Mark mengangkat tubuh Dania dalam dekapannya, seperti sepasang sayap yang ingin ia lindungi dari dunia yang fana.Tatapan mereka tak terputus, saling meneguk napas dalam kehangatan yang memabukkan, seperti dua jiwa yang haus akan keabadian.Dengan hati-hati, ia merebahkan tubuh Dania di atas kasur, membiarkan kelembutan ranjang itu menjadi saksi bisu dari cinta yang menggebu di dada.“Masih belum puas, hm?” bisik Dania dengan nada manis yang mengundang, menggoda seperti hembusan angin lembut di tengah malam.Sebuah kecupan singkat namun penuh arti mendarat di bibirnya, senyum Mark mengembang tipis, seolah tak akan pernah cukup baginya. “Tidak akan pernah ada puasnya jika menyentuhmu, Dania. Jangan bertanya hal aneh seperti itu.”Tawa kecil Dania mengalun, seperti melodi malam yang penuh pesona. “Baiklah,” ucapnya lembut, seakan menyerahkan segalanya hanya untuknya.Mark menunduk, bibirnya menyapu lagi bibir Dania dengan rasa yang tak tertahan. Sehelai kain terakhir pun terjatuh, hingg
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Mark dan Dania tiba di restoran mewah yang telah disiapkan Vicky, asisten setia mereka.Restoran itu berkilauan dalam gemerlap lampu kristal, berdesain elegan dengan sentuhan hangat yang memancarkan kemewahan tanpa berlebihan.Di setiap sudut, pemandangan indah malam kota terlihat melalui dinding kaca yang tinggi, menciptakan suasana seolah-olah dunia malam ada dalam genggaman mereka.“Tempatnya sangat indah, Mark. Vicky benar-benar tahu bagaimana memilih restoran mewah yang nyaman,” ucap Dania, matanya menelusuri setiap detail ruangan dengan kagum.Mark tersenyum penuh kepuasan, tatapannya tak beranjak dari wajah istrinya yang bersinar malam itu. “Syukurlah kau menyukainya. Karena kalau tidak, kita bisa pindah tempat kapan saja,” jawabnya ringan, seolah kemewahan ini hanyalah hal sepele baginya.Dania hanya memutar bola matanya, menyadari betapa mudahnya pria ini mengucapkan hal semacam itu.“Meskipun aku tahu kekayaanmu tak terbatas,
Dania baru saja selesai mandi, dan aroma segar yang melekat di tubuhnya perlahan memenuhi ruang itu.Langkah-langkahnya yang lembut membawa dirinya mendekati Mark, yang tengah duduk santai di sofa dengan sebuah majalah edisi minggu ini di tangannya. Ada ketenangan yang memancar dari wajahnya, seakan-akan dunia luar tak dapat mengusik kedamaiannya.“Mark?” panggil Dania, suaranya selembut embun pagi yang menyapa, mencoba meraih perhatian pria itu.Mark mengangkat wajahnya sedikit, matanya tetap terpaku pada halaman majalah. “Ada apa, Sayang?” tanyanya tanpa melepaskan pandangannya, namun kehangatan dalam suaranya membuat Dania merasa dipedulikan, walaupun hanya sejenak.“Bagaimana kasus mereka bertiga? Apakah mereka akan dihukum sesuai dengan perkara yang mereka lakukan?” lanjutnya, suaranya kini bergetar sedikit, membawa nada kekhawatiran yang ia sembunyikan di balik keheningan tadi.Mark menutup majalah itu perlahan, membiarkan matanya kini benar-
Satu bulan telah berlalu, membawa perubahan yang begitu drastis bagi dunia bisnis. Perusahaan milik Kevin kini berada di ambang kehancuran, menyisakan sisa-sisa kejayaan yang tergerus oleh peluncuran produk Mark minggu lalu.Dengan elegansi dingin dan perhitungan tajam, Mark meraih puncak dengan omzet perusahaannya melonjak hampir sembilan puluh persen.Ia kini menjadi magnet yang menarik perhatian, bahkan membuat Reino, komisaris utama Kv’s Group, datang menemuinya — sesuai rencana Mark yang telah tertata sempurna sejak awal."Saya ingin menyampaikan selamat atas suksesnya peluncuran produk terbaru Anda, Tuan Mark," ucap Reino, nada suaranya mencoba bersikap ramah, meskipun ada kegugupan yang tersirat di dalamnya.Mark hanya mengangguk singkat, sorot matanya tenang namun dalam, penuh perhitungan yang membuat Reino merasa seperti tengah berdiri di hadapan singa yang menunggu momen untuk menerkam."Terima kasih. Dan saya menghargai waktu Anda untuk datang menemuiku, Tuan Reino," jawab
