Dania baru saja selesai mandi, dan aroma segar yang melekat di tubuhnya perlahan memenuhi ruang itu.
Langkah-langkahnya yang lembut membawa dirinya mendekati Mark, yang tengah duduk santai di sofa dengan sebuah majalah edisi minggu ini di tangannya. Ada ketenangan yang memancar dari wajahnya, seakan-akan dunia luar tak dapat mengusik kedamaiannya.
“Mark?” panggil Dania, suaranya selembut embun pagi yang menyapa, mencoba meraih perhatian pria itu.
Mark mengangkat wajahnya sedikit, matanya tetap terpaku pada halaman majalah. “Ada apa, Sayang?” tanyanya tanpa melepaskan pandangannya, namun kehangatan dalam suaranya membuat Dania merasa dipedulikan, walaupun hanya sejenak.
“Bagaimana kasus mereka bertiga? Apakah mereka akan dihukum sesuai dengan perkara yang mereka lakukan?” lanjutnya, suaranya kini bergetar sedikit, membawa nada kekhawatiran yang ia sembunyikan di balik keheningan tadi.
Mark menutup majalah itu perlahan, membiarkan matanya kini benar-
Satu bulan telah berlalu, membawa perubahan yang begitu drastis bagi dunia bisnis. Perusahaan milik Kevin kini berada di ambang kehancuran, menyisakan sisa-sisa kejayaan yang tergerus oleh peluncuran produk Mark minggu lalu.Dengan elegansi dingin dan perhitungan tajam, Mark meraih puncak dengan omzet perusahaannya melonjak hampir sembilan puluh persen.Ia kini menjadi magnet yang menarik perhatian, bahkan membuat Reino, komisaris utama Kv’s Group, datang menemuinya — sesuai rencana Mark yang telah tertata sempurna sejak awal."Saya ingin menyampaikan selamat atas suksesnya peluncuran produk terbaru Anda, Tuan Mark," ucap Reino, nada suaranya mencoba bersikap ramah, meskipun ada kegugupan yang tersirat di dalamnya.Mark hanya mengangguk singkat, sorot matanya tenang namun dalam, penuh perhitungan yang membuat Reino merasa seperti tengah berdiri di hadapan singa yang menunggu momen untuk menerkam."Terima kasih. Dan saya menghargai waktu Anda untuk datang menemuiku, Tuan Reino," jawab
Dania menyunggingkan senyum tipis, menatap layar kaca dengan penuh kekaguman ketika nama Mark bergema dalam berita sore itu.Wajah tampannya terpampang jelas di layar, menjadi pusat perhatian, menyaksikan sukses besar peluncuran produk terbarunya yang kini disambut pasar dengan antusias.Sorot matanya bersinar lembut, seolah-olah setiap detik menyimpan kebanggaan yang sulit ia ungkapkan.“Mark... kau memang tak pernah berhenti membuktikan kehebatanmu,” bisik Dania, suaranya nyaris seperti angin yang berhembus pelan, membawa harapan yang dititipkan pada bibirnya.Tangannya yang lembut mengusap perut buncitnya, merasakan kehidupan kecil yang berdenyut di sana, seolah memberitahu bahwa di balik setiap tatapan penuh bangga itu, ada cinta yang semakin bertumbuh.“Lihatlah, Nak. Ayahmu semakin terkenal dan hebat.” Matanya berbinar, kagum akan ketampanan suaminya yang tak pernah memudar meski telah ia pandangi ribuan kali.“Kau tampan sekali, Mark...” gumamnya dengan senyum yang menghiasi wa
Waktu telah melaju hingga malam menembus angka delapan, membawa atmosfer elegan dalam ruang pesta yang kini penuh dengan kerlip cahaya dan gaung musik lembut yang menyambut kedatangan para tamu.Pesta perayaan kesuksesan penjualan produk terbaru Mark telah dimulai, dan kehangatan suasana bertambah seiring dengan kehadiran tamu-tamu yang datang, wajah-wajah yang berbinar dengan senyum kagum dan salut.Dania berdiri di samping sang suami, sosok yang memancarkan kharisma luar biasa di tengah gemerlap ruangan.Mark, dengan senyum ramah namun tegas, menyapa setiap tamu yang menghampiri mereka. Di sampingnya, Dania terasa bagai bulan yang diam-diam menyinari, keanggunannya terpancar dalam kesederhanaan senyum lembutnya.“Hamilnya sudah besar sekali, ya. Apa jenis kelaminnya?” tanya salah seorang tamu, nadanya penuh rasa ingin tahu dan kekaguman.“Kami sengaja tidak ingin mengetahuinya terlebih dahulu. Biarkan menjadi kejutan kami saja,” jawab Mark sambil tersenyum, suaranya terdengar penuh
Waktu sudah menunjuk angka sebelas malam. Bayang-bayang malam meliputi segala sudut ruangan, menyelubungi mereka dalam keintiman yang hanya bisa ditemukan di sela-sela gelapnya malam.Pesta telah usai, riuh rendah suara dan denting gelas telah memudar, menyisakan hanya mereka berdua. Malam itu, Mark dan Dania memilih untuk tidak pulang, namun meleburkan kenangan di kamar yang sudah dipesan sejak awal—kamar yang membawa jejak masa lalu yang tak terhapuskan."Astaga, Mark," bisik Dania dengan suara lembut, hampir seperti desahan, saat pandangannya menyapu setiap inci ruangan yang sarat kenangan."Bukankah kamar ini dulu jadi saksi bisu kau menikahiku tanpa izin?" Ada nada getir yang tersembunyi di balik senyumnya, mengenang kenangan lama yang tak mungkin terlupa.Mark terkekeh, senyum tipis menghiasi wajahnya yang tampak teduh dalam remang cahaya kamar. "Ya. Waktu itu kau memintaku untuk diam dan menyelamatkanmu." Matanya memandang jauh, menyelam dalam ingatan. "Aku jadi penasaran… baga
