Satu minggu kemudian …
“Famela? Aku rasa sejak pagi tadi kau terlihat murung. Ada apa?” tanya Amy, matanya menelisik wajah Famela yang tampak redup di balik senyum tipisnya.
Famela menghela napas panjang, seolah melepaskan beban yang tak terlihat namun teramat berat di dadanya. “Tidak ada, Amy. Aku hanya… sedikit lelah saja,” jawabnya, suaranya pelan seperti bisikan yang ditelan angin.
Amy menggelengkan kepala, menatap Famela dengan penuh perhatian. “Kalau lelah, sebaiknya istirahat dulu, Famela. Jangan memaksakan diri untuk tetap bekerja,” ucapnya, seraya menempatkan telapak tangan hangatnya di bahu Famela.
Namun, sebelum sempat Famela menanggapi, dering teleponnya memecah keheningan.
Nama yang tertera di layar adalah Sheira, sahabat lama yang kini tinggal di dekat rumah yang Famela yakini sebagai tempat tinggal Mark dengan orang tuanya.
Jantung Famela berdegup cepat, rasa cemas dan harapan
Jonas menandatangani kontrak kerjasama tersebut dengan seulas senyum puas di wajahnya, seolah bisa melihat masa depan penuh keuntungan yang terbentang di hadapannya. Jemarinya yang gemetar sedikit oleh antusiasme menari di atas tinta yang baru saja mengesahkan perjanjian di antara mereka. “Senang berbisnis dengan Anda, Tuan Jonas,” ucap Mark dengan nada formal, tangannya menjabat tangan Jonas dengan erat, menegaskan komitmen yang baru terjalin. Di balik matanya yang tajam, tergurat ketenangan seorang visioner yang tahu betul ke mana arah masa depan bisnis mereka. Jonas tersenyum, menatap Mark dengan kagum. “Jika melihat perkembangan yang begitu pesat dari tahun ke tahun, saya yakin tidak salah memilih perusahaan ini, apalagi di bidang teknologi terkini. Anda benar-benar membawa arus baru yang mengguncang industri.” Mark hanya tersenyum tipis, penuh percaya diri, seolah kehadirannya membawa magnet yang menarik perhatian siapa pun yang mendengarnya. “Setelah iklan ini dipublikasikan,
Begitu mobil berhenti di depan butik, Mark melangkah keluar dengan gerakan penuh semangat, seperti seorang pria yang kembali kepada bagian dari jiwanya yang hilang.Langkah-langkahnya lebar dan mantap, seolah-olah ia tidak lagi bisa menahan hati yang meronta ingin segera menyentuh kehangatan yang telah ia nanti.Saat ia memasuki ruang kerja Amy, pandangannya langsung tertuju pada sosok Dania, yang sudah menunggunya dengan mata basah, wajahnya terpahat dalam kerinduan yang tak terungkapkan.“Dania…” suara Mark terdengar rendah dan dalam, penuh rasa kasih yang memenuhi setiap sudut ruangan.Secepat kilat, Dania bangkit dari duduknya, berlari kecil menghampirinya, dan dalam sekejap, tubuh mereka menyatu dalam pelukan yang seakan mampu menghapus segala duka.Air mata yang telah tertahan di pelupuk mata Dania kini tumpah ruah, membasahi bahu Mark, membasahi kesunyian yang selama ini bersemayam dalam hatinya.“Mark, aku merindukanmu. Aku benar-benar merindukanmu…” bisiknya, suaranya pecah o
Begitu mereka tiba di rumah, suasana terasa damai dan penuh kehangatan.Dania terus mengusap sisi wajah Mark, seolah tak ingin melepaskan sentuhan itu, seolah ia masih tak percaya bahwa setiap potongan kenangan yang hilang kini telah kembali, membentuk keping-keping utuh tentang pria yang ia cintai.Dalam pelukan, mereka duduk berdua di sofa, tangan Mark melingkar hangat di pinggangnya, menjalin rasa yang tak terputuskan.“Sayang?” Mark berbisik pelan, memecah hening di antara mereka dengan nada yang lembut namun penuh arti.“Hm? Ada apa, Sayang?” tanya Dania, suaranya lirih dan manis seperti belaian angin pagi yang menyejukkan.Mark menatapnya dalam-dalam, senyuman tipis tersungging di wajahnya, menambah pesona yang selalu membuat Dania terpesona.“Aku hanya ingin memastikan satu hal,” ucapnya sambil mengelus punggung tangan istrinya dengan lembut, seolah mencoba merasakan setiap denyut yang berpadu dalam kehangatan mereka.“Menyadari apa, Mark?” Dania balas menatapnya, matanya berbi
Mark mengangkat tubuh Dania dalam dekapannya, seperti sepasang sayap yang ingin ia lindungi dari dunia yang fana.Tatapan mereka tak terputus, saling meneguk napas dalam kehangatan yang memabukkan, seperti dua jiwa yang haus akan keabadian.Dengan hati-hati, ia merebahkan tubuh Dania di atas kasur, membiarkan kelembutan ranjang itu menjadi saksi bisu dari cinta yang menggebu di dada.“Masih belum puas, hm?” bisik Dania dengan nada manis yang mengundang, menggoda seperti hembusan angin lembut di tengah malam.Sebuah kecupan singkat namun penuh arti mendarat di bibirnya, senyum Mark mengembang tipis, seolah tak akan pernah cukup baginya. “Tidak akan pernah ada puasnya jika menyentuhmu, Dania. Jangan bertanya hal aneh seperti itu.”Tawa kecil Dania mengalun, seperti melodi malam yang penuh pesona. “Baiklah,” ucapnya lembut, seakan menyerahkan segalanya hanya untuknya.Mark menunduk, bibirnya menyapu lagi bibir Dania dengan rasa yang tak tertahan. Sehelai kain terakhir pun terjatuh, hingg
