Menjelang hari kelahiran yang semakin mendekat, Mark dan Dania melangkah memasuki mall dengan senyum yang tak mampu mereka sembunyikan, seolah dunia mereka kini berputar hanya di sekitar persiapan menyambut buah hati mereka.Deretan pakaian bayi yang lembut dan berwarna netral tampak begitu menggoda di mata mereka, seperti melambai-lambai, memanggil untuk dibawa pulang dan disiapkan dengan cinta."Sayang," Mark berbisik lembut, jemarinya menyentuh halus sepotong pakaian bayi yang mungil, "ini artinya kita akan membeli semua keperluan bayi kita dengan warna yang netral, kan?" Tatapan matanya terfokus pada baju-baju bayi yang lucu dan menggemaskan, seolah membayangkan si kecil sudah mengenakannya.Dania tersenyum dan mengangguk. "Iya, setelah lahir, kita bisa kembali berbelanja, memilih warna yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Jadi sekarang, kita beli seperlunya saja. Jangan terlalu banyak, ya." Nada suaranya lembut namun penuh kepastian, seolah ia sudah merencanakan semua dengan mata
Mark duduk santai di sofa ruang tengah, matanya mengikuti gerak para pelayan yang berdatangan membawa setumpuk barang belanjaan bayi yang baru saja ia dan Dania beli.Sorot matanya memancarkan kepuasan tersendiri, seolah setiap barang yang masuk ke rumah adalah simbol kecil dari kebahagiaan mereka yang kian dekat.Dania berdiri di dekatnya, memandang wajah suaminya dengan raut cemas. "Mark, kau tidak serius ingin membeli toko perlengkapan bayi tadi, kan?" tanyanya pelan, seolah berharap jawabannya hanyalah candaan.Mark hanya tersenyum santai, bibirnya melengkungkan senyuman tenang yang kerap memikat. "Kenapa tidak? Bayangkan saja, Sayang, nanti jika kau butuh apa pun untuk anak kita, tinggal ambil saja tanpa harus repot pergi ke tempat lain," katanya, seolah membeli satu toko bayi hanyalah keputusan kecil.Dania menarik napas panjang, matanya yang indah memancarkan keheranan sekaligus kelelahan menghadapi kegemaran Mark yang sering kali melampaui batas kewajaran."Mark, kalau begini,
Dua hari kemudian, pagi itu diselimuti udara yang penuh ketegangan, seperti aliran angin dingin yang menggigit di antara kemeja dan kulit, membuat perasaan tak menentu merasuk ke dalam hati.Di tengah sunyi, hanya terdengar detak jarum jam yang pelan namun pasti, seolah menandai waktu yang terus beranjak mendekati saat-saat genting.Dania berdiri di hadapan Mark, jemari halusnya merapikan dasi suaminya dengan penuh kelembutan, sentuhan yang nyaris seperti mantra penenang bagi keduanya.Mata mereka saling bertemu, dan Mark, dengan nada penuh ketegasan namun tetap lembut, bertanya, “Apa kau benar-benar yakin ingin ikut ke sana?”Dania mengangguk, mata cokelatnya yang tenang menyiratkan api kecil keberanian yang semakin membara. “Aku ingin bertemu dengan Bibi Angel. Ada yang ingin aku bicarakan dengannya,” ucapnya pelan namun penuh keyakinan, suaranya hampir seperti bisikan yang hanya ingin ia sampaikan kepada angin.Mark memperhatikan Dania yang kini memasukkan ponselnya ke dalam tas, r
“Tangkap wanita itu!”Perintah seseorang yang menggema di seluruh lorong hotel, membuat para petugas keamanan segera bergerak ke arah Dania. Tanpa ragu, Dania melesat lari, meninggalkan orang-orang yang mengejarnya di belakang. Dia sudah menduga ini akan terjadi, tapi kali ini, ada satu kesalahan fatal yang ia buat.Dania datang ke acara pertunangan mantan kekasihnya, Kevin dengan sahabatnya, Marsha. Mereka berdua berselingkuh di belakang Dania. Selama ini, Kevin berpacaran dengan Dania hanya karena Dania cerdas dan bisa membuat para klien Kevin kagum dengan kinerja Dania sebagai manager pemasaran di kantor Kevin. Dania memang dengan sengaja ingin menghancurkan pesta pertunangan Kevin dan Marsha, akan tetapi rencananya sedikit meleset, karena Dania harus berhadapan dengan orang-orang suruhan Marsha untuk mengejarnya.Dania masih terus berlari, ia merasakan merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat rencana pelariannya. Dania memaki dirinya