Satu minggu telah berlalu, dan kabut misteri mulai terkuak. Di balik laporan audit yang baru saja diterimanya, Mark menemukan potongan-potongan kebenaran yang tersembunyi, seperti lembaran rahasia yang kini tersingkap di hadapannya.Perusahaan Kevin, yang rencananya akan ia akuisisi, ternyata dipenuhi dengan jejak-jejak kecurangan yang selama ini terbungkus rapat di balik dinding-dinding berlapis emas."Berikut laporan yang sudah kami periksa, Tuan," ujar Henry, suara tenangnya menyiratkan kepastian. "Seperti dugaan Anda. Memang benar, Tuan Kevin telah melakukan berbagai transaksi ilegal, memanipulasi data, dan tidak melaporkan keuangan dengan benar."Mark mengulurkan tangannya, mengambil dokumen yang penuh rahasia kelam itu. Dengan teliti, ia membaca satu per satu kesalahan yang telah dilakukan oleh Kevin selama menjadi CEO di Kv’s Group. Setiap lembar membawa aroma konspirasi yang telah lama membusuk, noda yang akan segera dituntaskan dengan keadilan.Napasnya tertahan, lalu ia meng
Menjelang hari kelahiran yang semakin mendekat, Mark dan Dania melangkah memasuki mall dengan senyum yang tak mampu mereka sembunyikan, seolah dunia mereka kini berputar hanya di sekitar persiapan menyambut buah hati mereka.Deretan pakaian bayi yang lembut dan berwarna netral tampak begitu menggoda di mata mereka, seperti melambai-lambai, memanggil untuk dibawa pulang dan disiapkan dengan cinta."Sayang," Mark berbisik lembut, jemarinya menyentuh halus sepotong pakaian bayi yang mungil, "ini artinya kita akan membeli semua keperluan bayi kita dengan warna yang netral, kan?" Tatapan matanya terfokus pada baju-baju bayi yang lucu dan menggemaskan, seolah membayangkan si kecil sudah mengenakannya.Dania tersenyum dan mengangguk. "Iya, setelah lahir, kita bisa kembali berbelanja, memilih warna yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Jadi sekarang, kita beli seperlunya saja. Jangan terlalu banyak, ya." Nada suaranya lembut namun penuh kepastian, seolah ia sudah merencanakan semua dengan mata
Mark duduk santai di sofa ruang tengah, matanya mengikuti gerak para pelayan yang berdatangan membawa setumpuk barang belanjaan bayi yang baru saja ia dan Dania beli.Sorot matanya memancarkan kepuasan tersendiri, seolah setiap barang yang masuk ke rumah adalah simbol kecil dari kebahagiaan mereka yang kian dekat.Dania berdiri di dekatnya, memandang wajah suaminya dengan raut cemas. "Mark, kau tidak serius ingin membeli toko perlengkapan bayi tadi, kan?" tanyanya pelan, seolah berharap jawabannya hanyalah candaan.Mark hanya tersenyum santai, bibirnya melengkungkan senyuman tenang yang kerap memikat. "Kenapa tidak? Bayangkan saja, Sayang, nanti jika kau butuh apa pun untuk anak kita, tinggal ambil saja tanpa harus repot pergi ke tempat lain," katanya, seolah membeli satu toko bayi hanyalah keputusan kecil.Dania menarik napas panjang, matanya yang indah memancarkan keheranan sekaligus kelelahan menghadapi kegemaran Mark yang sering kali melampaui batas kewajaran."Mark, kalau begini,
Dua hari kemudian, pagi itu diselimuti udara yang penuh ketegangan, seperti aliran angin dingin yang menggigit di antara kemeja dan kulit, membuat perasaan tak menentu merasuk ke dalam hati.Di tengah sunyi, hanya terdengar detak jarum jam yang pelan namun pasti, seolah menandai waktu yang terus beranjak mendekati saat-saat genting.Dania berdiri di hadapan Mark, jemari halusnya merapikan dasi suaminya dengan penuh kelembutan, sentuhan yang nyaris seperti mantra penenang bagi keduanya.Mata mereka saling bertemu, dan Mark, dengan nada penuh ketegasan namun tetap lembut, bertanya, “Apa kau benar-benar yakin ingin ikut ke sana?”Dania mengangguk, mata cokelatnya yang tenang menyiratkan api kecil keberanian yang semakin membara. “Aku ingin bertemu dengan Bibi Angel. Ada yang ingin aku bicarakan dengannya,” ucapnya pelan namun penuh keyakinan, suaranya hampir seperti bisikan yang hanya ingin ia sampaikan kepada angin.Mark memperhatikan Dania yang kini memasukkan ponselnya ke dalam tas, r