detik yang berlalu dalam keheningan.Amy menganggukkan kepalanya dengan senyum penuh arti. “Jangan khawatir, Mark. Istrimu tidak akan kukenalkan pada pria lain.”Mark mengernyit, tatapan tajamnya membalas pernyataan Amy yang mengundang tawa pelan dari bibinya.“Berani-beraninya Bibi mengatakan hal itu di depanku,” katanya, dengan nada setengah menggoda, setengah mengancam. “Ingin kubakar butikmu ini, huh?”Amy hanya terkekeh, gelengan kepala lembut menampakkan rasa sayang yang tak berkurang sedikit pun. “Sudahlah. Aku dan Dania akan menghabiskan waktu sampai kau kembali.”“Ya sudah kalau begitu,” Mark membalas. Matanya beralih pada Dania, tatapan lembutnya terasa bagai embun pagi yang menyentuh dedaunan, segar dan penuh perhatian.“Sayang, aku akan segera kembali. Segera hubungi aku jika Bibi Amy macam-mac
“Kau telah dibuang oleh keluargamu, dan kau baru memberitahuku jika kau sudah bukan bagian dari keluarga itu lagi!” Pekik Yonas penuh amarah, menggema di seluruh ruangan hingga membuat udara terasa menyesakkan, seolah dinding-dinding itu sendiri menolak untuk menerima kenyataan pahit yang baru saja terungkap.Mata Yonas menyala-nyala dengan api amarah, sementara di hadapannya, Famela hanya mampu tertunduk dalam, menahan air mata yang kini membasahi pipinya seperti hujan yang tak kunjung reda.Dia pikir, selama ini Yonas mencintainya, mencintai dirinya apa adanya. Tapi harapan itu runtuh dalam sekejap, remuk berkeping-keping bersama luka yang menusuk hatinya. Rupanya, ia salah.Teramat salah. Yonas tak pernah mencintainya—hanya cinta akan kekayaan keluarganya yang selama ini membutakan pria itu.“Mulai detik ini kau bukan lagi istriku! Kita bercerai!” suaranya menggelegar penuh penegasan, seperti palu yang mengetuk akhir dari sebuah ikatan yang dulu ia yakini abadi.Yonas melangkah per
Satu minggu kemudian …“Famela? Aku rasa sejak pagi tadi kau terlihat murung. Ada apa?” tanya Amy, matanya menelisik wajah Famela yang tampak redup di balik senyum tipisnya.Famela menghela napas panjang, seolah melepaskan beban yang tak terlihat namun teramat berat di dadanya. “Tidak ada, Amy. Aku hanya… sedikit lelah saja,” jawabnya, suaranya pelan seperti bisikan yang ditelan angin.Amy menggelengkan kepala, menatap Famela dengan penuh perhatian. “Kalau lelah, sebaiknya istirahat dulu, Famela. Jangan memaksakan diri untuk tetap bekerja,” ucapnya, seraya menempatkan telapak tangan hangatnya di bahu Famela.Namun, sebelum sempat Famela menanggapi, dering teleponnya memecah keheningan.Nama yang tertera di layar adalah Sheira, sahabat lama yang kini tinggal di dekat rumah yang Famela yakini sebagai tempat tinggal Mark dengan orang tuanya.Jantung Famela berdegup cepat, rasa cemas dan harapan
Jonas menandatangani kontrak kerjasama tersebut dengan seulas senyum puas di wajahnya, seolah bisa melihat masa depan penuh keuntungan yang terbentang di hadapannya. Jemarinya yang gemetar sedikit oleh antusiasme menari di atas tinta yang baru saja mengesahkan perjanjian di antara mereka. “Senang berbisnis dengan Anda, Tuan Jonas,” ucap Mark dengan nada formal, tangannya menjabat tangan Jonas dengan erat, menegaskan komitmen yang baru terjalin. Di balik matanya yang tajam, tergurat ketenangan seorang visioner yang tahu betul ke mana arah masa depan bisnis mereka. Jonas tersenyum, menatap Mark dengan kagum. “Jika melihat perkembangan yang begitu pesat dari tahun ke tahun, saya yakin tidak salah memilih perusahaan ini, apalagi di bidang teknologi terkini. Anda benar-benar membawa arus baru yang mengguncang industri.” Mark hanya tersenyum tipis, penuh percaya diri, seolah kehadirannya membawa magnet yang menarik perhatian siapa pun yang mendengarnya. “Setelah iklan ini dipublikasikan,