Dania menyunggingkan senyum tipis, menatap layar kaca dengan penuh kekaguman ketika nama Mark bergema dalam berita sore itu.Wajah tampannya terpampang jelas di layar, menjadi pusat perhatian, menyaksikan sukses besar peluncuran produk terbarunya yang kini disambut pasar dengan antusias.Sorot matanya bersinar lembut, seolah-olah setiap detik menyimpan kebanggaan yang sulit ia ungkapkan.“Mark... kau memang tak pernah berhenti membuktikan kehebatanmu,” bisik Dania, suaranya nyaris seperti angin yang berhembus pelan, membawa harapan yang dititipkan pada bibirnya.Tangannya yang lembut mengusap perut buncitnya, merasakan kehidupan kecil yang berdenyut di sana, seolah memberitahu bahwa di balik setiap tatapan penuh bangga itu, ada cinta yang semakin bertumbuh.“Lihatlah, Nak. Ayahmu semakin terkenal dan hebat.” Matanya berbinar, kagum akan ketampanan suaminya yang tak pernah memudar meski telah ia pandangi ribuan kali.“Kau tampan sekali, Mark...” gumamnya dengan senyum yang menghiasi wa
Waktu telah melaju hingga malam menembus angka delapan, membawa atmosfer elegan dalam ruang pesta yang kini penuh dengan kerlip cahaya dan gaung musik lembut yang menyambut kedatangan para tamu.Pesta perayaan kesuksesan penjualan produk terbaru Mark telah dimulai, dan kehangatan suasana bertambah seiring dengan kehadiran tamu-tamu yang datang, wajah-wajah yang berbinar dengan senyum kagum dan salut.Dania berdiri di samping sang suami, sosok yang memancarkan kharisma luar biasa di tengah gemerlap ruangan.Mark, dengan senyum ramah namun tegas, menyapa setiap tamu yang menghampiri mereka. Di sampingnya, Dania terasa bagai bulan yang diam-diam menyinari, keanggunannya terpancar dalam kesederhanaan senyum lembutnya.“Hamilnya sudah besar sekali, ya. Apa jenis kelaminnya?” tanya salah seorang tamu, nadanya penuh rasa ingin tahu dan kekaguman.“Kami sengaja tidak ingin mengetahuinya terlebih dahulu. Biarkan menjadi kejutan kami saja,” jawab Mark sambil tersenyum, suaranya terdengar penuh
Waktu sudah menunjuk angka sebelas malam. Bayang-bayang malam meliputi segala sudut ruangan, menyelubungi mereka dalam keintiman yang hanya bisa ditemukan di sela-sela gelapnya malam.Pesta telah usai, riuh rendah suara dan denting gelas telah memudar, menyisakan hanya mereka berdua. Malam itu, Mark dan Dania memilih untuk tidak pulang, namun meleburkan kenangan di kamar yang sudah dipesan sejak awal—kamar yang membawa jejak masa lalu yang tak terhapuskan."Astaga, Mark," bisik Dania dengan suara lembut, hampir seperti desahan, saat pandangannya menyapu setiap inci ruangan yang sarat kenangan."Bukankah kamar ini dulu jadi saksi bisu kau menikahiku tanpa izin?" Ada nada getir yang tersembunyi di balik senyumnya, mengenang kenangan lama yang tak mungkin terlupa.Mark terkekeh, senyum tipis menghiasi wajahnya yang tampak teduh dalam remang cahaya kamar. "Ya. Waktu itu kau memintaku untuk diam dan menyelamatkanmu." Matanya memandang jauh, menyelam dalam ingatan. "Aku jadi penasaran… baga
