Mark tidak menjawab, namun tubuhnya gemetar menahan amarah. Mata gelapnya menatap Kevin penuh kebencian, seolah ingin menghancurkan pria itu hanya dengan tatapannya. Kevin tertawa kecil, menikmati penderitaan yang terpantul jelas di wajah Mark.
Dengan langkah penuh kemenangan, Kevin berbalik meninggalkan sel, meninggalkan Mark yang kini tengah terbenam dalam lautan kegelapan yang ia ciptakan sendiri. Saat suara langkah Kevin semakin menjauh, Mark akhirnya membiarkan amarahnya meledak. Ia menghantam jeruji besi dengan kepalan tangan yang sekuat tenaga, suara dentuman itu bergema dalam keheningan ruangan.“Bajingan!” teriaknya, matanya penuh dengan kemarahan yang tak terukur. “Kau akan membayar untuk semua ini, Kevin. Aku bersumpah, kau akan membayarnya!”Tangannya berdarah karena hantaman keras pada besi yang dingin, namun rasa sakit itu tidak sebanding dengan luka yang menggores hatinya. Ingatan akan suara Dania, kalimat-kDania menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. “Kau salah besar, Kevin,” jawabnya dengan suara bergetar. “Kau tidak akan pernah bisa memiliki aku. Tidak sekarang, tidak selamanya.”Ia kemudian berbalik, berjalan keluar dari rumah itu tanpa melihat ke belakang. Hatinya hancur, namun ia tahu, ada sesuatu yang harus ia selesaikan. Ia harus membuktikan bahwa Mark tidak bersalah. Bahwa di balik semua kepalsuan ini, ada kebenaran yang menanti untuk diungkap.Saat Dania kembali masuk ke dalam mobil, bayangan Kevin dan Angel yang sedang bersulang masih melekat dalam benaknya.Suasana hati Dania yang kalut tergambar jelas di wajahnya yang pucat. Vicky menatapnya dengan cemas, rasa ingin tahu tercermin dari sorot matanya yang penuh perhatian.“Nona Dania, apa yang terjadi?” tanyanya, suaranya terdengar khawatir.Dania menghela napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dalam dadanya yang te
Dania kembali ke rumah dengan perasaan lelah yang begitu berat menekan hatinya. Pemandangan Mark yang begitu rapuh dan tak berdaya di balik jeruji penjara masih membayangi pikirannya, menggerogoti ketenangannya.Dia tahu, seharusnya dia ada di sana bersama Mark, menemaninya melewati malam-malam panjang yang dingin dan penuh kesendirian. Rasanya seperti ada kekosongan di hatinya yang tidak bisa diisi, meskipun dia tahu bahwa Mark membutuhkan dia lebih dari siapa pun.Sesampainya di rumah, Dania hanya berdiri di ruang tamu, memandangi sudut-sudut rumah yang terasa sunyi.Kepalanya masih terasa berat, seolah-olah beban dari kesedihan dan rasa bersalah menggantung di sana. "Biarkan aku sendiri, Vicky," ucapnya lirih, suaranya hampir tak terdengar, seperti embusan angin yang kehilangan kekuatan.Vicky hanya mengangguk, tatapannya penuh simpati namun ia tidak berkata apa-apa. Ia mengerti bahwa Dania butuh waktu untuk merenung, untuk menyusun kembali hatinya yan
“Nona Dania? Nona Dania?” Vicky memanggil dengan nada cemas, telapak tangannya menepuk-nepuk lembut pipi Dania yang terbaring tak sadarkan diri di lantai perpustakaan.Cahaya remang-remang dari lampu yang tergantung di sudut ruangan memperlihatkan wajah Vicky yang tegang, alisnya berkerut dalam kekhawatiran mendalam.Dania perlahan membuka matanya, bayang-bayang samar di pelupuk matanya mulai memudar. Kepalanya terasa berat, namun wajah Vicky yang cemas di hadapannya mulai jelas.“Vicky?” bisiknya lemah, mencoba meraba kembali kesadarannya yang sempat hilang. Dengan gemetar, Dania duduk, menatap ke arah kanan dan kiri, kebingungan menyelimuti wajahnya."Kenapa aku ada di sini? Bukankah aku sedang berada di perpustakaan Mark?" tanyanya, suaranya nyaris tak lebih dari desahan.Vicky mengangguk perlahan, mata penuh keprihatinan menatap Dania yang terlihat begitu rapuh. “Nona Dania tidak sadarkan diri lagi,” jawabnya