Tidak membutuhkan waktu lama. Persis dua jam kemudian. Konferensi pers di gelar mendadak.Kilatan lampu kamera menyilaukan, memenuhi ruangan konferensi pers yang penuh sesak.Wartawan dari berbagai media berebut posisi terbaik, mikrofon teracung ke depan, siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Randy. Ketika langkah Rendy menuju meja konferensi."Pak Randy, apa benar Anda mengakui telah mencuri desain Stevan?" seru seorang reporter, suaranya nyaring menembus hiruk-pikuk saat Randy melangkah tergesa menuju meja utama konferensi pers."Apakah ini berarti semua tuduhan terhadap Stevan tidak benar?" tanya yang lain, matanya berbinar, mencium aroma skandal besar.Randy menelan ludah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia mencoba membuka mulut, tetapi suara gemuruh kamera dan bisik-bisik wartawan membuat dadanya semakin sesak.Ia bukan lagi penguasa ruangan. Sekarang ia hanya seorang pria yang terpojok di bawah sorotan lampu.Randy berdiri di depan puluhan mic dari berbagai m
"Siapa yang mengizinkanmu memasuki ruanganku, Mark?" pekik Randy, suaranya melengking, dipenuhi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan.Matanya membulat, seperti seekor tikus yang baru saja menemukan dirinya terperangkap dalam sarang ular."Kenapa?" Mark menjawab dengan nada sedingin es yang menetes perlahan-lahan, menusuk hingga ke tulang."Bukankah kau selalu menantangku di media? Kenapa setelah aku datang, kau malah terkejut seperti itu?" Matanya menatap Randy tajam, bagaikan elang yang mengintai mangsanya dari ketinggian, siap untuk menerkam tanpa ampun.Tatapan itu membuat Randy tersentak. Nyali yang sebelumnya membara di layar media kini menciut, redup seperti lilin di tengah badai.Kata-kata penuh keberanian yang biasa ia lontarkan berubah menjadi gumaman yang kehilangan arah."Bukan kau yang aku singgung, tapi Stevan!" ujar Randy, suaranya masih mencoba terdengar tegas, meski jelas ada getaran kecil yang mencemari nada itu."Baik aku maupun Stevan, sama saja," ujar Mark, s
"Argh! Sial!" seru Emma, suaranya melengking di tengah gemuruh musik yang menghentak.Cahaya neon ungu dan merah berkedip-kedip, membelah bayangan tubuhnya yang bergetar oleh frustrasi. Wajahnya yang memerah oleh amarah terlihat kontras dengan lipstik merah tua yang menghiasi bibirnya.Ia mencengkeram gelas koktail di tangannya hingga jari-jarinya memutih, seolah ingin menyalurkan kemarahan ke dalam benda mati itu.Sudah hampir dua bulan di New York, namun sosok Stevan yang diinginkannya masih saja tak tersentuh, bagai bayang-bayang yang terus menghindar dari cahaya."Sudahlah, Emma," ujar Rose lembut namun tajam, sambil menyandarkan tubuh rampingnya ke sofa empuk."Stevan tidak akan mau padamu. Jika dia menyukaimu, dia pasti sudah menyatakan cinta sejak kalian kuliah. Tapi itu tidak pernah terjadi, bukan?" Rose mengangkat alis, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil yang terasa seperti belati.Emma mendengus kasar, matanya menyipit dengan amarah yang membara. "Itu karena dia su
Stevan mengerutkan keningnya, sorot matanya tertuju pada Clara yang sedari tadi hanya memutar-mutar spaghettinya tanpa minat.Piring di depannya terlihat seperti kanvas yang hanya dilukis separuh hati, gerakan garpu yang berulang menciptakan pola tanpa arah, mencerminkan pikiran yang penuh gejolak.Mereka kini duduk di sebuah restoran kecil nan hangat, dindingnya dihiasi lukisan klasik yang seolah ingin membawa pengunjung ke era lampau.Di luar, matahari siang mengintip malu-malu dari balik awan kelabu, sinarnya yang redup memantul lembut di permukaan meja kayu tempat mereka duduk.“Honey?” panggil Stevan, suaranya penuh perhatian, seperti alunan nada piano yang lembut di tengah hening.“Are you okay?” tanyanya dengan nada sedikit cemas, matanya menatap Clara dengan intensitas yang sulit diabaikan.Clara mendongakkan kepala, memandang Stevan dengan mata yang tampak berkilau namun terselubung bayangan kegelisahan. “Ya. I’m okay,” ucapnya lirih, bibirnya yang pucat membentuk senyum tipi
"Clara? Apa kau tidak merasakan sesuatu?"Suara Mark memecah keheningan dengan nada yang tenang namun penuh teka-teki, seperti bisikan angin malam yang membawa rahasia gelap dari kejauhan.Tatapan matanya mengunci Clara, seolah mencari jawaban yang tak pernah terucap."Apa maksudmu, Dad? Aku tidak mengerti sedikit pun," jawab Clara dengan alis yang berkerut.Ia melanjutkan kunyahannya pada cokelat batang yang mulai meleleh di sudut bibirnya, sementara matanya terpaku pada lembaran buku yang baru saja dibelinya.Mark menghela napas panjang, mengangkat kepalanya perlahan seolah mencari kata-kata yang tepat di langit-langit ruang tamu yang redup. “Sudah berapa lama kau dan Stevan menjalin hubungan?”Pertanyaan itu melayang di udara seperti percikan api kecil di tengah kabut, membakar rasa penasaran dalam dada Clara.Clara melirik ke arah ayahnya dengan pandangan setengah penasaran, setengah jengkel. Jarinya mengetuk meja, menghitung pelan.“Sepertinya sudah mau lima bulan. Kenapa, Dad? A