Satu minggu telah berlalu, dan kabut misteri mulai terkuak. Di balik laporan audit yang baru saja diterimanya, Mark menemukan potongan-potongan kebenaran yang tersembunyi, seperti lembaran rahasia yang kini tersingkap di hadapannya.Perusahaan Kevin, yang rencananya akan ia akuisisi, ternyata dipenuhi dengan jejak-jejak kecurangan yang selama ini terbungkus rapat di balik dinding-dinding berlapis emas."Berikut laporan yang sudah kami periksa, Tuan," ujar Henry, suara tenangnya menyiratkan kepastian. "Seperti dugaan Anda. Memang benar, Tuan Kevin telah melakukan berbagai transaksi ilegal, memanipulasi data, dan tidak melaporkan keuangan dengan benar."Mark mengulurkan tangannya, mengambil dokumen yang penuh rahasia kelam itu. Dengan teliti, ia membaca satu per satu kesalahan yang telah dilakukan oleh Kevin selama menjadi CEO di Kv’s Group. Setiap lembar membawa aroma konspirasi yang telah lama membusuk, noda yang akan segera dituntaskan dengan keadilan.Napasnya tertahan, lalu ia meng
Satu tahun kemudian ….Clara berdiri di depan jendela apartemen milik Stevan. Lalu pria itu menghampirinya dan memeluk wanita itu dari belakang dan mencium pipinya dengan lembut.“Hi, Stev.”“Hm. Kau tahu? Apa yang sudah ayahmu bicarakan tadi di ruang meeting?” ucap Stevan dengan suara beratnya.“Apa?” tanyanya ingin tahu.Stevan menghela napasnya dengan panjang. “Dia menagih cucu padaku.”Clara yang mendengarnya sontak tertawa. Ia kemudian membalikan badanya dan menatap Stevan.“Lalu, apa jawabanmu?” tanyanya kemudian.Stevan mengendikan bahunya. Ia lalu mengambil sesuatu di dalam saku celananya dan membukanya.Sontak Clara menutup mulutnya dengan mata membola melihatnya. “Stevan ….”“Clara. Kita sudah melewati perjalanan yang cukup panjang. Aku telah mencintaimu sejak kau masih remaja, aku telah menyayangimu sejak kau lahir ke dunia. Aku tahu, kau adalah takdir yang telah Tuhan tentukan untukku.“Meski us
Tiba-tiba, suara dentingan terdengar. Begitu cepat. Tanpa Emma sadari. Mike menendang meja. Meja menjadi miring lalu membuat pisau di tangan Emma terpental.Tring! Pisau menjauh dari Emma. Stevan bergerak dalam hitungan detik.Ia meraih lengan Emma, memelintirnya ke belakang, membuat wanita itu berteriak kesakitan.Clara tersungkur ke lantai saat Stevan berhasil menjatuhkan Emma.Napasnya memburu. "Mmmh ..." mulut itu terikat. Clara tak bisa bicara apapun.“Permainanmu selesai,” desisnya.Emma menatapnya, matanya dipenuhi amarah dan kepedihan.“Tapi aku mencintaimu …”Stevan memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam.“Tidak, Emma.” Ia menatapnya tajam. “Ini bukan cinta, tapi obsesi. Aku tidak pernah mencintaimu dan kau salah mengartikan semuanya. Bahkan kau pun tahu sejak dulu pun aku hanya mencintai Clara.”“Sekali lagi kutegas
Emma menyimpan pisaunya kembali, tetapi sorot matanya tetap menakutkan. Clara menelan ludah dengan susah payah, merasakan jantungnya berdegup begitu keras seakan ingin menerobos keluar dari dadanya.Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membasahi kulitnya yang sudah pucat.Emma berjalan ke pintu dengan langkah santai, seolah semua ini hanya permainan baginya. Namun, sebelum keluar, ia berhenti dan berbalik."Oh, dan satu hal lagi, Clara …"Clara menahan napas, tubuhnya menegang. Tenggorokannya terasa kering, seolah ada simpul yang mengikatnya erat dari dalam."Aku ingin dia melihatmu dalam keadaan paling menyedihkan sebelum akhirnya aku menghilangkanmu dari dunia ini."Senyuman Emma penuh kepuasan, seperti seorang seniman yang baru saja menyempurnakan mahakaryanya yang keji.Kemudian, dengan gerakan lambat yang disengaja, ia mendorong pintu gudang hingga tertutup dengan suara berderak, menggema di ruang kosong yang dingin.