Dania mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih dilanda kebingungan dan kecemasan. Tangannya yang dingin menggenggam erat tangan Vicky, mencari kekuatan dalam hangatnya sentuhan itu. "Aku tidak akan menyerah," ucapnya dengan suara yang sedikit lebih tegas, meskipun masih terdengar rapuh."Aku tidak akan membiarkan ini menjadi akhir dari segalanya. Mark pantas mendapatkan keadilan, dan aku akan melakukan apa pun untuk memastikan bahwa dia tidak dihukum karena sesuatu yang tidak dia lakukan."Vicky tersenyum tipis, matanya berbinar oleh kekaguman pada kekuatan yang mulai terlihat dari Dania. “Saya di sini bersama Anda, Nona Dania. Anda tidak sendirian dalam perjuangan ini.”Dania mengangguk lagi, menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Walaupun hatinya masih terluka dan pikirannya penuh dengan ketidakpastian, ada secercah harapan yang mulai muncul di sana, berpendar dalam gelapnya malam yang kelam.Harapan bahwa cinta yang ia dan Mark
Tiga hari kemudian ….Ketegangan semakin terasa menyesakkan di rumah besar tempat Dania menunggu. Pagi itu, matahari bersembunyi di balik awan kelabu, seakan ikut merasakan kecemasan yang menghantui hati Dania.Di dalam kamarnya yang luas, Dania duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong memandang langit-langit, sementara pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang tak kunjung mereda.Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak dari lamunannya. Vicky melangkah masuk dengan langkah cepat, raut wajahnya tegang namun penuh determinasi.“Permisi, Nona Dania. Apakah Anda akan menghadiri sidang putusan hari ini?” tanyanya dengan nada hati-hati, seakan tidak ingin memaksa.Dania menoleh, tatapannya dingin dan sedikit getir. “Aku lihat di TV saja, Vicky,” jawabnya, suaranya terdengar lelah. “Terlalu ramai, aku malas menghadapi media. Mereka hanya akan memojokanku untuk menceraikannya. Tahu apa mereka tentang perasaanku.&
Ruangan sidang penuh sesak dengan keheningan yang mencekam, hanya suara hakim yang bergema di seluruh ruangan.Setiap kalimat yang keluar dari mulut hakim seolah membawa beban ribuan ton yang menghantam dada Mark, yang duduk dengan tenang di bangku terdakwa, berhadapan langsung dengan Angel dan Kevin yang memandangnya dengan tatapan penuh kebencian."Kejadian kecelakaan terjadi pada pukul lima lewat lima belas menit sore," suara hakim memecah keheningan, menyampaikan dakwaan dengan nada yang tak berperasaan."Tersangka, Mark, mengendarai sebuah Mercedes-Benz SL-Classic berwarna putih dengan kecepatan hampir dua ratus kilometer per jam, menyebabkan hilangnya kendali hingga menabrak mobil yang dikemudikan oleh Mendiang Nyonya Famela Chornelia. Akibatnya, korban Famela meninggal di tempat, sementara Dania mengalami koma selama satu minggu."Mark merasakan tubuhnya menegang, jari-jarinya yang kurus mencengkeram meja di hadapannya.Pandangannya beralih
Dua minggu yang lalu .…Sean baru saja tiba di rumahnya saat matanya menangkap sosok tak terduga di ruang tengah.Sarah, saudara perempuannya, duduk dengan resah di sofa, wajahnya terlihat lebih tua dari terakhir kali dia melihatnya. Di sampingnya, Amy, istri Sean, tampak cemas, menghindari tatapan suaminya.“Sarah ingin bicara denganmu, Sean,” bisik Amy sebelum dia berdiri, memberi Sean ruang untuk bicara empat mata.Dengan alis berkerut dan rasa penasaran yang mulai merayap, Sean duduk di hadapan Sarah. "Ada apa?" tanyanya, langsung ke inti permasalahan.Sarah menggigit bibirnya, tampak enggan namun sudah tak bisa menahan diri. “Bellary Hospital,” ujarnya pelan, hampir berbisik.“Mark dirawat di rumah sakit itu saat mengalami kecelakaan bersama Famela. Sudah dua belas tahun berlalu, tapi aku yakin... masih ada bukti yang bisa kau cari di sana.”Kata-kata Sarah menggantung, seperti mempersilakan Sean untuk mengisi kekosongan dengan bayang-bayang hitam dari masa lalu. Sean menyandarka