"Maksudmu?" tanya Dania, alisnya terangkat, nada suaranya mulai dipenuhi rasa curiga. “Apa yang sebenarnya kau inginkan atas pertolongan yang kau berikan tadi?” Pikirannya berputar, mencoba mencari alasan di balik tindakan Mark yang penuh teka-teki ini.Mark, pria dengan postur tegap dan wajah dingin, menatap Dania dengan pandangan yang sulit ditebak. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum yang nyaris tidak terlihat, lebih menyerupai garis lurus yang tanpa emosi. "Kau harus membayar utangmu sekarang juga," katanya dengan nada yang datar, tanpa sedikit pun intonasi yang menunjukkan emosi.Dania terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata pria di hadapannya. "Utang?" gumamnya dalam hati. Namun, sebelum ia sempat mempertanyakan lebih jauh, Mark melanjutkan kalimatnya, membuat dada Dania semakin sesak oleh kecemasan yang menekan.“Apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan suara yang bergetar, meskipun ia berusaha keras untuk terdengar tenang.Tanpa menjawab pertanyaan Dania, Mark tiba-t
"Apa?!" Suara Alex seperti guntur yang menggema di langit yang gelap. Matanya, penuh keterkejutan, menatap tak percaya pada putra sulungnya. "Bagaimana bisa? Apa kau yakin, Mark?""Ya Tuhan, Mark ... kenapa kau tidak memberitahu kami sebelumnya?" ucap Sarah, suaranya penuh dengan kegelisahan dan ketidakpercayaan. Matanya, yang selalu penuh kasih, kini menatap anaknya dengan campuran perasaan yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata.Mark mengangkat tangan kirinya. Memperlihatkan cincin di jarinya, simbol ikatan yang tak terbantahkan."Ya, aku serius. Kalian tidak melihat, kami mengenakan cincin ini," katanya dengan nada dingin yang memotong udara seperti belati.Sarah tertegun, sorot matanya yang biasa lembut kini dipenuhi kebingungan. "Tapi ... kenapa? Maksudku, kenapa kau tidak memberitahu kami jika kau sudah menikah, Mark?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan.Dania, yang sedari tadi hanya menjadi bayangan yang setia di sis
Malam sudah semakin larut ketika pesta yang penuh keriuhan dan tawa itu akhirnya usai. Semua tamu telah pulang, meninggalkan keheningan yang perlahan menguasai setiap sudut rumah mewah itu. Mark dan Dania akhirnya pamit untuk pulang dari rumah tersebut.Mark, yang sudah sejak lama tidak tinggal di rumah orang tuanya sejak lima tahun yang lalu. Kemudian mengajak Dania menuju mobil yang terparkir rapi di halaman. “Mulai malam ini, kau tinggal di rumahku,” ucap Mark tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh dengan kepastian yang tak terbantahkan.Dania yang mendengarnya sontak menoleh, matanya membelalak dengan tatapan tak percaya. Mereka masih berada di dalam mobil yang kini telah berhenti di halaman sebuah rumah yang tidak kalah megahnya dari rumah orang tua Mark.“Apa? Bagaimana bisa? Antarkan aku pulang ke rumahku, Tuan Mark,” desis Dania dengan nada yang lebih menyerupai perintah daripada permintaan.Mark menoleh sekilas ke arah Dania dengan tatapan yang sulit diartikan. “Jangan pangg
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Dania merasakan tubuhnya terasa berat, seperti ada bebatuan yang menimpanya. Ia lantas menoleh ke samping kiri, dan seketika mata Dania membulat sempurna, terkejut melihat sosok yang terbaring di sampingnya.Mulutnya refleks tertutup oleh tangan, mencoba menahan pekikan yang hampir meluncur keluar. ‘Apa terjadi sesuatu semalam?’ pikirnya dalam hati, panik menyeruak dalam pikirannya yang masih setengah sadar.Dania segera menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, matanya terbelalak, namun kali ini lebih karena rasa lega. Pakaiannya masih lengkap, sama seperti saat ia mengenakannya sebelum tidur.‘Syukurlah,’ batinnya, meski perasaan lega itu hanya bertahan sesaat sebelum suara berat dan serak yang familiar menyelusup ke telinganya. Kalau bukan karena Mark yang mengancamnya akan mengurungnya di gudang, mana mau Dania tidur dengannya. “Sudah bangun,hm?” Suara itu milik Mark, masih terbaring di sampingnya dengan mata tertutup, namun nadanya begit