"Hahaha, lelaki lemah. Kau mau apa? Menangisi wanitamu? Kau memang pantas ku buang sebagai rekanku. Aku tidak suka lelaki lemah sepertimu." Emma merasa menang. Desain tawanya begitu liar."Clara? Ini berbahaya, Emma. Kendalikan dirimu!""Mike, aku ... Aku hanya mengajaknya bermain. Kau tahu, dia selalu menghalangi jalanku. Aku hanya ingin memberinya pelajaran." Suara Emma santai tanpa rasa bersalah sama sekali."Emma, jangan lakukan ini!" suara Mike meninggi, tangannya mengepal. "Kau sudah cukup membuat kekacauan!""Oh, Mike, kau selalu terlalu baik l… atau terlalu bodoh? Aku ingin melihat sampai sejauh mana kau dan Stevan bisa melindungi wanita ini. Sekarang dia ada di tanganku. Jika kau ingin menolongnya, ajak Stevan dan temui aku."“Apa yang kau lakukan pada Clara?” Mike menggertakkan giginya.Tawa Emma terdengar lebih keras. "Ah, kau akan melihatnya sendiri. Aku akan mengirim lokasi. Tapi jangan terlambat… atau
Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar."Seperti yang kau minta. Semuanya akan berjalan lancar."Emma tersenyum puas. Ia meletakkan ponsel itu kembali dan merapikan rambutnya di depan cermin."Malam ini akan menjadi malam yang panjang," bisiknya.Ia meraih mantel, mengenakannya dengan gerakan anggun, lalu mengambil kunci mobilnya dari meja. Satu tarikan napas panjang, satu langkah menuju pintu.Ia keluar dari kamar, menutup pintu dengan tenang.Ponselnya ia tekan. Bukan ponsel yang biasa ia gunakan. Ponsel lain dan nomor ponsel yang baru, telah ia siapkan kemarin."Nona Clara. Apa anda putri dari Tuan Mark? Papa Anda mengalami kecelakaan lalu lintas, saya menolongnya dan tuan Mark sekarang ada di Alvarado hospital medicare center. Tolong datang segera, karena saya harus mengejar jadwal penerbangan saya.""APAA?! ba-baiklah saya segera datang. Terima kasih Nona telah menolong Daddy." Hiks."Apakah Daddy baik-baik saj
Ia memiringkan kepala, tatapannya terpaku pada sosok Stevan di kejauhan. Mata hitamnya membesar, membulat seakan ia baru saja melihat sesuatu yang indah.Jantungnya berdetak lebih cepat. Pipinya merona."Ah, Stevan …" gumamnya, suaranya terdengar seperti seorang gadis jatuh cinta. "Kau masih tampan sekali. Bahkan dari kejauhan sekalipun!"Ia menempelkan telapak tangan ke pipinya sendiri, memejamkan mata, membayangkan sesuatu.Pernikahan mereka. Stevan di altar, mengenakan jas putih. Ia di sisinya, mengenakan gaun yang memesona. Semua orang tersenyum bahagia.Ya … itulah yang seharusnya terjadi setelah ini.Emma membuka matanya, ekspresinya berubah. Rahangnya mengeras, napasnya semakin cepat."Tapi sebelum aku menjemputmu, sayang …"Tangannya menyelip masuk ke dalam tas kecilnya. Jemarinya bergerak lincah, mencari sesuatu.Lalu, sesuatu berkilau di bawah lampu. Pisau kecil dengan ukiran indah di gagan