Bernard dan Sean tiba di Bellary Hospital tepat pada saat matahari sore yang keemasan menyinari gedung rumah sakit tua itu.Langit tampak berkilau dengan warna lembut oranye dan merah, menyelimuti suasana di sekitar mereka dengan perasaan tenang yang semu.Keduanya berjalan melewati koridor rumah sakit yang sepi, langkah mereka terpantul di lantai marmer yang mengilap.Saat mencapai ruang direksi, pintu terbuka, dan sosok seorang pria tinggi dengan senyum hangat menyambut mereka.“Sean! Sudah lama sekali tidak bertemu,” sapa Stevan, direktur utama rumah sakit tersebut.Matanya berbinar penuh antusias saat ia memeluk Sean, menepuk-nepuk punggungnya seolah merayakan pertemuan sahabat lama yang sudah terlalu lama tertunda.Sean tersenyum dan membalas tepukan hangat itu. “Ya, Stevan. Hidupku cukup sibuk belakangan ini. Bagaimana kabarmu, Stevan?” tanyanya dengan nada akrab yang penuh kehangatan masa lalu.Stevan mengisyaratkan mereka untuk duduk, senyumnya tak luntur sedetik pun. “Oh, aku
Satu tahun kemudian ….Clara berdiri di depan jendela apartemen milik Stevan. Lalu pria itu menghampirinya dan memeluk wanita itu dari belakang dan mencium pipinya dengan lembut.“Hi, Stev.”“Hm. Kau tahu? Apa yang sudah ayahmu bicarakan tadi di ruang meeting?” ucap Stevan dengan suara beratnya.“Apa?” tanyanya ingin tahu.Stevan menghela napasnya dengan panjang. “Dia menagih cucu padaku.”Clara yang mendengarnya sontak tertawa. Ia kemudian membalikan badanya dan menatap Stevan.“Lalu, apa jawabanmu?” tanyanya kemudian.Stevan mengendikan bahunya. Ia lalu mengambil sesuatu di dalam saku celananya dan membukanya.Sontak Clara menutup mulutnya dengan mata membola melihatnya. “Stevan ….”“Clara. Kita sudah melewati perjalanan yang cukup panjang. Aku telah mencintaimu sejak kau masih remaja, aku telah menyayangimu sejak kau lahir ke dunia. Aku tahu, kau adalah takdir yang telah Tuhan tentukan untukku.“Meski us
Tiba-tiba, suara dentingan terdengar. Begitu cepat. Tanpa Emma sadari. Mike menendang meja. Meja menjadi miring lalu membuat pisau di tangan Emma terpental.Tring! Pisau menjauh dari Emma. Stevan bergerak dalam hitungan detik.Ia meraih lengan Emma, memelintirnya ke belakang, membuat wanita itu berteriak kesakitan.Clara tersungkur ke lantai saat Stevan berhasil menjatuhkan Emma.Napasnya memburu. "Mmmh ..." mulut itu terikat. Clara tak bisa bicara apapun.“Permainanmu selesai,” desisnya.Emma menatapnya, matanya dipenuhi amarah dan kepedihan.“Tapi aku mencintaimu …”Stevan memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam.“Tidak, Emma.” Ia menatapnya tajam. “Ini bukan cinta, tapi obsesi. Aku tidak pernah mencintaimu dan kau salah mengartikan semuanya. Bahkan kau pun tahu sejak dulu pun aku hanya mencintai Clara.”“Sekali lagi kutegas
Emma menyimpan pisaunya kembali, tetapi sorot matanya tetap menakutkan. Clara menelan ludah dengan susah payah, merasakan jantungnya berdegup begitu keras seakan ingin menerobos keluar dari dadanya.Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membasahi kulitnya yang sudah pucat.Emma berjalan ke pintu dengan langkah santai, seolah semua ini hanya permainan baginya. Namun, sebelum keluar, ia berhenti dan berbalik."Oh, dan satu hal lagi, Clara …"Clara menahan napas, tubuhnya menegang. Tenggorokannya terasa kering, seolah ada simpul yang mengikatnya erat dari dalam."Aku ingin dia melihatmu dalam keadaan paling menyedihkan sebelum akhirnya aku menghilangkanmu dari dunia ini."Senyuman Emma penuh kepuasan, seperti seorang seniman yang baru saja menyempurnakan mahakaryanya yang keji.Kemudian, dengan gerakan lambat yang disengaja, ia mendorong pintu gudang hingga tertutup dengan suara berderak, menggema di ruang kosong yang dingin.