Mark mengundang Stevan, Sean, Amy, dan juga Lisa untuk makan malam di rumahnya. Clara sendiri tidak tahu jika Mark mengadakan makan malam ini, sehingga suasana di meja makan terasa lebih intim, namun ada juga ketegangan yang menggantung di udara.“Terima kasih atas kehadirannya di acara makan malam ini,” ucap Mark dengan suara berat, matanya menyapu ke seluruh wajah yang hadir, memberikan kesan bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya tidak bisa dianggap remeh.Clara menoleh ke arah Samuel, merasakan kegelisahan yang mulai tumbuh di dada. Pria itu hanya mengendikan bahunya, tanda bahwa dia pun tak tahu jika Mark mengundang orang tuanya dan ibu Stevan ke rumah mereka malam ini.“Terima kasih juga sudah mengundangku pada acara ini, Mark,” ucap Lisa dengan nada lembutnya, namun ada nada yang agak dipaksakan dalam suaranya, seperti yang sering terlihat pada orang yang berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyaman.Mark tersenyum tip
“Apa yang kau bawa dari London? Aku sudah tidak sabar melihatnya.” Clara, yang sebelumnya bersumpah tidak akan memaafkan Stevan, justru merasa seolah tak bisa menjauh dari pria itu.Pertahanannya luluh, begitu cepat dan begitu tiba-tiba, saat tatapan Stevan menyentuhnya dengan kekuatan yang tak terungkapkan.Ada sesuatu dalam mata pria itu yang begitu memikat, seakan ia menarik Clara ke dalam pusaran perasaan yang sulit ditolak.Stevan menatap wajah Clara dengan intensitas yang dalam, seakan ingin membaca setiap jejak emosi yang bersembunyi di dalamnya.Dengan gerakan yang begitu lembut namun penuh tekad, ia menarik wajah Clara mendekat.Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang begitu mendalam, tak terduga, dan penuh gairah. Ciuman itu bukan sekadar pertanda rindu, melainkan sebuah ledakan emosi yang membakar seluruh penahanan mereka.Clara terkejut, hatinya berdebar dengan cepat dan hampir tak teratur. Ciuman itu datang tanpa aba-
Dua minggu kemudian...Perpisahan Lisa dan Randy akhirnya resmi selesai, menyisakan babak baru yang dimulai dengan rasa lega bercampur keraguan.Di bawah langit kelabu New York yang seolah mengerti beratnya perjalanan ini, Lisa mengikuti langkah Stevan memasuki rumah sederhana yang telah disiapkan untuknya.“Ini rumahmu selama di sini,” ucap Stevan singkat, suaranya datar, tetapi ada sekilas kelembutan yang sulit disembunyikan.Lisa melangkah perlahan, matanya mengamati setiap sudut rumah dengan sorot yang sarat makna.Dinding putih bersih, perabotan minimalis, dan suasana hangat rumah itu memberi rasa nyaman yang sudah lama ia rindukan. Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya, seolah menghapus jejak beban dari masa lalunya.“Terima kasih, Nak. Aku tidak akan merepotkanmu selama di sini,” ucapnya lembut, namun suaranya mengandung getar haru.Stevan hanya mengangguk tipis, wajahnya sulit dibaca. Hatinya terbelah&
Ketika pintu apartemen terbuka dengan suara berderit yang berat, Randy berdiri di ambang pintu, tatapan matanya seperti kilatan petir yang menyambar langit malam.Udara di dalam ruangan mendadak terasa dingin, menciptakan suasana tegang yang mengancam meledak kapan saja.“Kau,” desis Randy dengan suara serak yang dipenuhi kemarahan, langkahnya mendekati Stevan dengan berat seperti membawa dendam yang membara. “Kau yang telah menghasut ibumu untuk bercerai denganku, huh?”Stevan berdiri tegak di sisi ruangan, wajahnya tenang namun matanya menyala dengan amarah terpendam.“Memangnya kau masih mengharapkan ibuku?” tanyanya, suaranya tegas seperti pisau yang menusuk ke dalam.“Selama ini kau hanya memanfaatkan ibuku agar mau membujukku untuk membangun perusahaanmu, Tuan Randy yang terhormat.”Randy menggeram, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. “Kurang ajar!” ia men