Bodyguard pertama yang mencoba melawan. Namun, Randy dengan cepat menghindar dan menghantamkan pukulan yang kuat.Pria itu jatuh ke lantai mengerang. Tidak bisa bergerak. Bodyguard kedua mencoba menahan Randy. Tapi tidak berhasil.Seperti seorang pria yang sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawa anaknya, Randy mengamuk, membabi buta, tidak memberi ampun.Mike tergeletak di tanah. Wajahnya penuh dengan cairan merah pekat. Dan tubuhnya semakin tak berdaya.Di sebelahnya, Randy berjongkok, memeriksa keadaan anaknya. Mike masih bernapas, meskipun dengan susah payah."Mike bertahanlah." Randy berteriak, mengguncang bahu.Mike berharap ada reaksi. Tetapi Mike tidak bergerak. Cairan merah pekat itu mengalir deras dari luka-lukanya. Dan tubuhnya terasa dingin.Emma yang masih berdiri di kejauhan, karena perkelahian bodyguardnya, menyaksikan semua amukan Randy dengan tatapan penuh kebencian."Kau akan mati, Mike. Tidak ada yang bisa m
Sementara itu, di dalam mobil, Emma duduk dengan gelisah. Matanya menatap tajam ke depan, namun pikirannya jauh melayang.Botol wine di tangan kanannya hampir kosong, dan dagunya basah oleh sisa-sisa cairan yang tumpah.Ia tampak marah, kecewa, dan sangat kesal. Rasa sakit yang menggerogoti dirinya akibat kehadiran Clara begitu menyakitkan."Stevan…!" gumamnya dengan geram, suara hatinya penuh kebencian. "Kenapa dia harus ada di sana? Apa dia pikir aku tidak tahu apa yang sedang terjadi?"Emma meneguk wine lagi, tanpa peduli dengan keadaan dirinya yang semakin kacau. Ia merasakan ketidakmampuan untuk mengendalikan situasi ini."Kau pikir bisa menghindar, Stevan? Tidak. Aku akan pastikan Clara tahu siapa yang sebenarnya dia hadapi. Tidak ada yang akan bisa menghalangi rencanaku!"Tangannya yang gemetar memegang kemudi, namun di dalam dirinya, ada dorongan tak terhentikan untuk melanjutkan permainan berbahaya ini.Ia tahu bahwa j
Clara merapatkan mantelnya ketika angin malam menyelinap melalui serat kainnya. Ia baru saja keluar dari perpustakaan kampus setelah menyelesaikan tugas yang tertunda.Tatapan itu. Perasaan diawasi kembali lagi. Bahkan kali ini orang itu mengikutinya.Awalnya, ia mengira hanya kebetulan. Mungkin efek dari kurang tidur, atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu waspada sejak Stevan memperingatkannya soal Mike.Tapi semakin hari, semakin sering ia merasakan kehadiran tak kasat mata yang seolah mengikuti setiap gerakannya.Ia menoleh ke belakang.Jalanan kampus hampir sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang berjalan jauh di depannya.Lampu jalan menerangi trotoar dengan temaram, menciptakan bayangan panjang yang bergerak setiap kali angin menggoyangkan dahan pepohonan.Tidak ada siapa pun di sana.Clara meneguk ludah, mencoba menenangkan dirinya.“Hanya perasaanmu saja,” gumamnya pelan.Namun, saat ia kembali melangkah, bulu kuduknya meremang. Ada suara langkah kaki di belakangnya—terde