"Hahaha, lelaki lemah. Kau mau apa? Menangisi wanitamu? Kau memang pantas ku buang sebagai rekanku. Aku tidak suka lelaki lemah sepertimu." Emma merasa menang. Desain tawanya begitu liar."Clara? Ini berbahaya, Emma. Kendalikan dirimu!""Mike, aku ... Aku hanya mengajaknya bermain. Kau tahu, dia selalu menghalangi jalanku. Aku hanya ingin memberinya pelajaran." Suara Emma santai tanpa rasa bersalah sama sekali."Emma, jangan lakukan ini!" suara Mike meninggi, tangannya mengepal. "Kau sudah cukup membuat kekacauan!""Oh, Mike, kau selalu terlalu baik l… atau terlalu bodoh? Aku ingin melihat sampai sejauh mana kau dan Stevan bisa melindungi wanita ini. Sekarang dia ada di tanganku. Jika kau ingin menolongnya, ajak Stevan dan temui aku."“Apa yang kau lakukan pada Clara?” Mike menggertakkan giginya.Tawa Emma terdengar lebih keras. "Ah, kau akan melihatnya sendiri. Aku akan mengirim lokasi. Tapi jangan terlambat… atau
Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar."Seperti yang kau minta. Semuanya akan berjalan lancar."Emma tersenyum puas. Ia meletakkan ponsel itu kembali dan merapikan rambutnya di depan cermin."Malam ini akan menjadi malam yang panjang," bisiknya.Ia meraih mantel, mengenakannya dengan gerakan anggun, lalu mengambil kunci mobilnya dari meja. Satu tarikan napas panjang, satu langkah menuju pintu.Ia keluar dari kamar, menutup pintu dengan tenang.Ponselnya ia tekan. Bukan ponsel yang biasa ia gunakan. Ponsel lain dan nomor ponsel yang baru, telah ia siapkan kemarin."Nona Clara. Apa anda putri dari Tuan Mark? Papa Anda mengalami kecelakaan lalu lintas, saya menolongnya dan tuan Mark sekarang ada di Alvarado hospital medicare center. Tolong datang segera, karena saya harus mengejar jadwal penerbangan saya.""APAA?! ba-baiklah saya segera datang. Terima kasih Nona telah menolong Daddy." Hiks."Apakah Daddy baik-baik saj
Ia memiringkan kepala, tatapannya terpaku pada sosok Stevan di kejauhan. Mata hitamnya membesar, membulat seakan ia baru saja melihat sesuatu yang indah.Jantungnya berdetak lebih cepat. Pipinya merona."Ah, Stevan …" gumamnya, suaranya terdengar seperti seorang gadis jatuh cinta. "Kau masih tampan sekali. Bahkan dari kejauhan sekalipun!"Ia menempelkan telapak tangan ke pipinya sendiri, memejamkan mata, membayangkan sesuatu.Pernikahan mereka. Stevan di altar, mengenakan jas putih. Ia di sisinya, mengenakan gaun yang memesona. Semua orang tersenyum bahagia.Ya … itulah yang seharusnya terjadi setelah ini.Emma membuka matanya, ekspresinya berubah. Rahangnya mengeras, napasnya semakin cepat."Tapi sebelum aku menjemputmu, sayang …"Tangannya menyelip masuk ke dalam tas kecilnya. Jemarinya bergerak lincah, mencari sesuatu.Lalu, sesuatu berkilau di bawah lampu. Pisau kecil dengan ukiran indah di gagan