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Mark dan Dania tiba di restoran mewah yang telah disiapkan Vicky, asisten setia mereka.Restoran itu berkilauan dalam gemerlap lampu kristal, berdesain elegan dengan sentuhan hangat yang memancarkan kemewahan tanpa berlebihan.Di setiap sudut, pemandangan indah malam kota terlihat melalui dinding kaca yang tinggi, menciptakan suasana seolah-olah dunia malam ada dalam genggaman mereka.“Tempatnya sangat indah, Mark. Vicky benar-benar tahu bagaimana memilih restoran mewah yang nyaman,” ucap Dania, matanya menelusuri setiap detail ruangan dengan kagum.Mark tersenyum penuh kepuasan, tatapannya tak beranjak dari wajah istrinya yang bersinar malam itu. “Syukurlah kau menyukainya. Karena kalau tidak, kita bisa pindah tempat kapan saja,” jawabnya ringan, seolah kemewahan ini hanyalah hal sepele baginya.Dania hanya memutar bola matanya, menyadari betapa mudahnya pria ini mengucapkan hal semacam itu.“Meskipun aku tahu kekayaanmu tak terbatas,
Dania baru saja selesai mandi, dan aroma segar yang melekat di tubuhnya perlahan memenuhi ruang itu.Langkah-langkahnya yang lembut membawa dirinya mendekati Mark, yang tengah duduk santai di sofa dengan sebuah majalah edisi minggu ini di tangannya. Ada ketenangan yang memancar dari wajahnya, seakan-akan dunia luar tak dapat mengusik kedamaiannya.“Mark?” panggil Dania, suaranya selembut embun pagi yang menyapa, mencoba meraih perhatian pria itu.Mark mengangkat wajahnya sedikit, matanya tetap terpaku pada halaman majalah. “Ada apa, Sayang?” tanyanya tanpa melepaskan pandangannya, namun kehangatan dalam suaranya membuat Dania merasa dipedulikan, walaupun hanya sejenak.“Bagaimana kasus mereka bertiga? Apakah mereka akan dihukum sesuai dengan perkara yang mereka lakukan?” lanjutnya, suaranya kini bergetar sedikit, membawa nada kekhawatiran yang ia sembunyikan di balik keheningan tadi.Mark menutup majalah itu perlahan, membiarkan matanya kini benar-
Satu bulan telah berlalu, membawa perubahan yang begitu drastis bagi dunia bisnis. Perusahaan milik Kevin kini berada di ambang kehancuran, menyisakan sisa-sisa kejayaan yang tergerus oleh peluncuran produk Mark minggu lalu.Dengan elegansi dingin dan perhitungan tajam, Mark meraih puncak dengan omzet perusahaannya melonjak hampir sembilan puluh persen.Ia kini menjadi magnet yang menarik perhatian, bahkan membuat Reino, komisaris utama Kv’s Group, datang menemuinya — sesuai rencana Mark yang telah tertata sempurna sejak awal."Saya ingin menyampaikan selamat atas suksesnya peluncuran produk terbaru Anda, Tuan Mark," ucap Reino, nada suaranya mencoba bersikap ramah, meskipun ada kegugupan yang tersirat di dalamnya.Mark hanya mengangguk singkat, sorot matanya tenang namun dalam, penuh perhitungan yang membuat Reino merasa seperti tengah berdiri di hadapan singa yang menunggu momen untuk menerkam."Terima kasih. Dan saya menghargai waktu Anda untuk datang menemuiku, Tuan Reino," jawab
Dania menyunggingkan senyum tipis, menatap layar kaca dengan penuh kekaguman ketika nama Mark bergema dalam berita sore itu.Wajah tampannya terpampang jelas di layar, menjadi pusat perhatian, menyaksikan sukses besar peluncuran produk terbarunya yang kini disambut pasar dengan antusias.Sorot matanya bersinar lembut, seolah-olah setiap detik menyimpan kebanggaan yang sulit ia ungkapkan.“Mark... kau memang tak pernah berhenti membuktikan kehebatanmu,” bisik Dania, suaranya nyaris seperti angin yang berhembus pelan, membawa harapan yang dititipkan pada bibirnya.Tangannya yang lembut mengusap perut buncitnya, merasakan kehidupan kecil yang berdenyut di sana, seolah memberitahu bahwa di balik setiap tatapan penuh bangga itu, ada cinta yang semakin bertumbuh.“Lihatlah, Nak. Ayahmu semakin terkenal dan hebat.” Matanya berbinar, kagum akan ketampanan suaminya yang tak pernah memudar meski telah ia pandangi ribuan kali.“Kau tampan sekali, Mark...” gumamnya dengan senyum yang menghiasi wa