Bodyguard pertama yang mencoba melawan. Namun, Randy dengan cepat menghindar dan menghantamkan pukulan yang kuat.Pria itu jatuh ke lantai mengerang. Tidak bisa bergerak. Bodyguard kedua mencoba menahan Randy. Tapi tidak berhasil.Seperti seorang pria yang sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawa anaknya, Randy mengamuk, membabi buta, tidak memberi ampun.Mike tergeletak di tanah. Wajahnya penuh dengan cairan merah pekat. Dan tubuhnya semakin tak berdaya.Di sebelahnya, Randy berjongkok, memeriksa keadaan anaknya. Mike masih bernapas, meskipun dengan susah payah."Mike bertahanlah." Randy berteriak, mengguncang bahu.Mike berharap ada reaksi. Tetapi Mike tidak bergerak. Cairan merah pekat itu mengalir deras dari luka-lukanya. Dan tubuhnya terasa dingin.Emma yang masih berdiri di kejauhan, karena perkelahian bodyguardnya, menyaksikan semua amukan Randy dengan tatapan penuh kebencian."Kau akan mati, Mike. Tidak ada yang bisa m
Sementara itu, di dalam mobil, Emma duduk dengan gelisah. Matanya menatap tajam ke depan, namun pikirannya jauh melayang.Botol wine di tangan kanannya hampir kosong, dan dagunya basah oleh sisa-sisa cairan yang tumpah.Ia tampak marah, kecewa, dan sangat kesal. Rasa sakit yang menggerogoti dirinya akibat kehadiran Clara begitu menyakitkan."Stevan…!" gumamnya dengan geram, suara hatinya penuh kebencian. "Kenapa dia harus ada di sana? Apa dia pikir aku tidak tahu apa yang sedang terjadi?"Emma meneguk wine lagi, tanpa peduli dengan keadaan dirinya yang semakin kacau. Ia merasakan ketidakmampuan untuk mengendalikan situasi ini."Kau pikir bisa menghindar, Stevan? Tidak. Aku akan pastikan Clara tahu siapa yang sebenarnya dia hadapi. Tidak ada yang akan bisa menghalangi rencanaku!"Tangannya yang gemetar memegang kemudi, namun di dalam dirinya, ada dorongan tak terhentikan untuk melanjutkan permainan berbahaya ini.Ia tahu bahwa j
Clara merapatkan mantelnya ketika angin malam menyelinap melalui serat kainnya. Ia baru saja keluar dari perpustakaan kampus setelah menyelesaikan tugas yang tertunda.Tatapan itu. Perasaan diawasi kembali lagi. Bahkan kali ini orang itu mengikutinya.Awalnya, ia mengira hanya kebetulan. Mungkin efek dari kurang tidur, atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu waspada sejak Stevan memperingatkannya soal Mike.Tapi semakin hari, semakin sering ia merasakan kehadiran tak kasat mata yang seolah mengikuti setiap gerakannya.Ia menoleh ke belakang.Jalanan kampus hampir sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang berjalan jauh di depannya.Lampu jalan menerangi trotoar dengan temaram, menciptakan bayangan panjang yang bergerak setiap kali angin menggoyangkan dahan pepohonan.Tidak ada siapa pun di sana.Clara meneguk ludah, mencoba menenangkan dirinya.“Hanya perasaanmu saja,” gumamnya pelan.Namun, saat ia kembali melangkah, bulu kuduknya meremang. Ada suara langkah kaki di belakangnya—terde